Tuesday, March 31, 2009

Wajah Fundamentalisme dalam Islam dan Kristen

Judul : Memahami Wajah para Pembela Tuhan

Penulis : Eko Prasetyo dkk.

Penerbit : DIAN/Interfidei, Yogyakarta

Edisi : September, 2003

Tebal : xxiv+163 hlm.

FUNDAMENTALISME adalah gejala universal semua agama. Namun, belakangan ini, dalam penggunaannya sehari-hari di media massa, dalam berbagai komentar resmi ataupun perbincangan sambil lalu, istilah ini hanya ditujukan pada agama Islam. Kenyataan ini sering kali berujung pada prasangka bahwa penyebab fundamentalisme itu tak lain adalah agama Islam itu sendiri. Padahal, fundamentalisme tidak semata-mata urusan teologis, namun juga politik atau bahkan budaya. Artinya, semua agama atau kelompok budaya memiliki potensi yang sama menjadi fundamentalis, tergantung dari tekanan ancaman eksternal yang dihadapinya.

Berangkat dari asumsi bahwa fundamentalisme adalah gejala universal semua agama inilah, para penulis dalam buku ini berupaya memperdebatkannya dalam konteks agama Islam dan Kristen. Eko Prasetyo dan Machasin, sesuai dengan agama mereka, berbicara tentang fundamentalisme Islam. Sedangkan Gerrit Singgih dan Th Sumartana membahas tentang fundamentalisme Kristen.

Menariknya, buku ini juga menyertakan diskusi antarpara pembicara dan juga para peserta. Tak heran jika banyak gagasan berbeda dibiarkan terbuka tanpa penyelesaian. Pembaca diundang untuk menguji sendiri gagasan-gagasan tersebut. Buku ini memang sengaja disusun dari bahan studi agama-agama yang diselenggarakan oleh Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia (Dian/Interfidei) Jakarta pada akhir tahun 2002 lalu.

Eko Prasetyo secara khusus berbicara tentang Laskar Jihad yang pernah mengirimkan ratusan sukarelawannya ke Ambon. Sesuai dengan penelitian dan pengalamannya bergumul dengan Laskar Jihad, Eko berupaya menunjukkan bahwa jika dipahami secara kontekstual, kelompok yang sering disebut fundamentalis ini memiliki karakteristik tertentu sebagai sebuah gerakan sosial.

Laskar Jihad tidak semata-mata gerakan teologis yang berupaya melaksanakan dan mengejar cita-cita ideologi keagamaannya dengan cara yang radikal. Kelompok ini dengan caranya sendiri berupaya melawan neoimperialisme ekonomi, politik, dan budaya yang bersembunyi di balik kedok liberalisasi dan kebudayaan global. Islam, seperti yang diperjuangkan oleh mereka tak lain adalah solusi alternatif untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial seperti ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum, korupsi, dan terutama degeneralisasi moral masyarakat muslim.

Munculnya idiom perang jihad dan tindak kekerasan atas nama agama, misalnya dalam kasus Ambon, pada kelompok ini menurut Eko tak lain adalah respons terakhir atas lalainya pemerintah melindungi kelompok masyarakat yang tertindas. Pun kehadiran mereka di Ambon bukanlah semata-mata untuk "berperang", berbagai pelayanan sosial, kesehatan, dan pendidikan telah mereka lakukan ketika berbagai institusi pemerintahan yang seharusnya bertanggung jawab atas hal ini lumpuh total.

Berbicara tentang fundamentalisme Islam secara umum, Machasin melihat kesenjangan kehidupan modern dengan apa yang dianggap kehidupan ideal umat Islam sebagai penyebab utama. Kehidupan modern yang sekuler adalah biang kerusakan moral umat Islam. Perjudian, pelacuran, obat-obatan, dan minuman keras serta pergaulan muda-mudi yang permisif adalah produk kehidupan modern yang tak lain adalah hasil pengaruh Barat. Kaum muslim yang ingin melindungi ketaatan beragama umat Islam tergerak untuk melakukan berbagai aksi untuk menuntut pembersihan berbagai kemaksiatan sosial tersebut. Dan ketika institusi berwenang seperti pengadilan dan kepolisian dianggap gagal memenuhi tuntutan mereka, akhirnya tindakan main hakim sendiri, sering kali dengan kekerasan fisik, menjadi tak terhindarkan.

Berbeda dengan fundamentalisme Islam yang muncul dari upaya resistensi terhadap pengaruh budaya global yang mengusung westernisasi, fundamentalisme Kristen lahir sebagai reaksi atas pandangan saintifik ilmiah yang menggeser pandangan hidup kekristenan. Reaksi muncul terutama terhadap pengajaran teori evolusi Darwin di sekolah-sekolah dan tradisi intelektual gnostik yang meragukan kebenaran Alkitab. Tergesernya pandangan dunia (world view) kekristenan oleh pandangan dunia modern yang rasionalis-saintifik ini diterima sebagian besar penganut Kristen. Dan beberapa ajaran Alkitab yang tidak sesuai dengan perkembangan modernitas, baik segi ilmiahnya maupun norma kemasyarakatannya, dianggap sebagai sejarah masa lalu yang perlu dikontekstualisasikan.

Namun, ada kelompok-kelompok tertentu dalam agama Kristen yang menentang keras kontekstualisasi semacam ini. Bagi mereka, bukan agama Kristen yang harus menyesuaikan diri dengan zaman. Justru zaman dan dunia inilah yang harus dikristenkan. Agama Kristen yang menyesuaikan diri dengan zaman bagi mereka tidak murni lagi. Mereka ingin mempertahankan kemurnian iman. Dan satu-satunya jalan yang ditempuh adalah mempertahankan kesucian Alkitab, mulai keyakinan ketidakmungkinan adanya kesalahan (innerrancy) Alkitab sampai keyakinan akan kedatangan kembali Yesus ke diunia ini. Mereka inilah yang dikategorikan sebagai fundamentalisme Kristen.

Meskipun pada dasarnya bersifat teologis, namun gerakan fundamentalisme Kristen juga merambah politik. Dan fakta inilah yang mempersamakan antara fundamentalisme Kristen dan fundamentalisme Islam. Jika jargon fundamentalisme Islam adalah berdirinya negara Islam atau penerapan syariat Islam, maka fundamentalisme Kristen juga melakukan kampanye politik untuk memasukkan beberapa ajaran Kristen dalam perundang-undangan negara, seperti kampanye doa di sekolah-sekolah negeri, larangan aborsi dan euthanasia. Ini terutama terjadi dalam konteks Amerika Serikat. Di beberapa negara lain, seperti di Zambia, "syariat Kristen" bahkan telah diterapkan (hlm. 109).

Di Indonesia, tidak hanya fundamentalisme Islam yang mengaspirasikan negara Islam atau penerapan syariat Islam. Menurut Gerrit Singgih, di beberapa daerah yang mayoritas Kristen seperti di Tapanuli Utara, Minahasa, Timor Barat, dan Papua, terdengar juga keinginan-keinginan untuk memberlakukan "syaiat Kristen".

Karena itu, fundamentalisme dalam agama apa pun bergerak dari teologi. Namun, teologi itu kemudian diarahkan menjadi sebuah ideologi tertutup yang ingin dijadikan dominan di mana pun mereka berada. Tak heran, jika seperti diuraikan oleh Th. Sumartana, semua kelompok fundamentalis melakukan truth claim yang tidak bisa dikompromikan dengan keyakinan yang dimiliki kelompok lain dalam agama yang sama, apalagi dengan agama lain.

Sikap ini berimplikasi pada pergaulan sosial dalam masyarakat yang plural. Fundamentalisme menjadi eksklusif dan tidak toleran. Mereka juga amat ekspansif dan cenderung ingin mendominasi kekuasaan demi pelaksanaan keyakinan yang dianutnya. Karena itu, Th. Sumartana meragukan apakah fundamentalisme dapat menjadi sebuah gerakan sosial alternatif (seperti diinginkan oleh Eko Prasetyo) yang dapat menciptakan tatanan yang adil dan aspiratif (untuk tidak menyebut demokratis, karena bukankah demokrasi adalah produk sekulerisme Barat yang ditentang kebanyakan fundamentalis). Namun, demi menghargai pluralitas agaknya fundamentalisme harus diakui sebagai bagian dari perbedaan yang hidup dalam masyarakat. Apalagi jika benar bahwa seperti diyakini Machasin, fundamentalisme tunduk pada hukum perubahan. Di mana, seiring waktu, fundamentalisme akan mengalami moderasi dengan sendirinya.

Muhammad Syafiq adalah Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

No comments: