Mengembangkan Nurani Kebersamaan
Sulastomo, Koordinator Gerakan Jalan Lurus, Jakarta
SALAH satu kebanggaan kita, bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural. Mungkin paling plural di antara bangsa-bangsa lainnya. Plural dari aspek budaya, etnis, bahasa, maupun agama. Di Indonesia terdapat lebih dari 600 suku bangsa, dengan berbagai agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pluralisme ini merupakan potensi, sekaligus ancaman.
Menjadi ancaman, kalau etnis-etnis itu menampilkan 'etno-sentrisme' yang berlebihan, yang kemudian melahirkan 'etno-nasionalisme', yang tidak toleran dengan budaya lain. Menjadi potensi, apabila perbedaan itu mampu melahirkan kebersamaan. Artinya, kita semua mengaku sebagai satu bangsa, yang terikat oleh kebersamaan, merasa hidup dalam kesatuan wilayah, serta merasa senasib. Pluralisme seperti itu akan merupakan modal yang sangat berharga bagi terbentuknya masyarakat sipil, yang pada gilirannya akan melahirkan masyarakat demokratis. Perasaan seperti itulah yang tercermin di tahun 1945, ketika kita memproklamasikan negara Republik Indonesia, dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Semangat seperti itu, rasa sebagai bangsa yang satu itu, secara kultural, sebenarnya telah ada di sanubari para pemuda, ketika mencanangkan Sumpah Pemuda, satu bangsa, satu nusa, satu bahasa: Indonesia, di tahun 1928.
Nmun, akhir-akhir ini, kita agak risau dengan kenyataan yang kita alami bersama. Kita risau dengan adaya semangat untuk tidak satu lagi. Tidak saja dalam bentuk ancaman disintegrasi bangsa. Tetapi, juga dalam keseharian kita, yang mengesankan kita memang tidak satu lagi. Dari sekadar perbedaan pendapat, menjadi konflik, kemudian terjadilah kekerasan yang sering berlebihan. Ditambah dengan kerisis ekonomi yang belum pulih kembali, gambaran Indonesia sebagai tanah air yang indah, gemah ripah loh-jinawi berbudaya luhur, seolah-olah telah hilang. Kita telah kehilangan nurani kebersamaan, kerena yang sering tampak adalah adanya kepentingan kelompok sampai kepentingan perorangan, para elite kita.
Karena semua itu berlangsung dengan sangat kasatmata, sudah tentu menimbulkan pertanyaan, sudah berubahkah keberadaan kita sebagai bangsa? Masih adakah kesadaran kita, sebagai bangsa yang plural namun satu? Masih adakah kebersamaan di antara kita? Sebab, yang lebih tampak bahwa kita lebih bangga dengan perbedaan di antara kita. Lebih jauh, kita hanya ingin dihargai, memiliki hak berbeda dengan orang lain, yang kemudian merasa diri kita yang paling benar. Kita menjadi kurang menenggang keberadaan orang lain, kurang toleran, dan kemudian tidak merasa perlu memiliki tanggung jawab sosial terhadap orang lain, terhadap lingkungan. Secara filosofis, sebenarnya kita telah berubah. Kita telah mengadopsi falsafah individualisme, yang dalam implementasinya pun ternyata juga telah menyimpang. Karena, kita tidak lagi menghargai orang lain, sebagaimana esensi falsafah individualisme sendiri yang justru harus peduli dengan orang lain. Kita lebih senang menampilkan perbedaan, berolok-olok sampai menghujat.
Semua itu terjadi pada lima tahun terakhir, di era reformasi. Upaya untuk keluar dari krisis, justru telah melahirkan kerusakan yang hampir sempurna (Syafii Maarif). Diingatkan bahwa kita sedang terjun ke jurang (Frans Magnis Suseno). Sebabnya, karena kita banyak yang 'berkhianat'. Itulah bahasa yang diperkenalkan oleh dua rohaniwan kita, satu Islam satu Katolik, terhadap kondisi bangsa saat ini. Kita perlu meluruskan jalannya reformasi.
Karena itu, yang terpenting sekarang, bagaimana kita dapat menentukan kembali alat pemersatu, yang dapat memanggil nurani untuk mengatasi perbedaan di antara kita. Setidaknya, perlu pemahaman terhadap perbedaan yang ada di antara kita secara proporsional, agar dapat ditumbuhkan nurani kebersamaan.
***
Ada beberapa hal, yang mestinya mendorong kita untuk lebih memiliki nurani kebersamaan. Pertama, dalam rangka menghadapi globalisasi? Adakah globalisasi dapat menjadi 'musuh' kita bersama, oleh karena globalisasi memang memerlukan kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri yang kuat, agar kita mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya. Kalau kita terpecah belah maka globalisasi akan menjadi ancaman bagi kita sebagai bangsa. Ada kebutuhan untuk bersatu, mengembangkan kebersamaan, agar mampu bersaing di forum internasional. Bagaimana 'menjual' ide ini?
Kedua, kesediaan untuk membangun 'keadilan'. Keadilan politik, ekonomi, dan sosial. Ketidakadilan inilah yang sering menimbulkan kecurigaan di antara kita, oleh karena kita tidak memiliki kesempatan yang sama sebagai warga negara. Hal ini harus diwujudkan melalui pembangunan sistem politik, ekonomi, dan kesejahteraan sosial, sehingga proses berbangsa dan bernegara dapat memenuhi rasa keadilan nurani.
Ketiga, lahirnya kepemimpinan (leaders, bukan leader) yang kuat, yang lahir melalui proses demokrasi yang diakui bersama. Harapan kita adalah pada Pemilu 2004. Mungkinkah? Kualitas pemilu, kualitas calon-calon anggota lembaga legislatif, kualitas pemerintahan/kabinet yang lahir dari Pemilu 2004 harus menimbulkan optimisme untuk keluar dari krisis.
Keempat, pendidikan politik rakyat, ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran bersama, pentingnya mempertahankan kebersamaan. Penyegaran kembali nilai-nilai Pancasila, sebagai ideologi negara, yang tentunya dapat menjadi perekat bangsa secara ideologis. Sebab, tanpa memiliki sebuah ideologi, sebuah cita-cita bersama, untuk apa kita hidup bersama, rasanya Indonesia tidak mungkin bersatu.
Kelima, penyegaran kembali nilai-nilai agama, yang secara universal berlaku bagi seluruh umat manusia, tidak diskriminatif, sehingga agama dapat menjadi faktor pemersatu bangsa yang plural ini. Semua agama mengajarkan konsep yang baik dan berlaku bagi seluruh umat manusia. Baik dalam Islam, Kristen, maupun agama yang lain, konsep hidup yang baik itu berlaku bagi seluruh umat manusia, tidak hanya untuk umat seagama. Setiap pemeluk agama diwajibkan untuk berbaik hati, toleran dengan umat yang beragama lain, oleh karena kehidupan yang damai merupakan esensi setiap ajaran agama.
Demikianlah, nurani kebersamaan itu pernah kita miliki, baik secara kultural maupun politik. Sumpah Pemuda di tahun 1928 adalah wujud nurani kebersamaan itu secara kultural, yang dilahirkan oleh para pemuda kita. Proklamasi kemerdekaan kita di tahun 1945 adalah wujud nurani kebersamaan kita secara politis. Kalau nurani kebersamaan seperti itu sudah tidak kita miliki lagi, sudah tentu akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara kultural maupun politis. Inilah sesungguhnya yang selayaknya merisaukan kita bersama, ketika memperingati Hari Sumpah Pemuda. Seolah-olah kita harus dapat menemukan kembali, buat apa kita berbangsa dan bernegara. Menemukan kembali wawasan kebangsaan kita.***
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment