Masa Depan Kemanusiaan, Masa Depan Agama-agama
kompas/sutta dharmasaputra
KETIKA sosialisme hancur di Eropa tahun 90-an, tak ada lagi unsur penggerak dan pendobrak. Apakah manusia bisa berharap pada agama? Dalam carut-marutnya agama dibelokkan untuk kepentingan politik, kepentingan identitas, masih bisakah agama mengambil posisi sebagai pengubah?
Jurgen Habermas, 20 tahun lalu yakin, konsensus rasional akan menjadi dasar kebersamaan dalam masyarakat sekuler, menggantikan peran agama. Sebelum Habermas mengubah pendapatnya, dalam kenyataan agama tak pernah berhenti berperan. Bahkan dalam masyarakat postsekuler, justru diharapkan peguyuban-peguyuban religius tetap hidup dan berdampak dalam masyarakat. Masyarakat religius terus-menerus berusaha bereksperimen, membangun jembatan antara cita-cita yang tumbuh dari pengalaman beragama dan realitas sehari-hari yang dihadapi.
Ditempatkan dalam realitas Indonesia, masyarakat beragama, khususnya Islam, mengharapkan peranan Muhammadiyah dan NU. Dua kelompok keagamaan terbesar itu diharapkan tampil dengan tegas menetralisasi sikap-sikap galak kelompok umat beragama yang mangatasnamakan Islam (Zuli Qodir). Mengutip Syafii Maarif, dia katakan, keinginan beberapa daerah memperjuangkan tegaknya Syariat Islam tidak lebih karena nilai-nilai luhur kemanusiaan Islam seperti keadilan dan kemanusiaan tidak terwujud dalam masyarakat.
Forum ini tidak menjabarkan upaya kedua organisasi itu, termasuk forum Gerakan Moral yang mereka kembangkan. Forum ini mengajak untuk secara rela dan sadar mencoba mengedepankan dimensi humanis agama-agama. Sehingga, agama-agama di Indonesia pada akhirnya lebih mencerminkan dimensi kemanusiaan ketimbang dimensi ritual simbolik. Ajakan itu masuk akal. Sebab sepanjang tahun 2001 bahkan sampai sekarang, sangat sering terjadi kekerasan, kebengisan dan ketidakadilan dilakukan atas nama agama.
Radikalisme agama yang kemudian dipakai sebagai alasan memerangi terorisme, tidak hanya menjadi "milik" Islam, tetapi hampir semua agama. Radikalisme di Indonesia tak ada hubungan dengan jaringan terorisme internasional. Radikalisme muncul akibat persoalan ekonomi yang membelit, termasuk pengangguran.
Perdamaian memang diklaim jatidiri semua agama tanpa kecuali. Oleh karena itu wajar apabila seluruh elemen dalam masyarakat memperjuangkan perdamaian dan persaudaraan sejati. Apabila ada sekelompok umat beragama dengan mengatasnamakan agama, bahkan atas nama Tuhan, perlu dipertanyakan kembali komitmen keberagamaannya. Menurut Qodir, mungkin mereka beragama, tetapi bukan pada substansinya, hanya pada tataran ritual simbolik. Seharusnya ritus dipahami sebagai "jalan menuju Tuhan" bukan kemutlakan ajaran agama yang akan membuat umat beragama saling berpandangan ekstrem, fanatik, tidak bersahabat.
***
MEMBANGUN perdamaian dan persaudaraan sejati, berarti menumbuhkan kedewasaan beragama yang matang secara rohani dan selanjutnya diwujudkan dalam kehidupan sosial dengan menegakkan keadilan (Budhy Munawar-Rachman). Religious feeling ini menjadi nyata justru dalam upaya terus-menerus menegakkan nilai kebenaran dalam kehidupan sosial.
Sayang, termasuk sebagai kebudayaan kita sekarang, spiritualitas agama sering dieksplorasi dalam tema-tema individual. Padahal keberagamaan yang matang dan sejati, belajar dari psikoanalisis Freud, tidak bisa dilepaskan dari sifat sosialnya. Memfungsikan kembali aspek sosial agama, menuntut penafsiran baru dengan masalah sosial sekarang dan di sini. Yakni memberi penafsiran keagamaan dengan penekanan pada kemanusiaan, berangkat dari kondisi psikologis menuju ke arah analisis sosial-transformatif dalam rangka memperjuangkan tegaknya keadilan.
Budhi Munawar Rachman mengajak perlunya keagamaan humanis sebagai pemikiran yang perlu diberi penekanan sekarang. Jatidiri agama harus dihidupkan kembali. Pemikiran keagamaan sekarang perlu diberi penekanan pada mempertimbangkan aspek sosial. Bahkan ada yang ekstrem mengatakan (Amin Abdullah), teologi perlu diformat ulang. Pemikiran agama tidak hanya ditentukan oleh lingkungan, tetapi juga agama ditantang tidak hanya mengubah manusia tetapi juga mengubah dunia, tesis Karl Marx yang kemudian diadopsi sebagai metode teologi-teologi pembebasan.
Dalam upaya itu, agama memerlukan sosiologi (analisis sosial) dalam analisis keagamaan (teologi). Dalam hal ini memang belum begitu berkembang di semua agama. Ada agama-agama dalam teologi dan praksis sosial sudah melihatnya sebagai keharusan, tetapi ada agama yang belum berkembang cara berpikir sosiologi dalam pemikiran keagamaan, atau konkretnya belum masuknya "relasi kuasa" dalam cara berpikir keagamaan.
Ajakan format ulang teologi perlu ditangkap sebagai upaya agama bisa menempatkan kembali posisinya dalam konstelasi pemikiran dan semangat baru. Kenyataannya, dalam teologi, proses rasionalisasi terjadi searah dengan tantangan-tantangan yang cenderung memarjinalkan. Nilai-nilai hak asasi manusia lahir berkat resistensi agama-agama (Haryatmoko). Hak asasi manusia hanya dapat dimengerti sejauh ada kewajiban moral kolektif untuk melembagakan suatu instansi hukum. Dalam hal ini sumbangan agama-agama sebagai kolektivitas sangat bermakna, yakni bukan hanya sumbangan dalam arti penciptaan instansi legal, tetapi sebagai bagian dari civil society yang memberi inspirasi dan kontrol terhadap praktik-praktik perumusan dan pelaksanaan hukum yang adil.
Cara berpikir sosial itu mengisyaratkan, praksis agama betul-betul nyata kalau terlibat dalam aksi sosial. Bentuk aksi sosial itu, bisa bermacam-macam, tetapi yang terpenting adalah pengembangan kesadaran, yakni mengusahakan pertumbuhan kesadaran (raising consciousness menurut Freire) sosial-keagamaan. Agama melakukan semacam perombakan terhadap ideologi ajaran-ajarannya. Selain dalam diri agama-agama ada kritik ideologi, sebaliknya upaya transformasi sosial-soal kemanusiaan dan transformasi sosial memperoleh pendasaran secara teologis.
Kritik ideologi yang dilontarkan humanisme itu, menantang agama-agama menawarkan kekhasan mereka. Yakni, apakah agama memperkaya etika? Mengutip sebuah pendapat, pertanyaan itu dibalik, bukan agama memperkaya etika tetapi agama menspesifikasi tindakan etika secara khas. Agama menempatkan etika dalam komunitas konkret (bukan abstrak kemanusiaan) dengan organisasi, tradisi, ritus, institusi, teologi dan individu-individu anggotanya. Di satu pihak agama menjadi perekat sosial dan menjadi struktur simbolis ingatan kolektif pemeluknya. Di lain pihak, identitas konkret agama itu bisa menimbulkan masalah karena agama juga berperan sebagai ideologi.
***
AGAMA dan humanisme tampil sebagai dua entitas yang saling memperkaya. Humanisme wajib didukung kaum agamawan, tulis Magnis-Suseno. Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan, apakah humanisme sesuai dengan agama? Pertanyaan itu sah, sebab kaum fudamentalis (terdapat di semua agama), menemukan salah satu titik bersatu dalam penolakan humanisme. Humanisme sebagai ideologi sekuler mau menempatkan manusia di tempat Tuhan. Karena itu sangat penting disadari bahwa kekhawatiran itu tidak perlu, sebab tidak hanya berdasarkan pertimbangan filosofis tetapi berdasarkan pertimbangan teologis, artinya didasarkan atas keyakinan hakikat masing-masing.
Humanisme religius tidak perlu dipertentangkan dengan humanisme sekuler. Humanisme adalah sikap humanis yang dapat ada pada setiap orang dengan berlatar belakang dan keyakinan religius yang berbeda. Dalam agama apa pun setiap orang harus diperlakukan sesuai martabatnya, dan menjadi pemersatu dalam membangun kehidupan masyarakat.
Seharusnya, semua orang dan lembaga agama berada di barisan terdepan humanisme. Mereka tanpa kecuali dan tanpa syarat, berusaha bersama membuat masyarakat menjadi tempat di mana segenap warga masyarakat dihormati sebagai warga masyarakat. Humanisme, demikian Magnis-Suseno, merupakan kriteria kesejatian agama. Agama yang membenarkan perlakuan kejam terhadap makhluk lain atas nama agama, termasuk dengan alasan "membela agama yang benar", akan kehilangan harkat.
Karena kebutaan, kekerasan hati dan kesombongan manusia, hal-hal itu terjadi. Sepanjang sejarah agama-agama, sampai hari ini, ada orang dianiaya, disiksa, dibakar atau dibunuh dengan pedang atas nama hukum agama atau "ajaran agama yang benar". Apa yang sudah terjadi, memang catatan hitam kehidupan manusia di "malam-malam yang gelap". Sekarang ini sudah saatnya ditarik garis, tak ada keagamaan sejati tanpa humanisme. Orang-orang beragama dari semua kepercayaan dan agama harus bersatu dalam tekad, menolak segala kelakuan tidak manusiawi dan kejam atas nama agama.
Menghadapi situasi konkret Indonesia, sudah saatnya antarumat beragama bersama-sama memulai kembali merumuskan kerangka dan gerakan yang lebih transformatif. Sehingga, lama-lama tercipta bangunan masyarakat sipil yang kuat, toleran, dan demokratis. Tanpa itu agaknya tantangan dan provokasi di hadapan kita tentang kematian dan tidak hadirnya Tuhan di masa depan menjadi kenyataan.
Konkretnya, elite agama tampil sebagai pengayom bukan sebagai provokator atas terjadinya tindakan tidak manusiawi. Elite agama tampil sebagai mediator atau fasilitator, yakni mampu mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik dan bukan menjadi tokoh yang mengibarkan bendera perang agama. Elite agama sebaiknya tidak masuk dalam sebuah partai (politik praktis), sebab bisa merusak komitmen perjuangan bersama demi kesejahteraan manusia.
Tantangan ke depan, mungkinkah sekarang ini dilakukan di Indonesia? (sts
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment