Tuesday, March 31, 2009

MEMAHAMI PROYEK CHARLES KURZMAN*

MEMAHAMI PROYEK CHARLES KURZMAN*

Luthfi Assyaukanie**



Ketika kita di sini mulai menikmati “Islam Liberal” yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Charles Kurzman bakal segera meluncurkan buku keduanya yang ia beri judul “Islam Modernis” (Modernist Islam). Buku ini, menurut pengarangnya, hampir rampung dan jika tak ada halangan akan diterbitkan tahun ini atau awal tahun depan.

Sama seperti buku Liberal Islam, Modernist Islam merupakan buku rujukan (sourcebook) yang berisi tentang kumpulan tulisan dari berbagai intelektual Muslim yang dinilai oleh pengarangnya hidup dalam era modern. Jadi, kata “modernist” yang ia gunakan bukan dimaksudkan sebagai sebuah sikap keberpihakan terhadap modernisme. Tapi, semata-mata hanya merepresentasikan dunia modern.

Saya ingin memulai makalah ini dengan pilihan istilah yang digunakan Kurzman dalam dua bukunya tersebut. Pada bukunya yang pertama ia menggunakan istilah “liberal” dan pada bukunya yang kedua ia menggunakan “modernis.” Kedua istilah ini, saya kira, harus dipahami sebagai istilah generik yang berkonotasi netral. Dan sebaiknya tidak dipahami sebagai istilah teknis yang ketat, apalagi sebagai sebuah istilah baku yang mewakili sebuah aliran pemikiran.

Dengan memahami hal itu, saya kira, kita akan memahami lebih baik lagi apa yang dimaksudkan dengan kata “liberal” oleh Kurzman dalam bukunya yang sedang kita diskusikan ini. Kekeliruan dalam memahami buku dan istilah yang digunakan Kurzman, saya kira, diakibatkan ketidaktahuan terhadap proyek yang sedang dikerjakan oleh Sosiolog dari University of North Carolina itu.

Saya memahami liberalisme yang digunakan Kurzman hanya sebagai sebuah nomenklatur untuk mengekspresikan sebuah sikap tertentu yang ada dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan Kurzman sendiri, ia tidak terlalu peduli dengan istilah yang digunakannya. “Islam Liberal” hanyalah istilah untuk memudahkan kita menangkap satu wajah Islam yang progresif, toleran, inklusif, dan pluralis.

Beragamnya makna “liberal” yang digunakan Kurzman tercermin pada tiga model Islam Liberal yang diamatinya, yakni Syariah Liberal, Syariah Diam, dan Syariah Tafsir. Ketiga model ini menunjukkan bahwa liberalisme dalam Islam tidak satu. Ia bisa ditelusuri dan ditemukan dalam sumber otoritatif Islam (Syariah), bisa merupakan sesuatu yang diciptakan, dan bisa juga merupakan sesuatu yang ditafsirkan dari sumber-sumber otoritatif itu.

Dengan ketiga model itu, Kurzman dengan leluasa memilih para intelektual muslim yang dianggapnya liberal. Dan karena dasar liberalisme di sini adalah Islam itu sendiri, maka pilihan-pilihan Kurzman terhadap tokoh yang diangkatnya, kerap mengundang kontroversi. Misalnya, ia menganggap Yusuf Qardhawi sebagai seorang intelektual liberal yang didudukkan sejajar dengan Fatima Mernissi dan Mohammed Arkoun. Padahal banyak orang menganggap bahwa Qardhawi seorang tokoh tradisional, yang kalaulah tidak “konservatif” pastilah bukan seorang “liberal” dalam pengertiannya yang umum.

Satu hal yang perlu digarisbawahi menyangkut proyek liberalisme Kurzman adalah bahwa proyek itu, berbeda dengan kebanyakan proyek serupa yang dilakukan oleh peneliti Barat --seperti Leonard Binder dalam Islamic Liberalism misalnya—berusaha menggali nilai-nilai liberalisme dari akar budaya Islam sendiri, meskipun harus diakui istilah “liberal” dan beberapa interpretasinya, diwarnai oleh prasangka Barat.

Karena itu, Kurzman tak terlalu perduli dengan katagorisasi yang sebelum ini dibuat oleh sebagian penulis tentang kecenderungan-kecenderungan intelektual muslim menjadi modernis, tradisionalis, posmodernis, atau konservtif. Baginya, siapa saja yang mempunyai semangat liberalisme dalam pemikiran-pemikirannya, dapat dianggap sebagai bagian dari Islam Liberal.

Kurzman meyakini betul bahwa Islam pada bentuknya yang paling pasif (diam) bersifat liberal. Hal ini terbukti dengan begitu terbukanya agama ini dalam memberikan keleluasaan kepada kaum muslim untuk menentukan pilihan terbaik bagi urusan mereka. Dalam bidang politik misalnya, Kurzman mencontohkan bahwa diamnya syariah dalam persoalan ini mengilhami banyak pemimpin negara untuk menciptakan kreatifitas terhadap bentuk terbaik bagi sebuah sistem politik.

Kurzman memuji apa yang telah dilakukan oleh Ali Abd al-Raziq, intelektual Mesir yang dengan berani menyatakan bahwa tak ada rujukan yang jelas baik dalam Alquran maupun hadis tentang bentuk definitif untuk pengelolalan sistem politik sebuah negara. Pandangan Abd al-Raziq itu berangkat dari pemahaman terhadap syariah yang diam (silent sharia).
Batasan Liberalisme Islam. Ketika menggunakan istilah “Islam Liberal” Kurzman menyadari betul bahwa istilah ini terlalu luas dan tak bisa disederhanakan dalam sebuah definisi. Karena itu, ia menganjurkan kita agar memandang istilah ini sebagai alat bantu analisis dan bukan sebagai sebuah katagori yang mutlak (p. xiii).

Kita semua tahu bahwa istilah “liberal” di dunia Islam memiliki konotasi negatif. Ia selalu dikaitkan dengan gerakan liberalisme Barat yang berusaha menolak nilai-nilai lama dan membuka pintu seluas-luasnya bagi kreatifitas dan perubahan. Karena tidak ada batasan yang jelas terhadap kreatifitas dan perubahan itu, liberalisme kerap dianggap sebagai konsep “destruktif” yang berusaha menghancurkan nilai-nilai lama yang dianut orang banyak.

Penolakan sebagian kaum muslim terhadap gagasan liberalisme adalah karena ketakutan mereka terhadap kreatifitas dan perubahan yang tak memiliki batasan yang jelas itu. Tapi, bagi mereka yang telah mengetahui dan menyadari adanya batasan-batasan itu, mereka cenderung bersikap lebih liberal. Kurzman memberikan contoh bagaimana seorang seperti Yusuf Qardhawi bisa menjadi begitu “liberal” dalam soal toleransi dan penghargaan terhadap pandangan-pandangan yang berbeda (p. liv). Karena memiliki pemahaman dan batasan-batasan yang jelas tentang persoalan ini, Qardhawi bisa menjadi “liberal.” Tentu saja, tidak mudah mencari batasan-batasan liberalisme dalam Islam. Masing-masing orang memiliki persepsi dan pemahaman sendiri tentang batasan-batasan itu.
Empat Agenda Islam Liberal. Kurzman membagi bukunya kepada enam bagian (agenda) yang sesungguhnya merupakan tema-tema sentral yang didiskusikan oleh intelektual kaum muslim sejak awal era kebangkitan. Keenam agenda itu adalah Menentang Teokrasi, Demokrasi, Hak-Hak Perempuan, Hak-Hak Non-Muslim, Kebebasan Berpikir, dan Gagasan Tentang Kemajuan.

Dua agenda pertama, Teokrasi dan Demokrasi sesungguhnya adalah proyek intelektual yang sama, yakni menyangkut hubungan Islam dan politik, sedangkan agenda Kemajuan merupakan proyek yang secara implisit sudah menjadi gagasan setiap intelektual muslim. Dengan demikian, saya cenderung berpendapat bahwa agenda yang dibuat Kurzman sesungguhnya ada empat. Yakni, Demokrasi, Emansipasi, Pluralisme, dan Kebebasan Berpendapat.

Menyangkut agenda pertama, Kurzman menyatakan bahwa dari perspektif Islam Liberal, hubungan antara Islam dan politik sesungguhnya sudah selesai. Khususnya setelah wacana sistem pemerintahan sekular bukan hanya valid secara historis, tapi juga absah secara teologis. Ini bisa dilihat dari karya-karya ulama-intelektual muslim semacam Ali Abd al-Raziq, Muhammad Khalafallah, dan Mahmud Taleqani yang dengan penuh kesadaran menolak teokrasi sebagai bentuk dari politik Islam. Atau tokoh-tokoh semacam Muhammad Natsir, Mehdi Bazargan, dan Rachid Ghannouchi yang dengan tegas memilih demokrasi sebagai sistem paling ideal bagi politik Islam.

Menyangkut Agenda kedua, Kurzman menyatakan bahwa argumen terkuat menyangkut hak-hak kaum perempuan adalah Alquran. Pandangan-pandangan yang yang kerap kali merugikan hak-hak kaum perempuan bukan berlandaskan kitab suci Alquran, tapi bersumber pada prasangka-prasangka budaya, baik yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat sebagian ulama yang kebanyakan dikoleksi dalam kitab-kitab fikih.

Ayat-ayat Alquran yang mengakui persamaan dan sangat menghormati hak-hak manusia secara umum, terlepas dari perbedaan jenis kelamin mereka (lihat misalnya QS 33:35, QS 49: 13, QS 4: 1) seharusnya dijadikan dasar bagi doktrin-doktrin Islam menyangkut perempuan. Budaya hanyalah merupakan faktor pelengkap saja yang tidak mengikat secara mutlak. Dari sini, bahkan ayat-ayat yang mengandung muatan “sosio-kultural” tertentu pun darus ditafsirkan dan dikembalikan kepada ayat-ayat yang mengandung basis emansipasi itu.

Menyangkut agenda ketiga, Kurzman menegaskan bahwa kaum muslim secara historis telah lama hidup berdampingan dengan saudara mereka dari lain agama. Komunitas awal Madinah yang dipimpin Nabi bisa dijadikan model kehidupan bermasyarakat yang pluralis. Dalam model masyarakat ini, Islam diposisikan sebagai agama yang toleran dan inklusif. Sebuah kesepakatan yang dikenal dengan “Piagam Madinah” adalah bukti dari adanya praktik toleransi itu.

Dalam salah satu artikel yang dimuat Kurzman dalam bukunya, intelektual Turki, Ali Bulac, menulis kembali tentang Piagam Madinah dan menjelaskannya dalam semangat kehidupan beragama yang toleran dan pluralis. Namun, menurut Kurzman, bukan hanya kenyataan historis ini yang menguatkan prinsip-prinsip pluralisme Islam, tapi ayat-ayat Alquran seperti terkandung dalam Q.S. 2: 62, Q.S. 5: 69, dan QS 3: 64, baik secara implisit maupun terang-terangan, mendukung dan menganjurkan hubungan baik antar umat beragama.

Menyangkut agenda yang terakhir, Kurzman dengan sadar menyatakan bahwa persoalan kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir adalah masalah baru yang yang dihadapi kaum muslim. Tapi akar dari persoalan ini bisa ditelusuri dari konsep ijitihad yang menjadi kata kunci bagi kebebasan berpikir. Persoalan utama yang masih tersisa dalam ijtihad adalah siapakah yang berhak melakukannya dan sejauh manakah batasan-batasannya.

Menurut Kurzman, ada dua pendekatan yang dilakukan intelektual muslim dalam memandanga persoalan ini. Pendekatan pertama adalah lewat “Syariah Liberal.” Yakni bahwa masalah kebebasan berpendapat adalah masalah yang sangat prinsipil bagi manusia. Karena kebebasan adalah raison d’etre dari keberadaan manusia di dunia ini, maka Tuhan bukan hanya menganjurkan manusia untuk bebas, tapi Tuhan juga tak mampu mencegah seseorang untuk berpendapat (Q.S 2:30). Kebebasan berpendapat adalah anugerah Tuhan dan properti yang paling berharga bagi manusia.

Pendekatan kedua adalah pendekatan “Syariah Diam.” Yakni bahwa Islam tak pernah berbicara secara detil soal siapa yang berhak memiliki kebebasan berpendapat dan apa saja yang boleh atau tidak boleh dibicarakan. Karena ketiadaan rujukan itu, kaum muslim dapat mempraktikkan kebebasan berpendapat. Adapaun batasan-batasannya diatur dalam undang-undang atau peraturan yang berlaku dalam sebuah komunitas atau negara.
Beberapa Catatan. Untuk mengakhiri makalah ini, saya memiliki beberapa catatan kritis terhadap buku dan proyek Islam Liberal yang sedang dikerjakan Kurzman.

Pertama, tanpa mengurangi penghargaan dan jerih-payah yang telah dilakukan pengajar sosiologi agama di Universitas North Carolina, AS, itu, saya melihat bahwa buku Islam Liberal bukanlah buku rujukan yang dapat mewakili gagasan-gagasan pemikiran para kontributornya secara utuh.

Pilihan Kurzman terhadap artikel-artikel yang dimuat dalam bukunya, lebih didasarkan pada availibilitas teks Inggris. Tulisan-tulisan lain intelektual muslim yang lebih penting kerap diabaikan, hanya karena ia tidak memiliki akses kepada bahasa aselinya. Itu terlihat misalnya pada Nurcholish Madjid yang diwakili oleh sebuah artikel yang ditulisnya pada awal tahun 70-an. Padahal, ada beberapa tulisan Cak Nur yang lebih baru dan lebih penting ketimbang artikel tersebut.

Kedua, pilihan Kurzman terhadap tokoh yang dimuat dalam kumpulan tulisannya itu, tentu saja, mengundang kontroversial. Orang akan sangat mudah mempertanyakan mengapa tokoh semacam Hassan Hanafi atau Nawal Saadawi (mewakili kawasan Arab) tidak dimasukkan, sementara Yusuf Qardhawi bersanding mesra dengan Muhammad Arkoun dan Abdullah Ahmad Na’im. Begitu juga, pilihan terhadap Benazir Bhutto (mewakili tokoh politik) cukup mengherankan dengan menghilangkan nama Anwar Ibrahim yang kita tahu, dalam hal tulisan, mantan wakil PM Malaysia itu lebih produktif.

Ketiga, absennya tema-tema spiritualitas atau spiritualisme. Kritik ini sering dilontarkan oleh beberapa pemerhati spiritualisme. Kita tahu bahwa banyak sekali sisi-sisi liberalisme dalam tasawuf Islam, khususnya tasawuf teoritis (untuk membedakannya dari tarekat) seperti yang diperlihatkan oleh Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Suhrawardi. Absennya tema ini, membuat hilangnya beberapa nama intelektual muslim yang memang cukup populer dan berpengaruh dalam bidang ini, seperti Sayyed Hossein Nasr (Iran) dan Sayyed Naquib al-Attas (Malaysia).

Penutup. Terlepas dari berbagai kelemahan yang terkandung dalam buku dan proyek Kurzman, Islam Liberal adalah tawaran wacana yang perlu mendapat sambutan. Di tengah keringnya pemikiran keislaman sejak beberapa tahun belakangan, di Indonesia khususnya, kehadiran Islam Liberal bisa dijadikan model alternatif bagi wacana keislaman dan keindonesiaan di masa depan. Kalau sebelumnya, kajian keislaman didekati lewat pendekatan katagoristik (modernisme, tradisionalisme, postmodernisme, fundamentalisme) maka dengan wacana ini, tema-tema keislaman bisa dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh.

Islam Liberal, dengan segala tingkat dan corak liberalismenya, bisa dijadikan model untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam di masa depan. Di tengah tuntutan kehidupan yang semakin plural dan global, kita membutuhkan satu wacana yang dapat menghadirkan sebuah alternatif Islam yang lebih progresif, inklusif, dinamis, toleran, dan pluralis. Dan rumusan untuk itu semua, saya kira, hanya ada dalam Islam Liberal.

* Disampaikan pada diskusi buku “Liberal Islam: A Sourcebook” karya Charles Kurzman di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Kamis, 27 September 2001.

** Staf pengajar di Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, Jakarta.

No comments: