Tuesday, March 31, 2009

Hisab, Rukyat, dan Perbedaan

>Rabu, 14 November 2001

Hisab, Rukyat, dan Perbedaan
Hendro Setyanto


RAMADHAN merupakan bulan penuh berkah. Di dalamnya ada beribu hikmah yang dijanjikan Allah bagi mereka yang beriman agar menjadi hamba yang bertakwa. Amat disesalkan bulan yang penuh rahmat itu senatiasa diawali kekhawatiran dan tanda tanya akankah kita bersama-sama mengawali dan mengakhiri bulan suci itu.

Dalam perspektif penanggalan Hijriyah, Ramadhan merupakan bulan kesembilan dari 12 bulan yang ada. Penanggalan Hijriyah merupakan salah satu sistem penanggalan yang didasarkan pada siklus gerakan Bulan mengelilingi Bumi. Penentuan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah didasarkan pada penampakan hilal (rukyat hilal), yaitu sabit bulan pertama yang terlihat setelah konjungsi terjadi. Kriteria penampakan hilal ini pada dasarnya menuntut pengetahuan mendalam tentang pergerakan dan penampakan Bulan.

Persoalan awal bulan

Kriteria penampakan hilal atau rukyat hilal pada penanggalan hijriyah merupakan pangkal perbedaan dalam penentuan awal bulan. Sebagian ulama menerjemahkan kalimat rukyat hilal secara letterlijk (lughowi). Yang lain, seperti Muhammadiyah, memaknai rukyat hilal dengan wujudul hilal. Dari perbedaan interpretasi rukyat hilal saja telah memberi konsekuensi perbedaan yang pasti terjadi. Sebagai penengah kedua golongan itu muncul konsepsi imkan rukyat, di mana awal bulan ditetapkan pada kemungkinan penampakan hilal. Konsepsi ini digunakan NU, Persis, dan Pemerintah. Konsepsi imkan rukyat atau visibilitas hilal sendiri belum menjamin terjadinya kesatuan dalam penetapan awal bulan Hijriyah, sebab tiap kelompok imkan rukyat mempunyai kriteria dalam menetapkan batas visibilitas hilalnya. Amat disayangkan kelompok-kelompok itu belum melakukan kajian serius-sistematis dan logis-tentang kriterianya.

Dari beragamnya metoda untuk menghitung posisi Bulan juga menimbulkan perbedaan. Bahkan hingga kini metode yang menggunakan tabel kuno (zaman Ulugh Beg 1394-1449) masih tetap digunakan. Dari beberapa metoda itu pasti akan menghasilkan angka yang bisa sama dan bisa berbeda, tentu saja hisab dengan metoda astronomi modern mempunyai hasil yang mendekati kebenaran. Ungkapan mendekati kebenaran dilandaskan pada pemahaman, metode didasarkan pada sebuah model dari sistem yang sebenarnya. Perhitungan astronomi terbukti mempunyai akurasi hingga orde detik. Keakurasiannya dalam menentukan gerhana merupakan bukti nyata kebenaran model yang digunakan.

Perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat itu diperparah sikap pemerintah yang tidak konsisten dalam menjalankan ketetapan yang telah disepakati bersama. Ketidakkonsistenan itu seakan sengaja memelihara dan melestarikan perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat. Mengapa pemerintah tidak konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat, baik dalam lingkup dalam negeri maupun dalam lingkup regional MABIMS (Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura)? Tentunya pemerintah sendiri yang dapat menjawab. Tetapi sebagai seorang warga, saya melihat ketidakkonsistenan pemerintah sering disebabkan suasana politik yang tengah terjadi.

Penetapan awal Syawal 1421 H dan Idul Adha 1421 H merupakan contoh nyata ketidakkonsistensian pemerintah dalam menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Meski posisi hilal ada di bawah kriteria, pemerintah tetap menjadikan posisi hilal sebagai acuan dalam menetapkan awal bulan Syawal 1421 H dan Dzulhijjah 1421 H.

Hilal awal Ramadhan 1422H

Tanggal 29 Sya'ban 1422 H bertepatan dengan tanggal 15 November 2001, berarti pelaksanaan rukyat hilal dilakukan sore hari (saat Magrib) tanggal 15 November 2001. Kondisi hilal saat itulah yang akan menentukan awal bulan Ramadhan 1422 H. Akankah Hilal terlihat pada saat itu?

Menurut perhitungan astronomis posisi hilal tanggal 15 November 2001 saat matahari tenggelam untuk Pos Observasi Hilal Pelabuhanratu adalah sbb:

Berdasarkan kriteria imkan rukyat yang telah disepakati dengan pemerintah, tinggi minimal dua derajat dan usia bulan delapan jam dari ijtimak, hilal tanggal 15 November 2001 tidak dapat terlihat. Secara astronomis, sabit bulan dengan posisi seperti itu tidak mungkin terlihat, sehingga jika ada pengakuan rukyat hilal maka harus ditolak karena obyek yang dilihat bukan hilal tetapi obyek lain yang disangka hilal. Karena itu, awal Ramadhan bertepatan dengan tanggal 17 November 2001.

Meski demikian, mereka yang menganut konsep wujudul hilal atau ijtimak qobla ghurub tetap akan melaksanakan puasa tanggal 16 November 2001. Bagi mereka, meski hilal tidak terlihat konjungsi telah terjadi sebelum matahari tenggelam dan pergantian hari dalam kalender hijriyah didasarkan pada tenggelamnya Matahari. Melihat situasinya, perbedaan awal Ramadhan 1422 H akan tetap terjadi kecuali jika terjadi kompromi untuk mengawali Ramadhan 1422 H.

Mengapa harus sama

Selama ini telah berkembang di masyarakat, berbeda dalam memulai dan mengakhiri puasa merupakan hal yang tabu dan tercela. Sebagian kelompok masyarakat bahkan menginginkan ibadah puasa dan Shalat Ied dilaksanakan serentak di seluruh dunia, tidak sekadar se-Indonesia. Bagi kelompok itu kebersamaan dalam melaksanakan puasa dan Shalat Ied merupakan kewajiban. Mungkinkah kebersamaan itu dicapai?

Secara astronomis, tuntutan kebersamaan dalam sebuah kawasan, seperti MABIMS, merupakan harapan yang mungkin dicapai. Sedangkan tuntutan kebersamaan untuk seluruh dunia merupakan mimpi yang mustahil karena bertentangan dengan konsep penanggalan hijriyah sendiri dan setiap daerah mempunyai kawasan waktu yang berbeda.

Apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini merupakan usaha untuk mendapatkan unifikasi penanggalan hijriyah. Tetapi, apa yang telah dilakukan pemerintah dengan BHR, Muker, Seminar, dan Pelatihan Hisab-Rukyat seakan menjadi sia-sia saat kesatuan awal dan akhir Ramadhan tidak dicapai. Pemerintah selaku qadhi dalam menetapkan awal bulan hijriyah hendaknya mempunyai kriteria unik yang didasarkan penelitian ilmiah, bukan didasarkan kesepakatan unsur-unsur yang ada pada masyarakat. Ini bukan berarti mengabaikan unsur masyarakat itu. Unifikasi penanggalan hijriyah serasa mustahil selama hal itu tidak ditangani oleh mereka yang benar-benar ahli, baik ahli hisab maupun ahli rukyat, bukan oleh mereka yang sekadar tukang hisab dan tukang rukyat.

Selama konsistensi dan penelitian ilmiah tidak dilakukan oleh pemerintah, unifikasi penanggalan hijriyah tidak akan pernah dicapai. Karena itu, lebih baik usaha yang selama ini dirintis untuk menyamakan dan menyatukan persepsi, diubah menjadi penyadaran dan penjelasan tentang perbedaan yang merupakan keharusan dan belum dapat dielakkan. Kesamaan dalam memulai awal bulan tidak akan pernah terwujud selama tiap golongan berpijak pada pemahamannya sendiri tanpa pernah mendiskusikannya secara sistematis-logis. Kalaupun kesamaan terjadi, semata-mata lebih disebabkan oleh posisi hilalnya sendiri, bukan oleh kesepakatan yang ada.

Bagi masyarakat, perbedaan bukan hal aneh. Berbeda dalam mengawali dan mengakhiri puasa tidak akan mengakibatkan kerusuhan, meski perpecahan DKM atau Pengurus Masjid yang tidak bersikap dewasa bisa terjadi. Arus Reformasi telah membuka cakrawala masyarakat bahwa perbedaan bukan hal tabu, tetapi merupakan realita yang harus ditoleransi. Perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan tidak berbeda dengan perbedaan qunut dalam shalat Subuh. Di mana masing-masing pihak mempunyai argumentasi dan dasar hukum yang dianggap benar. Bukankah perbedaan-selama disikapi dengan toleransi ilmiah-merupakan rahmat bagi Umat Islam.

Ramadhan merupakan bulan penuh rahmat dan ampunan. Kebersamaan dalam menjalani bulan Ramadhan merupakan dambaan umat Islam. Tetapi dambaan itu masih harus disimpan hingga Falak ditangani oleh mereka yang ahli, yang selalu mengajukan rasio argumen bukan rasa sentimen.

* Hendro Setyanto SSi, asisten peneliti di Observatorium Bosscha, Kepala Divisi Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu Falak ZENITH.

No comments: