Membangun Generasi Pasca-NU dan Muhammadiyah
Oleh Zuly Qodir
PEMILU 2004 masih menyisakan waktu, kira-kira dua tahun lagi jika dilangsungkan Juli 2004. Meski demikian, tidak berarti bangsa ini harus terpana dengan segala persiapan ritual lima tahunan semata, yang bersifat pengerahan massa, dan pembentukan tim sukses pemenangan pemilu. Ini semua memang penting, namun ada yang lebih penting lagi dipikirkan oleh semua elemen bangsa ini, yakni membina terwujudnya generasi yang tidak lagi berpikiran sektarian, parokial, dan fanatis organisasi sehingga tidak vested interest minded.
Generasi yang tidak berpikiran sektarian, parokial, dan fanatis organisasi inilah yang menurut hemat saya nanti akan menjadi kader-kader terbaik bangsa. Mereka itulah yang akan mampu mengemban amanat rakyat bila harus tampil menjadi seorang leader.
Pemimpin bangsa memang harus berwawasan luas, cerdas, tidak fanatis, sektarian, dan parokial. Ini penting karena pemimpin yang bermental fanatis, sektarian, dan parokial dengan mudah melakukan diskriminasi dan bertindak rasialis atas warganya. Karena itu, pemimpin semacam ini harus dihindarkan sejauh-jauhnya di masa depan.
Mungkinkah generasi pasca-Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah-bila istilah ini boleh saya gunakan untuk menamakan generasi yang tidak sektarian, parokial, dan fanatis-sebagai generasi yang akan mampu menyelamatkan bangsa ini dari kebangkrutan? Mungkin ada penamaan lain tentang hal ini, seperti generasi pascamodern, atau generasi pasca-Indonesia. Tetapi, dalam tulisan ini saya tidak akan memperdebatkan generasi-generasi itu. Saya ingin memfokuskan diri pada generasi yang saya namakan generasi pasca-NU dan Muhammadiyah.
Kondisi pendukung
Untuk mewujudkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak fanatis, sektarian, dan parokial, sekurang-kurangnya ada beberapa kondisi sebagai prasyarat pendukung.
Pertama, berkembangnya pemikiran keagamaan yang terus meluas. Perkembangan pemikiran keagamaan di dunia, pada akhirnya diakui atau tidak, langsung atau tidak, telah dirasakan pengaruhnya di Tanah Air. Perkembangan pemikiran keagamaan terutama berpengaruh di kalangan generasi muda, baik di kelompok Kristen, Katolik, maupun Islam.
Khusus di kalangan Islam, sampai sekarang telah berkembang jauh melampaui generasi-generasi pemikir sebelumnya, seperti kelompok Nurcholish Madjid dengan neomodernisme Islam (baca: mazhab Ciputat), generasi kelompok limited groups A Mukti Ali cs, generasi Islam transformatif Moeslim Abdurrahman, M Dawam Rahardjo, dan Kuntowidjoyo, serta generasi modernis kelompok Amien Rais, A Syafii Maarif, dan M Imadduddin Abdurrahim.
Generasi muda Islam telah mengelaborasi pemikiran-pemikiran bercorak liberal, dan post-tradisional dengan kiblat para pemikir-pemikir Muslim dan Kristen/Katolik. Apa yang terjadi di lingkungan Komunitas Utan Kayu (KUK) dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya merupakan fenomena kelompok generasi yang sungguh mampu memberi warna dan situasi baru peta pemikiran keagamaan (baca: keislaman Indonesia) mutakhir. Liberalisme Islam menjadi mazhab baru pemikiran Islam Indonesia.
Kedua, era pascadeideologisasi agama, era ideologisasi agama, Islam khususnya yang berlangsung sepanjang rezim Orde Baru, tampaknya perlahan-lahan mulai ditinggalkan para politisi yang datang berikutnya. Apabila era Orde Baru di bawah Soeharto, Islam sebagai basis utama legitimasi kekuasaannya, maka sejak BJ Habibie sampai sekarang ideologisasi Islam sedikit mengalami perubahan, terutama di kalangan politisi muda yang berpikiran kritis, bukan sekadar ingin meraih kekuasaan.
Era deideologisasi agama ini cukup relevan bagi perkembangan politik Indonesia guna menyiapkan Pemilu 2004, yang menurut beberapa pengamat akan tetap diwarnai isu agama. Pengamat Ichsan Malik dari Fakultas Psikologi UI, misalnya, mengatakan, Pemilu 2004 akan diwarnai isu agama sehingga memungkinkan terjadinya konflik horizontal.
Namun, pernyataan ini ditolak Rocky Gerung dari PIB karena potensi konflik Pemilu 2004 sebenarnya terletak pada adanya krisis konstitusi, dengan digulirkannya perubahan Pasal 29 UUD 1945 sehingga mengundang perdebatan sengit yang seakan-akan perdebatan agama. (Kompas, 29/6/02)
Kiranya, apa yang dikemukakan Ichsan Malik bahwa konflik pemilu akan berkait dengan isu agama secara implisit menunjukkan kalau agama tidak lagi menjadi variabel utama, apalagi untuk menggaet suara terbanyak dalam Pemilu 2004. Bukti tentang hal ini telah jelas pada kita, bagaimana nasib partai-partai politik berlebel agama pada Pemilu 1999. Mereka merana dalam meraih suara pemilih.
Partai-partai berlabel agama kalah jauh dibanding partai-partai non-agama, atau disebut partai "nasionalis" dan pluralis, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Partai yang berlabel agama hanya Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan yang mampu merebut suara cukup signifikan dalam Pemilu 1999.
Ketiga, tumbuhnya kelompok-kelompok gerakan interfaith. Gerakan ini banyak bermunculan setelah bangsa ini dilanda krisis dahsyat pertengahan tahun 1997, dan kini masih subur. Gerakan interfaith muncul seakan hendak "menjawab" masalah bangsa yang demikian berat, seperti sedang sekarat. Keadaan bangsa yang amat sulit menyelesaikan masalahnya sendiri, apalagi negara terjerat utang demikian hebat dan skandal korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menggurita, kian memperteguh munculnya kelompok alternatif menyelamatkan bangsanya dari kebangkrutan.
Gerakan interfaith muncul pada saat amat tepat. Memang tidak semua masalah bisa diselesaikan, namun paling tidak telah menumbuhkan semangat solidaritas di antara sesama warga negara dari berbagai agama, suku, etnis, dan jenis kelamin. Pergaulan lintas etnis dan lintas agama menjadi bagian tak terpisahkan gerakan interfaith.
Dengan demikian, intensifnya gerakan interfaith untuk bertemu, berdiskusi, berdebat, dan bertukar pikiran telah meletakkan dasar-dasar tumbuhnya sebuah generasi yang mampu menghargai perbedaan, berpikir kritis, berpikir multitrack, dan mampu membaca situasi secara dini. Kemampuan early warning system bisa dikatakan menjadi trade mark gerakan interfaith yang belakangan menjamur di Tanah Air.
Gerakan interfaith kebanyakan adalah generasi muda, rata-rata umurnya 20-35 tahun, tanpa mengabaikan beberapa aktivis yang sudah berumur di atas 40 tahun. Namun, yang ingin saya katakan adalah gerakan interfaith telah menumbuhkan satu komunitas yang amat penting dalam wacana pemikiran keagamaan di Tanah Air.
Salah satu keunikan gerakan interfaith adalah para aktivisnya kebanyakan berlatar belakang pendidikan ilmu-ilmu sosial, atau pernah di IAIN khususnya Fakultas Ushuluddin. Amat jarang yang berlatar belakang ilmu-ilmu eksakta. Yang lebih penting lagi dari gerakan interfaith adalah mereka berlatar belakang aktivis NGO, selain sebagai staf pengajar di universitas/perguruan tinggi.
Dengan latar belakang seperti itu, tidak heran bila wacana yang dikembangkan sebagai misi utamanya adalah kemanusiaan, bukan wacana doktrinal. Mereka bisa bertemu dalam soal-soal perbedaan agama, tetapi tetap memiliki komitmen kemanusiaan yang amat tinggi. Terutama saat melihat bangsanya sedang sekarat seperti sekarang.
Generasi pasca-NU dan Muhammadiyah
Dengan tiga instrumen pendukung itu, sebenarnya optimisme untuk tumbuh dan berkembangnya sebuah generasi pasca-NU dan Muhammadiyah bukanlah mustahil. Generasi pasca-NU dan Muhammadiyah bila boleh saya elaborasi lebih jauh, selain tidak berpikiran sektarian, parokial, dan fanatis, juga merupakan generasi yang secara cermat mampu merespons masalah-masalah bangsa dengan segera, jernih dan tidak hitam putih. Mereka tidak berpikiran formalis, syari'ah.
Generasi pasca-NU dan Muhammadiyah yang didambakan merupakan generasi yang bisa dibilang telah melampaui hal-hal yang sifatnya ritualisme, baik ritualisme agama, apalagi ritualisme organisasi dan politik. Ritualisme agama hanya dipandang sebagai instrumen mendekatkan diri pada Tuhan, bukan dipandang sebagai yang paling asasi dari agama itu sendiri. Sementara itu, ritualisme organisasi dan politik bahkan ditinggalkan karena hanya akan menjadikan dirinya sebagai manusia kerdil, ingin menang sendiri, tidak melihat ada komunitas lain yang mungkin lebih baik atau bisa diajak bekerja sama, dan sebagainya.
Apabila generasi pasca-NU dan Muhammadiyah benar-benar terwujud, maka apa yang pernah ditakutkan akan adanya "pertobatan" massal oleh Muhammadiyah atas kaum nahdliyin tidak akan terjadi. Demikian pula, ejekan-ejekan dari kaum nahdliyin bahwa Muhammadiyah itu kering kebudayaan/tradisi dan wirid, tidak akan muncul. Bahkan, yang akan muncul di tengah masyarakat kita adalah generasi yang benar-benar mampu memberi rasa aman, damai, dan selamat sentosa atas sesama, bukan menebarkan ancaman.
Dengan terkuburnya sikap fanatis, parokial, dan sektarian, secara pasti akan terkubur pula fanatisme ritual organisasi dan politik. Dari sana yang akan berkembang adalah kerja sama antargenerasi, baik dari komunitas NU maupun Muhammadiyah. Bahkan, mungkin akan tumbuh kesadaran bersama untuk meleburkan diri dalam dua komunitas sekaligus. Suatu saat menjadi NU, tetapi pada saat yang sama bisa menjadi Muhammadiyah. Pendek kata, organisasi tidak lagi menjadi wahana percekcokan yang dibungkus ritual agama.
Recokan-recokan antar-organisasi politik maupun keagamaan seperti pernah terjadi saat Abdurrahman Wahid lengser, sebenarnya menjadi bukti betapa rendahnya mentalitas kita dalam berorganisasi dan berpolitik. Berorganisasi dan berpolitik tetap tidak memiliki kedewasaan berpikir dan bersikap sehingga mengharapkan berkembangnya demokrasi dari para politisi semacam itu jauh api dari panggang, untuk tidak mengatakan tidak mungkin.
Apa yang menjadi bagian penting dari generasi pasca-NU dan Muhammadiyah adalah kerja sama itu sendiri, baik kerja sama kultural maupun kerja sama struktural. Antara satu dengan yang lain tidak saling menjungkalkan, atau saling meniadakan. Bila generasi semacam ini benar-benar tumbuh, agaknya ketakutan adanya ancaman konflik yang muncul dari isu agama dalam Pemilu 2004 akan terminimalisir.
Politisi-politisi yang tetap akan "memakai isu agama" dalam Pemilu 2004 bisa dikatakan dengan tegas sebagai politisi kampungan, dengan harga yang amat murah; mereka tidak ada lain kecuali haus kekuasaan, dan akan mengadu domba antarsesama warga negara demi ambisinya. Tetapi, bila bangunan generasi pasca-NU dan Muhammadiyah benar-benar mapan, politisi-politisi model seperti itu pasti akan gigit jari; tidak laku. Maka, bersiaplah membangun generasi pasca-NU dan Muhammadiyah sejak sekarang, menuju Pemilu 2004; demi membangun bangsa ini lebih cerah dan sejahtera.
Zuly Qodir Peneliti DIAN/Interfidei, Yogyakarta
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment