Tuesday, March 31, 2009

Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW

Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW

Menuju Pembacaan Agama yang Profetik

Oleh Masdar Hilmy

PERINGATAN Maulid (kelahiran) Nabi selalu menjadi momen tepat untuk merefleksikan kembali keberagamaan kita. Ia bisa dikatakan sebagai upaya mengaca diri di hadapan "cermin besar" keteladanan Rasul dalam segala aspek kehidupannya yang tidak mesti dilakukan secara zakelijk, harfiah, atau sepotong-sepotong. Pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Jadi, yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan dan pelajaran hidup; bukan sekadar physical performance yang artifisial dan karikatif. Konsekuensinya, tidak semua perilaku Nabi-terutama yang bersifat fisik-harus dijiplak mentah-mentah, tanpa mempertimbangkan kesesuaian konteksnya.

Urgensi memunculkan kembali kesadaran profetik dalam ruang keberagamaan kita didasarkan pada sejumlah fenomena kehidupan yang makin menjauh dari semangat kenabian Muhammad, seperti kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Betapa di sekeliling kita sudah dipenuhi orang-orang yang konon beragama namun sama sekali tidak mampu memaknai keberagamaannya sendiri secara profetik. Kecintaan dan komitmen mereka terhadap agama dan Nabi tidak perlu diragukan, namun itu semua dibungkus fanatisme buta yang justru sering merugikan sendiri.

Mengharapkan agama mampu menjawab segala persoalan kontemporer, mungkin ibarat "mimpi di siang bolong", ketika persoalan inheren dalam agama sendiri belum terpecahkan. Logikanya, bagaimana agama mampu membebaskan umatnya dari seluruh persoalan yang ada, jika ia sendiri belum terbebaskan. Dalam kenyataannya, cara pembacaan umat beragama terhadap realitas agamanya masih amat simpel, jika bukan malah "primitif". Agama masih dibelenggu pandangan parokial berupa keterkungkungan teks yang diciptakan umatnya sendiri.

Dengan demikian, kesadaran profetik meniscayakan dua hal; membebaskan agama lebih dahulu, lalu mengontruksi agama yang membebaskan. Musuh yang melekat dalam diri agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal justru lebih berbahaya ketimbang musuh di luar dirinya. Di sinilah letak pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang makin rumit dan menantang.

Pembebasan agama

Obyek sekaligus subyek keberagamaan profetik adalah umat manusia (humankind) secara keseluruhan, tanpa kecuali. Persoalannya justru pembacaan terhadap agama sering menghalangi tercapainya misi profetik agama itu sendiri, yakni menjadikan mereka humanum (manusia sejati). Umat manusia, melalui pembacaan terhadap realitas agamanya, sering berbuat kerusakan yang merugikan manusia lain. Pembacaan terhadap agamanya masih teosentris (manusia untuk agama), belum antroposentris (agama untuk manusia). Cara pembacaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai pembacaan yang terbebaskan.

Pembacaan agama yang antroposentris, seperti ditegaskan Essack (1997), membawa pada dua implikasi. Pertama, pembacaan yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Kedua, pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan, bukan sebagian atau segelintir dari mereka.

Ide dasar umat manusia sebagai sebuah kunci hermeneutik, dengan demikian, memunculkan dua persoalan teologis klasik. Pertama, problem menyangkut the value of mankind sebagai pengukuran kebenaran. Jika seseorang menerima pemahaman dan peran umat manusia sebagai ukuran kebenaran, maka pertanyaannya, bisakah kita mengartikan bahwa kepentingan Tuhan itu identik dengan kepentingan manusia, atau sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini, tentu saja, mengikuti prinsip kebenaran relatif yang mengakui keberadaan multi-kebenaran, sebab kebenaran absolut hanya milik Tuhan.

Kedua, persoalan kepemilikan otentisitas pembacaan terhadap agama. Persoalan ini sering melahirkan perdebatan teologis yang panjang tentang siapa yang lebih otentik dalam melakukan pembacaan terhadap agamanya. Tidak seorang pun berhak memonopoli otentisitas pembacaan agama. Orang yang menganggap diri paling legitimate dalam melakukan pembacaan terhadap agamanya oleh Essack disebut telah melakukan hermeneutical promiscuity, perzinahan hermeneutik.

Dengan demikian, pembacaan terhadap realitas teks agama (Al Quran dan Hadis) harus ditakar dari, dan berpulang pada nilai-nilai kemanusiaan manusia sebagai obyek sekaligus subyek beragama. Meski mengusung kriteria kebenaran, upaya pembacaan itu harus diletakkan dalam kerangka tauhid (pengesaan Tuhan). Dengan cara demikian, umat Islam tidak perlu lagi terkungkung oleh teks-teks agama yang membelenggu aspek kemanusiaannya, dan ini prasyarat bagi terciptanya pembacaan profetik kedua; agama yang membebaskan.

Agama pembebasan

Misi profetik Nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Dengan begitu, Nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam proses pembebasan ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari
kondisi yang tidak diinginkan menuju kondisi yang diinginkan. Inilah yang telah dilakukan Nabi untuk masyarakat Arab pada awal-awal masa
kenabiannya.

Dalam pandangan Engineer (1990), pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan tiga jenis pembebasan. Pertama, pembebasan sosio-kultural. Sebelum Muhammad diutus Allah, struktur masyarakat Arab dikenal amat feodal dan paternal yang selalu melahirkan fenomena penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan; kelas terhormat yang menindas (syarif/the oppressor) dan kelas budak dan orang miskin yang tertindas (mustadh'afin/the oppressed).

Islam turun membawa pesan egalitarianisme di semua bidang kehidupan. Islam yang dibawa Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia berdasar warna kulit, ras, suku, atau bangsa. Yang membedakan mereka bukan hal-hal yang bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaannya
(QS. 48:13).

Konsep pembebasan yang dicetuskan 14 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja bagi masyarakat Arab, tetapi umat manusia secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan diskriminatif terhadap sesama. Konsep ini amat relevan diangkat kembali ke dalam konteks kehidupan mutakhir yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang berawal dari arogansi rasial, etnik, dan budaya. Artinya, dengan beragama kita hilangkan kemiskinan, kebodohan,
dan kezaliman, bukan
sebaliknya.

Kedua, keadilan ekonomi. Sejak diturunkan, Al Quran amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja (QS. 59:7), sementara orang miskin selalu tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, Al Quran juga menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (QS 2:219). Bagi mereka yang tertindas, Allah tidak saja telah menganjurkan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan, namun juga menjanjikan mereka kemenangan (QS. 28:5). Di negara kita, keadilan masih menjadi barang luxurious, terlebih bagi kalangan lemah-tertindas. Keadilan hanya milik kaum berpunya. Hal ini amat dirasakan manakala kita melihat kebijakan pembangunan yang selalu merugikan wong cilik.

Ketiga, sikap terhadap agama lain. Keterbukaan, toleransi, dan respek pada agama lain merupakan elemen liberatif lain dalam Islam. Al Quran telah membuat diktum secara tegas, tidak ada pemaksaan dalam beragama (QS 2:256), bagimu agamamu, bagiku agamaku (QS. 109:6), dan Al Quran telah mengajarkan penghormatan kepada semua Nabi yang diturunkan Allah ke dunia (QS. 4:150-51).

Namun pada kenyataannya, kondisi pluralisme keberagamaan kita masih memprihatinkan. Kecurigaan dan kebencian sering mewarnai hubungan antar-agama di Indonesia yang tak jarang berakhir konflik. Terbukti, sebagian besar kerusuhan sosial yang terjadi di Tanah Air, hampir semuanya melibatkan sentimen keagamaan, seperti kasus Situbondo (1996), Tasikmalaya (1997), Kupang (1997), Poso (2000), Mataram (2000), dan terakhir Ambon (1999-sekarang).

Dalam perspektif universalitas nilai-nilai kemanusiaan, pembacaan profetik terhadap agama akhirnya tidak bisa dihindarkan dari proses bersama pencarian kebenaran seluruh umat manusia melalui agama masing-masing. Agama yang profetik bukan agama yang memaksakan umatnya memasuki pintu tunggal menuju surga, sebab Tuhan telah membebaskan umatnya melakukan pembacaan terhadap agamanya sesuai kapasitas yang dimiliki.

MASDAR HILMY,Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumnus Pesantren Al-Hidayat Lasem Rembang

No comments: