Tuesday, March 31, 2009

Dibalik Radikalisme Islam Indonesia

Dibalik Radikalisme Islam Indonesia (1)
* Prof Dr Alwi Shihab
Ketua Umum DPP PKB

Kepada pembaca Harian Duta Masyarakat, pertama-tama saya menyampaikan Minal Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Kedua, memenuhi permintaan redaksi Harian Duta Biro Jakarta, saya Insya-Allah akan menulis di Harian ini secara rutin. Sebagai wahana komunikasi atau silaturrahmi saya dengan para pembaca. Pada kesempatan pertama ini, saya ingin menurunkan ulasan tentang fenomena warga keturunan Arab di Indonesia.
Seperti kita ketahui, ada beberapa tokoh Islam keturunan Arab, pemimpin organisasi massa, yang saat ini sedang berurusan dengan aparat dalam kasus tindak kekerasan. Ulasan sejarah para keturunan Arab yang mayoritas dari Hadramaut Yaman ini, sebagian besar idenya pernah saya presentasikan di Amerika Serikat. Tulisan akan saya awali dengan wacana tentang “penulisan sejarah” terlebih dahulu, agar tidak menimbulkan kesan lain sebelum tulisan ini tuntas.
Menulis sejarah bukanlah suatu tugas mudah. Berbeda dengan penulisan sejarah masa lalu yang terfokus kepada penuturan kejadian atau event sejarah berdasarkan fakta (narrative type), penulisan sejarah atau historiografi masa kini tidak ubahnya dengan disiplin ilmu lain yang membutuhkan perangkat pembantu, antara lain disiplin ilmu arkeologi, sosiologi, anthropologi, psykologi, agama dan lain sebagainya. Sukses tidaknya seorang sejarawan dalam tulisannya tergantung pada kepiawaiannya dalam menganalisa dan menghubungkan data, keahliannya dalam menerjemahkan sikap pelaku sejarah serta ketajaman intuisinya dalam menelusuri jalan pikiran, mentalitas serta kecenderungan kelompok atau bangsa yang diteliti dan ditulis. Alhasil sejarawan harus memiliki erudition (pengetahuan memadai, wawasan luas dan pengalaman tinggi). Demikian digariskan oleh Paul Veyne, kritikus teks asal Perancis dalam bukunya Writing History.

Untuk itu para pakar metodologi penulisan sejarah menggaris-bawahi empat segi penting yang, harus dipenuhi dalam penulisan sejarah. Secara berurut adalah: heuristik atau kemahiran teknik riset yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman, pengetahuan tentang interpertasi kejadian sejarah yang sedang berlaku, penelitian data dan selanjutnya penuturan melalui tulisan.

Berdasarkan hal di atas maka sulit ditemukan metode ilmiah yang baku atau prinsip-prinsip universal yang dapat digunakan untuk penulisan sejarah. Tidak dapat disangkal bahwa penulisan sejarah tidak terlepas dari kecenderungan dan latar belakang penulis. Karena penulisan sejarah banyak diarahkan oleh penulisnya maka sangat sulit dicapai karya yang memiliki “objektifitas” tinggi. Sampai-sampai Yoyce Dedalus, penulis kenamaan abad ini tidak saja meragukan objektifitas penulisan sejarah bahkan menamakannya nightmare (mimpi buruk). Dari kenyataan ini pula kita lalu sering mendengar ungkapan bahwa sejarah tidak lain hanyalah cerita-cerita kelompok pemenang (Stories of the victorious). Oleh karena itu tidak jarang timbul ketegangan antar bangsa hanya disebabkan oleh penulisan sejarah.

Menurut R.W. Southern dalam bukunya Western Views of Islam, Nabi Muhammad SAW yang secara jelas telah membangun suatu peradaban tinggi di atas permukaan bumi ini “baru dikenal dalam sejarah Barat pada abad ke 12 tanpa bumbu imaginasi negatif”. Keberatan kita atas penulisan sejarah oleh sebagian penulis Barat tentang tahun kemerdekaan Indonesia juga menggambarkan subjektivitas penulis. Pihak Belanda masih menganggap bahwa kemerdekaan kita baru dinyatakan sah setelah “Konfrensi Medja Bundar” tahun 1949. Untuk itu penulisan sejarah Indonesia oleh mereka tidak menyebut 17 Augustus 1945 sebagi hari Proklamasi Kemerdekaan. Lagi-lagi kerancuan ini timbul karena perbedaan persepsi kedua bangsa.

***

Sejarah imigrasi atau hijrah orang-orang Arab Hadharim (asal Hadhramaut, Yaman Selatan) ke Indonesia tidak jauh berbeda dengan sejarah orang-orang Eropa yang berhijrah ke Amerika. Oleh sebagian penulis sejarah, yang menaruh perhatian pada kondisi sosio-politik dan ekonomi para imigran tersebut berkesimpulan bahwa motivasi utama mereka adalah mengejar keuntungan material. Sebaliknya, penulis sejarah yang meneliti perkembangan agama di Amerika menilai para imigran Eropa berjasa dalam melebarkan pengaruh agama Kristen di benua tersebut. Kedua kesimpulan yang berbeda dan tidak tuntas ini akan tetap menjadi bahan kajian seterusnya.

Demikian pula halnya dengan keadaan orang-orang Arab yang datang ke Indonesia khususnya setelah abad ke 18. Ada dua kesimpulan tentang motivasi kedatangan mereka ke Indonesia yang agaknya sulit dipertemukan. Yang pertama, berpandangan positif yang menilai bahwa proses Islamisasi di Indonesia tidak terlepas dari sumbangsih orang-orang Arab Hadharim dulu. Yang kedua adalah pendapat yang dilontarkan oleh Van den Berg, orientalis asal Belanda abad 19, bahwa motivasi utama orang-orang Arab tersebut hanyalah pencarian harta semata. Lebih jauh ia menerangkan bahwa kalaupun ada di antara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai gadi (qhadli) atau imam, itupun hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama. (lihat Azumardi Azra, Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora, Studia Islamika, Vol.2, No. 2, 1995, diterbitkan oleh I.A.I.N. Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Tiada seorangpun dapat memastikan kesimpulan mana yang mendekati kebenaran; yang menggambarkan pandangan positif atau dalam bahasa agamanya husnudhan (prasangka baik), ataukah kesimpulan kedua yang mengarah kepada pencemaran nama, suudhan (prisangka buruk). Kalau saja kita ingin menunjuk kepada kekeliruan kesimpulan Van den Berg dengan menekankan pada aspek upaya pencemaran orang-orang Arab Muslim, maka hal ini tidak sulit untuk dibuktikan. Sejak lahirnya Islam, orang-orang Arab Muslim tidak terlepas dari konspirasi pihak-pihak luar yang bertujuan untuk mendiskriditkan Islam. Di Indonesia, upaya kolonial Belanda untuk membendung pengaruh Islam dari negeri Arab bukan suatu rahasia. Bagi Belanda, Islam adalah ancaman bagi eksistensinya di Indonesia. Suatu hal yang harus selalu diingat bahwa para orientalis masa penjajahan adalah bagian dari mesin pemerintahan kolonial yang memiliki agenda yang sama, yakni melestarikan pemerintahan kolonial dan membendung pengaruh Islam. Van den Berg tentunya bukanlah suatu pengecualian. (Bersambung)

No comments: