Keselamatan yang Historis
Oleh Greg Soetomo
SEBUAH pertanyaan yang pantas diajukan saat hendak merayakan Natal adalah apa dan bagaimana makna keselamatan yang sudah dimulai dengan kelahiran Yesus? Pertanyaan ini harus diajukan mengingat iman dan tradisi Kristen mengatakan, Yesus Kristus adalah Sang Penyelamat, dan keselamatan itu memberi arti untuk kehidupan manusia.
Upaya untuk memahami kelahiran Yesus dan proses penyelamatan-Nya senantiasa dituntun oleh hermeneutik, penafsiran, yang memancar dari keprihatinan dan konteks sosial. Pesan pembebasan hendak memahami Yesus Kristus yang sedang menghadapi problem nyata, sekaligus pada saat yang sama merefleksikan secara transedental persoalan manusia berkaitan dengan makna sejarah dan penderitaan manusia.
Yang istimewa dan menjadi fokus utama, tetapi tidak eksklusif, dari aspirasi kita sekarang ini adalah Yesus yang historis. Hal ini merupakan karakter modern memahami Yesus "dari bawah", yang berupaya memahami Yesus Kristus berawal dengan Yesus dari Nazareth. Konsekuensi dari pendekatan ini amat radikal. Corak pembebasan ini berupaya mencari pemahaman normatif makna Yesus Kristus dalam kehidupan nyata dan aktual Yesus yang historis.
Aloysius Pieris adalah manusia bijak dari Sri Lanka. Ia menulis An Asian Theology of Liberation (1988) dan merumuskan gagasan-gagasannya dalam terang konteks Sri Lanka dan Asia. Menarik untuk disadari sekali lagi, demikian Pieris mengatakan, Yesus lahir di Asia dan memang orang Asia, sebagaimana Budha Gautama dan Nabi Muhammad. Misteri yang muncul di sini adalah mengapa kedua nama yang terakhir ini terasa dekat di Asia dan mempunyai jumlah pengikut yang signifikan di benua itu, sedangkan Yesus terasa jauh dan menjadi nama yang asing untuk orang-orang yang tinggal di sini. Jadi persoalannya, bagaimana kita dapat menerangkan fakta bahwa Gereja perdana yang adalah orang-orang Asia dan kemudian "sukses" mewartakan nilai-nilai kristen ke negara Barat, tetapi ternyata gagal masuk ke Benua Asia yang begitu kompleks budayanya.
Agama-agama dari Asia tetap mengandung dimensi pembebasan. Jantung agama yang otentik harus dipertimbangkan dengan berlandaskan pada situasi negatif. Pendekatan kontekstual ini menekankan, agama dan kemiskinan bersama-sama menjadi konteks kultural dan dorongan pembebasan yang diperlukan untuk memahami Yesus yang bercorak Asia dan Indonesia. Kita yang sedang bergembira merayakan Natal, harus tetap kreatif memanfaatkan simbol-simbol yang begitu inspiratif yang ada dalam Kitab Suci. Saat ini menjadi momen tepat untuk membaca riwayat hidup Yesus dan memahami diri-Nya lewat dua peristiwa profetis dalam hidup Yesus: pembaptisan profetis awal di Sungai Yordan dan pembaptisan profetis final di Gunung Kalvari.
Peristiwa Sungai Yordan adalah peristiwa subversif. Bagaimana tidak? Yesus dengan amat radikal turun ke Sungai Yordan, mengidentifikasi diri-Nya dengan kaum miskin papa yang tersingkir, lalu menyerahkan diri-Nya pada Yohanes Pembaptis. Dan tidak kalah demonstratifnya adalah peristiwa Gunung Kalvari yang menegaskan, agama tidak akan menjadi otentik bila tidak disertai partisipasi dalam mengatasi kemiskinan yang membawa seseorang pada salib.
Dari sana sebenarnya hendak dikatakan bagaimana Sungai Yordan menjadi simbol agama-agama di Asia dan Indonesia, sedangkan Kalvari mencerminkan kemiskinan di benua itu. Revolusi dalam pemahaman ini merupakan keniscayaan saat Gereja merelakan diri menerima aliran air baptis agama-agama Asia, dan untuk ikut menanggung baptis penderitaan dan kematian di atas kayu salib kemiskinan Asia.
Yesus untuk minoritas yang tertindas?
Pembicaraan mengenai Yesus ternyata harus ditempatkan dalam gambaran Tuhan yang sudah dan masih bertindak dalam sejarah. Dengan kata lain, karena Yesus sungguh-sungguh manusia yang hidup dalam satu periode waktu dalam sejarah maka Dia adalah simbol dan jembatan untuk memahami dan menyelami Tuhan itu sendiri.
Marilah kita letakkan pernyataan itu ke dalam satu konteks khusus. Apa yang sedang dipikirkan, misalnya, oleh orang-orang berkulit hitam yang hidup di Amerika Utara dengan berbagai kepedihannya? Untuk siapakah Yesus lahir? Bagi James Cone, dalam bukunya yang sangat inovatif dan kreatif, A Black Theology of Liberation (1970), memahami Yesus Kristus "hitam" menjadi sesuatu yang krusial untuk iman Kristen. Mengapa? Karena hal ini merupakan konsekuensi bila kita sungguh percaya pada kehadiran-Nya yang terus berkelanjutan hingga kini.
Gagasan yang terdengar aneh itu sebenarnya mengandung substansi yang amat penting. Cone menganggap, warna (kulit) Yesus bukan sesuatu yang signifikan. Sebaliknya, ia juga tidak percaya pada anggapan bahwa Yesus adalah "putih" baik dalam arti warna kulit maupun teologinya. Argumen yang hendak disampaikan di sini sebenarnya adalah ketika Cone mengatakan Yesus seorang Yahudi hitam atau Mesias hitam, tiada lain hendak menunjuk pada konkretisasi Yesus untuk sekarang ini. Kristus hitam adalah hanya satu dari sekian banyak yang tidak bisa disingkirkan hanya oleh akrobat argumen teologi.
"Can a male savior save a woman?"
Untuk beberapa orang, pertanyaan ini mungkin terasa mengada-ada. Tetapi, pertanyaan ini sebenarnya menyimpan persoalan seluruh pemahaman "untuk apa Yesus lahir". Dan persoalan misterius inilah yang menjadi bahan eksplorasi seorang perempuan Katolik saleh dalam diri Rosemary Radford Ruether dalam pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam Sexism and God-Talk (1983). Pertanyaan ini menjangkau jauh ke dalam krisis universal yang menuntut solidaritas yang sudah diisyaratkan di atas.
Ruether memberikan kesaksian berlangsungnya "patriarkalisasi" sepanjang lima abad pertama pertumbuhan sejarah Gereja. Dalam kurun waktu ini, kristianitas berubah dari satu sekte kecil, berkembang menjadi agama raksasa kerajaan Roma dengan wajah yang amat maskulin. Ujung dari realitas historis ini, lagi-lagi mengantar Ruether pada satu pertanyaan yang senantiasa menghinggapi pikirannya: Haruskah kaum perempuan menyingkirkan Yesus, kemudian mencari sebuah penebusan dan penyelamatan baru yang berwajah feminis?
Lewat sebuah argumen yang moderat, tetapi amat menantang, Ruether membeberkan uraian permenungannya. Ia menganggap, gambaran Yesus sebagai Mesias selama ini dipenuhi mitos-mitos tradisional maskulin. Dan, bila mitos-mitos itu dilucuti kedoknya, Yesus yang ada dalam Injil ternyata amat berkesesuaian dengan arus gerakan feminisme. Yang menjadi sasaran tembak dari Ruether bukanlah Yesus yang feminis, tetapi Yesus yang tampil sedemikian kritis terhadap birokrat-birokrat sosial dan religius.
Yesus yang sejati adalah Yesus yang menggoyang dan membongkar bias dari status religius. Secara konsisten Dia mengajarkan, dalam perkataan dan perbuatan, bahwa yang terakhir akan menjadi yang pertama, bahwa mereka yang kecil dan bodoh yang justru akan mendengarkan dan memahami pesan sabdaNya. Dalam hal ini, kaum perempuan menjadi pencerminan mereka yang direndahkan, yang tertindas dari paling yang paling tertindas. Ruether, dengan argumen yang sangat brilian menegaskan, Yesus yang Kristus, sang pembebas, tidak terumuskan secara statis dalam rupa orang yang hidup dua ribu tahun lalu. Penebusan manusia terus berjalan dan berlanjut hingga kini.
Dari uraian itu, kita bisa mengambil kesimpulan, kelahiran dan hidup Yesus yang menyejarah, serta pengalaman Paskah yang sebenarnya merupakan inisiasi pengalaman komunitas akan Yesus yang bangkit, merupakan penafsiran lebih lanjut mengenai siapa Yesus serta tanggapan iman pada Tuhan di dalam dan melalui Yesus.
* Greg Soetomo SJ, rohaniwan.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment