Tuesday, March 31, 2009

Alkitab sebagai Sebuah Karya Penafsiran

Alkitab sebagai Sebuah Karya Penafsiran
H Witdarmono


TOKOH sentral dalam sejarah kehidupan beragama umat Kristen adalah Yesus, yang diperkirakan hidup antara tahun 4 Sebelum Masehi (SM) hingga tahun 28/29. Dalam Alkitab, kitab suci mereka, tokoh ini menjadi satu-satunya panutan. Mereka menyebut Yesus sebagai Kurios, sebuah gelar dalam bahasa Yunani yang artinya kurang lebih sama dengan gelar Gusti (tuan) dalam bahasa Jawa. Diyakini bahwa Kurios Yesus inilah yang akan memimpin dan menentukan jalan hidup para hambanya. Tidak hanya itu. Para pengikut Yesus itu juga sangat percaya bahwa Kurios yang satu ini juga seorang Christos atau Almasih, yaitu "seorang yang sudah diurapi (artinya diangkat secara resmi oleh Allah) untuk menyelamatkan manusia". Kepercayaan dan kesaksian mengenai ke-Christos-an Yesus itu begitu mendalam sehingga pada paruh pertama Abad Pertama masyarakat di Antiokia, sebuah kota di Asia Kecil, menyebut para murid Yesus itu sebagai Christianous atau orang-orang Kristen.SEMUA keterangan mengenai Yesus dan para pengikutnya itu memang didapat dan disimpulkan dari Alkitab, khususnya dalam kumpulan tulisan yang disebut Perjanjian Baru. (Selanjutnya dalam tulisan ini, yang dimaksudkan dengan Alkitab adalah Perjanjian Baru).

Permasalahannya adalah apakah Alkitab itu merupakan sebuah kitab sejarah yang secara ilmiah memberikan data yang akurat? Sekadar untuk diketahui, isi dari Alkitab itu sendiri banyak mengandung hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang sulit diterima oleh akal, semisal "mengubah air yang berasal dari sumur menjadi anggur sungguhan" atau "menghidupkan kembali orang yang sudah empat hari dikubur".

Alkitab itu sendiri juga bukan sebuah buku yang monolit. Ketika pada pertengahan Abad ke-XV-sesudah penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1445-Alkitab itu juga mau dicetak, kala itu sudah terdapat lebih dari 10.000 versi Alkitab tulisan tangan. Apakah keragaman semacam ini bisa dijadikan acuan bagi sebuah akurasi sejarah, khususnya untuk membuktikan bahwa Yesus itu adalah benar-benar seorang tokoh yang mengajar berkeliling di jalan-jalan berdebu wilayah Palestina? Ataukah sebaliknya, riwayat kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari mati, yang tertulis dalam Alkitab itu, sesungguhnya hanyalah merupakan sebuah kisah iman belaka? Kalau ini benar, maka Alkitab tidak bisa disebut sebagai buku sejarah. Ia lebih merupakan sebuah kumpulan buku keagamaan belaka.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menjelaskan bahwa buku itu di kemudian hari menjadi dasar bagi fenomena kekristenan yang saat ini dianut oleh milyaran manusia? Mengapa buku itu mampu menarik orang-orang untuk akhirnya percaya bahwa Yesus itu menjadi Kurios Christos mereka, sementara dari sisi akal-diwakili oleh sains-tokoh itu masih mengandung banyak misteri? Beberapa kalangan bahkan menyimpulkan bahwa tokoh Yesus itu adalah tokoh mitologi.

***

SAINS sendiri memang tidak bisa membuktikan atau menyangkal begitu saja keberadaan tokoh Yesus itu. RT France, seorang ahli Alkitab dari Amerika Serikat (AS), misalnya, mengatakan "memang tidak ada tulisan-tulisan dari Abad Pertama di luar Alkitab yang menunjuk tokoh itu; juga tidak ada peninggalan bangunan dari abad itu yang secara khusus memiliki kaitan dengan Yesus".

Pernyataan France ini mengungkapkan dua fenomena. Yang pertama, tampaknya pada zamannya, tokoh Yesus ini bukan tokoh yang sangat istimewa sehingga ahli sejarah atau elite masyarakat yang berpengaruh bersedia mengabadikannya dalam tulisan atau monumen. Yang kedua, tokoh Yesus ini baru menjadi seorang tokoh panutan melalui tulisan-tulisan dalam Alkitab, yang menurut penelitian teks dan sastra baru dibuat puluhan bahkan ratusan tahun setelah zaman Yesus. Kalau demikian, bagaimana menjelaskan bahwa ajaran dan tulisan mengenai Yesus itu sungguh terkait dengan tokoh yang gelarnya menjadi asal-usul nama Kristen tersebut?

Berbagai penemuan arkeologis yang dilakukan di wilayah Palestina pada dasawarsa tahun 1940-an, memang memperlihatkan bahwa ada sebuah lingkungan sosiologis-keagamaan di wilayah itu, yang memungkinkan munculnya sebuah kepercayaan kepada tokoh semacam Yesus.

Dari penemuan sekitar 800 teks berbahasa Ibrani dan Aramea di sebuah goa dekat Laut Mati, misalnya, menunjukkan bahwa di kalangan pengikut Yudaisme (agama Yahudi) Abad Pertama ada kepercayaan yang kuat mengenai bakal datangnya seorang Penyelamat atau Almasih. Pada masa itu, rakyat kebanyakan mengharapkan adanya seorang tokoh yang akan memimpin mereka memerangi penjajah Roma dan aristokrasi lokal yang korup macam Raja Herodes Agung yang mati tahun 4 SM. Dari kerangka sosiologis-politik ini, para ahli kemudian menyimpulkan bahwa Yesus adalah juga salah satu dari sekian banyak pemberontak politik masa itu. Dengan demikian, ajarannya mengenai "si lemah dan si miskin yang akan menguasai dunia" bukanlah sekadar mimpi harapan masa depan. Ajaran tersebut, dalam konteks lokal, sungguh merupakan sebuah tuntutan zaman untuk perubahan tata politik yang baru.

Demikian pula dari temuan penggalian di Sepphoris, sebuah bekas kota komersial sekitar enam kilometer utara desa Nazareth di wilayah Galilea (sekarang Israel Utara), bisa dijelaskan mengapa Yesus, yang dikenal sebagai orang desa dari Nazareth, mampu mengajar dengan memakai berbagai contoh mengenai kehidupan orang kota. Beberapa arkeolog Alkitab bahkan berpendapat, kemungkinan besar masa itu Yesus-melanjutkan profesi Yusuf, ayahnya-juga bekerja sebagai tukang kayu di kota berpenduduk sekitar 30.000 jiwa itu. Mungkin di kota itu pula Yesus mengenal bahasa dan kebudayaan Yunani, yang menjadi bahasa resmi di Kekaisaran Roma Abad Pertama. Sebagai penduduk Galilea, bahasa sehari-hari yang dipakai oleh Yesus dan masyarakat sekitarnya adalah bahasa Ibrani dan Aramea.

***

SEJAUH ini, berbagai penemuan arkeologis memang belum bisa secara langsung membuktikan keberadaan tokoh Yesus. Penemuan-penemuan itu baru mampu memberi gambaran mengenai lingkungan sekitar zaman Yesus. Gambaran mengenai tokoh Yesus itu sendiri hanya ada pada Alkitab. Di sinilah awal dari hermeneutika, sebuah studi mengenai penafsiran atau sebuah upaya pencarian arti. Hermeneutika (dari kata Yunani, hermenein: menerjemahkan, menjelaskan) itu sendiri kemudian membawa berbagai persoalan baru.

Alkitab, dalam hal ini kumpulan tulisan Perjanjian Baru, ditulis sekitar 1900 tahun yang lalu dalam bahasa Yunani. Dari sisi bahasa, sudah sangat sulit untuk menerjemahkan atau mengartikan secara tepat segala arti dan nuansa makna yang termuat dalam teks kuno tersebut. Dari sisi budaya dan kerangka sosiologis, para penulis Alkitab dan pembaca mereka juga memiliki pandangan dunia kehidupan yang sangat berbeda dengan orang zaman sekarang; ada perbedaan latar belakang, pengetahuan, dan persepsi mengenai realitas. Kerangka pemikiran semacam ini menuntut adanya sebuah "jembatan sosiologis, budaya, dan mental" guna memahami isi Alkitab itu sendiri.

Alkitab juga ditulis oleh beragam orang, dalam waktu dan tempat yang tidak sama. Latar belakang dan pandangan para penulis itu juga berbeda-beda. Sama seperti halnya sebuah media massa, bentuk, dan kerangka dialog antara para penulis (Alkitab) dengan pembaca mereka, sangat beragam. Ideologi, falsafah, dan bahkan emosi ikut mempengaruhi corak dan warna tulisan, tidak terkecuali Alkitab.

Ambillah contoh. Para penulis Alkitab itu menulis dalam bahasa Yunani. Samakah tingkat kemahiran bahasa mereka? Bahasa Yunani-nya Markus-salah satu penulis Kitab Injil atau kumpulan kisah karya kehidupan Yesus-misalnya, penuh dengan logat bahasa percakapan Aram, yang menjadi "bahasa ibu" penulis itu. Analoginya seperti bahasa Perancis-nya orang Jawa Timur yang medog, yang tanpa sadar dan dengan enak mengabaikan kaidah-kaidah waktu (tenses). Sebaliknya, bahasa Yunani dari Lukas-penulis Injil yang lain-sangat bagus. Mereka yang berasal dari kalangan non-Palestina bahkan dengan sangat mudah mengerti tulisan-tulisan Lukas.

Selain itu, sebagai sebuah tulisan, Alkitab juga tidak berdiri sendiri. Ia muncul untuk menjawab kebutuhan umat pengikut Yesus masa itu, yang ingin untuk lebih memahami kehidupan dan ajaran tokoh panutannya. Meskipun penelitian modern belum mampu mengidentifikasi umat tersebut secara tepat, namun jelas mereka itu memiliki kebutuhan yang sangat beragam. Ada umat, misalnya, yang karena situasinya, membutuhkan sebuah gambaran mengenai Yesus sebagai guru yang hebat, yang bisa mendekonstruksi kepercayaan mereka yang lama, Yudaisme. Ada pula, juga karena situasi hidup mereka yang khas, lebih membutuhkan sosok dan ajaran Yesus yang lebih memihak kaum marjinal. Injil dari Lukas adalah contoh yang paling jelas. Di sinilah, jarak dan tataran pemahaman keagamaan antara penulis Alkitab dan pembacanya menjadi pertimbangan tersendiri.

Singkat kata, penulisan Alkitab adalah sebuah proses panjang yang melibatkan dialog dan interaksi antara penulis dan pembacanya dalam sebuah kerangka sosial, politik, budaya, dan agama yang sangat beragam. Dari sisi ini, lalu apa yang menjadi dasar bahwa Alkitab ini disebut sebagai Kitab Suci, yang oleh beberapa kelompok Kristen fanatik disebarkan, dibela, dan diperjuangkan sampai mati? Dari mana predikat "Suci" itu diperoleh? Adakah "suara" dan "sabda" Ilahi dalam tulisan-tulisan Alkitab, yang dari sisi tata bahasa baku sering kacau-balau dan tidak konsisten itu?

***

BERTENTANGAN dengan gagasan mengenai inspirasi verbal, yaitu pandangan bahwa ilham Ilahi yang tertulis pada Alkitab diturunkan kata demi kata, penelitian kritis mengenai Alkitab menyimpulkan bahwa buku itu tidak ditulis dalam satu kali oleh satu pengarang berdasarkan bisikan Allah. Kitab itu disusun berdasarkan sebuah tradisi atau proses penurunalihan yang berlangsung lama di tengah umat dan melibatkan banyak orang. Hasil penelitian kritis terhadap Alkitab ini membuat para teolog Katolik maupun Protestan harus merumuskan kembali pandangan mereka mengenai wahyu Allah dalam Alkitab. Hal ini terungkap dalam Konstitusi Dei Verbum dari Konsili Vatikan II (1963-1965) maupun dalam berbagai dokumen Dewan Gereja-Gereja Sedunia, khususnya pada Dokumen Montreal 1963.

Menurut dokumen-dokumen itu, Allah tidak secara langsung satu kali menyampaikan seluruh isi wahyu-Nya kepada pengarang Alkitab. Dia sudah lebih dahulu menyatakan ke-Ilahi-an dan kehendak-Nya melalui berbagai peristiwa dunia ciptaan dan sejarah manusia.

Pada awal mula tidak ada kitab. Yang ada hanyalah peristiwa-peristiwa kehidupan yang dengan kacamata iman ditanggapi sebagai "Karya Tuhan". Tanggapan itu pun tidak sekali jadi. Dibutuhkan imbauan, ajakan, keharusan, dan bahkan ancaman (lengkap dengan segala sanksi hukumannya), agar muncul keyakinan bahwa peristiwa-peristiwa hidup tertentu itu (biasanya sesuatu yang dramatis dan menjadi titik balik) diyakini sebagai "Karya Tuhan". Peristiwa-peristiwa itu pun tidak segera ditulis saat itu. Ia disosialisasikan dalam umat melalui upacara peringatan, perayaan, atau cerita lisan. Tradisi lisan itu kemudian dikembangkan secara turun-menurun, tentu dengan penambahan atau pengurangan sesuai dengan situasi zamannya. Ada sebuah keyakinan bahwa ilham Ilahi itu adalah sesuatu yang hidup, tidak pernah berhenti, dan menyertai seluruh perjalanan sejarah manusia, dulu, sekarang dan di masa mendatang. Dari sisi tertentu, bisa dikatakan juga bahwa tradisi lisan itulah yang mensakralkan, membuat berpredikat suci dan bahkan mungkin memitoskan peristiwa-peristiwa kemanusiaan dalam sejarah.

Kerangka pemikiran di atas juga berlaku untuk fenomena macam "peristiwa Yesus". Tokoh ini tidak menulis Kitab Injil. Oleh para pengikutnya, tokoh itu "dihidupkan" melalui sosialisasi ajaran, kesaksian, serta bentuk dan corak kehidupan umat Kristen di Abad Pertama. Cara menghidupkan tokoh Yesus ini berbeda-beda, di Palestina maupun di luar Palestina, di lingkungan budaya Yahudi atau di lingkungan budaya Yunani-Roma. Tradisi lisan dan kehidupan ini berkembang selama puluhan tahun-sejak Yesus dibunuh sekitar tahun 29-dalam berbagai versi tanpa adanya sebuah Kitab Injil satu pun.

Baru lama kelamaan, tradisi lisan dan kehidupan yang berkembang di tengah umat Kristen itu mulai dituliskan oleh beberapa pengarang. Di satu pihak, para pengarang ini mewarisi tradisi di mana mereka itu hidup. Di lain pihak, mereka juga merasa terpanggil-layaknya semua penulis-untuk mengemas tradisi lisan dan kehidupan itu dengan cara baru agar mampu menjawab kebutuhan umat pembacanya. Tentu para pengarang itu juga memiliki ideologi pribadi mengenai tokoh yang ditulisnya itu. Dalam bahasa modern, para pengarang itu juga memiliki teologi mereka sendiri. Penulis Injil Markus, misalnya, menggambarkan bagaimana sulitnya menjadi murid Yesus. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk menanggung penderitaan dan berkorban banyak. Sebaliknya, Lukas lebih banyak menulis mengenai Yesus yang banyak memberi bantuan dan harapan bagi mereka yang miskin dan marjinal. Dalam Injil Lukas ini, digambarkan bagaimana sikap Yesus terhadap orang kaya sangat keras dan radikal. Sosialis tulen, kata Gustavo Gutierrez dan Leonardo Boff, pelopor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin.

Kalau proses terjadinya Alkitab seperti itu, maka pertanyaannya adalah apakah tradisi lisan dan tertulis yang begitu lama dan panjang tersebut tidak mendistorsi kebenaran Ilahi? Bukankah waktu yang lama membuat orang-orang-umat maupun pengarang-melupakan fakta secara tepat? Dari mana ada jaminan bahwa ingatan manusia mampu untuk menyimpan makna peristiwa-peristiwa itu tanpa cacat? Dari sisi ini, lalu bagaimana membedakan antara "apa yang tertulis" dengan "apa yang dimaui oleh si penulis"? Di sinilah sebenarnya masalah hermeneutika itu muncul. Di sini pulalah makna penting adanya berbagai metode penafsiran Alkitab.

***

BENTARA edisi No 2 Th 3 (lihat Kompas, 1 Februari 2002) telah memuat tulisan Ioanes Rakhmat berjudul Konflik Interpretasi Kitab Suci Kristen. Secara ringkas, dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta yang kini sedang studi doktor di Belanda itu, menguraikan beberapa metode terpenting dalam biblical criticism atau kritik Alkitab.

Disebutkan, misalnya, bahwa kebutuhan untuk mengetahui konteks sejarah si penulis teks telah melahirkan historical criticism. Sementara tradition criticism mencoba menelusuri tradisi-tradisi yang ada sampai pada yang paling awal. Terkait dengan metode ini ada pula yang disebut dengan form criticism, yaitu upaya menemukan life-setting berbagai bentuk tradisi yang ada pada tulisan-tulisan Alkitab. Tiga metode berikutnya, source/documentary criticism, redaction criticism, dan literary criticism, lebih merupakan metode yang memusatkan diri pada teks itu sendiri; sumber sastra apa saja yang dipakai oleh si penulis; bagaimana penulis menyunting karya-karyanya sesuai dengan kebutuhan serta jenis sastra apa saja yang dipakai oleh si penulis guna menuliskan gagasannya.

***

TULISAN ini tidak bermaksud menambah panorama metode penafsiran Alkitab. Yang ingin ditunjukkan adalah bahwa Alkitab itu ternyata tidak hanya mengandung banyak hal yang terkait dengan seni penafsiran. Alkitab itu sendiri adalah sebuah karya penafsiran,
a work of interpretation. Ia muncul karena ada konsensus antar-umat beriman-antara kelompok budaya Palestina-Yahudi (masa itu) dengan kelompok budaya Yunani-Roma-mengenai kepercayaan yang sama. Penafsiran kelompok-kelompok itulah yang membuat Alkitab menjadi pegangan hidup beragama bersama. Alkitab lalu menjadi sumber konsensus dalam masalah-masalah iman yang penting.

Watak konsensus yang terdapat pada Alkitab ini dengan sendirinya menuntut penafsiran yang pluralistik. Alkitab adalah sebuah simfoni suara (iman) yang menolak adanya penafsiran tunggal. Di sinilah menjadi sangat penting bahwa hermeneutika Alkitab harus selalu terkait dengan kehidupan tradisi Gereja Kristen, baik yang diwakili oleh tulisan para teolog kuno dan modern maupun oleh praksis kehidupan jemaat Kristen di masa lampau maupun di masa sekarang.

Dari sisi ini sungguh menarik apa yang dicanangkan oleh Konperensi Uskup-uskup Amerika Latin di Medellin, Kolumbia, tahun 1968. Dikatakan, hermeneutika yang baru adalah "menafsirkan Kitab Suci dari bawah, dari sudut pandang rakyat Allah". Hermeneutika baru itulah yang kemudian menjadi motor bagi gerakan teologi pembebasan Amerika Latin. Perjuangan para bekas budak Semit keluar dari cengkeraman Firaun Mesir untuk memasuki "tanah terjanji", misalnya, ditafsirkan sebagai perjuangan petani dan buruh Amerika Latin untuk merebut kembali lahan dan lapangan kerja yang telah dijarah oleh penguasa.

Salah satu ahli Alkitab yang juga menjadi pelopor gerakan Teologi Pembebasan, Juan Luis Segundo, bahkan punya pandangan yang lebih tajam. Ia mengatakan, "perubahan yang terus-menerus dalam cara kita menafsirkan Kitab Suci ditentukan oleh perubahan yang terus-menerus dari realitas hidup kita sehari-hari, baik perubahan yang bersifat individual maupun yang bersifat bersama". Untuk itu Segundo minta agar umat (Kristen) mencermati secara teliti perubahan hidup di sekitar mereka dan menafsirkan perubahan tersebut dalam konteks Alkitab. Apa akibatnya? Pada tahun 1970-an itu, di beberapa negara Amerika Latin, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, pemerintah setempat melarang rakyatnya untuk memiliki dan membaca Alkitab!

Tentu saja, provokasi intelektual yang disuarakan oleh para teolog macam Juan Luis Segundo itu bisa kebablasan tanpa kendali. Gereja tidak ingin umatnya menjadikan Alkitab sebagai "Buku Merah Revolusi", meski peranan semacam itu pernah muncul menjelang keruntuhan Kekaisaran Roma di akhir Abad Kedua.

Karena hal itulah, maka melalui berbagai dokumen yang dikeluarkan oleh Pontifical Biblical Commission (Komisi Kepausan Biblika), sebuah lembaga resmi dari Vatican yang khusus mengurus masalah-masalah Kitab Suci, dikeluarkan beberapa tuntunan (guidelines) mengenai tugas para ekseget (ahli Alkitab) Katolik. Empat hal harus diperhatikan: pertama, para ekseget harus menghormati watak sejarah Alkitab; kedua, para ekseget harus ingat bahwa yang mereka tafsirkan adalah Sabda Ilahi; segala hasil penafsiran harus dikaitkan dengan kebutuhan masa kini sembari memperhatikan penggunaan prinsip-prinsip hermeneutik yang benar; ketiga, sejauh mungkin, segala penafsiran harus memiliki makna Kristologis, artinya menempatkan tokoh Kurios Yesus Christos sebagi pusat acuan; dan keempat, para ekseget harus tetap menjelaskan keterkaitan antara Alkitab dengan Gereja.

***

URAIAN ini memang tidak ingin untuk menjawab historisitas para tokoh atau kebenaran dari berbagai peristiwa yang tertulis dalam Alkitab. Sebagai buku keagamaan, Alkitab memiliki kriteria tersendiri mengenai apa yang disebut sebagai kebenaran. Kebenaran tidak diartikan sebagai kebenaran faktual ilmu pengetahuan eksakta, tetapi dalam arti "kebenaran demi keselamatan manusia". Maknanya adalah bahwa Alkitab (yang dibaca, ditafsirkan, dan difahami secara menyeluruh) dapat diandalkan sebagai sarana bagi manusia untuk mengembangkan hubungannya dengan sesamanya dan dengan Allahnya.

Apakah ini berarti bahwa semua karya sastra yang baik, yang mampu membawa pembacanya beyond (di atas) kemanusiannya, memiliki kemungkinan untuk "menjadi" semacam kitab suci? Tanpa ciri Kristen tentu saja. Yang jelas, Alkitab itu hanya bermakna apabila diperlakukan secara manusiawi, karena sebagai karya ia juga menjadi bagian dari sejarah manusia itu sendiri, bahkan sebagai salah satu bagian yang paling penting. Konsensus adalah jiwa Alkitab. Dari pandangan ini, mungkin melalui penafsiran Alkitab secara benar, banyak masalah tidak harus diselesaikan dengan jalan menciptakan konflik atau konfrontasi. H Witdarmono wartawan Kompas

No comments: