Tuesday, March 31, 2009

Evolusi Pemahaman Keagamaan

Evolusi Pemahaman Keagamaan

Oleh: Ahmad Fuad Fanani



Dewasa ini, tafsir-tafsir keberagamaan yang muncul di masyarakat lebih banyak berasal dari satu arah, yaitu tafsir dari lembaga keagamaan. Selain itu, tafsir keagamaan yang ada juga terlalu berorientasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat vertikal dan legal-formal. Artinya pemahaman keagamaan yang dipupuk adalah yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktriner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan).

Sementara itu, tafsir-tafsir lain yang dilakukan secara radikal dan kreatif kadangkala sering ditolak kemunculannya dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Padahal, sebuah kebenaran tafsir keagamaan tidak serta merta muncul dari satu sisi, namun harus digali dari berbagai segi dan perspektif.

Sebuah tafsir tunggal agama sesungguhnya jauh dari sehat karena akan mengakibatkan terjadinya penyelewengan pada pesan agama yang awalnya bertujuan mulia. Karena, sikap dasar bawaan manusia tidak jauh dari kenaifan, keserakahan, dan nafsu menundukkan lainnya. Hal itu terbukti ketika khalifah Al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah menerapkan mihnah (inkuisisi) yang berisi kewajiban penduduk untuk berpaham teologi Mu’tazilah. Peristiwa lain nampak pada penguasa Taliban tempo hari yang memaksakan penerapan syariat Islam secara radikal pada penduduk Afghanistan. Begitu juga lembaga gereja-gereja Katholik sebelum Konsili Vatikan Kedua yang membekukan pemahaman keagamaan sebagai sesuatu yang eksklusif dengan menyatakan “tidak ada keselamatan di luar gereja”. (Perlu dicatat bahwa setelah Konsili vatikan Kedua, gereja Katholik menjadi sangat inklusif karena mereka mengakui bahwa di luar gereja, yakni dalam epercayaan dan agama selain Katholik, juga terdapat keselamatan).



Evolusi Pengetahuan Agama

Doktrin yang banyak tertanam dalam benak pikiran dan perilaku umat beragama adalah bahwa kebenaran agama bersifat tunggal, pasti, dan tuntas. Mereka menganggap, bahwa agama adalah wilayah yang harus disucikan dari kreatifitas dan kritik manusia. Sebab, agama adalah wilayah milik Tuhan yang terjamin kebenarannya. Orang yang berani mengkritik agama justru dianggap orang yang gila, aneh, jauh dari kebenaran.

Namun, bila kita kembali ke sejarah turunnya agama-agama di dunia, sesungguhnya agama tidak bisa lepas dari unsur kreatifitas manusia. Bila wilayah agama dianggap sebagai wilayah Tuhan semata, lantas kenapa muncul agama-agama baru yang bertugas sebagai pelengkap dan penyempurna agama terdahulu? Seperti agama Islam yang berita turun dan kebenarannya terdapat dalam kitab Injil, dan agama Nasranipun ada dalam kitab Taurat milik agama Yahudi. Artinya, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa Tuhan sangat paham atas kondisi perubahan zaman, alam, serta tingkat pengetahuan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Tuhan menurunkan agama-agama yang --meminjam istilah Frithjof Schuon- di dalamnya terdapat titik temu bersama yang mestinya harus digali dan dimunculkan.

Evolusi agama yang berwujud pada keberagamaan manusia itu, menurut Robert N. Bellah berjalan sesuai dengan tingkat perkembangan kebebasan dan situasi masyarakat yang mengelilinginya. (Beyond Belief, 2001) Fokus utama evolusi keagamaan adalah sistem simbol keagamaan itu sendiri. Maksudnya, arah utama perkembangannya adalah simbolisasi dari yang sederhana menuju simbolisasi yang terdiferensiasi. Evolusi dari agama primitif menuju ke agama historis dan kemudian berkembang menjadi agama modern adalah contoh bagaimana agama berubah dari pengaruh situasi kekuasaan okultis yang bermetaformosis dengan keyakinan yang bersifat rasional.

Berkaitan dengan evolusi keagamaan di atas, Abdul Karim Soroush, seorang pemikir Islam liberal dari Iran yang sering dijuluki sebagai “Luther Islam”, mengajukan teori penyusutan dan pengembangan keagamaan. Dalam cara kerja teori ini, sebuah kebenaran teks keagamaan tidaklah bersifat final. Artinya, meskipun agama adalah sebuah doktrin dari Tuhan yang dijamin kebenarannya, akan tetapi pemahaman agama masih bersifat relatif dan terbuka dari berbagai interpretasi baru. (Reason, Freedom, and Democracy in Islam, 2000) Nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari dua hal, yaitu kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis pada dasarnya yang mengetahui hanyalah pencipta agama itu sendiri (baca – Tuhan). Tidak ada satu pihak pun yang berhak merasa paling tahu tentang kebenaran teologis ini. Sedangkan kebenaran historis sebuah agama dapat dilacak dari sejauh mana agama tersebut dapat bermanfaat dan membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan. Jadi, antara kebenaran agama dan pemahaman agama haruslah diberikan garis demarkasi yang jelas dan ketat.

Soroush juga menegaskan, bahwa dalam pemahaman keagamaan, mutlak diperlukan adanya evolusi yang bersifat dinamis, kritis, dan progresif. Oleh karena itu, ilmu agama haruslah diposisikan sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan bersifat relatif (tidak ada kebenaran tunggal). Pengetahuan agama dan kebutuhan zaman yang baru haruslah dicarikan jawabannya terus menerus dengan ijtihad para agamawan seperti halnya ilmu kemanusiaan lain semisal biologi, fisika, kimia, astronomi, dan sebagainya.

Orang yang menghindari pemikiran evolusi keagamaan dengan dalih menjaga kemurnian agama sesungguhnya secara tidak langsung justru membekukan agama sehingga agama menjadi kehilangan elan vitalnya dan cenderung menjadi kekuatan yang tidak membebaskan bagi pra pemeluknya. Ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna dan berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan sistem budaya yang juga senantiasa berubah. Maka, pemahaman keagamaan yang terus berkembang adalah salah satu bentuk usaha reformasi dan kebangkitan keberagamaan.



Membaca dan Memaknai Agama

Sesuai dengan watak evolusi agama yang harus diejawantahkan, maka tradisi kritik dan pemunculan tafsir yang heterogen menjadi suatu kemestian yang wajar dan tak terelakkan. Tradisi ini bertujuan agar peran-peran profetik agama sebagai kekuatan moral dan pembebasan lewat perilaku pemeluknya dapat muncul lagi ke permukaan. Keragaman tafsir juga mempunyai nilai positip sebagai upaya kontekstualisasi teks agama pada problem-problem kemanusiaan masa kini.

Dalam pemunculan keberagaman tafsir keagamaan, metode dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jacques Derrida layak dijadikan alternatif paradigma dan cara kerja. Metode yang pada awalnya dipakai dalam bidang sastra dan filsafat ini, bertujuan untuk membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur yang dipaksakan kebenarannya, sehingga tidak menyisakan ruang untuk bertanya, menggugat, atau mengkritik.

Dalam bidang keagamaan, dekonstruksi terhadap teks ini memungkinkan kita untuk membongkar monopoli tafsir atas otoritas tertentu yang menegaskan mengenai “kebenaran” atas nama Tuhan, negara atau penguasa. Sehingga definisi dan praktek pencarian “kebenaran” menjadi demokratis dan berparadigma antroposentrik. Dalam hal ini, manusia menjadi pusat tafsir yang berusaha untuk menggali kebenaran yang beragam secara obyektif.

Evolusi keagamaan yang menghargai pluralitas itu dengan sendirinya menekankan adanya --meminjam istilah Mohamed Arkoun—historisitas logos dalam pembacaan teks. Maksudnya, dalam pembacaan teks agama mutlak diperhatikan rentang waktu kemunculan, kompleksitas, serta latar belakang ideologi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, Arkoun mengkritik adanya sebuah pensakralan pengetahuan agama (taqdis al-afkar ad-diniyyah) yang sering terjadi pada umat beragama. (Al-Islam: Al-Akhlaq wa al-Siyasah, 1990) Sebab, sebuah pensakralan menjadikan manusia terbelenggu pada kebenaran tunggal dan penerimaan tanpa reserve sebuah penafsiran teks keagamaan. Padahal, kemunculan teks pada masa lalu pasti tidak terlepas dari dimensi politis dan ideologis sang pengarang.

Berkaitan dengan itu, Arkoun menawarkan kita agar jernih dan jeli membedakan pemikiran keagamaan yang ada pada era klasik, skolastik, dan modern. Untuk itu, model pembacaan teks dengan metode hermeneutika yang berusaha menghadirkan teks masa lalu agar bisa terpakai pada zaman sekarang layak dilakukan. Dalam metode ini, latar belakang kemunculan teks, maksud pengarang, struktur bahasa, nilai atau simbol pengetahuan, dan kontekstualisasi adalah sebuah lingkaran yang senantiasa berkelindan. Sehingga, sebuah teks keagamaan tidak serta merta dipakai secara simbolik tanpa mengkaji makna substantif dan moral yang ada di baliknya.

Dengan bahasa dan istilah berbeda, Mohammad Abed Al-Jabiri juga menegaskan, bahwa krititisme dalam pembacaan dan pemaknaan kembali teks keagamaan mutlak dilakukan. Sedangkan metodologi yang ditawarkan adalah metode strukturalis; analisis sejarah, dan kritik ideologi. Metode strukturalis digunakan sebagai pembacaan teks secara literal dan membatasinya dalam melokalisir kebenaran yang bersifat sementara. Sedangkan analisis sejarah adalah mencari pertautan pemikiran sang pengarang teks dengan ruang lingkup sejarah budaya, sosial, politik, serta sosiologisnya. Kritik idelogi mengungkap maksud pengarang dalam penciptaan karya melalui episteme yang dirujuknya. (Post Tradisionalisme Islam, 2000).

Dengan model pembacaan dan pemaknaan agama yang tidak terjebak pada simbol dan homogenitas seperti diatas, maka umat beragama dapat diharapkan menjalankan keberagamaan baru yang humanis dan membebaskan. Penegasan Soroush bahwa “agama terakhir sudah datang, akan tetapi pemahaman agama yang terakhir belum datang” adalah kata kunci untuk memulai keberagamaan baru. Ke depan, umat beragama diharapkan dapat saling hidup bersama dengan menghargai perbedaan, melakukan dialog antar-intra iman, serta giat bekerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan menggalakkan demokratisasi. Wallahu A’lam.[]



Ahmad Fuad Fanani.Ketua Lembaga Studi Keislaman DPP IMM, Peneliti Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) PP Muhammadiyah

No comments: