Tuesday, March 31, 2009

DEKONSTRUKSI TEOLOGI KEAGAMAAN

DEKONSTRUKSI TEOLOGI KEAGAMAAN

Muzakkir Djabir

Ketua Umum HMI MPO Cabang Makassar



Wacana akan perlunya dekonstruksi atas teologi yang mapan saat ini, dalam arus dialektika, oleh kaum intelektual maupun cendekiawan, baik dalam literatur klasik maupun kontemporer demikian marak diperbincangkan. Paling tidak, beberapa karya semisal pandangan-pandangan Mohammed Arkaoun (intelektual asal Aljazair) dan Mohammad Abed Al-Jabiri (filosof kelahiran Maroko), telah menggambarkan peta-peta dekonstruksi tersebut. Intensitas polemik tersebut akan melahirkan suatu sikap bernada gugatan terhadap kemapanan konsepsi maupun realitas masyarakat yang stagnan.

Begitupun juga, Muhammad Iqbal (bapak ruhani Pakistan) menyerukan pandangan agar ummat Islam, yang banyak terjebak dan ikut arus ‘parsial approach’ dalam menganalisis maupun menggagas anatomi masyarakat muslim, mereka terjebak dengan janji-janji utopis dari teori-teori sosial Barat yang absurd, dengan harapan diklaim sebagai kaum modernis, agar bersikap kritis.

Mengikut pada Iqbal, Ali Syari’ati (ideolog proggresif asal Iran), dalam banyak karya-karya monumentalnya yang orisinil, menyerukan sikap kemandirian dan sikap kehati-hatian bagi ummat Islam untuk meniru Barat. Syari’ati menganjurkan pengenalan karakteristik anatomi masyarakat muslim secara paripurna, agar dapat kembali membangun kepribadian dan identitas masyarakat muslim, yang dengan upaya maksimal berupaya dikubur oleh kolonialis Barat, agar masyarakat muslim menjadi komunitas yang tidak percaya diri terhadap geneunitas peradaban Islam.

Olehnya, dibutuhkan perspektif yang holistik untuk membangun pranata sosial yang humanis, proggresif, dan egaliter dalam bingkai transendental. Karenanya, amat signifikan, suatu pesan yang dapat dipetik dari Iqbal maupun Syari’ati, yakni hendaknya para intelektual Muslim sebagai arsitek perubahan sosial mampu mengenali dan menyelami problema subtansial yang dialami oleh masyarakat muslim, sebelum menawarkan atau menggagas solusi atas marginalisasi ummat Islam.

Realitas ummat Islam pada konteks global, adalah realitas yang terpinggirkan pada seluruh bidang kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, lebih-lebih ilmu pengetahuan. Umat Islam berada dalam jepitan ketiak “ hegemoni “ barat dengan segala keserakahannya walaupun dibingkai atas nama kemanusiaan dan modernitas.

Sehingga menjadi wajarlah kemudian manakala muncul pertanyaan mendasar bagi masyarakat muslim ,khususnya kelompok yang setiap harinya “ bersetubuh “ dengan wacana futuristik; sebenarnya, problema apakah yang urgen dan signifikan diidap oleh masyarakat muslim sehingga takluk atas hegemoni Barat. Kelemahan dalam menelusuri serta menganalisis problema fundamental umat Islam, hanya akan menambah panjang daftar teori solutif yang artifisial.

Suatu fenomena yang memprihatinkan sekaligus menyedihkan melihat realitas masyarakat muslim dengan kemayoritasannya didunia ini , seakan menjadi anak tiri zaman. Hal mana ummat Islam berada pada pojok-pojok teritorial yang kusut dan kumuh, seakan Islam apriori dan tabu dengan kemajuan dan modernitas. Dan celakanya, seakan dunia dan prosesi zaman yang melingkupinya taklid sepenuhnya akan ketentuan-ketentuan keberaturan Sang Khalik. Padahal ummat Islamlah sendirilah, baik secara sadar maupun tidak sadar membuang dirinya diruang-ruang tradisi paham skriptualis ( baca : tektualis-stagnan ) serta anti pembaruan.

Padahal, panggung sejarah peradaban dunia, telah mencatat dengan tinta emas masa superioritas peradaban Islam, hal mana dunia Barat pun mengakuinya akan kontribusi intelektual Islam atas antarannya menuju renaisans. Bukankah Islam datang ke daratan Eropa dalam rangka membebaskan Barat dari kegelapan ? Islam demikian kaya dengan potensi, kaya akan orisionalitas dan geneunitas pemikiran serta sejarah yang heroik, dan sangat untuk patut dibanggakan.

Namun demikian., idealisasi sejarah yang berlebihan , apatah lagi jatuh pada romantisisme sejarah, dan kemudian tidak muncul sikap kritis, hanya akan melahirkan pemikiran yang jumud dan membentuk masyarakat yang mati dan stagnan. Oleh karenanya, kritik sejarah, jihad intelektual dalam bentuk merespon pembaruan pemikiran Islam, merupakan keharusan. Sebab, sikap demikian, paling tidak akan melahirkan dan membangun power serta semangat baru untuk keluar dari kejumudan dan stagnasi, dalam rangka menata dan menformulasi tatanan sosial yang ideal, dan akan menjadi ‘kompas’ bagi pengokohan fondasi renaisans Islam.

Judul tulisan diatas, tentunya akan melahirkan polemik bagi kaum intelektual-kontekstual versus intelektual tekstualis ( skriptualis- normatif ), tetapi paling tidak lemparan wacana ini akan mengundang para intelektual Muslim yang peduli masa depan Islam untuk urung rembuk dalam prosesi dialektika. Sebab, dialektika merupakan karakteristik fitrawi makhluk, hatta itu dialektika dengan Tuhannya, semesta dan seluruh entitas-entitas di dalamnya. Hanya dengan maksimalisasi diskursuslah, antara seluruh elemen-elemen masyarakat, kearifan akan datang bertandang dan “memeluk diri” kita, yaitu kearifan dalam keberaneka-ragaman (pluralisme).

Pun dalam konteks ke-Indonesia-an, dimana penduduknya mayoritas muslim, juga mengalami nasib yang sama dengan masyarakat muslim dibelahan dunia lainnya. Rejimentasi pemerintahan orde baru yang telah memberanggus semangat pluralitas, penguburan karakter kultural dan identitas masyarakat lainnya, dibingkai dengan azas-azas nasionalisme buta serta uniformitas “kejawen”.

Masyarakat indonesia menjadi komunitas ‘reptil’ (yang responnya kalau menemukan hal baru segera lari dan beruzlah, dan kalau terdesak akan menggigit) dan stagnan. Karenanya, benarlah hujjah Syari’ati; gamang tak tahu harus berbuat apa, dan memulai dari mana agar dapat lepas dari belenggu kaum establish despotis, yang serakah mengeksploitasi kaum mustadhaiifin dan diperparah lagi dengan legalitas “ ulama penjilat “ , sehingga muatan norma keagamaan kadang menjadi “ Narkoba “.

Passifnya pemikiran Islam, yang pada akhirnya melahirkan marginalisasi umat Islam, dalam ulasan literatur klasik maupun kontemporer, diidentifikasi disebabkan oleh kelemahan muatan “ TEOLOGI “ yang dianut dan dipahami oleh mayoritas umat Islam dibelahan dunia ini. Teologi memegang peranan signifikan dalam membangun dan menata masa depan Islam. Kejayaan peradaban Islam masa lalu ternyata di back-up dengan teologi yang holistik dan proggresifnya muatan-muatan teologi masyarakat muslim.

Pun dalam sejarah, juga secara obyektif mengambarkan hal demikian. Sejak pasca kepemimpinan Rasulullah SAW, ummat Islam menampilkan sejarah buram dan hitam yang mencoreng “ sakralitas dan kesucian “ dienul Islam. Dan selanjutnya, akibat konflik internal sesama umat Islam yang berdimensi “politis” ( bukan politis an-sich), melahirkan dua kutub besar dalam komunitas masyarakat Islam, yaitu kutub Syiah dan kutub Sunni, yang kemudian dalam aksentuasi pada segala bidang memiliki beberapa perbedaan, khususnya pada masalah furuiyah dan juga pada aspek teologi.



ASY`ARIYAH VERSUS MU`TAZILAH

Sejarah pemikiran Islam klasik bahkan kontemporer, senantiasa menampilkan kedua teologi ini pada posisi berhadap-hadapan, sebab muatan antara kedua teologi ini memang sangat paradoks. Teologi Asy`ariyah merupakan teologi yang dianut oleh Islam Mazhab Sunni yang merupakan teologi mayoritas didunia Islam. Teologi ini cenderung normatif, tekstual bahkan menafikan peran akal. Paham Asy`ariyah dalam prosesnya kemudian menjadi paham “ Jabariah “, suatu paham “ penegasian diri” dan jatuh kepada kepasrahan total terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, yang oleh paham ini dikatakan bahwa manusia tidak memiliki potensi “ kehendak bebas “ untuk menata dan memformulasi masa depannya sendiri. Paham ini jatuh pada asketisme buta.

Lain halnya dengan teologi Mu`tazilah (rasional), yang diwarisi oleh mazhab Syiah minoritas, yang mengedepankan watak proggresif akal untuk aksentuasi kehidupan manusia bahkan memformulasi “ takdir manusia “. Teologi Mu`tazilah berpandangan bahwa manusia telah diberikan potensi kehendak bebas ( free will ) untuk menentukan takdir hidupnya.

Pokok permasalahan krusial yang sulit mempertemukan pandangan kedua teologi ini, yaitu berkenaan dengan penjelasan sekaligus peranan akal. Padahal dalam banyak nash-nash didalam Al Qur`an, hadits dan rujukan-rujukan normatif keagamaan, menjelaskan urgensinya akal sebagai alat pentazkih. Misalnya; QS. Fush-shilat:53 yang artinya “ Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami di alam raya ini (Afag) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq)”, atau QS. Al- An`am:75-79, QS. Ali Imran:190, QS.Yunus: 6, QS. An-Nahl:3-17, QS.An-Nahl:68-69, dan masih banyak ayat lagi yang mengabsahkan urgensinya akal sebagai sumber hukum, selain Al Qur`an, As-sunnah, Ijma sebagaimana dipahami oleh Mutakallimin Syiah.

Sehingga tidak logis jika akal dinafikan, logika dan filsafat diharamkan. Sebab, eksistensi Ilahiah hanya mampu dipahami serta dibuktikan dengan maksimalisasi akal. Penafian akal oleh teologi Asy`ariyah, melahirkan stagnasi dan kejumudan berfikir, apalagi setelah Imam Al Ghazali memproklamirkan penutupan pintu Ijtihad. Syah wali allah dahlawi dalam sebuah risalah yang berjudul al-inshaf fi bayan sabab al-ikhtilaf, menyambut gembira tertutupnya pintu ijtihad bebas, bahkan syah wali mengatakan “ Inilah suatu rahasia yang telah diilhamkan oleh Allah SWT kepada para ulama untuk menyelamatkan dan melindungi Islam dari perpecahan”. Untunglah kemudian Allamah Syaikh Mahmud Syaltut, mufti dan rektor Universitas Al Azhar, menyerukan bahwa pintu Ijtihad telah terbuka, dan menyerukan untuk mengikuti mazhab apa saja asalkan didukung oleh alasan-alasan orisional.

Perbedaan pandangan teologi Sunni tentang peranan akal tercermin dalam bidang Aqa`id (akidah) dan kalam (teologi skolastik), sebagaimana dikemukakan oleh mazhab Asy`ari yang mencampakkan akal, serta mengklaim bahwa akal tidak mampu menetapkan hukum-hukum dalam bidang aqa`id. Kewajiban mengenal Allah bukanlah hukum syari`ah melainkan hukum yang didasarkan pada akal (pandangan mayoritas ulama), sebab hukum-hukum syari`ah tidak memiliki kekuatan motivasi dan pengaruh dalam kehidupan manusia kecuali, bila manusia mengenal Tuhannya dan syari`yah-Nya. Mestinya berbeda sifatnya vis-à-vis hukum-hukum syari`ah, yakni ia haruslah tergolong jenis akal yang didasarkan pada akal. Asy`ari menentangnya dan mencampakkan akal untuk menetapkan hukum dalam kapasitas apapun.

Tindakan penolakan akal meluas ke bidang etika yang merupakan bagian dari ilmu kalam (teologi skolastik). Mazhab pemikiran Asy`ari mengingkari bahwa akal mampu membedakan berbagai tindakan yang baik dan buruk, bahkan sampai yang paling jelas dan gamblang. Jadi akal tidak bisa membedakan antara kezaliman dan keadilan, tetapi yang pertama jadi jahat dan kedua baik semata-mata karena al bayan al syar`iy, meskipun sekiranya al bayan al syar`iy memandang kezaliman itu baik dan keadilan itu jahat, maka akal tidak berhak mengemukakan keberatan.

Meskipun telah dikatakan bahwa mahzab Syi’ah adalah mahzab yang sangat menghargai kedudukan akal, tetapi tetap saja ada aliran yang mengharamkan akal –meskipun pengaruhnya saat ini telah ditenggelamkan oleh ulama ushuli -- yaitu segolongan ulama yang bernama al –Akhbariyin wa al Muhadditsin (ahli-ahli Hadits). Mereka menentang peranan akal dalam berbagai bidang dan hanya puas dengan al-Bayan al syar`iy, karena menurutnya, akal bisa saja salah dan sejarah pemikiran intelektual penuh dengan berbagai kesalahan. Kaum Akhbari ini pula melancarkan serangan dan kritikan keras atas ijtihad, tetapi muatan-muatan pemikiran kaum akhbari ini menyimpan ambiguitas, sebab disatu pihak , kaum akhbari mengutuk akal untuk menjelaskan jalan bagi al Bayan al-Syar`iy guna menetapkan hukum dan mengajarkan fiqh, tetapi dilain pihak masih saja tetap mengandalkan akal untuk membuktikan validitas ajaran agamanya.

Teologi Asy`ariyah dengan paham Jabariahnya serta sikap pasif totalnya kepada takdir Allah SWT, yang mengabaikan potensi kebebasan memilih manusia, membawa ekses negatif bagi masyarakat. Sebab akan melumpuhkan kreatifitas kejiwaan serta menggiring manusia teralienasi pada diri dan masyarakatnya. Demikian juga sikap paternalistik masyarakat muslim , adalah bias dari internalisasi teologi Asy`ariyah yang pasif atau stagnan, ditambah dengan kolonialisme Barat di segala bidang, telah berhasil membunuh identitas masyarakat muslim di seluruh dunia, yang kemudian melahirkan sikap pesimis dan kurang percaya diri umat Islam terhadap komunitas lainnya.

Hal itu semakin memberatkan bagi para ideolog maupun arsitek perubahan sosialr Islam dalam membangun tata dunia Islam yang beradab dan egaliter. Dibutuhkan upaya maksimal untuk melakukan re-thinking atau dekonstruksi terhadap muatan-muatan normatif keagamaan ummat Islam, tanpa takut diklaim macam-macam oleh kelompok Islam tertentu. Terbukti dalam sejarah bahwa teologi Asy`ariyah yang asketis telah melahirkan masyarakat paternalistik, pasif dan taqlid buta, sehingga tidak mampu melahirkan improvisasi dan dinamisasi dalam masyarakatnya. Karenanya, dibutuhkan suatu “ TEOLOGI ALTERNATIF” yang mengkompilasi watak dan karakter yang bersifat dinamis, kreatif, proggresif serta kritis. Hanya dengan muatan teologi seperti itulah akan mampu menyentak kesadaran nurani manusia yang paling sublim.

Pun pada konteks ke-Indonesia-an, proyeksi atau inisiasi Indonesia Baru demikian marak diperbincangkan. Cak Nur, intelektual kaliber internasional dengan skenario 2025-nya ataupun skenario building-nya Lemhanas 2010, hanya akan menjadi isapan jempol utopis, jika gagasan mereka tidak menyentuh problema fundamental masyarakat Indonesia atau dunia Islam. Yakni stagnannya teologi, atau sekali lagi pasifnya teologi

Daftar pustaka :

Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna,Mizan, Bandung, 1998

Murtadha Muthahhari, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Hidayah, Jakarta,1993

__________________, Manusia dan Agama, Mizan, Bandung, 1984

__________________, Prinsip-prinsip Ijtihad, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1990

Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Sri Gunting, Jakarta, 1995

No comments: