Alquran, Puasa, dan Esensi Takwa
Ahmad Ali Nurdin, Postgraduate Student at National University of Singapore
UMAT Islam di seluruh dunia kembali menunaikan ibadah puasa Ramadan. Kalau kita perhatikan, di bulan suci Ramadan ini ada tiga terminologi agama yang sering muncul dibicarakan, baik oleh kalangan muslim scholars (ulama) dalam pengajian-pengajian ataupun masyarakat kebanyakan dalam diskursus sehari-hari. Ketiga terminologi itu adalah Alquran, puasa (saum), dan takwa.
Mengapa ketiga terminologi itu sering muncul dalam berbagai diskursus kajian Ramadan? Tidak bisa dipungkiri bahwa ketiga term ini mempunyai hubungan yang saling mendukung satu sama lain. Bukankah Alquran sebagai firman Tuhan jelas diturunkan pada bulan puasa? Sementara berpuasa diwajibkan karena ada firman Tuhan dalam Alquran? Adapun terminologi ketiga 'takwa atau bertakwa' adalah esensi dan tujuan utama diwajibkannya kaum beriman untuk berpuasa, yang oleh Allah disebut pada akhir ayat tentang perintah berpuasa: ''Agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.''
Tampaknya keterikatan tiga terminologi itu terpusat pada Alquran. Sebab, puasa diwajibkan karena ada ayat Alquran dengan bentuk perintah (fiil amr) dalam surah Al-Baqarah ayat 183. Sementara karakteristik takwa sebagai tujuan utama diwajibkannya berpuasa juga dengan sangat detail telah disebutkan oleh Alquran.
Jika anjuran para ahli tafsir untuk menafsirkan Alquran dengan mencoba mengaitkan ayat Alquran dalam satu tempat dengan ayat yang semakna di tempat lain (munasabatul ayat) diaplikasikan dalam melihat hubungan antara Alquran, puasa, dan takwa, hubungan tersebut akan terlihat sangat signifikan.
Dalam awal surah Al-Baqarah ayat 2-4, karakteristik orang yang bertakwa dan kaitannya dengan kewajiban berpuasa tampak jelas disebutkan. Ciri-ciri orang bertakwa sebagai esensi berpuasa menurut Alquran adalah pertama, orang yang beriman kepada yang gaib (unseen matters). Tampaknya Tuhan memang mendesain puasa sebagai sarana latihan agar orang-orang yang beriman bertambah kepercayaannya kepada yang gaib. Dan, pusat kegaiban adalah Tuhan itu sendiri. Dengan keimanan kepada adanya Zat yang gaib yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Memerhatikan segala gerak-gerik manusia, seseorang secara tidak langsung dilatih untuk selalu berbuat baik. Ketika berpuasa, setiap orang beriman sedang dilatih untuk menghadirkan yang gaib 'Tuhan' dalam segala ruang dan waktu (omni presents). Bukankah seseorang yang sedang berpuasa tatkala menyendiri di ruangan kantor, kamar yang terkunci atau tempat lain yang tidak dilihat orang, maka bisa saja makan, minum, dan berpura-pura bahwa dia sedang berpuasa ketika di hadapan orang banyak? Dengan adanya kesadaran kehadiran yang gaib atau Tuhan (God consciousness) dalam diri orang yang berpuasa, kecenderungan untuk berbuat curang atau berbohong akan terhindarkan. Dan, semangat untuk selalu berbuat yang terbaik akan tumbuh karena ada kontrol sosial yang melekat dalam dirinya.
Kedua, orang yang bertakwa adalah orang yang selalu mendirikan salat. Karakter takwa ini pun dalam bulan puasa sedang digembleng oleh Allah. Di bulan puasa umat Islam bukan hanya dilatih untuk menjalankan salat yang sifatnya wajib, bahkan salat sunah seperti salat malam (tarawih) sangat dianjurkan di bulan ini. Harapannya, setelah puasa, fungsi salat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan mungkar bisa direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari di luar Ramadan.
***
Karakteristik ketiga, disebut orang bertakwa adalah orang yang menafkahkan sebagian rezekinya. Di bulan Ramadan ini, anjuran untuk zakat, infak, dan sedekah betul-betul ditekankah. Dengan menggandakan pahala yang berlipat-lipat, Allah sedang melatih kesalihan sosial seorang muslim di bulan Ramadan. Dengan harapan kesadaran sosial menafkahkan harta untuk membantu fakir miskin terus dijalankan oleh orang Islam di luar Ramadan.
Keempat, disebut orang bertakwa kalau seseorang memercayai bahwa Allah telah menurunkan kitab suci kepada Muhammad (Alquran) dan kitab-kitab yang turun sebelum Rasul terakhir itu. Tampaknya Allah ingin melatih orang Islam di bulan Ramadan agar sadar akan adanya tuntunan hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu Alquran. Membaca dan mempelajari Alquran sangat ditekankan di bulan ini. Kepercayaan akan adanya kitab sebelum Rasul Muhammad, juga merupakan kepercayaan kepada yang gaib.
Kelima, ciri orang bertakwa yang disebut Alquran adalah orang-orang yang memercayai akan adanya hari akhirat. Ini berarti semakin menegaskan karakter pertama orang disebut takwa yaitu percaya kepada yang gaib. Bukankah kepercayaan adanya hari akhirat dan hari pembalasan juga termasuk kepercayaan kepada yang gaib? Dengan keyakinan akan adanya hari akhirat, setiap muslim diharapkan mempunyai semangat hidup yang optimistis untuk selalu berbuat baik, dengan harapan memperoleh pula kebaikan ketika hidup kembali setelah kematian. Keimanan kepada hari akhirat juga mendorong manusia untuk optimistis akan adanya keadilan yang hakiki, yaitu keadilan Ilahi. Manusia yang mempunyai keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Dan, kecenderungan untuk bunuh diri yang sepertinya menjadi tren dalam menghindar dari masalah kehidupan yang kompleks di Tanah Air bisa dikurangi.
Akhirnya, di bulan suci Ramadan ini umat Islam diharapkan mampu mengkaji kembali makna puasa, Alquran, dan takwa. Dengan harapan proses latihan yang dilaksanakan pada Ramadan ini bisa terefleksi pada bulan-bulan lainnya di luar puasa. Karakteristik orang yang bertakwa seperti disebutkan Alquran mudah-mudahan bisa digapai oleh umat Islam melalui puasa tahun ini dan bisa diaplikasikan di luar Ramadan. Bukankah kriteria orang bertakwa yang diberikan oleh Allah merupakan kriteria manusia sempurna yang bisa menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan, kriteria yang disebutkan Allah itu tidak pernah salah
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment