Monday, March 30, 2009

konflik dan Patologi Sosial

konflik dan Patologi Sosial, karena Formalisme atau Politisasi Agama?
Abd Rohim Ghazali


DI harian ini, Jumat, 16 November lalu, ada dua penulis yang menggugat tajam formalisme agama. Pertama, Benny Susetyo: Menafsirkan Kembali Cara Beragama Kita (halaman 4); dan kedua, Muhtadi Abdul Mun'im: Menuhankan Agama? (halaman 5). Dengan pendekatannya masing-masing, keduanya memosisikan agama sebagai tersangka atas segala patologi dan konflik sosial yang terjadi di negeri ini. Menurut Benny, jika keberagamaan kita terjebak pada bentuk formalisme beragama, akibatnya agama menjadi terasing dengan persoalan kehidupan manusia. Agama yang seharusnya menjadi pembebas, malah terjebak pada aspek romantisme formal (alinea VI). Lebih jauh dia menganggap bahwa cara keberagamaan yang formal seperti itu akan menghasilkan manusia yang buas, picik, korup, dan gila segalanya (alinea XIII).

Dalam bahasa yang lebih lunak, Muhtadi melihat bahwa ketika agama melembaga menjadi institusi suatu komunitas, terjadilah reduksi sesuai paham kelompok. Sikap yang muncul dari eksklusivisme ini menumbuhkan fanatisme dan alih-alih menuhankan agamanya. Dari sinilah muncul fundamentalisme agama yang ikut menanamkan di alam bawah sadar para pengikutnya akan sesuatu yang tidak bisa diterima, selain paham yang mereka anut (alinea XI).

Pendapat kedua penulis ini bisa jadi merupakan instrospeksi, melihat sejujurnya apa yang tengah terjadi dalam ruang batin umat beragama. Sayangnya, mungkin karena terlalu jujur, keduanya kurang komprehensif dalam melihat realitas obyektif persoalan sosial politik yang terjadi di negeri ini. Menurut saya, menganggap segala bentuk kerusakan di negeri ini, terutama yang menyangkut kejahatan kemanusiaan, semata-mata disebabkan karena persoalan keagamaan, adalah naif. Cara Muhta-di misalnya, membandingkan antara Selandia Baru yang "kurang beragama", namun lebih jujur dari Indonesia yang dianggapnya lebih beragama (alinea I), saya rasa tidak relevan sama sekali.

Agama bukanlah "panacea"

Agama, menurut Islamolog terkemuka Indonesia Prof Dr Harun Nasution, berasal dari bahasa Sankrit yang terdiri dari dua kata: a=tidak, gam=pergi, jadi tidak pergi, diam di tempat, dan diwarisi turun-temurun. Dalam bahasa Eropa, agama disebut religi yang berasal dari bahasa Latin: relegere, yang berarti mengumpulkan/kumpulan, atau religare, yang artinya mengikat/ikatan. Dalam bahasa Arab, agama disebut din, yang berasal dari bahasa Semit, yang artinya undang-undang atau hukum (Nasution, 1984:9-10).

Banyak cendekiawan muslim (antara lain Menteri Agama pertama Republik Indonesia Prof Dr HM Rasyidi) yang mengkritik tajam pendapat ini, namun sayangnya tidak mampu memberikan alternatif pemahaman yang lebih mengena dan bisa diterima semua kalangan.

Tampaknya, seideal apa pun interpretasi manusia terhadap agama, pada ujungnya tetaplah berkesimpulan bahwa agama berisi ajaran-ajaran, doktrin, dan peraturan mengenai bagaimana tata cara hidup yang baik. Artinya, bisa dikatakan bahwa agama sama saja, misalnya dengan perundang-undangan, atau doktrin yang menjadi asas negara. Bedanya, jika undang-undang atau doktrin asas negara dibuat manusia, agama diyakini bukan buatan manusia, melainkan berasal dari sesuatu yang transenden, yakni Tuhan Yang Serba Maha.

Oleh karena berasal dari Yang Serba Maha inilah maka banyak orang salah kaprah, menganggap agama sebagai makhluk serba bisa. Padahal, sebagai doktrin, ajaran, atau aturan main-seperti yang lainnya-berfungsi atau tidaknya sangat tergantung pada siapa yang mengaktualisasikannya.

Betul bahwa agama memiliki kebenaran serba ideal karena berasal dari Tuhan sebagai Pemilik Kebenaran Mutlak. Tetapi, kebenaran agama bukanlah berada dalam ruang hampa yang bebas nilai. Meminjam istilah Clifford Geertz, agama tidaklah sesuatu yang otonom, melainkan berada dalam suatu realitas obyektif yang secara signifikan mempengaruhi, baik interpretasi maupun aktualisasi dari agama tersebut.

Memang, idealnya, agama harus tampil sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan sebagai pemusnah segala bentuk ideologi yang destruktif bagi kemanusiaan. Tetapi, pada faktanya, antara agama dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain, atau bahkan saling memperalat satu sama lain.

Memisahkan atau mengontraskan agama dengan budaya suatu masyarakat, sama artinya dengan mengangkat agama tinggi-tinggi sehingga tidak tersentuh manusia; atau, kalaupun bersentuhan dengan manusia, niscaya agama akan tampil menjadi doktrin antikebudayaan. Betapa ahistorisnya.

Dari uraian ini saya ingin mengungkapkan, bahwa meskipun agama bukanlah candu masyarakat-sebagaimana anggapan Karl Marx-bukan berarti menganggap agama sebagai obat mujarab bagi segala macam penyakit (panacea). Mengharapkan tegaknya supremasi hukum; berkurang atau terhapusnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); terciptanya kehidupan harmonis dan saling tolong menolong satu sama lain; dan lain-lain, hanya semata-mata bergantung pada perbaikan pola hidup beragama (se-perti pembaruan, penafsiran kembali, dan semacamnya), bukanlah jalan keluar yang tepat.

Fenomena patologi sosial bukanlah semata-mata disebabkan karena kesalahpahaman dan atau disfungsi agama, tetapi lebih karena faktor-faktor sistemik, terutama sistem politik yang secara signifikan sangat berpengaruh dan (bahkan) bisa mengintervensi dan memaksakan kehendak pada semua warga masyarakat.

Suatu sistem politik (negara) yang tiranik dan koruptif misalnya, sangat potensial atau bahkan dipastikan bisa menyebabkan seluruh aspek kemanusiaan-termasuk agama -menjadi tercemar. Hal ini bisa dipahami karena negara, seperti kata Thomas Hobbes, bisa menjelma menjadi "Tuhan" yang di samping memiliki kekuasaan mutlak, namun suatu saat juga bisa menjelma menjadi "leviathan", sejenis monster air yang jahat.

Formalisme agama

Berdasarkan pemikiran di atas, jalan keluar yang lebih tepat (meskipun bukan ideal) dari fenomena maraknya patologi sosial seperti KKN, konflik sosial, dan kekerasan, baik secara vertikal maupun horisontal seperti yang terjadi sekarang ini, bukan dengan menghindari formalisme, atau formalisasi agama.

Jika dilihat dari maknanya sebagaimana diuraikan di atas, agama bisa dikatakan sebagai bentuk formalisasi (berupa kumpulan=relegere, atau ikatan=religare agar tidak pergi=agam) dari serangkaian doktrin, etika, dan aturan main yang diyakini berasal dari Tuhan untuk kesejahteraan dan keharmonisan manusia seluruhnya-melalui seorang Nabi yang disebut umat Kristiani sebagai juru selamat, dan disebut umat Muslim sebagai pembawa rahmat.

Pada dataran implementasinya, tentu saja aspek formalisme merupakan bagian dari agama. Dalam Islam, aspek formal dari agama itu disebut ibadah mahdhah, yakni suatu aktivitas keagamaan yang harus mengikuti aturan main yang baku, seperti shalat, puasa, haji, zakat, tata cara menikah, dan mengurus jenazah.

Di luar aspek yang mahdhah ini, semua aktivitas yang konstruktif bagi kehidupan kemanusiaan pada hakikatnya bisa juga disebut ibadah. Artinya, aspek formal (mahdhah) dari agama merupakan bagian yang sedikit saja dari seluruh aspek kemanusiaan. Meskipun demikian, justru aspek yang formal inilah yang signifikan dari agama, yakni suatu aspek yang bisa membedakan pada batas mana suatu komunitas disebut umat beragama atau bukan.

Tanpa adanya aspek formal ini misalnya, kita tentu akan kesulitan membedakan sepasang suami-istri yang hidup berumah tangga, antara yang diikat dengan tali perkawinan/pernikahan dengan yang sekadar kumpul kebo (tanpa ikatan perkawinan). Singkat kata, aspek formalisme merupakan raison de et're dari suatu agama. Jadi, salahkah formalisme agama?

Akibat politisasi

Yang salah dari formalisme agama adalah ketika aspek kemanusiaan yang luas itu (yang bukan ibadah mahdhah) diformalisasikan sebagai bentuk ibadah dengan menyertakan simbol-simbol keagamaan, apa pun agamanya. Mengapa hal itu terjadi? Penyebabnya, bukan karena agama yang rakus ingin memformalkan semuanya, melainkan karena aspek di luar agama yang secara dominan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk agama.

Yang sangat berpengaruh itu, apalagi kalau bukan negara. Dalam suatu masyarakat di mana peran negara sangat dominan, akan dengan sendirinya terjadi persaingan untuk memperebutkan posisi-posisi penting dalam negara (kekuasaan). Dan, inilah yang sekarang terjadi di Indonesia.

Sialnya, dalam setiap persaingan, semua pihak niscaya mengerahkan bukan saja potensi kemampuan profesional yang ada pada dirinya, tetapi juga semua aspek yang memungkinkan bisa dijadikan komoditas untuk memenangkan persaingan itu.

Bahkan dalam kasus Indonesia, aspek yang sangat irasional sekalipun, seperti klenik, perdukunan, dan ajian kesaktian (ingat kasus dukun santet dan pasukan berani mati yang kebal itu!) ikut dikerahkan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Lantas, bisakah agama melarikan diri dari jeratan kepentingan kekuasaan? Inilah persoalannya!

Menurut para peletak dasar ilmu sosial, seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting (meskipun tak selalu dominan-penulis) dalam kehidupan manusia. Sementara para agamawan pasti menganggap agama sebagai aspek yang paling besar pengaruhnya, bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin), dari kehidupan kemanusiaan.

Tentu, para politisi yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, jadilah agama sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.

Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.

Namun, perlu dicatat, dalam proyek "kerja sama" ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.

Mereka yang termakan tipuan ini akan serta merta menuduh agama sebagai biang kerok, karena pada faktanya proyek politik ini senantiasa berdampak sangat buruk bagi kemanusiaan. Wallahu a'lam bishshawab!

* Abd Rohim Ghazali Analis politik Lembaga Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia .

Agama Post-Dogmatik

Agama Post-Dogmatik

Zuly Qodir

kompas/agus susanto
DISCOURSE keagamaan di Tanah Air terus berkembang. Sebelumnya berkembang discourse keagamaan modernis, neo-modernis, lalu post-modernis, liberalisme, dan post-tradisionalis. Kini, rasanya perlu juga dikembangkan discourse keagamaan yang lain, yakni post-dogmatik. Discourse sebelumnya mungkin belum tuntas, tetapi melihat paralelismenya, tampaknya tidak jauh beda antara discourse neo-modernis, post-modernis dengan liberalis dan post-tradisionalis. Keempat discourse ini hendak menempatkan agama sebagai enclave yang mendorong toleransi, inklusivisme, dan demokrasi. Pendek kata, keempat discourse itu merupakan respon atas discourse keagamaan yang intoleran, eksklusif, sehingga tidak demokratis dan pluralis.

Ada problem pada keempat discourse keagamaan ini. Paling tidak tiap-tiap pengamat, baik asing, maupun dalam negeri, peneliti dan aktivis NGO memberi "pestanya" masing-masing berdasar kecenderungan yang menyertai keempat kelompok itu. Suka atau tidak, pengelompokan itu amat mungkin subyektif dari para pengamat, peneliti, dan aktivis itu sendiri, sehingga bisa berbeda-beda ketika memasukkan kriteria dan substansi isu yang diperbincangkan.

Meski demikian, tulisan ini tidak akan mengemukakan perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara keempat kelompok pemikiran keagamaan itu, tetapi membahas aspek lain dari wacana dan cara beragama di Tanah Air. Ini mestinya mendapat perhatian serius, karena perkembangan-perkembangan yang muncul bersamaan dengan proses dinamik umat beragama di Tanah Air khususnya.

Gugatan atas Agama

Selama lebih dari 4000 tahun, agama mendapatkan tempatnya dalam kehidupan umat manusia. Hal ini karena fungsi agama masih dapat dirasakan umat manusia. Namun, ketika gagasan tentang agama tidak lagi dirasakan fungsinya di tengah masyarakat yang makin kompleks dengan problem, maka gagasan tentang agama akan berakhir, sehingga Tuhan dalam agama pun menjadi bagian kisah masa silam.

Tuhan yang telah menurunkan agama, merupakan gagasan masa lalu yang absurd. Kita kini membutuhkan gagasan tentang agama dan Tuhan yang mampu "merangkul kemanusiaan" umat manusia, sehingga Dia hadir, demikian tulis Karen Amstrong dalam History of God, 1993. Tuhan, melalui agama-agama harus mampu menyapa keadaan nyata umat manusia. Di sinilah agama akan berfungsi, bukan sebagai candu, dan ganja bagi umat manusia.

Beberapa problem nyata yang dihadapi umat beragama merupakan problem kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah. Di antara problem itu pertama, kemiskinan, kebodohan, dan penindasan. Problem ini bila tidak mampu dijawab penganut agama, jelas akan menjadikan agama hanya sebagai gagasan, dan konsepsi belaka. Agama tidak bisa berhubungan langsung dengan realitas sosial yang menuntut penyelesaian dengan segera.

Problem kemiskinan, kebodohan, dan penindasan makin nyata saat masyarakat kebanyakan dalam keadaan kekurangan, kesulitan mendapat akses pada sumber-sumber yang mampu mengangkat kemiskinan pada kesejahteraan. Tambahan lagi, jika terjadi proses pemiskinan struktural seperti terjadi sepanjang rezim otoriter di bawah Orde Baru. Kemiskinan struktural amat jelas, akibat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di setiap wilayah kehidupan.

Akibat proses pemiskinan struktural, kebodohan merajalela. Masyarakat miskin tidak mampu mendapat pendidikan yang layak. Sumber-sumber ekonomi ditutup oleh sebuah sistem yang tidak adil. Pendidikan hanya menjadi konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Rakyat miskin harus rela menerima keadaan tanpa diperbolehkan protes. Protes atas kebijakan negara, sama artinya dengan menyerahkan diri pada harimau yang siap menerkam, maka matilah dia.

Setelah proses pemiskinan struktural terjadi sistematis, maka penindasan menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyat miskin dan bodoh. Rakyat miskin dan bodoh tak lebih sebagai bahan penindasan, baik struktural maupun kultural. Protes menjadi barang langka, karena saat menghadapi penindasan, rakyat miskin dan bodoh tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Perlawanan pasti kalah, bahkan akan makin menindas, karena di sana tidak ada pembelaan.

Dari sana amat jelas bagaimana kemiskinan, kebodohan, dan penindasan merupakan tiga serangkai gugatan atas agama. Agama hanya akan mendapat tempatnya kembali ketika mampu meresponnya dengan seksama.

Kedua, fundamentalisme-radikalisme. Problem ini ada pada tiap agama monoteisme. Akibat adanya klaim atas keselamatan dan kebenaran, maka agama-agama monoteis saling menegaskan identitasnya untuk "menyelamatkan" orang yang ada di luar kelompoknya.

Fundamentalisme-radikalisme sebenarnya merupakan buah pemahaman, tafsir, dan keyakinan bahwa kebenaran tidak bisa berbeda jalan. Keselamatan tidak bisa bercabang. Dari sana orang yang ada dalam kelompoknya merasa berkewajiban "mempertobatkan" orang yang ada di luar kelompoknya, karena bila tidak diselamatkan akan sengsara oleh kesesatan agamanya.

Munculnya fundamentalis-radikalisme dalam agama-agama sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat pemahaman atas teks, doktrin, atau konsili yang rigit, dan dibakukan sehingga amat formalis, tidak substansialis. Pemahaman atas teks, doktrin, atau konsili hanya dibatasi satu saja, tidak ada kemungkinan lain, meski mungkin pemahaman baru itu lebih mendekati pada pesan doktrin atau teks itu sendiri.

Ketiga, manipulasi agama. Problem ini juga merambah pada semua agama. Manipulasi agama akan amat kentara saat agama merambat pada wilayah publik sebagai wilayah "bebas". Dengan kebebasan yang ada di sana, maka ketika agama masuk di dalamnya, bisa dipastikan tergantung siapa yang masuk. Dari sana akhirnya orang/kelompok yang masuk akan dengan suka cita "memanipulasi agama" demi kepentingan kelompoknya, tanpa mempedulikan akibat yang akan terjadi. Apa yang terjadi selama kampanye-kampanye Pemilu digelar sepanjang Orde Baru, sampai tahun 1998 lalu dengan jelas dapat kita lihat.

Apa yang dilakukan partai-partai politik "berbasis agama", tidak segan-segan "menjual" agama demi kepentingan partainya untuk mendapatkan perhatian massa pemilih. Setelah Pemilu berakhir, massa pemilih ditinggalkan. Agama elite partai itu tidak lagi menggubris konstituennya, yang penting partainya telah mendapat suara dalam Pemilihan Umum. Akibat paling jelas dari manipulasi agama adalah terjadinya militansi negatif dari pemeluk agama, meski hal ini amat berbahaya untuk agama.

Agama "Post-dogmatik"

Dengan mengemukakan tiga gugatan terhadap agama itu, saya ingin menawarkan suatu discourse keagamaan yang lain. Boleh dikata ini sebagai respon atas kegagalan pemahaman keagamaan yang telah berkembang. Tawaran ini tanpa pretensi menjadi alternatif terbaik, tetapi paling tidak menjadikan agama sebagai "berhala baru" yang tidak mampu berpihak pada rakyat kebanyakan.

Apa yang terjadi itu sebenarnya sebagai akibat kesalahan "penjelasan" (bila boleh dikatakan demikian) atas agama. Karena itu, agama kini dan seterusnya harus diberi penjelasan yang lebih memadai sehingga mampu memberi respon positif dan segera atas problem-problem kemanusiaan yang muncul di tengah masyarakat. Tanpa penjelasan memadai, agama tampaknya akan terus berputar dalam kesalahan yang sama, yakni "membela Tuhan" dalam sejarah, bukan membela manusia.

Untuk itu dibutuhkan sebuah discourse baru, minimal sebagai wacana permulaan, atau persiapan bila menghadapi gugatan-gugatan baru yang akan terus datang. Pada saatnya nanti, umat beragama tidak gagap karena belum pernah memiliki pengamalan wacana yang relatif "maju" dari sebelumnya. Penjelasan atas agama yang lebih "maju dan memadai" itu yang saya sebut sebagai pemahaman agama post-dokmatik.

Istilah post-dogmatik sebenarnya bukan istilah asing dalam wacana keagamaan, karena banyak ilmuwan, meski tidak secara eksplisit mengatakan demikian tetapi penjelasan yang diberikan ke arah sana. Di antara ilmuwan itu adalah, Mohammed Arkoun, Farid Esack, Mohammad Abid Al-Jabiri, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, dan Mohammad Mahmud Toha dari kalangan muslim. Sementara dari kalangan nonmuslim bisa disebut Hans Kung, dan Leonard Binder.

Tanpa hendak membedah satu-persatu corak, metode dan implikasi pemikiran ilmuwan-ilmuwan itu, saya ingin mengajak kita semua untuk beranjak pada substansi gagasan discourse post-dogmatik sebagai discourse keagamaan yang penting dikerjakan kini. Terlebih negeri ini sedang dilanda bencana kemanusiaan yang paling besar, pembunuhan atas nama agama, ideologi, kemiskinan akibat krisis berkepanjangan, kebodohan merajalela dan penindasan oleh kelompok-kelompok agama menjadi bagian dalam kehidupan umat beragama.

Pemahaman tentang agama merupakan problem yang ada pada tiap orang beragama, karena untuk mempereoleh penjelasan tentang agama yang bersifat "obyektif" merupakan kesulitan terbesar yang bisa dilakukan. Atas kesulitan ini, yang terjadi adalah adanya perpecahan dan permusuhan pada level doktrin, bukan substansi masalah. Agama berakhir pada simbol artifisial, bukan pada visi dan misi universal.

Untuk menghindari berhentinya konsepsi agama pada tataran simbol artifisial, maka diperlukan penjelasan yang bersifat multi perspektif, multiface, sehingga menghindarkan orang beragama berpandangan sempit, dan parokial. Dengan pemahaman multi perspektif, dan multiface akan menjadikan orang beragama senantiasa berkeyakinan bahwa pemahaman atas agama harus senantiasa diperbarui, tidak mandeg, karena tidak ada pemikiran yang harus dibakukan. Pemahaman agama tidak bisa uniform, tetapi multiform, sehingga menumbuhkan kesadaran-kesadaran baru dalam beragama.

Doktrin, teks, dan konsili dalam agama harus dianggap tidak lebih sebagai "panduan" moral, bukan substansi agama. Substansi agama adalah ketika agama-agama mampu berdialog dengan kondisi riil dalam masyarakat. Dengan demikian tidak ada pembatasan tentang simbol-simbol artifisial. Pendek kata, dalam agama post-dogmatik tidak ada pembakuan atas tafsir teks, doktrin maupun konsili, yang ada adalah perubahan-perubahan terus-menerus sehingga agama bisa terus hadir.

* Zuly Qodir Alumnus PP Al-Munawir Krapyak, kini peneliti Interfidei Yogyakarta

Agama, Moralitas, dan Negara

Mun'im A Sirry, Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta

HINGGA akhir abad ke-20, berkembang suatu pandangan bahwa negara liberal harus secara sistematis bersikap netral terhadap persoalan agama dan moral. Namun, kita dikejutkan oleh bangkitnya fundamentalisme agama dengan pengaruh yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Persoalannya, apakah kedua perkembangan ini saling terkait, dan bagaimana seharusnya menempatkan moralitas publik dalam suatu masyarakat beragama?

Memang tidak mudah untuk mendefinisikan hubungan ideal antara politik, moralitas, dan agama. Para teoritisi liberal terdahulu berupaya melepaskan civil society dari kekusutan agama yang destruktif. Meski demikian, mereka tetap berasumsi bahwa civil society membutuhkan moralitas, dan moralitas yang efektif secara publik bersumber dari agama.

Umumnya, kalangan tradisionalis tidak setuju bahwa negara bisa netral sepenuhnya terhadap urusan agama dan moral. Intervensi negara dalam domain agama tetap diperlukan, agar kemungkinan terjadinya konflik agama dapat diredam. Sementara itu, kaum liberal memandang intervensi negara ke dalam ruang privat justru akan membawa agama ke wilayah publik, yang bisa menyebabkan agama menjadi alat justifikasi tindakan represif negara.

Untuk memahami dua arus pemikiran yang berpengaruh terhadap kompleksitas hubungan agama dan negara ini, kita bisa meminjam kategorisasi yang diperkenalkan filosof John Locke dalam bukunya, Letter Concerning Toleration (1983). Persoalan utama yang ingin ditawarkan Locke dalam bukunya adalah hubungan seharusnya antara agama dan tatanan sosial (civil order). Berlatar kekisruhan agama pada masanya, Locke bermaksud menjawab pertanyaan, dapatkah suatu versi kebenaran agama yang diyakini seseorang dipaksakan melalui kekuatan negara?

Dalam kaitan pertanyaan itu, Locke menawarkan doktrin toleransi sebagai upaya membangun kembali kepatutan politik dalam konteks adanya ketidaksepahaman mengenai persoalan-persoalan agama yang mendasar. Berpijak pada doktrin-doktrin Kristen, Locke mengajukan beberapa argumen untuk menyokong gagasan toleransi agama, yang bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori. Pertama bisa disebut 'netralitas epistemologis' (epistemological neutrality). Manakala terdapat ruang perbedaan keagamaan cukup luas, kata Locke, kita tidak memiliki pengadilan rasional yang bisa memenangkan salah satu klaim yang berseberangan. Ini tidak berarti tak ada kebenaran agama. Tapi, tidak ada hakim 'di atas bumi' yang kompeten menentukannya (hlm 32). Dengan epistemologi agama ini Locke menampik kemungkinan pemaksaan agama secara publik.

Kedua, sebut saja 'netralitas ontologis'. Meminjam bahasa Locke, 'agama yang benar dan menyelamatkan terdiri dari persuasi akal ke dalam, yang tampaknya tidak diterima Tuhan. Begitulah watak alami pemahaman, yang berarti hal itu tidak bisa dipaksakan untuk menggantikan pemahaman orang lain dengan kekuatan luar' (hlm 27). Hal ini berarti, Locke sama sekali tidak menganggap kebenaran agama sebagai ilusi. Bahkan, kendati kebenaran subjektif agama dapat dibangun, tetap saja senjata pemaksaan tidak dapat membuktikan keyakinan agama sebenarnya.

Ketiga, juga terkait watak pemaksaan (coersion), namun dari sisi moralitas bukan ontologis. Locke sendiri menyebutnya dengan istilah character-based neutrality. Argumennya bisa dijelaskan sebagai berikut: Mereka yang mempergunakan negara untuk menindas perbedaan paham, umumnya menegaskan bahwa motif mereka adalah kecintaan terhadap kebenaran dan untuk menyelamatkan jiwa dari kesesatan. Padahal, kenyataannya, tindakan mereka lebih banyak didorong oleh nafsu kebengisan dan syahwat demi kekuasaan.

Jika diringkas, tesis Locke dibangun di atas tiga proposisi. Karena kebenaran agama tidak dapat diketahui secara pasti, maka upaya untuk memaksakan kebenaran melalui pemaksaan tidak memunyai pembenaran rasional. Jikapun kebenaran agama dapat ditetapkan, keyakinan hati tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan eksternal. Dan, jikapun pemaksaan itu bisa berhasil, namun tetap tidak dibenarkan melakukannya.

Dalam kaitan perdebatan soal 'netralitas' negara, kaum tradisionalis umumnya berargumen bahwa epistemological neutrality tidak seluas yang dibayangkan, karena jarak kontroversi moral dapat diatasi secara rasional. Mereka juga menolak argumen character based-neutrality, karena tujuan negara bukan mendominasi, melainkan mengoreksinya.

Bila tidak dipahami secara benar, perdebatan ini mengesankan bahwa pandangan kaum liberal muncul dari ruang kevakuman moral. Padahal, jika ditelusuri secara simantik, sesungguhnya mereka bermaksud membuat distingsi yang jelas antara wilayah negara dan agama. Sebagaimana dikemukakan sosiolog Peter Berger, diferensiasi itu diperlukan agar masing-masing mengisi wilayahnya sendiri. Dalam negara liberal, wilayah agama memang sempit, tapi justru dengan itu agama berkontribusi secara konstruktif.

Banyak pemikir teori demokrasi, seperti Alexis de Tocqueville, masih menempatkan agama dan moralitas publik pada posisi penting dalam kehidupan berbangsa untuk suatu negara seliberal Amerika Serikat. Amerika, katanya, merupakan tempat di mana agama menduduki posisi terhormat, dan pada saat yang sama Amerika menjadi tempat paling bebas di atas bumi (Democracy in America, vol 1).

Karena itu, netralitas sejatinya dipahami sebagai nonintervensi negara terhadap urusan-urusan privat. Dan, agama yang berada di wilayah privat juga tidak sibuk mengurus hal-hal yang bukan urusannya. Hanya dengan pemisahan tegas seperti ini, agama akan tampil menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Manakala agama telah menemukan ruangnya yang pas, maka moralitas publik akan berfungsi sebagai standar kemaslahatan publik, sehingga negara terhindar dari tindakan koersif atas nama kekuasaan.

Jika kita setuju dengan hipotesis bahwa agama juga dapat empowering demokratisasi, maka pertanyaan tersisa adalah agama macam apakah itu? Apakah agama yang mengurusi wilayah lain atau agama yang mengurusi wilayahnya sendiri? Meminjam istilah Jose Casanova (1994), public religion atau private religion?

Banyak kalangan berpendapat, penggiringan agama ke ruang privat justru menyebabkan agama mandul. Bisa saja itu benar adanya. Namun harus juga ditegaskan, belum ada penelitian yang menunjukkan korelasi positif antara agama publik dan produktivitas. Bahkan jika mau melirik (kemudian belajar) ke Barat, suatu truisme bahwa agama pasca-Percerahan Barat ditandai meluasnya privatisasi. Yakni, adanya kecenderungan makin meningkat untuk melihat agama sebagai masalah etika personal privat dan bukan tatanan politik publik.

Agama Harus Memelopori Gerakan Sosial

Masdar F Masudi:
Agama Harus Memelopori Gerakan Sosial

SELAMA ini gerakan keagamaan identik dengan urusan-urusan ritual yang bersifat privat dan ada kecenderungan untuk menganggap agama hanya semata mengurus persoalan rohani. Bahkan, beragam masalah dalam hidup dan kehidupan selalu dikaitkan dengan soal spiritualitas (agama).

Menurut Masdar Farid Mas?udi, jika benar agama hanya mengurusi soal rohani, hal ini akan bertentangan dengan prinsip kunci dari semua agama di Bumi ini, yakni keadilan.

Dalam Islam, keadilan menduduki posisi sangat penting dan terkait dengan hampir semua urusan duniawi. Bagaimana manusia menakar keadilan jika agama semata mengurusi rohani dan spiritualitas.

Zakat yang merupakan rukun Islam keempat, menurut Masdar, adalah wujud nyata dari pembelaan Islam terhadap prinsip keadilan. Zakat juga menawarkan pengelolaan uang negara sekaligus mengoreksi tradisi pengelolaan uang publik oleh kekuasaan yang hanya berpihak pada kepentingan elite.

Pada bulan Ramadhan ini setiap Muslim wajib membayar zakat sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri. Kewajiban itu lebih menegaskan lagi bagaimana zakat harus berfungsi dan difungsikan dalam realitas kehidupan nyata umat manusia. Tidak salah jika Nabi Muhammad SAW bersabda, "Pahala puasa seseorang masih mengawang-awang di angkasa sebelum dia membayar zakat."

"Saya percaya bahwa agama merupakan kekuatan pembebas yang luar biasa. Setiap agama memiliki spirit asal sebagai kekuatan pembebas untuk kemanusiaan. Itulah visi kemanusiaan agama yang sangat dalam yang tidak dapat ditaklukkan oleh kekuatan politik," kata dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menjelaskan.

Masdar sadar betul bahwa agama akhir-akhir ini telah kehilangan sifat kemanusiaannya. Agama seperti tidak acuh terhadap masalah besar yang menggerogoti bangsa, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Agama seperti berhenti hanya pada tataran moral yang sulit diimplementasikan.

Upaya transformasi etika agama ke wilayah publik, kata Masdar, sangat mendesak karena agama telah kehilangan tanggung jawab untuk membebaskan kehidupan manusia. "Kesepakatan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam gerakan antikorupsi merupakan wujud kekuatan agama sebagai pengawal etika bangsa. Agama harus menanamkan bahwa korupsi adalah kejahatan yang menyengsarakan masyarakat luas," kata alumnus IAIN Sunan Kalijaga itu menambahkan.

Masdar tidak berhenti di situ. Dalam beberapa kesempatan bahtsul masa?il (pembahasan masalah agama) yang rutin dilakukan NU, dia mengkritisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) beberapa daerah.

Dari forum tersebut kemudian muncul pernyataan bahwa alokasi APBD harus diperbesar untuk pemberdayaan masyarakat, pengembangan ekonomi kerakyatan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat yang lemah dan miskin.

Masdar mengakui privatisasi agama telah muncul sejak zaman khulafaur rasyidin (empat khalifah pertama). Para ulama saat itu kecewa dengan konflik politik yang berkepanjangan pada periode kepemimpinan mereka. Para tokoh agama yang berhati bening, uzlah (menyepi), dan tidak mau ambil bagian dalam mengatasi persoalan kemasyarakatan. "Itu merupakan kecelakaan sejarah yang fatal," kata Masdar yang pernah mengikuti kunjungan studi ke lembaga dan organisasi keagamaan di Amerika Serikat pada tahun 1996.

Di Indonesia sendiri, kata Khatib Syuriah Pengurus Besar (PB) NU itu lagi, para tokoh agama tidak pernah melakukan gerakan sistematis untuk menentang praktik KKN. "Kalau untuk urusan sepenting ini, agama tidak bisa memberikan jalan keluar, rasanya agak sulit bagi agama untuk menegakkan wibawa ke depan," ucapnya.

Islam sebagai agama rahmatan lil aalamin, menurut Masdar, harus dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia. "Islam seharusnya menegakkan keadilan untuk semua orang, bukan hanya untuk umat Islam. Siapa pun yang lemah, apa pun agamanya, harus dibantu. Kita harus berpikir dalam bingkai negara kebangsaan dengan problem-problem kemanusiaan yang lintas batas," katanya.

Agama, menurut Masdar, harus aktif melakukan kritik etik terhadap sistem sosial politik mana pun yang tidak memihak kelompok lemah.

Kekuatan agama perlu mengambil inisiatif untuk melakukan ethical review, menguji semua aturan main dari perspektif etik.

"Agama harus menjadi pengawal etika sosial agar mampu menyelesaikan ketimpangan struktural di tengah masyarakat," katanya.

Agama sebagai pembawa seruan Tuhan untuk kebenaran dan keluhuran seharusnya berpijak pada kondisi obyektif kemanusiaan. Benar sabda Nabi Muhammad SAW, kemelaratan nyaris identik dengan kekufuran (kadal faqr an yakuuna kufra). Kefakiran adalah faktor dominan yang meredupkan cahaya keimanan orang-orang yang beriman.

Masdar mengambil contoh bagaimana lembaga zakat dalam Islam memberikan kemungkinan upaya pemberdayaan bagi masyarakat lemah dan miskin. Kehadiran zakat secara tidak langsung menegaskan bahwa uang publik adalah uang Allah (haq Allah). Ini bermakna uang tersebut harus digunakan di jalan Allah SWT dan penguasa hanya berkedudukan sebagai amil (penyalur).

Zakat juga memperkenalkan istilah tarif baku (miqdar), kekayaan yang jadi obyek pajak (maal zakawy), dan batas minimal terkena pajak (nisab) secara proporsional. "Tidak berhenti di situ, zakat juga mengatur bagaimana membelanjakan uang yang terkumpul. Bahwa uang itu pertama-tama harus dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, terutama mereka yang lemah dan fakir miskin, apa pun agamanya," katanya.

Agama sebagai ajaran spiritual dan moral sesungguhnya melihat problem kemiskinan. Kalau hampir semua nabi memulai dakwahnya dengan upaya pemberdayaan masyarakat miskin, itu karena memang di situlah peran sentral agama diperlukan. Dan, tidak satu pun agama yang memberi penghargaan terhadap mereka yang serakah.

KKN, di mata Masdar, adalah bentuk keserakahan yang harus diperangi oleh semua agama. Para pelaku KKN bukanlah mereka yang lapar, tetapi mereka yang serakah. Keserakahan itu telah menyebabkan sebagian manusia lain harus menderita. "Di sini kita harus sepakat bahwa KKN adalah musuh utama bangsa," katanya.

Lewat Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Masdar melakukan gerakan kemanusiaan pada level bawah yang melibatkan agama lain. P3M juga memberikan advokasi kepada masyarakat, seperti membentuk lembaga perlindungan petani tembakau di Jember, nelayan di Munca

agama adalah Kasih

agama adalah Kasih
Gst Ngr Rai Sujaya


AGAMA-apa pun namanya-sebenarnya mulia dan memuliakan. Karena itu, tak adalah satu alasan apa pun untuk tidak respek, tidak toleran terhadap penganut agama lain. Bila perasaan antipati dan toleransi masih menggantung pada langit hati kita, kita harus segera memeriksa keberagamaan kita, jangan-jangan salah arah, sesat, atau yang kita anut selama ini bukan agama tetapi fiksi pembangkit emosi untuk menumbuhkan daya provokasi dalam hati.

Ciri lain dari sebuah agama adalah selalu ada cinta kasih yang mengalir, yang melandasi bangunannya. Maka, orang-orang suci nan bijaksana mengatakan, seseorang baru bisa disebut sungguh beragama bila di dalam diri orang itu mengalir cinta kasih, sama sekali bukan karena rajin sembahyang, mempelajari buku-buku suci serta selalu memberi derma (bandingkan Narada Bakti Sutra oleh Anand Krishna, 2001 dan Shirdi Sai Baba, Sang Fakir oleh Yoseph Tardjan, 2001).

Mengingat semua agama adalah mulia, memuliakan, dan mengandung cinta kasih, maka sudah seharusnya agama itu dapat menjadi alat pemersatu (integrator) seperti dikatakan Durkheim dalam Stephen Anderson (Waliji, penerjemah, 1995, 555). Jika ia (agama) tampil sebagai pemecah-belah, maka itu bukan agama. Mengapa? Karena ia sudah melenceng dari hakikatnya (J Krishnamurti, 1997, 54).

Lalu, apa yang terjadi hari ini dan hari-hari lalu? Apakah umat beragama (mungkin, tepatnya, yang mengaku beragama) telah bersatu padu, saling mengasihi? Tidak! Yang terjadi, terutama di negeri yang berdasarkan Pancasila dan katanya, menjunjung tinggi kemanusiaan itu tak lebih dari sebuah tragedi kemanusiaan yang mengerikan: kejahatan dari yang berkaliber teri sampai tercanggih terus mewarnai mozaik kehidupan sehari-hari.

Rasa persatuan sebagai sebuah negeri dan bangsa telah pupus, banyak daerah merasa diperlakukan tidak adil atau mungkin karena keangkuhannya hendak memisahkan diri, ingin membentuk negeri sendiri, yang merdeka-entah merdeka dari siapa-dari orang lain atau dari diri sendiri

Pertanyaannya kini, apakah agama yang masing-masing kita anut telah mengalami distorsi dan kegagalan sebagai mediator yang dapat membuat manusia dapat bahu-membahu dan berpadu dalam hidupnya?

Agama gagal?

Bila dicermati, jujur pada diri sendiri, dan tidak mencari kambing hitam atas kegagalan kita, akan didapat jawaban, yang gagal bukan agama, tetapi kita gagal mengerti, memahami, dan mengaplikasi agama dalam kehidupan. Kegagalan kita bisa disebabkan oleh ke-ego-an, keakuan, akuisme dalam diri kita. Dengan keangkuhan diri, kita telah mendusta agama. Apa saja yang harus dilakukan dan telah digariskan oleh agama, diingkari. Bahkan lebih dari itu, sekali waktu dimanipulasi, direkayasa demi pembenar perilaku kita

Para politikus dan pejabat kadang amat fasih memainkan lidah dengan pembenar ayat-ayat agama yang dicomot sana-sini lepas dari konteks, yang hanya untuk mengukuhkan kekuasaan dan mendapat legitimasi dari rakyat, tanpa mempedulikan apakah rakyat bisa makan, ada tempat tinggal, atau sedang tertimpa bencana. Lalu penderitaan dan kesengsaraan rakyat dihiburkan oleh penceramah agama, yang notabene konco-konco pejabat itu. Para penceramah mengatakan, meski secara implisit, penderitaan di sini adalah kebahagiaan di sana.

Melihat kenyataan itu, Marx berteriak: Jangan percaya dengan agama! Agama adalah opium, candu, yang hendak meninabobokan diri kita, yang hendak melenakan kita agar tidak merasakan sakit yang kita alami, tetapi akibatnya amat parah, penderitaan kita akan makin menggunung dengan tanpa kita sadari (Waliji, penerjemah, 1995, 552).

Di sisi lain Nietzche pun pernah mengumandangkan, Tuhan telah mati (Jassin, 1977). Teriakan Nietzche itu sebenarnya berangkat dari kekecewaannya atas otoritas-otoritas yang seenak perutnya memanipulasi agama, dengan menciptakan dewa-dewa atau Tuhan-tuhannya sendiri demi kekuasaan dan legitimasi dari khalayak. (Bandingkan Sejarah Tuhan, Karen Armstrong, 2001, 27).

Demikianlah, agama bukannya gagal, tetapi digagalkan oleh umat manusia yang angkuh dan congkak serta serakah.

Otoritas agama

Untuk menganulir teriakan Marx dan Nietzsche, manusia harus mengembalikan otoritas agama kepada kedudukan semula, yaitu sebagai media yang lentur dalam arus kehidupan manusia, yang dapat menjadi pegangan atau pedoman umat dalam menjalani hidupnya. Dengan kata lain, janganlah kita memanipulasi, mengambinghitamkan agama demi sebuah ambisi, keangkuhan, dan kecongkakan, tetapi agama benar-benar dituruti kaidah-kaidahnya, niscaya hidup akan menjadi lebih baik.

Lebih dari itu, kita jangan ambivalen dalam meyakini agama sebagai tuntunan perilaku. Maksudnya, di kepala kita percaya, di mulut kita percaya, tetapi di perbuatan jauh panggang dari api. Di mimbar saat memberi ceramah kita mengutuk koruptor, tetapi di kantor kita juga biangnya koruptor. Bila itu yang kita lakukan, kita sebenarnya telah mendusta agama, mendusta keyakinan dan mendusta diri sendiri. Di sini sebenarnya kita telah kehilangan kepercayaan pada diri sendiri.

Memperbaiki masa depan

Betapa pun majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, saya yakin tidak mampu mendamaikan hidup manusia, jika tidak disertai kehadiran agama. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama harus bersatu dalam diri manusia. Tanpa itu, hidup manusia akan timpang: tanpa iptek, manusia lumpuh, tanpa agama manusia buta.

Oleh karena itu, bila kita ingin berada pada masa depan yang penuh harapan dan kenyataan yang layak, apalagi tenteram, sejahtera, dan damai, maka sudah seyogianya kita tidak hanya memburu iptek semata dalam hidup tetapi juga mengimbanginya dengan pemburuan terhadap agama. Ini sebuah kemestian. Mengapa? Karena keseimbangan (Tao of Physics, Fritjof Capra, diterjemahkan Pipit Maizier, 2001) adalah sebuah persyaratan mutlak untuk sebuah kedamaian hidup.

Misalnya, memelihara seorang anak. Betapa pun orangtua itu telah melimpahi si anak dengan materi berlebihan, tetapi bila orangtua tidak pernah peduli kebutuhan batin anak, si anak tidak akan tumbuh selayaknya. Contoh kasus seperti ini, tidak sulit dicari buktinya di masa sekarang. Di banyak tempat, kita saksikan anak-anak berkompensasi (melakukan pelarian), karena tidak dipedulikan orangtuanya.

Keberagamaan
di Indonesia

Secara formal tak disangsikan, hampir seratus persen orang di negeri ini beragama. Tetapi, bila disimak, menyaksikan perilaku bangsa yang begitu jauh dari kaidah-kaidah hukum keagamaan, kiranya tak berlebihan bila saya katakan, keberagamaan bangsa kita baru sebatas nama, muka, atau kulit agama, belum menyentuh esensi agama, yaitu: kasih.

Mengingat hal itu, maka keberagamaan di Indonesia perlu dipertajam, ditukikkan agar menyentuh prinsip dasar agama itu sendiri. Ini adalah tugas kita semua. Kita semua harus mau membelajarkan diri, meningkatkan kualitas keberagamaan setahap demi setahap. Bagaimana orang dapat belajar? Dengan jalan mau membuka diri, mau mengakui diri, bahwa kita masih kurang, belum penuh, masih perlu diisi. Sampai kapan? Sampai kita benar-benar jadi manusia yang penuh welas asih, penuh kasih sayang.

Kapan kita akan penuh dengan kasih sayang? Mari kita jawab dengan seluruh perilaku kita!

* Gst Ngr Rai Sujaya Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar.

Agama dan Visi Emansipatoris

Agama dan Visi Emansipatoris

Does religion promote-or subvert-civil society? Demikianlah Timothy A. Brown memulai tulisannya dalam Jurnal Features. Guru besar ilmu agama di Universitas Pace, New York ini mengajukan pertanyaan yang patut diapresiasi lebih jauh guna membangkitkan kembali studi keagamaan yang sedang mengalami kebuntuan dan kemandulan.

Pertanyaan tersebut membuka kembali ruang dialog yang selama ini telah dianggap tuntas. Setidaknya memunculkan kembali kegelisahan dan refleksi kritis terhadap keberagamaan kita. Beragama secara ritual barangkali bisa dianggap selesai, setiap pemeluk agama sudah menerapkannya secara sempurna. Animo masyarakat untuk mendirikan tempat-tempat peribadatan semakin besar seiring dengan meningkatnya animo masyarakat untuk mengunjungi tempat-tempat suci di dataran Mediterania. Pada titik ini, keberagamaan bisa dikatakan berhasil.

Namun beragama dalam arti bagian dari realitas kemanusiaan masih menyisakan sejuta problematika yang mesti dijawab secara serius. Ini dibuktikan dengan realitas empirik yang memilukan: kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan jender, kezaliman politik dan imperialisme budaya. Di manakah agama di tengah problem ini semua?

Agama berada di sebuah lembah, sedangkan problem kemanusiaan di lembah yang lain. Agama tak mampu memberikan jalan keluar bagi kemelut dan krisis, sehingga agama kehilangan fungsinya. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada pembelaan kepada agama tanpa reserve. Akibatnya, agama menjadi dogma-dogma eksklusif.

Karena itu, pekerjaan berat yang mesti dilakukan masyarakat beragama di era multikrisis adalah meninjau kembali doktrin-doktrin keagamaan secara kritis agar agama tidak lagi dipandang sebagai dokumen teologis belaka, melainkan dipahami sebagai doktrin yang senantiasa progresif dan ofensif bagi penyelesaian problem kemanusiaan, sehingga dengan demikian, agama tidak kehilangan konteks, momentum dan aktualitasnya.

Beragama = Tafsir

Pada tataran normatif, agama-agama semitik diturunkan dalam bentuk teks-teks suci. Beragama sangat terkait sejauh mana setiap pemeluk mengimani teks-teks tersebut dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketergantungan setiap agamawan kepada teks begitu besar, sehingga muncul persepsi bahwa agama adalah teks yang disimbolisasikan melalui kitab suci. Bahkan dalam tataran empirik, perdebatan yang sampai detik ini belum selesai yaitu perdebatan menyangkut orisinalitas teks.

Nashr Hamid Abu Zayd, pemikir Muslim asal Mesir, menjelaskan secara gamblang pandangan agama sebagai teks. Menurutnya, dalam sejarah peradaban manusia terdapat tiga peradaban adiluhung: Pertama, peradaban akal yang berkembang pesat di Yunani. Peradaban ini mempunyai peranan besar bagi pencerahan dunia dan lahirnya pemikiran filosofis. Kedua, peradaban pasca-kematian yang diprakarsai Mesir kuno. Peradaban ini telah membawa Mesir dalam puncak kejayaannya dengan membangun piramida sebagai simbol ketinggian peradaban pasca-kematian. Ketiga, peradaban teks. Peradaban ini tumbuh subur di dataran Arab, yang mana menjadikan teks sebagai sentral utama. Agama-agama yang turun di kawasan tersebut mempunyai perhatian khusus terhadap teks.

Akar-akar historis tekstualisme dan literalisme sepenuhnya bisa dilacak dari sejarah peradaban manusia di masa lalu, yang mana pengaruhnya terus berkembang hingga saat ini. Dan hampir dipastikan, sulit rasanya untuk membabat habis tradisi tersebut. Teks akan senantiasa ada, dan bahkan pada titik tertentu disakralkan. Beragama tanpa teks, seperti halnya melepaskan pakaian dari badan, hampir mustahil dilakukan. Karena dalam kenyataannya, beragama akan selalu diidentikkan dengan teks-teks suci. Di sini lalu dapat dipahami, bahwa beragama pada dasarnya adalah upaya menafsirkan teks-teks suci.

Dalam tradisi Islam, tafsir merupakan khazanah yang kaya-raya. Bisa dibayangkan, sedari dulu hingga saat ini ada ratusan, bahkan ribuan buku tafsir dari pelbagai mazhab, aliran dan sekte. Buku-buku tersebut masih senantiasa diwarisi bagi setiap pemeluk agama. Tafsir al-Thabari, al-Suyuthi, Ibnu Katsir, al-Alusi dan al-Razi, yang ditulis beberapa abad silam masih menjadi bacaan utama. Kehausan terhadap tafsir sama halnya dengan kehausan terhadap teks suci. Bah-kan setiap komunitas mempunyai tafsir tersendiri, yang dijadikan pedoman dalam memahami doktrin keagamaan.

Karena beragama adalah tafsir, tidak ada jalan lain kecuali merujuk pada kitab-kitab tafsir. Ini bukan tanpa risiko. Yang mengemuka tidak hanya sakralisasi teks, akan tetapi di sisi lain juga menyebabkan tumbuhnya sakralisasi tafsir. Selama berabad-abad masyarakat beragama kehilangan daya kritisnya terhadap produk-produk tafsir, sehingga berakibat pada mandulnya kreativitas nalar keberagamaan. Kalaupun terdapat tafsir baru, sebenarnya hanya sebatas pengulangan dari tafsir klasik.

Secara umum, model penafsiran klasik bisa diklasifikasikan dalam dua hal: Pertama, tafsir tekstualis. Tafsir ini menjadikan teks segala-galanya. Apa yang disampaikan teks adalah titah Tuhan yang harus dilaksanakan. Bagi kalangan ini, ada keyakinan teologis, bahwa kehendak dan kekuasaan Tuhan sudah disampaikan secara komprehensif dalam teks, sehingga konsekuensinya, pemahaman keagamaan dan keduniaan harus merujuk sepenuhnya kepada teks.

Kedua, tafsir ideologis. Biasanya, tafsir model ini dikodifikasi sesuai dengan ideologi yang menjadi pilihan kekuasaan. Kalangan Sunni akan menafsirkan teks suci sesuai dengan ideologinya, begitu pula kalangan Syiah mempunyai tafsir tersendiri sesuai dengan kepentingannya. Tafsir model ini juga digunakan sebagai bahan indoktrinisasi bagi pengukuhan kekuasaan. Fragmentasi sekte dan aliran juga disertai dengan fragmentasi tafsir.

Kendatipun demikian, watak utama dari kedua model tafsir tersebut sebenarnya bermuara pada satu hal: teosentrisme, yaitu pengunggulan ''nilai-nilai langit''. Seakan-akan teks-teks suci masih berada di singgasana Tuhan (lauh al-mahfudz) yang tak tersentuh oleh makhluk-Nya. Pada tataran ini, teks kemudian menjadi ajang kontestasi dan perebutan kekuasaan.

Visi Emansipatoris

Manakala melihat perkembangan pemikiran keagamaan di atas, sejatinya diupayakan langkah progresif guna melahirkan tafsir keagamaan yang dapat menjawab kebutuhan kontekstual, terutama menyangkut pembebasan masyarakat dari ketertindasan dan pencerahan dari dogmatisme.

Tafsir atas teks-teks suci sejatinya tidak hanya dalam bingkai pembenaran terhadap teks atau pembelaan pada Tuhan semata, melainkan harus menyentuh persoalan-persoalan riil dalam masyarakat, seperti pembebasan dari kemiskinan, pendidikan, pembusukan politik dan segala bentuk penindasan.

Karenanya, tafsir emansipatoris hendak mengubah strategi top-down ala tafsir teosentris menjadi bottom up, yang mana tafsir tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan. Dalam tafsir emansipatoris, analisa sosial merupakan alat bantu guna memahami problem-problem sentral kemanusiaan. Ini disadari, karena agama dalam tataran sosiologis-antropologis merupakan proses akulturasi dengan budaya. Di satu sisi agama membentuk budaya, tapi di sisi lain budaya juga membentuk agama.

Ini juga sejalan dengan konsepsi pembacaan terhadap teks, bahwa teks dipahami melalui kekhususan sebab-musababnya bukan melalui keumuman lafadz-nya (al- 'ibrah bi khushus al-sabab la bi 'umum al-lafdz) (Nashr Hamid: 1996).

Dalam tradisi kristiani, kita mengenal kampiun teologi pembebasan, seperti Gustavo Gutierrez, Jon Sobrino, Clodovis Boff dan lain-lain. Mereka juga telah berjasa besar dalam memahami tanda-tanda zaman dan memikirkannya secara kritis dalam cahaya sabda Tuhan (Basis: 2002)

Dengan demikian, setiap agama mempunyai potensi untuk memahami doktrin secara emansipatoris, yaitu dalam kapasitas agama sebagai doktrin yang berada dalam sejarah dan menyejarah. Dialog antaragama sejatinya juga dapat membawa misi pembebasan tidak hanya dalam tataran spiritual-rohani, akan tetapi dalam material-insani.

Menepis Hegemoni Teks Agama

Menepis Hegemoni Teks Agama

Oleh Rumadi

NASR Hamid Abu Zaid, seorang pemikir Islam asal Mesir, menyebut peradaban Islam sebagai "peradaban teks" (hadharat al-nash), yaitu sebuah peradaban di mana teks agama menjadi poros utama penggerak dan pembentuk pengetahuan. Dalam peradaban demikian, penafsiran menjadi problem serius yang senantiasa mewarnai tiap penggal sejarah. Atas dasar itu, bisa dipahami bila dalam Islam muncul beribu jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya.

Ciri utama yang amat menonjol dari kitab-kitab tafsir itu adalah-pinjam istilah 'Abid al-Jabiri-lebih bercorak bayani dengan menundukkan nalar dan realitas kepada teks. Artinya, secanggih apa pun nalar manusia dan serumit apa pun realitas sosial harus senantiasa ditundukkan oleh teks. Proses penundukkan nalar dan realitas itu sering dipandang sebagai keharusan keberimanan, menjaga kesucian teks serta bukti kebenaran wahyu. Cara pandang demikian berimplikasi terhadap apa yang disebut sebagai "kebenaran". Kebenaran selalu diukur dengan (makna leksikal) teks, tidak ada kebenaran di luar teks. Kalaupun dengan nalar manusia bisa mencari kebenarannya sendiri, tetap saja harus dikonfirmasi kepada teks. Kalau dalam proses konfirmasi itu dianggap gagal, maka apa yang dikatakan nalar sebagai "kebenaran" dengan sendirinya gagal pula.

Dalam tradisi keilmuan Islam, model pemahaman teks seperti ini dianggap sebagai standar ilmu keislaman yang telah melahirkan sejumlah disiplin ilmu seperti ulm al-Qur'an, 'ulm al-hadis, tafsir, fiqih, teologi, dan sebagainya. Model "standar" ini pula yang lalu membentuk struktur tradisi masyarakat Islam. Sejumlah ilmu itu belakangan menjadi penyangga utama ortodoksi di mana ilmu sudah dibatasi sedemikian rupa, sehingga pengkaji Islam tidak boleh keluar dari "rambu-rambu" yang sudah disusun ulama zaman lampau. Melanggar rambu-rambu itu dapat dianggap melanggar Islam. Proses ini berlangsung dalam waktu lama sehingga Islam menjadi "wacana resmi dan tertutup", kaidah berpikir dibatasi sedemikian rupa agar tidak merusak dan mengganggu kesucian Islam.

Dalam waktu cukup lama, studi Islam sebenarnya tidak mengalami perkembangan berarti. Meski dalam rentang itu ada banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu, namun sebagian besar isinya berbentuk elaborasi (syarah, hasyiyah) atas karya-karya sebelumnya dan sedikit sekali-untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali-yang berani mengkritik dan melampaui paham yang dimapankan itu.

Meski demikian, apa yang sudah dihasilkan para ulama masa lampau harus dihormati, karena itu merupakan sikap mereka untuk mengambil tanggung jawab zaman. Tentu tidak fair bila kita yang hidup di dunia yang sama sekali berbeda menyerahkan tanggung jawab zaman ini kepada ulama masa lampau. Karena itu, tidak salah bila kini kita mengambil tanggung jawab zaman sendiri dengan meninjau ulang sejumlah pemikiran yang sudah ada atau merumuskan pemikiran-pemikiran baru yang lebih relevan dengan zaman. Dalam konteks seperti inilah pemikiran tentang tafsir emasipatoris dapat dimaknai sebagai bentuk mengambil tanggung jawab zaman itu.

***

AGAMA pada dasarnya adalah tafsir, yang dalam tradisi Islam identik dengan pergulatan teks agama (Al Quran). Tafsir adalah pemahaman terhadap teks. Dalam khazanah Islam, proses penafsiran ini telah melahirkan berjilid-jilid kitab dengan model berbeda-beda, mulai dari tahlili sampai maudhu'i meski corak nalarnya tetap bayani. Akibat corak nalar ini, teks yang sebenarnya merupakan simbol bahasa dan medium guna menyampaikan sejumlah gagasan dianggap sebagai segala-galanya. Gagasan Tuhan menjadi identik dengan teks itu sendiri. Penggalian makna melampaui teks
menjadi barang tabu, bahkan dianggap "memperkosa" Tuhan untuk mengikuti pendapat manusia.

Upaya menggagas tafsir emansipatoris bisa dituduh seperti itu. Namun, gagasan utamanya adalah bagaimana kita berupaya menangkap ide terdalam Tuhan yang sebagian direpresentasi dan disimbolisasi dalam teks dan bahasa sebagai bentuk partikularitasnya. Dalam kerangka itu, pertama-tama yang harus "dipegang" adalah kesadaran bahwa teks bukan segala-galanya; tidak mungkin semua ide dan gagasan Tuhan dapat terekam dalam medium bahasa karena keterbatasannya; bahasa adalah produk budaya, sehingga dalam batas tertentu teks agama juga merupakan produk budaya, artinya proses kebudayaan punya andil tidak kecil dalam memproduksi sebuah teks. Dengan kesadaran demikian, meski tetap meyakini, ada unsur "kewahyuan" dalam teks agama, hal itu tidak menjadi penghalang untuk "berpikir lain" tentang teks.

Atas dasar itu, ada beberapa unsur metodis yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tafsir emansipatoris. Pertama, historisitas teks. Dalam khazanah tradisional, aspek ini sebenarnya sudah disadari dengan adanya asbab al-nuzul (sebab munculnya sebuah teks) dalam proses penafsiran. Adanya asbab al-nuzul sebenarnya merupakan kesadaran bahwa teks agama tidak muncul di ruang kosong. Ada proses-proses sosial tertentu yang berperan dalam melahirkan sebuah teks. Sayang, dalam tafsir konservatif asbab al-nuzul ini cenderung dipahami secara ad hoc yang diletakkan dalam kerangka nalar bayani itu untuk mendukung paham ortodoksi.

Berkaitan dengan historisitas teks, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses penafsiran: 1) Melakukan kritik sejarah terhadap situasi historis yang melingkupi lahirnya sebuah teks. Kritik sejarah ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu sejarah. 2) Sebagai kelanjutan kritik sejarah, perlu dilakukan analisis sosial, baik yang berkait dengan situasi saat teks lahir maupun situasi sosial yang dihadapi. 3) Kritik isi, melakukan kritik atas muatan makna yang ada dalam teks. Kritik isi ini bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen kritik wacana guna melihat wacana apa yang sebenarnya sedang bekerja dalam teks itu.

Kedua, hermeneutika. Pemahaman aspek kebahasaan yang ada dalam teks dapat didekati secara hermeneutik yang merupakan disiplin yang memusatkan kajian pada upaya memahami teks, terutama teks kitab suci yang datang dari kurun waktu, tempat, dan situasi sosial berbeda, bahkan asing bagi pembacanya. Dalam kaitan ini paling tidak ada tiga elemen pokok hermeneutik, yaitu pengarang (Tuhan), teks, serta pembaca yang masing-masing memiliki dunianya sendiri, sehingga masing-masing seharusnya berhubungan secara dinamis, dialogis, dan terbuka. Karena itu, makna teks tidak pernah tertutup dan selesai, tetapi senantiasa terbuka.

Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang patut diperhatikan: 1) Pengarang atau pemberi pesan (Tuhan). Tuhan sebagai "pengarang" teks ada pada posisi sama sekali berbeda, baik dengan Muhammad sebagai penerima pesan. Tuhan adalah Dzat Maha Tinggi dan Tak Terbatas; sedang Muhammad dan elemen lain yang digunakan untuk menyampaikan pesan (bahasa dan teks) dalam posisi yang serba terbatas. 2) Bahasa dan teks sebagai medium guna menyampaikan pesan wahyu, meski mempunyai keistimewaan, namun ia tetap merupakan produk budaya yang mempunyai sifat terbatas. Di sini, kita tentu boleh bertanya, apakah gagasan Tuhan yang sifatnya Tak Terbatas itu dapat terangkum secara keseluruhan dengan menggunakan medium (bahasa) yang terbatas? Tentu tidak. Menyamakan ide Tuhan hanya sebatas yang terungkap dalam simbol bahasa dan teks sama artinya mengecilkan Tuhan, karena dengan itu berarti kita telah "membatasi" Tuhan, padahal Dia tak terbatas. Dengan demikian, bahasa dan teks ibarat gunung es, makna yang tidak tampak lebih banyak daripada makna yang muncul ke permukaan.

Keterbatasan teks sebenarnya dapat dilihat dari beberapa sifat yang ada dalam teks itu sendiri, antara lain: pertama, teks dalam banyak kasus mempunyai sifat ambigu, karena itu ia selalu membuka kemungkinan adanya pluralitas makna. Kedua, pada saat lain teks bisa menyembunyikan makna. Apa yang terungkap secara eksplisit belum tentu merupakan makna sebenarnya yang ingin disampaikan. Ketiga, teks bisa menunda makna, artinya makna yang ada dalam teks bisa saja baru diketahui pada saat yang tidak dapat ditentukan, karena tidak mungkin ada pesan Tuhan yang disampaikan kepada manusia tetapi hanya Tuhan yang tahu makna dari pesan itu.

3) Audiens, yaitu pihak-pihak yang menerima pesan, baik Muhammad sebagai rasul maupun umat dan generasi sesudahnya. Manusia sebagai audiens yang menerima wahyu Tuhan senantiasa ada dalam situasi yang terus berubah. Dalam membaca teks suci dalam diri manusia ada sejumlah situasi, kemampuan, kecerdasan, referensi, dan sebagainya yang bisa jadi berbeda satu dengan yang lain. Persepsi sebelum membaca teks, vested interest serta pengalaman hidup dan religius akan mempengaruhi seseorang dalam mengungkap makna teks.

Kerangka itu sebenarnya ingin menunjukkan adanya relativitas kebenaran makna teks. Secanggih apa pun proses pencarian makna teks, ia harus diletakkan dalam altar relativisme, sehingga ia senantiasa terbuka untuk dikoreksi (qabil al-taghyir wa al-niqash). Dalam kaitan ini, pencarian makna dapat dilakukan dengan melampaui teks itu guna mengungkap kebenaran lain dari "pucuk gunung es" teks.

RUMADI, Mahasiswa S-3 UIN Syarif Hidayatullah Jakart

EMAHAMI METODE HERMENEUTIK DALAM

MEMAHAMI METODE HERMENEUTIK DALAM
STUDI ARSITEKTUR dan KOTA
Moh. Ali Topan*)



Abstrak

Architecture as a human creation must be understood in the social, cultural and historical context. How is its relevance for today and the future, one must understand and interpret the meaning of architecture for the community. Hermeneutic methodology can help us understand correctly, but it must be carefully applied because it tends to be of subjectively biased and has questionable validity.

Pengantar

Perkembangan paradigma penelitian menurut Guba (1991) dalam The Paradigm Dialog telah memunculkan tiga alternatif baru sebagai pengganti dari paradigma lama positivis, yaitu paradigma pasca-positivis (postposi-tivism), teori kritik (critical theory) dan konstruktivis (constructivism). Apa yang menarik dari wacana para-

digma penelitian ini adalah terjadinya perubahan yang mendasar terhadap cara pandang (ontologi), epistemologi serta metodologi yang digunakan oleh ketiga paradigma tersebut.

Kajian ini diharapkan mampu men-jawab pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana metode ini digunakan ser-ta keabsahan penggunaan metode tersebut dalam studi arsitektur/kota.

Arsitektur atau kota pada dasarnya adalah merupakan produk budaya dari masyarkat dan oleh sebab itu setiap studi tentang arsitektur atau kota sebenarnya terkait erat dengan upaya-upaya pemahaman terhadap makna obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur atau kota tersebut terhadap masyarakatnya.

Pada dasarnya untuk memahami makna arsitektur atau kota tersebut, diperlukan kegiatan interpretasi yang dapat memberikan dan memperkaya jawaban sebenarnya tentang hal tersebut.

Kegunaan metode hermeneutik atau interpretasi dalam studi ini adalah untuk memahami obyek dalam kon-teks ruang dan waktu dimana obyek tersebut berada, terkait didalamnya keseluruhan aspek kondisi sosial, ekonomi, budaya, pandangan hidup maupun sejarahnya.

Metode interpretasi ini diperlukan ba-gi studi tentang arsitektur maupun kota yang diciptakan dalam konteks lokal pada masa yang lalu, agar arsi-tektur atau kota asli tersebut mem-punyai makna dan relevansi bagi perkembangan identitas arsitektur dan kota pada masa kini dan menda-tang serta bagi perkembangan masya-rakatnya. Jadi ada semacam kesinam-bungan memori didalam perubahan yang terjadi.

Konflik Paradigma Merupakan Masalah Interpretasi

Sejauh ini pengertian ilmu meliputi berbagai macam pemahaman dan mengikuti beberapa aliran pemikiran (filsafat) yang berkembang sepanjang sejarah, seperti rasionalisme, empi-risme, fenomenologi, eksistensialis-me maupun yang lebih kontemporer seperti dekonstruksi dan sebagainya. Sesungguhnya kondisi ini hanyalah merupakan perbedaan interpretasi terhadap realitas atau fenomena-feno-mena yang terjadi. Kuhn (1993) me-nyatakan bahwa sebenarnya rasional-isme itu lebih merupakan interpretasi dan persuasi dari kenyataan obyektif, atau dalam pernyataan lainnya Kuhn mengatakan bahwa segala yang dika-takan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataannya sebetulnya erat terkait pada paradigma atau model ataupun skema interpretasi tertentu yang di-gunakan oleh ilmuwannya. Bila aliran rasionalisme menitik beratkan ilmu pada kekuatan penalaran akal budi atau rasio dalam pencarian kebenaran atas kenyataan. Descartes, berpen-dapat bahwa melalui akal budilah manusia dapat mengerti tentang du-nianya serta dapat mengatur hidup-nya.

Sementara itu melalui pengaruh F. Bacon (Bertens, 1996; Poedjawijatna, 1992) penganut aliran empirisme yang tumbuh lebih belakangan ber-pendapat bahwa suatu teori tidak hanya dibenarkan sejauh ia dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui observasi (penga-laman inderawi).

Kemunculan Kant dengan kritiknya terhadap aliran rasionalisme dan empirisme serta pemikirannya ten-tang ilmu yang seharusnya meru-pakan proses sintesis a priori, yaitu perlunya menggabungkan proses pencarian pengetahuan melalui pena-laran akal budi (rasio) dan penga-laman inderawi (empiri), telah me-nimbulkan kegoyahan kepercayaan terhadap aliran rasionalisme dan alir-an empirisme serta menimbulkan konflik, yang berlangsung terus hing-ga sampai saat ini. Dalam pada itu aliran fenomenologi muncul dengan keyakinannya untuk kembali ke benda-bendanya sendiri dalam meng-ungkap pengetahuan (Husserl dalam Sugiharto, 1996) serta menolak pemi-sahan subyek-obyek dalam mencari hakikat suatu obyek atau fenomena, sebagaimana dilakukan oleh aliran rasionalisme maupun empirisme. Pe-nganut aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan atau ilmu itu pada ke-nyataannya adalah merupakan kehi-dupan langsung yang belum dire-fleksikan (Husserl dalam Sumaryono, 1993),

sehingga segala bentuk konstruk ilmiah hanyalah merupakan ideali-sasi, abstraksi dan penafsiran tentang kehidupan dunia ini.

Dengan demikian dasar-dasar konflik yang terjadi antar paradigma tersebut adalah bertitik tolak pada perbedaan interpretasi tentang kenyataan atau fenomena-fenomena, lebih-lebih un-tuk ilmu-ilmu kemanusiaan (Dilthey dalam Sumaryono, 1993), atau oleh Kurokawa (1991) disebut sebagai In-terpretasi Copenhagen.

Filsafat Hermeneutik

Pada masa ini semakin banyak filsuf (Dilthey, Heidegger, Gadamer, Ricour dan sebagainya) yang beralih kearah filsafat hermeneutik, yaitu upaya menafsirkan teks Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani her-meneuein, yang berarti menafsirkan. Sebagai kata benda hermeneia dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Sebenarnya kata ini, menurut spekulasi historis, merujuk pada nama dewa dalam mitologi Yunani yaitu Dewa Hermes yang bertugas untuk menyampaikan pe-san-pesan Dewa Tertinggi di langit (gunung Olympia) kepada manusia di bumi melalui bahasa yang di-mengerti oleh manusia. Dengan tugas tersebut maka dewa hermes harus mampu untuk menginterpretasikan a-tau menyadur pesan-pesan tersebut kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya, sehingga pesan-pesan tersebut dapat dipahami maknanya. Oleh sebab itu secara umum hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti (Palmer dalam Sumaryono, 1993). Pada awalnya hermeneutik diposi-sikan sebagai bagian dari ilmu filologi, dan baru pada abad 16 memperoleh perhatian akademis se-telah para ilmuwan gereja meng-gunakannya sebagai metode pema-haman dan interpretasi Kitab Suci Bi-bel. Sejak saat itu posisi hermeneutik mulai berkembang menjadi metode kritik historiografi. Pada abad 18, ketika masyarakat Eropa sedang bangkit penghargaan dan apresiasi terhadap seni klasik, maka peran hermeneutik menjadi semakin pen-ting dan dibutuhkan. Karena yang menjadi obyek kajian adalah pema-haman tentang makna dan pesan yang terkandung dalam karya seni klasik yang merupakan karya cipta masa lalu, maka faktor pencipta, proses penciptaan dan karya cipta menjadi sangat penting untuk dike-tahui. Ketiga faktor ini membentuk suatu segitiga yang tidak bisa dipi-sahkan jika ingin memahami makna suatu suatu karya cipta. Dalam kondisi ini hermeneutik memerankan dirinya sebagai sebuah metode yang menafsirkan atau menginterpretasi-kan realitas lain yang tidak hadir, baik karena telah berlalu dalam ruang maupun waktu yang cukup jauh ja-raknya, sementara realitas tersebut hadir pada kita saat ini melalui atau diwakili oleh teks atau tanda-tanda lainnya.

Pada dasarnya hermeneutik berhu-bungan erat dengan bahasa. Yang dimaksud bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi atau perantara dalam menyampaikan suatu maksud, namun juga meru-pakan proses berfikir, berbicara, menulis maupun berkarya, baik yang diwujudkan dalam bentuk teks mau-pun tanda-tanda lainnya. Disini baha-sa menjadi way-of-being-nya manu-sia. Jadi bila pengalaman manusia yang diungkapkan melalui bahasa tersebut tampak asing bagi pembaca pada generasi berikutnya, maka disini peran hermeneutik untuk menafsirkan/menginterpretasikan se-cara benar teks atau tanda-tanda tersebut menjadi sangat penting.

Salah satu contoh yang sangat jelas adalah pesan-pesan yang terdapat da-lam kitab suci, yang dipercaya me-rupakan perwujudan literal dari fir-man Tuhan pada masa yang lalu, akan sangat membutuhkan penaf-siran atau penginterpretasian bila ingin dipelajari atau dipahami makna hakiki pesan-pesan tersebut pada masa kini.

Metode Hermeneutik

Menurut telaah singkat diatas, maka yang dimaksud metode hermeneutik adalah cara-cara untuk menfsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-bentuk lainnya. Pada awalnya metode hermeneutik digunakan untuk menafsirkan kitab suci saja, namun semenjak Dilthey (1833-1911) metode ini mulai diper-gunakan untuk ilmu-ilmu kema-nusiaan seperti bidang sejarah, psiko-logi, hukum, sastra, seni dan seba-gainya. Menurut Dilthey, dalam bi-dang ilmu-ilmu tersebut metode pe-nafsiran sangat membantu untuk memahami makna dari hal-hal yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, karena sepanjang kegiatan manusia selalu terdapat kegiatan yang bersifat metaforik atau simbolik yang sering-kali merupakan perwujudan sesuatu yang lain atau sesuatu diluar dari yang diwujudkan. Meminjam dari istilah semiotik atau semiologi ada yang disebut penanda (signifier) dan yang ditandai (signified). Geertz (1992) juga sependapat bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengan-dalkan logika positivisme tetapi juga

harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta berbagai komponen yang turut mem-bentuk jaringan makna dimana aktor tersebut merupakan bagian tak ter-pisahkan dari komunitasnya.

Menurut Schleiermacher, proses pe-mahaman menurut metode herme-neutik menuntut agar pembaca atau penafsir berusaha untuk "reliving and rethinking the thought and feeling of the author", agar pembaca atau pe-nafsir atau penginterpretasi dapat menempatkan diri pada posisi kehi-dupan, pemikiran dan perasaan dari sang penciptanya sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh terhadap obyek yang dikajinya. Pendapat Schleiermacher ini men-dorong tumbuhnya teori fenome-nologi hermeneutik. Hal ini sepen-dapat dengan Gadamer yang menga-takan bahwa untuk memahami se-buah obyek sosial yang menyangkut makna hidup tidak bisa tanpa adanya atau melalui partisipasi dan dialog dengan tradisi yang hidup ditengah masyarakat tempat obyek sosial itu berada. Lebih lanjut Gadamer menya-takan bahwa untuk dapat melakukan dialog yang produktif, hanya bisa terjadi bila antara subyek dan obyek melebur dan menjadi tidak terpisah-kan (the fusion of horizons), artinya memahami dunia manusia hanya bisa diperoleh secara benar dan otentik ke-tika yang bersangkutan menga-lami sendiri serta lebur didalam peristiwa kehidupan tersebut.

Menurut Komaruddin (1996) dan Soemaryono (1993), metode herme-neutik mengunakan pendekatan secara abduksi, yaitu proses mendekati data (dalam hal ini teks atau tanda-tanda lain) melalui berbagai asumsi dan kemungkinan sehingga muncul sekian wajah ke-benaran. Proses ini sering disebut sebagai proses hermeneutical circle, yaitu proses dinamis dalam menaf-sirkan teks atau tanda-tanda berda-sarkan asumsi-asumsi, pengalaman serta terjadinya saling menafsirkan antara sesama teks atas teks yang kemudian melahirkan jaringan dan lingkaran interteks. Dalam proses ini peran prakonsepsi dan pradisposisi penafsir dalam memahami teks atau tanda-tanda mempunyai andil yang besar dalam membangun makna. Sebuah teks atau tanda menawarkan kepada pembaca/penafsirnya berba-gai kemungkinan penafsiran berda-sarkan sudut pan-dang serta teori yang dipilih oleh penafsirnya. Namun demikian hal ini bukan berarti bahwa hermeneutik terjebak dalam relativisme , tetapi justru hendak mencari pemahaman yang benar dan utuh atas makna sebuah teks atau tanda. Memahami disini sama halnya dengan melakukan interogasi-dialog terhadap sesuatu yang asing, yang sama sekali belum dikenal. Oleh sebab itu dalam setiap proses penafsiran perlu dikem-bangkan sikap curiga (Geertz, 1993; Komaruddin, 1996) baik kedalam diri penafsirnya sendiri maupun kepada pencipta teks atau tanda-tanda terse-but, agar tidak tertipu oleh sistem tanda yang ada dipermukaan sehing-ga dapat mengaburkan makna yang lebih dalam.

Sebenarnya, menurut pendapat Ko-maruddin (1996), terdapat dua aliran dalam hermeneutik yaitu:

1. Hermeneutik Transendental yang berpandangan bahwa untuk me-nemukan kebenaran dalam teks atau tanda-tanda tidak harus mengaitkan dengan sang penga-rang atau penciptanya karena se-buah kebenaran dapat berdiri sendiri (otonom) ketika tampil dalam teks atau tanda-tanda ter-sebut;
2. Hermeneutik Historis-Psikologis yang berpendapat bahwa teks atau tanda-tanda hanya merupa-kan eksposisi eksternal dan tem-porer saja dari sang penga-rangnya, sementara kebenaran ti-dak mungkin terwadahi secara utuh atau representatif dalam teks atau tanda-tanda yang ada tersebut.

Menurut Amina (penulis dari Malay-sia yang melakukan penelitian ten-tang penerapan metode hermeneutik dalam penafsiran atau penginter-pretasian ayat-ayat Al Quran, khusus-nya berkenaan dengan masalah wa-nita), terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam penafsiran yaitu:

1. Dalam konteks apa teks/ayat-/tanda atau yang dapat dikate-gorikan dengan teks, ditulis atau diciptakan;
2. Bagaimana komposisi bentuk dan struktur teks;
3. Bagaimana keseluruhan teks ter-sebut dan kondisi pandangan hi-dup yang berkembang saat itu.

Relevansi Terhadap Studi Arsitek-tur/Kota Filsafat Hermeneutik sangat relevan karena menawarkan suatu perspektif baru mengenai cara me-mahami makna arsitektur atau kota seperti :

1. Mengakui adanya pengaruh fak-tor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik didalam pencipta-an arsitektur/kota
2. Memberi peluang pemahaman terhadap karya-karya arsitektur kota, khususnya terhadap karya-karya tradisional, dengan demi-kian memperkaya pemahaman a-tas makna arsitektur atau kota dalam hubungan dengan masya-rakat penghuninya.
3. Menciptakan dan mendorong ter-bentuknya arsitektur dan kota yang bermakna (meaningful life), yang terkait dengan warisan bu-daya masyarakat.
4. Memberi peluang arsitektur/kota tidak bermakna tunggal, sehingga keunikan local tetap dapat tergali.
5. Meningkatkan kesadaran atau sensitifitas akan perbedaan-per-bedaan dalam karya arsitektur dan kota
6. Mengakui keberadaan arsitektur atau kota tradisional dengan un-sur-unsur metaforis, simbolik maupun unsur mistiknya

Validitas

Salah satu problem dalam penelitian kualitatif (metode hermeneutik digo-longkan dalam pendekatan ini) yang sampai sekarang masih sering men-jadi perdebatan, khususnya bila diha-dapkan dengan ilmu-ilmu alam, ada-lah tentang validitas. Untuk menang-gapi masalah tersebut, maka dikem-bangkan suatu sikap curiga (Geertz, 1992; Komaruddin, 1996) terhadap setiap data, khususnya yang berasal dari variabel aktor pencipta, ter-masuk sikap curiga terhadap diri pe-neliti sendiri, sekaligus untuk me-ngurangi subyektifas penelitian. Menurut Geertz (1992) dan Koma-ruddin (1996), sikap curiga tersebut didasarkan atas pendapat tiga orang filsuf yang mengingatkan bahwa su-byektifitas dapat terjadi karena adanya pengaruh faktor libido (Sig-mund Freud), pengaruh faktor kuasa (Friedrich Nietzsche) ataupun penga-ruh dari faktor ekonomi (Karl Marx) yang akan dapat mengaburkan mak-na terdalam dari obyek studi. Di-samping mengembangkan sikap ter-sebut, juga dikembangkan prakon-sepsi dan pradisposisi guna mem-bantu memandu dalam membangun dan memahami makna dari obyek yang sedang diteliti.

Daftar Bacaan

1. Bertens,K., Filsafat Barat Abad XX, Jilid 2: Prancis, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakar-ta, 1996.
2. Geertz, Clifford, Tafsir Kebuda-yaan, Penerbit Kanisius, Yogya-karta, 1992.
3. Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
4. Hidayat, Komaruddin, Memaha-mi Bahasa Agama, Sebuah Ka-jian Hermeneutik, Penerbit Para-madina, Jakarta, 1996.
5. Kurokawa, Kisho, Intercultural Architecture, The Philosophy of Symbiosis, Academy Edition, Great Britain, 1991.
6. Kuhn, Thomas S., Peran Paradig-ma dalam Revolusi Sains, terje-mahan, Penerbit PT. Remaja Ros-dakarya, Bandung, 1993.
7. Newton, KM., Menafsirkan Teks, Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra, terjemahan, Harvester, Wheat-sheaf, London, 1990.
8. Poedjawijatna, Prof., Pembim-bing Kearah Alam Filsafat, Pe-nerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
9. Sudjiman, Panuti, dan Zoest, Aart Van, penyunting, Serba-Serbi Se-miotika, Penerbit Gramedia Pus-taka Utama, Jakarta, 1992.
10. Sugiharto, I. Bambang, Post-Mo-dernisme, Tantangan bagi Filsa-fat, Penerbit Kanisius, Yogyakar-ta, 1996.
11. Sumaryono, E., Hermeneutik, Se-buah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

The Promise of Hermeneutics

The Promise of Hermeneutics

Roger Lundin, Anthony C. Thiselton, and Clarence Walhout, The Promise of Hermeneutics, Grand Rapids: Michigan: Wm.B. Eerdmans, 1999.

Buku ini merupakan karya kedua dari proyek Calvin Center for Christian Scholarship untuk mengungkapkan bagaimana sumbangsih Teologi Reformed di dalam bidang hermeneutika. Buku pertamanya adalah The Responsibility of Hermeneutics, yang terbit tahun 1985. Tetap dikerjakan oleh tiga profesor yang sama, yaitu Roger Lundin, Clarence Walhout, dan Anthony C. Thieselton.

Buku ini kembali menggunakan pendekatan yang sama dengan buku sebelumnya yaitu evaluasi lanjutan terhadap pendekatan Descartes-Cartesian, dilanjutkan dengan upaya untuk memperdalam dan melihat kembali bagaimana literatur sebagai suatu tindakan (literature-as-action) yang menjadi inti pemikiran dari buku ini, dan kemudian dilanjutkan dengan aplikasinya, khususnya di dalam upaya melihat relevansi dari pendekatan speech-action theory (teori pembicaraan-sebagai-tindakan) di berbagai pemikiran dunia dan sejarah saat ini.

Tesis buku ini adalah bahwa tugas hermeneutika merupakan tugas yang manusiawi, sehingga akan sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang juga mempengaruhi semua tugas manusiawi lainnya. Sebagaimana tindakan manusia tidak terlepas dari pengaruh keadaan sekelilingnya, demikian juga hermeneutika. Hal ini disebabkan karena penulisan dan pembacaan teks kitab suci, terjadi di dalam konteks sosial dan historis penulis dan pem­bacanya. Ditekankan bahwa tidak mungkin terjadi hermeneutika tanpa presuposisi atau adanya unsur subyektivitas penulis maupun pembacanya.

Di dalam bagian pertama, ketika melakukan evaluasi terhadap pendekatan hermeneutika Descartes-Cartesian, Roger Lundin memberikan satu wawasan yang penting, yaitu hermeneutika Kristen lebih dari sekedar penelitian secara mekanis dan tradisional, tetapi perlu disadari bahwa setiap upaya penafsiran tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan yang harus dibangun terlebih dahulu. Mengutip St. Agustinus, credo ut intelligam penulis menekankan bahwa iman seseorang terhadap Alkitab akan sangat mempengaruhi penafsirannya.

Di dalam bagian kedua, Clarence Walhout menekankan bentuk hermeneutika naratif (Narrative Hermeneutics). Disini teks tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, khususnya dengan penulisnya. Kita harus menolak keras konsep “the death of the author” yang di­pa­parkan oleh para filsuf postmodern, seperti Derrida dan Ricoeur. Mengutip Walterstorff, penulis menekankan pentingnya kita mempertimbangkan peranan penulis di dalam sebuah narasi, karena mau tidak mau, narasi itu memang adalah narasi dari sang penulis. Namun, sangat sayang, di dalam pembahasan ini, tidak diperdalam dalam hermeneutika Alkitab, untuk tidak hanya melihat penulis seperti Musa atau Paulus, tetapi Allah Roh Kudus sebagai Penulis Agung dibalik semua pewahyuan Alkitab, yang membedakan antara Firman Tuhan dan semua kitab lainnya. Disini kita perlu mengerti bagaimana maksud sang Penulis Agung melampaui pembaca pada waktu penulisan, tetapi maksud Penulis Agung bagi setiap manusia di segala zaman. Inilah yang membedakan antara Hermeneutika Alkitab dan hermeneutikan buku sekuler. Disini peranan Kedaulatan Allah yang menjadi inti doktrin Reformed menjadi signifikan. Sayang sekali, kesan yang didapat justru buku ini tidak lebih dari buku hermeneutika sekuler.

Mengutip Plantinga, pe­nu­lis menekankan kembali bahwa hermeneutika harus didasarkan pada suatu keper­cayaan yang terjamin yang kita pegang. Disini dikaitkan antara teks dan pembacanya. Karena kebenaran yang lintas waktu ditolak, maka kini kebenaran lebih dikaitkan kepada pengalaman, dan sebagai dasarnya, lebih disandarkan pada etika. Sayangnya, ketika melakukan pendekatan terhadap firman, penulis justru melarikan hermeneutika kepada “kebenaran kemerdekaan ialah kasih.” Di dalam kasih itu, kita mendapatkan kebenaran yang memerdekakan kita dari semua pembedaan, sehingga kita bisa bersatu tanpa perlu takut akan terjadinya kesesatan. Jawaban ini justru melarikan diri dari panggilan hermeneutika yang sesungguhnya. Jika hanya sebatas ini, hermeneutika tidak menjanjikan apa-apa kecuali persaudaraan dalam relativitas. Disini penulis gagal melihat peranan Roh Kudus di dalam mencerahkan pembaca untuk mengerti firman Tuhan, seperti yang Tuhan Yesus sendiri ungkapkan dalam Matius 13:10-13. Justru hermeneutika Kristen melihat peranan ini begitu besar, sehingga pengertian teks dan konteks, penulis dan pembaca, justru terkunci pada peranan Roh Kudus. Orang sehebat Nicodemus tidak mungkin mengerti firman Tuhan, tanpa ia diterangi oleh Roh Kebenaran. Jika “penafsiran berdasarkan pengalaman” ditegakkan di atas etika, padahal etika harus dibangun dari firman Tuhan yang sedang ditafsirkan, maka terjadi proses-perusakan-diri yang tak terhindarkan. Sayangnya proses ini belum terbahas dalam buku ini, sehingga keunikan penafsiran Reformed yang menekankan sola scriptura, sola fide dan sola gratia tidak terlihat.

Di dalam bagian terakhir ini, Thiselton menyodorkan ringkasan dari ‘hermeneutika janji’ (hermeneutics of promise) yang mereka bicarakan: (1) Merupakan hermeneutika yang membentuk suatu “dunia” ketimbang menggambarkan dunia fakta atau fiksi; (2) Merupakan hermeneutika yang mencoba mengkaitkan antara sejarah masa lampau dan pengharapan dan arah masa depan; (3) Tulisan Alkitab bukan membicarakan teori dan metode hermeneutika, tetapi berbicara secara terutama tentang manusia dan pengharapan­nya; (4) pengujian ketat terhadap teori hermeneutika dan teologi dari tulisan Alkitab akan menolak otonomi teks dan lebih menekankan relasi dan tanggung jawab manusia.

Sangat disayangkan justru ketiga penulis kelihatannya sangat menolak kritik yang sangat baik yang dilemparkan oleh Kevin Vanhoozer (Is There a Meaning in This Text?, Zondervan), dan lebih mempercayai pendekatan dari para tokoh postmodern seperti Gadamer, Heidegger dan Ricoeur, yang tidak lagi melihat peranan Roh Kudus, sifat absolut Firman Tuhan dan keutamaan Wahyu di dalam Alkitab.

Memang buku ini membukakan banyak wawasan untuk kita tidak terkunci dengan pendekatan mekanis di dalam melakukan penafsiran Alkitab. Perlu disadari bahwa pengenalan teks tidak bisa dilepaskan dari konteks penulis dan penerimanya. Namun, sekali lagi perlu lebih jauh disadari bahwa yang dimaksud sebagai penulis, bukan hanya penulis duniawi Alkitab, tetapi Roh Kudus sebagai Penulis dibalik Penulis, dan pembaca bukan hanya pembaca yang lokal, tetapi pembaca yang universal dengan tujuan universal pula dari teks Alkitab tersebut. Alkitab bukan buku yang ditujukan hanya untuk memuaskan keinginan penulisnya, suatu ambisi mengemukakan suatu pandangan, tetapi suatu kebenaran yang dibutuhkan untuk manusia mengerti bagaimana harus hidup, sebagai satu ciptaan yang Allah berikan, bagaikan sebuah buku manual dari sebuah mesin. Disini kelihatannya penulis terjebak pada aspek historis penafsiran dan gagal melihat pengertian yang lebih jauh dari hakekat Alkitab itu sendiri. Tepat sekali komentar dari profesor D.A. Carson bahwa dengan mempelajari buku ini dengan cermat, kita akan mengerti bentuk pemikiran postmodernisme, khususnya dalam hermeneutika Kristen.?

Semiotika-1

MENGGAGAS SEMIOTIKA AL QURAN

TIDAKLAH berlebihan jika dikatakan, kita berhadapan dengan tanda di mana saja. Tetapi, meski tanda ada di mana-mana -atau justru karena itu- seringkali kita tidak lagi menyadarinya sebagai tanda. Dengan demikian, tidak menyadari jaringan signifikan tempat tanda-tanda itu bekerja.

Sebetulnya telah ada ilmu yang menyuntuki kajian tentang tanda ini. Namun, ia belum populer di luar lingkaran akademis tempatnya berawal, termasuk di Indonesia. Ilmu ini disebut semiotika, suatu kata yang celakanya tampak seram karena ia melakukan penggalian sampai ke dalam signifikansi politis dan sosial suatu tanda; tidak terbatas pada penyelidikan signifikan linguistik tanda-tanda sebagaimana digeluti semantik.

Ambil contoh, sepatu bertumit tinggi. Bagi perempuan yang memakainya, mungkin ia sekadar benda pakaian biasa. Tetapi, bagi seorang semitoikus berwawasan feminis, sepatu itu menandai hasrat budaya yang didominasi laki-laki guna melumpuhkan perempuan secara fisik, agar membuat mereka berjalan menjinjit-jinjit sehingga tidak bisa lari (dari cengkeraman laki-laki).

Suatu interpretasi yang tidak terlalu ekstrem, adalah tumit yang tinggi cenderung membuat seorang perempuan tampak seolah ia sedang berusaha menarik perhatian seksual. Kenyataan ini, betapa pun juga, menunjuk pada mitos jender umum yang menegaskan perempuan sebagai objek seksual dan menuntutnya tampil menarik secara seksual.

Salah satu manfaat penting semiotika agar kita tidak tertipu. Karena, dalam semiotika, makna suatu tanda tidak ditemukan dalam objek ("penanda"/signifie) yang tampak dirujuknya, tetapi dalam konsep ("petanda"/signifiant) yang bekerja di dalam suatu sistem yang terbentuk secara budayawi.
***

TANDA mencakup segala hal, mulai dari bahasa, gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, boneka, menu makanan, musik, lukisan, film, sabun, bahkan dunia itu sendiri. Pokoknya, segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain dapat disebut sebagai tanda.

Bagaimana dengan teks Al Quran? Bukankah ia merupakan wahyu Tuhan? Benar, tetapi kenyataan menunjukkan, wahyu Tuhan itu telah memasuki wilayah historis, yaitu bahwa Tuhan telah memilih bahasa manusia -dalam hal ini bahasa Arab- sebagai kode komunikasi antara Tuhan dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad S.A.W. Lain dari itu, kata-kata Tuhan itu direkam dalam sebuah catatan atau teks yang dibakukan pada abad ke-4 H/abad ke-10 M.

Dalam kaitan ini, tepatlah definisi Al Quran yang dibuat pemikir Islam kontemporer kelahiran Aljazair, Mohammed Arkoun. Menurutnya, Al Quran merupakan kitab wahyu yang berisi sejumlah pemaknaan atau penandaan potensial yang diusulkan Tuhan kepada segenap manusia. Ayat-ayat Al Quran, lanjut Arkoun, ada yang berfungsi menjadi lambang (simbol), tanda (sign), dan sinyal (signal). Bahkan kata ayat sendiri secara harafiah bermakna "tanda-tanda". Karena itu, pengetahuan tentang kode mutlak (qua non) diperlukan dalam membaca teks Al Quran, sehingga optimalisasi bagi setiap kemungkinan terjadinya produksi makna menjadi terbuka luas.

Pendekatan semiotika atas Al Quran menjelaskan, Al Quran berfungsi dan dipahami dengan cara tertentu karena merupakan sehimpunan tanda yang saling merujuk dan saling memaknakan, yaitu memberi makna. Dalam lanskap itu, minimal ada enam prinsip semiotika yang perlu mendapat fokus perhatian dalam membaca Al Quran. Berikutnya...
Kembali

Semiotika-2

MENGGAGAS SEMIOTIKA AL QURAN

Pertama, selalu mempertanyakan pandangan "kesadaran umum" atas sesuatu, karena "kesadaran umum" sebetulnya adalah "pengetahuan bersama" (communal sense); pendapat dan perspektif yang lazim dari suatu kelompok.

Kedua, sudut pandang "kesadaran umum" itu biasanya didorong suatu kepentingan budaya yang memanipulasi kesadaran kita demi alasan-alasan ideologis.

Ketiga, budaya cenderung menyembunyikan ideologinya di balik selubung "kodrat", dengan menyatakan apa yang dilakukannya sebagai "kodrati" (natural) dan menuduh praktik budaya yang menentangnya sebagai "akodrati" (unatural).

Keempat, dalam menilai setiap sistem praktik budaya, kita harus memperhitungkan kepentingan-kepentingan yang ada di belakangnya.

Kelima, kita tidak memahami dunia ini secara langsung, melainkan memandangnya melalui penapis suatu sandi semiotis atau kerangka mitos. Keenam, tanda merupakan sejenis barometer budaya, yang memarkai gerakan dinamis sejarah sosial.

Enam prinsip semiotika itu membawa Al Quran kepada pengertian sebagai teks yang tidak lahir dari ruang kosong. Dengan kata lain, Al Quran "terkonstruk" secara kultural dan "terstruktur" secara historis.

Sejak turunnya, Al Quran telah berdialog dengan realitas. Banyak sekali peistiwa yang mengiringi turunnya ayat yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umat waktu itu. Jadi, di sini, teks Al Quran dapat dipahami sebagai produk budaya (al-muntaj [al-tsaqafi]), yaitu ketika teks mengonstruksi diri dalam sistem budaya yang mendasarinya, dengan demikian merefleksikan sistem budaya itu. (Nasr Hamid Abu-Zayd: 1993).

Pada sisi lain, Al Quran juga telah menciptakan perubahan makna yang mentransformasikannya dari makna linguistik dalam bahasa Arab kepada makna baru yang disebut makna syar'i. Pada tataran ini, teks Al Quran menjadi produsen budaya (baru) [al-muntij al-tsaqafi], yaitu ketika teks merekonstruksi dan mentransformasi sistem budaya tempat ia sebelumnya terbentuk.

Analisis semiotika terhadap Al Quran, dengan demikian, berupaya keras untuk melihat setiap teks dalam perbedaan masing-masing. Ini tidak berarti, teks-teks itu dilihat dalam individualitasnya yang tak terperikan, tetapi sebagai sesuatu yang ada dalam sebuah jaringan terbuka, yang merupakan infinitas tertinggi bahasa dan yang terstruktur secara terus-menerus. Analisis semacam ini, menurut Barthes, tidak lagi mencoba mengatakan dari mana datangnya teks (seperti dalam kritik historis), tidak lupa bagaimana terbentuknya (seperti di dalam analisis struktural), tetapi bagaimana teks terbungkus, meledak, dan menyebar -dengan jalur-jalur terkode apakah teks itu bergerak, meletup.
***

SECARA cara baca yang relatif baru, semiotika Al Quran belum menemukan bentuk metodologi yang mapan. Paling tidak, ini disebabkan karena -secara umum- bahasa keagamaan melebihi bahasa komunikasi. Ketika manusia berdoa dalam suatu bahasa keagamaan apa pun, baik Al Quran, Alkitab, Injil maupun yang lain, ia tidak mengungkapkan diri dengan kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan keseluruhan ritual, yang menciptakan suatu keserempakan kenyataan-kenyataan yang bermakna yang tidak dapat diabaikan oleh seorang analis bila ia hendak mempertimbangkan semua tingkat pemaknaan bahasa keagamaan.

Semiotika-3

MENGGAGAS SEMIOTIKA AL QURAN

Pendekatan linguistik dan sastra atas bahasa dan pemikiran keagamaan, khususnya Al Quran, pun sering menimbulkan kontroversi dan menyulut emosi keberagamaan umat Islam. Sejarah telah mencatat beberapa peristiwa semacam itu.

Di Indonesia, misalnya, belum lama ini kita mendapatkan tentang Al Quran Berwajah Puisi karya HB Jassin. Di Mesir, juga ada penolakan yang dilanjutkan kecaman atas Muhammad Ahmad Khlafallah, berjudul al-Fann al-Qashashi fi Al Quran. Yang paling mutakhir, Desember 1993, kecaman serupa dialami Nasr Hami Abu-Zayd. Bahkan ia sempat "dikafirkan". Kini ia dan keluarganya "hijrah" ke universitas Leiden di Belanda.

Semiotika Alquran

Semiotika Alquran yang Membebaskan

Mu’adz D’Fahmi



Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.

Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.

Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.

Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.

Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya

***

Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya

Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.

Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?

Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.

Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.

Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.

Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.

***

Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).

Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.

Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.

Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.[]



Mu’adz D’Fahmi. Mahasiswa Tafsir-Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Buletin INSIGHT, IMM Cab. Ciputat