ateis dalam Islam: Menggugat Peran Wahyu dan Kenabian
ADALAH Ibn Tufail, seorang filosof Islam yang menulis sebuah kitab berjudul Hay Ibn Yaqzan. Kitab ini dianggap sebagai warisan paling unik yang ditinggalkan oleh seorang ahli filsafat Islam pada masa kejayan Islam klasik.
Yang menarik dalam buku ini adalah Ibn Tufail berusaha menerangkan bagaimana manusia mempunyai potensi untuk mengenali Allah. Allah dapat diketahui melalui akal dan penelitian terhadap alam sekitarnya.
Dengan mengemukakan hal itu, Ibn Tufail ingin merangkai satu sistem filsafat berdasarkan pada perkembangan pemikiran pada diri manusia. Beliau berusaha mengungkap hubungan antara manusia, akal, dan Tuhan. Untuk itu, Ibn Tufail memakai profil seorang Hay ibn Yaqzan. Hay ibn Yaqzan hidup di sebuah pulau di Katulistiwa sebagai percampuran dari empat unsur kehidupan, panas, sejuk, kering, dan basah.
Ternyata Hay ibn Yaqzan bisa hidup di daerah terpencil dan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan bimbingan akal dan bantuan pancaindera.
Hay ibn Yaqzan tidak pernah mengenali orang tuanya. Tapi, alam memberinya seekor kijang yang menyusui dan memberinya makan. Setelah dewasa, Hay ibn Yaqzan mengarahkan pandangannya terhadap perkara yang ada di sekitarnya.
Di sini, dia mulai membahaskan tentang kejadian dan rahasia perubahan yang berlaku di sekelilingnya. Hay ibn Yaqzan beranggapan bahwa di sebalik alam terdapat sebab tersembunyi yang menadbir dan membentuknya. Lalu, ia membahas dan menganalisis sesuatu perkara sehingga mampu mengetahui bahwa kebahagian dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada hubungannya dengan Allah. Dengan contoh Hay ibn Yaqzan, Ibn Tufail menguraikan filsafatnya.
Ateiskah Hay ibn Yaqzan karena mengenal Allah tidak melalui nabi utusan-Nya dan wahyu pemberian-Nya, tetapi lewat akal pikiran dan penelitian terhadap alam sekitarnya?
Jika ateis didefinisikan tidak mengakui keberadaan Tuhan, maka Hay ibn Yaqzan bukan termasuk katagori ateis. Tetapi, bagaimana jika ada kategori seorang manusia dianggap ateis karena penolakannya terhadap kenabian dan wahyu Tuhannya?
Bila menggunakan parameter kedua ini, maka Hay ibn Yaqzan adalah seorang ateis karena mengakui Tuhan tetapi tidak mengakui nabi dan wahyu Tuhan. Logikanya, jika Hay ibn Yaqzan ateis, maka pemahaman Ibn Tufail pun bersifat ateistik. Lebih jauh bisa jadi Ibn Tufail termasuk kategori ateis.
Pertanyaan kedua, Ibn Tufail seorang muslim, apakah dalam rekaman sejarah Islam ada tradisi ateis? Pertanyaan ini agak janggal kedengarannya, namun itulah yang ingin diungkapkan oleh sebuah buku baru karya seorang ahli filsafat Islam Maroko, Abdurrahman Badawi dalam karyanya Min Tarikh al-Ilhad fi al-Islam.
Buku ini telah diindonesiakan oleh Khoiron Nahdiyyin dengan judul Sejarah Ateis Islam; Penyelewengan, Penyimpangan, dan Kemapanan. Buku setebal 252 halaman ini diterbitkan LKis Yogyakarta, Juni 2003.
Bagaimana mungkin agama (Islam) yang berprinsip tauhid memiliki katerkaitan dengan penegasian Tuhan yang satu? Tetapi kata ateis yang dipakai dalam buku ini terjemahan dari bahasa Arab ilhad, meskipun pengalihbahasan ini tidak tepat mengingat arti kata ateis mengakui pada penyimpangan atau pengingkaran terhadap agama di satu sisi, dan tidak mengakui eksistensi Tuhan, pada sisi yang lain.
Jadilah tema bahasan dalam buku ini menyimpang dari judulnya, karena ternyata ateis yang dimaksud dalam seluruh penjelasan karya ini adalah pengingkaran terhadap kenabian, bukan penolakan pada Tuhan sebagaimana makna hakiki ateis.
Menggugat peran nabi
Terlepas dari itu, buku ini mencoba menelusuri tradisi ateis (dalam pengertian menolak kenabian) dalam sejarah Islam. Sang pengarang, Abdurrahman Badawi, menemukan sosok ateis pada Ibn al-Muqaffa, Ibn ar-Rawandi, Jabir Ibn Hayyan, dan Ibn Zakariya ar-Razi.
Namun, Abdurrahamn Badawi tidak memasukkan Ibn Tufail pada kategori ini walaupun memiliki teori yang relatif tidak berlainan dengan ketiga tokoh yang diangkat ini. Yakni, mengagungkan akal pikiran manusia sehingga tidak memberi ruang bagi nabi dan wahyu dalam menemukan kebenaran (Tuhan).
Beberapa alasan yang digunakan Ar-Razi untuk menolak kenabian ini adalah, pertama, dengan akal kita cukup untuk dapat mengetahui yang baik dan jahat, yang berguna dan membahayakan dalam kehidupan manusia. Selain itu, hanya dengan akal kita sudah cukup untuk mengenal rahasia-rahasia ketuhanan. Demikian pula, hanya dengan akal kita sudah cukup untuk mengatur persoalan-persoalan kehidupan, mencari ilmu, dan pekerjaan.
Dengan demikian, untuk apa kita membutuhkan kelompok manusia yang diberi keistimewaan untuk memberikan petunjuk kepada manusia mengenai semua itu.
Kedua, sungguh tidak bermakna memberikan kelebihan kepada sebagian manusia berupa tugas memberi petunjuk kepada seluruh manusia. Mengapa? Hal itu karena semua orang dilahirkan dalam keadaan sama akal dan kepandaiannya. Jadi, perbedaannya bukan terletak pada bakat-bakat bawaan, melainkan terletak pada pengembangan, pengarahan, dan pembinaan terhadap bakat-bakat tadi.
Ketiga, di antara para nabi terjadi perbedaan. Selama sumber mereka sama, yaitu Allah, menurut pengakuan mereka, berarti perbedaan di antara mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mengatakan menurut kebenaran. Pada gilirannya, kenabian tidak dapat diterima.
Sementara Ibn ar-Ruwandi yang berani mengguncang salah satu sendi utama Islam, yaitu teori kenabian dalam berbagai kutipan diambil dari az-Zumurruz yang masih tetap terpelihara secara baik dalam al-Majalis al-Muayyadah, mengatakan penolakan terhadap teori kenabian karena ia mengacu sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, seperti salat, mandi besar, melempar batu (jumrah), tawaf di sekeliling Kabah yang tidak dapat mendengar dan melihat, serta lari-lari di antara batu yang tidak memberi manfaat dan kemudaratan.
(Dudi Sabil Iskandar/R-3)
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment