Bursa Dunia Antisipasi Ekonomi AS
Jasso Winarto: Pengamat Pasar Modal; Direktur Eksekutif PT Sigma Research Institute Inc
PARA investor global saat ini tengah memfokuskan diri pada proses pemulihan ekonomi AS dan dampaknya bagi kinerja bursa dunia. Tahun ini bukan saja tahun pemulihan bagi ekonomi AS, melainkan juga tahun 'keberuntungan' bagi investor global. Meski dunia dilanda teror dan perang serta resesi, indeks Dow Jones mampu menanjak hingga 18,17% ketika Kamis lalu ditutup pada titik 9856,97. Para investor memiliki pijakan kuat untuk membeli saham-saham unggulan pada kurs yang lebih tinggi. Fundamental ekonomi AS berhasil menguat dalam enam bulan terakhir ini.
AS dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi sampai 7,2% di kuartal ketiga tahun ini di tengah ancaman defisit neraca anggaran dan neraca perdagangan yang membengkak menjadi faktor utama maraknya bursa saham di Wall Street. Pada kuartal pertama 2003 para investor masih pesimistis, meski Alan Greenspan bos The Fed- mempertahankan suku bunga pada tingkat 1% atau terendah sejak 45 tahun terakhir. Dow Jones masih merosot 349,5 poin atau 4,2% pada periode itu. Tetapi begitu Bush menyerbu Irak, indeks Dow Jones justru membaik, sehingga sampai kuartal kedua harga saham industri utama di Wall Street mampu naik 12,43%. Kenaikan tadi terus berjalan hingga kuartal ketiga dan awal kuartal keempat.
Pertumbuhan Wall Steet kuartalan tadi mengindikasikan, sebagian besar pelaku pasar merasa optimis recovery ekonomi AS telah terjadi. Seperti diketahui, GDP atau produk domestik kotor AS mengalami lonjakan 7,2% pada kuartal ketiga tahun ini. Ini adalah pertumbuhan terkuat selama 19 tahun terakhir. Konsensus pasar menunjuk pada angka 6,1% untuk pertumbuhan GDP kuartal ketiga.
Menurut Gina Martin, pengamat ekonomi dari Wachovia, ada indikasi bahwa konsumen AS mengurangi pengeluaran. Mereka memangkas pengeluaran sebesar 0,3% di September saat pendapatan konsumen merosot 1,0% meski sudah dipotong pajak. Pengeluaran konsumen berarti penting bagi AS karena mencakup 2/3 aktivitas ekonomi AS. Saat pemotongan pajak berkurang perannya sebagai penggerak ekonomi, lapangan kerja akan menjadi faktor penting bagi outlook ekonomi. Akan sangat sulit melihat pertumbuhan pendapatan personal tanpa ada kenaikan lapangan kerja. Oleh sebab itu, adanya pemangkasan pajak membantu menggerakkan ekonomi AS di kuartal ketiga, tetapi kini waktunya bagi pertumbuhan lapangan kerja untuk mengambil alih tanggung jawabnya.
Data lain memang membuktikan bahwa sektor bisnis AS telah mempekerjakan tambahan 57.000 tenaga kerja pada September, mengakhiri gelombang PHK yang berlangsung 7 bulan sebelumnya. Namun, jumlah PHK sejak 2001 masih 2,7 juta dan tingkat pengangguran bertahan di 6,1%. Untuk itu, AS memerlukan pertumbuhan lapangan kerja lebih besar agar upah meningkat lebih cepat sehingga para konsumen tidak harus bergantung pada refinancing dan pajak.
Asia diserbu
Keyakinan bahwa membaiknya ekonomi AS akan menarik Asia dari krisis membuat investor global menyerbu bursa Asia, sehingga bursa di Asia pun ikut membubung. Data ekonomi terbaru menunjukkan, perbaikan ekonomi AS akan segera diikuti Jepang yang juga mengalami pertumbuhan 2,5% dan Eropa 2,0% dalam beberapa kuartal mendatang. Sementara ekonomi Hong Kong pertumbuhannya hanya 2,4% tahun ini dan 3,5% tahun depan, Taiwan 2,0% (2003) dan 3,4% (2004), sedangkan Korsel 3,0% (2003) dan 4,0% (2004). Thailand akan mengalami pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara dengan PDB diperkirakan naik 6,0% tahun ini dan juga tahun depan. Malaysia dengan 4,3% pada 2003 dan 4,8% untuk 2004. Untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan pada tingkat 4,0% tahun ini dan 4,5% tahun depan, sedangkan Filipina tahun ini 3,5% dan tahun depan 4,2%. Singapura diperkirakan mencatat pertumbuhan PDB 1,0% tahun ini dan 4,3% pada 2004.
Optimisme pasar akan bangkitnya ekonomi dunia membawa animo kuat bagi investor untuk kembali menanamkan investasinya di beberapa bursa kawasan, sehingga dalam transaksi sepanjang 2003 ini sebagian besar kinerja bursa Asia-Pasifik mengalami kenaikan. Seperti bursa Thailand, misalnya, yang naik 87,3% menjadi 667,54, diikuti Indonesia melonjak 48,9% menjadi 632,811, Singapura 41,5% menjadi 1763,13. Bursa di Tokyo tahun ini sudah naik 23% menjadi 10552,3 dan Hong Kong melonjak 30,4% menjadi 12150,09.
Catatan akhir
Secara umum pasar masih optimis akan pemulihan ekonomi AS yang kian membaik dengan pertumbuhan kuat di kuartal III. Namun diperlukan peningkatan lapangan kerja yang signifikan untuk mempertahankan keberlanjutan pemulihan ekonomi AS selanjutnya.
Menkeu AS, John Snow sendiri mengakui bahwa mayoritas kekuatan ekonomi AS yang terbentuk di kuartal ketiga sepertinya akan berlanjut. Dengan kata lain, pertumbuhan bukanlah kesan sesaat, melainkan ada kekuatan riil di balik tren pertumbuhan. Kendati ada indikasi awal perbaikan lapangan kerja, pasar tenaga kerja tampak membutuhkan waktu lebih lama untuk merespons peningkatan aktivitas ekonomi.
Dengan harapan perekonomian AS dan Asia kian membaik tentunya akan kembali membawa dorongan positif bagi kinerja bursa dunia, termasuk indeks bursa saham Jakarta. Untuk indeks bursa saham Jakarta, kami perkirakan masih akan melanjutkan reli hingga akhir tahun ini. Adanya IPO saham BRI pada 10 November nanti dan Perusahaan Gas Negara (PGN) pada Desember nanti diharapkan ada dana asing masuk dari bursa yang sudah relatif tinggi tersebut ke Bursa Efek Jakarta.
Selain itu, penurunan tingkat suku bunga SBI satu bulan 2 basis poin kemarin menjadi 8,46% juga berpeluang akan memberikan sentimen positif kepada transaksi di bursa pekan depan. Apalagi, kurs rupiah terhadap dolar AS masih relatif stabil dengan kecenderungan menguat di kisaran Rp8.450-8.500 per dolar AS. Di samping itu, bagi perusahaan yang membukukan kinerja keuangan kuartal III cukup bagus, sahamnya pun akan menjadi buruan pelaku bursa.***
Sunday, April 5, 2009
Bencana Itu Tak Pernah Menjadi Pelajaran
Bencana Itu Tak Pernah Menjadi Pelajaran
Adalah munafik bila seseorang berkata kasihan, tapi tak berbuat apa pun.
- Karl Heinz Pickle, seorang tokoh dunia
KETIKA banjir bandang meluluhlantakkan kawasan wisata Sungai Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, serta menewaskan 113 warga tak berdosa (sekitar 100 lainnya hilang), bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Merunut pada serangkaian bencana alam sebelumnya, pihak-pihak berkompeten di republik ini nyaris tidak berbuat apa pun untuk mencegah agar peristiwa semacam itu tidak terulang. Musibah alam selalu dianggap takdir dari Tuhan. Kalaupun dilakukan analisis, hasilnya mudah ditebak, curah hujan sangat tinggi!
APAKAH bangsa ini tergolong bangsa munafik seperti ungkapan tokoh besar dunia itu? Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya. Serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu.
Contohnya banjir bandang di kawasan wisata Pacet, Jawa Timur, atau di Garut, Jawa Barat, tahun lalu yang menewaskan puluhan warga sekitar. Hingga kini tidak ada upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu.
Demikian pula terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser yang sudah lama dirusak secara tersistem maupun tak tersistem oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Bupati Langkat Syamsul Arifin meyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). "Berdasarkan pemantauan terakhir di daerah kami, perambahan di Leuser sekarang ini sudah mencapai 42.000 hektar. Kami sudah sampaikan hal itu kepada instansi terkait karena kondisi ini memerlukan penanganan yang sangat serius dan tepat sasaran," kata Syamsul.
Akibat pencurian kayu/penebangan liar yang juga melibatkan pengawas hutan maupun aparat keamanan, lanjutnya, masyarakat di Kabupaten Langkat menanggung risiko yang sangat mahal. Bencana alam ini telah membuat daerah wisata alam yang sangat terkenal dengan orangutannya itu terancam tutup.
Penebangan liar dan perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser hingga kini terus berlangsung baik di kawasan Sumatera Utara maupun Aceh. Terbukti, jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar.
Dari berbagai keterangan maupun hasil penjajakan di lapangan, kondisi yang amat memprihatinkan ini bisa terjadi karena berbagai hal. Di antaranya keterlibatan oknum-oknum instansi kehutanan, aparat keamanan, bahkan oknum-oknum lembaga legislatif di samping masyarakat sendiri. Eforia reformasi juga ikut mendorong makin maraknya aksi-aksi penebangan liar.
Sebagian masyarakat yang sama sekali tidak mengerti dan memahami fungsi hutan menganggap hutan boleh dirambah dan diambil kayunya karena anugerah Tuhan. Akan tetapi, aksi-aksi perambahan yang dilakukan masyarakat bukan semata karena ketidaktahuan akan pentingnya fungsi hutan. Cukong-cukong kayu atau pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) nakal diduga berdiri di belakang aksi masyarakat tersebut.
KAWASAN Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia yang sangat berguna untuk kelangsungan hidup manusia sehingga wajib diamankan dan dilestarikan. Khusus bagi masyarakat Sumatera Utara, mereka terkait langsung karena di kawasan itu terdapat hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air dan menahan banjir di daerah hilir, seperti Kota Medan dan kawasan Deli Serdang. Hutan Leuser merupakan hutan hujan tropis terlengkap di dunia yang mampu menyuplai air secara kontinu, baik untuk irigasi, pertanian, industri, maupun kebutuhan hidup lainnya.
Hutan Leuser menyediakan tempat-tempat resapan air seperti hutan gambut dan rawa-rawa. Di hutan primer Leuser tersedia Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air (DTA). DTA yang disuplai dari jasa ekologi Leuser hidrologi adalah DTA Jambo Aye, DTA Tamiang, DTA Wampu, DTA Krueng Tripa, dan DTA Alas.
Lebatnya kanopi vegetasi hutan Leuser (kayu-kayu) tidak hanya berfungsi mengurangi terpaan arus angin yang berembus dari daratan Asia atau dari benua Australia. Ia juga mampu menampung air presipitasi (lapisan endapan), menahannya mulai dari permukaan daun, ranting, cabang dan batang sampai ke akar-akar kayu, air dibawa ke seluruh lapisan tanah dan sebagian ditahan oleh material pelapukan (humus) untuk disimpan sebagai cadangan. Apabila melebihi kapasitas daya simpan, air akan dialirkan, dan air itulah yang disuplai untuk kebutuhan hidup penduduk di bawahnya.
Namun penebangan yang terus-menerus (legal dan ilegal) berdampak terhadap hilangnya sumber air, yang didasari prinsip siklus resapan air, di mana sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutan Leuser tidak lagi berfungsi sebagai resapan air hujan. Dengan demikian, air tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas.
Sementara itu, resapan air pada bagian bawah tidak terjadi. Dan ketika turun hujan lebat Minggu (2/11) malam, arusnya bercampur lumpur meluncur dengan dahsyat melalui Sungai Bohorok menghancurkan permukiman dan kawasan wisata, karena tidak ada lagi pohon-pohon penyangga penahan air hujan.
Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di semua tipe hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terang-terangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Kedua adalah pencurian kayu secara besar-besaran yang sering dibekingi oleh aparat penegak hukum (tentara, polisi, dan pejabat kehutanan). Kategori ini mencakup kegiatan penebangan yang tidak terkendali di dalam dan di luar areal konsesi. Perusakan Leuser juga bisa terjadi oleh proyek pemerintah sendiri, seperti pembangunan jalan Ladia Galaska.
Karena itu, seperti ditegaskan Kepala Badan Planologi Kehutanan Boen M Purnama, Departemen Kehutanan (Dephut) menolak proyek ini karena terkait dengan upaya mempertahankan keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser yang kini sudah banyak dirambah penebang liar. "Upaya mempertahankan kawasan hutan yang masih ada terpaksa dilakukan karena tekanan terhadap sektor ini sekarang sangat besar," katanya beberapa waktu lalu.
Usulan pembangunan jaringan jalan ini dan proyek jalan yang berhubungan lainnya memotong ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser. Bahkan, menurut catatan Dephut, proyek ini melintasi hutan lindung yang memiliki kemiringan lebih dari 40 persen serta kawasan konservasi lain.
Sedikitnya terdapat sembilan lokasi jalan yang berada di titik rawan kelestarian yang akan dilintasi megaproyek ini, dan hanya tiga lokasi yang memenuhi prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
KERUSAKAN hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan di republik ini. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi ini. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.
Parahnya kondisi hutan diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan, hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta hektar. Seluas 59,62 juta hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan, yakni di dalam hutan lindung (10,52 huta hektar), hutan konservasi (4,69 juta hektar) dan hutan produksi (44,42 juta hektar).
Laju kerusakan hutan periode 1985- 1997 tercatat 1,6 juta hektar/tahun, sedangkan periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta hektar/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode 2000-2003 karena aktivitas penebangan liar, penyelundupan kayu, dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang tak terkendali. Melihat fakta ini, ada yang memprediksikan, hutan di Sumatera akan habis pada tahun 2005.
Kerusakan sumber daya hutan dan lahan telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti turunnya mutu lingkungan hidup, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversitas dan pendapatan negara. Contoh terakhir musibah di kawasan wisata Bohorok, Kabupaten Langkat.
Walaupun kerusakannya demikian hebat, hingga kini belum ada tanda-tanda hutan di republik ini diperbaiki. Malah tahun 2003-2004 cenderung menjadi tahun transisi yang penuh ancaman terhadap upaya perbaikan pengelolaan hutan. Indikatornya, antara lain, masih lebarnya gap dan pertentangan kebijakan kehutanan pusat dan daerah dalam praktik operasional pengelolaan hutan.
Indikator lain adalah belum terfokusnya program kehutanan nasional yang mengakar di daerah dan tidak dilaksanakannya secara memadai kewenangan perlindungan hutan (khususnya penataan batas), pengendalian penebangan liar dan kebakaran hutan di daerah. Hasil hutan kayu masih merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya hutan, belum mantapnya organisasi dan personel kehutanan di pusat dan daerah. Hasil Pemilu 2004 juga berpotensi mengubah kembali arah program kehutanan jangka panjang.
Rimbawan praktisi dari Universitas Gadjah Mada, Transtoto Handadhari, menggambarkan, meskipun di tingkat pusat terus disibukkan dengan penyusunan berbagai aturan pelestarian hutan, sebaliknya komitmen pelestarian hutan di lapangan semakin kabur bahkan terkesan ambivalen. Akibat kekuatan pasar kayu bulat, praktik tebangan liar terus marak. Malah ekspor log (kayu bulat) yang sudah dilarang kabarnya terus berlangsung.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2002 terdapat realisasi ekspor kayu bulat 55.109 kubik senilai 11,20 juta dollar AS. Sampai April 2003, ekspor yang sama tercatat 2.767 meter kubik senilai 881.000 dollar AS. Padahal, sejak 8 Oktober 2001, ekspor log dan bahan baku serpih dihentikan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 292/MPP/Kep/10/2001.
Larangan ekspor log semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, khususnya dalam Pasal 76 yang menyatakan ekspor log dan bahan baku serpih dilarang. Memang sebelumnya terjadi kesepakatan antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membuka ekspor log. Namun, kebijakan itu mendorong makin merebaknya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan alam terancam dan lingkungan hidup rusak.
Karena itu, Departemen Kehutanan meminta penegak hukum mengusut adanya ekspor log tahun 2002-2003 karena melanggar aturan. Aksi ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan tindak pidana penyelundupan karena membuka kesempatan terjadinya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu.
SEMENTARA itu, otonomi daerah, salah satu agenda reformasi, ternyata memiliki peran besar terhadap merosotnya kualitas dan kuantitas hutan. Pemberian desentralisasi kewenangan yang besar tanpa rambu-rambu yang dipatuhi telah menyebabkan dirusaknya sumber daya hutan secara sadar, menggunakan payung legal, massal, dan serentak dalam waktu yang sangat pendek.
Pemerintah daerah berlomba menerbitkan berbagai peraturan daerah (perda) di bidang kehutanan, di saat pemerintah pusat kedodoran menyusun aturan-aturan untuk dipedomani daerah. Keputusan menteri pun tidak mudah dilaksanakan daerah yang notabene juga memiliki rimbawan praktik yang selayaknya juga memahami keinginan pelestarian hutan.
Ekses otonomi daerah lainnya memunculkan berbagai pungutan daerah terhadap produksi kayu bulat di luar dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan yang telah menjadi kewajiban pengusaha kayu. "Tambahan berbagai pungutan yang jumlahnya cukup memberatkan pengusaha kayu bulat itu justru menyebabkan eskalasi penebangan kayu liar," ungkap Transtoto.
Pungli terus marak dan terang-terangan dengan tarif semakin tinggi, yang menyebabkan angka prakiraan kayu liar rata-rata mencapai 60-70 persen dari kayu yang masuk pasar/industri. Kalau tebangan tanpa izin terus terjadi, maka pengelolaan hutan lestari tidak akan pernah ada dan tidak akan ada satu pengusaha kayu pun yang akan mampu memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari yang dipersyaratkan menghadapi perdagangan bebas AFTA mulai tahun ini.
Karena itu, legislatif dan pemerintah perlu secepatnya menyusun ulang atau menyempurnakan aturan UU maupun PP dan perda bagi pemberdayaan masing-masing jenjang institusi pemerintahan pusat-daerah yang saling mengikat dan terikat dalam upaya pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan.
Selama ini daerah kabupaten/kota berpendapat keluarnya PP No 34/2002 dimaksudkan untuk resentralisasi pengelolaan hutan, tanpa menyadari makna bahwa sebenarnya diperlukan suatu pengendalian sentralistis terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk pendayagunaan sumber daya hutan dan ekosistem lingkungan. Ini dilupakan para penggagas percepatan otonomi daerah yang tidak pernah memahami esensi fungsi kesatuan pengelolaan lingkungan. Ironisnya, keputusan menteri yang layak dijadikan pedoman dasar pengelolaan hutan hanya digunakan oleh pemerintah daerah bila dianggap menguntungkan.
Saatnya tahun 2003-2004 ini dijadikan jangka benah (recovery period) hutan alam dan pembangunan hutan tanaman secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hutan alam terutama hasil kayu harus dihemat, dengan dukungan program pokok berupa gerakan pembangunan hutan tanaman di dalam dan di luar kawasan hutan negara, perlindungan sumber daya hutan, serta penelitian kehutanan yang efektif.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang rencananya digulirkan pemerintah awal Desember mendatang akan ikut menjadi penentu perbaikan sumber daya hutan dan lingkungan. Standar dan kriteria pengelolaan hutan yang disusun pemerintah pusat perlu segera dilengkapi aturan detail, dilengkapi sanksi pelanggaran yang mengikat sebagaimana Forest Practices Codes di negara-negara maju. Termasuk sanksi pelanggaran bagi aparat pusat/daerah. (dmu)
Adalah munafik bila seseorang berkata kasihan, tapi tak berbuat apa pun.
- Karl Heinz Pickle, seorang tokoh dunia
KETIKA banjir bandang meluluhlantakkan kawasan wisata Sungai Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, serta menewaskan 113 warga tak berdosa (sekitar 100 lainnya hilang), bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Merunut pada serangkaian bencana alam sebelumnya, pihak-pihak berkompeten di republik ini nyaris tidak berbuat apa pun untuk mencegah agar peristiwa semacam itu tidak terulang. Musibah alam selalu dianggap takdir dari Tuhan. Kalaupun dilakukan analisis, hasilnya mudah ditebak, curah hujan sangat tinggi!
APAKAH bangsa ini tergolong bangsa munafik seperti ungkapan tokoh besar dunia itu? Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya. Serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu.
Contohnya banjir bandang di kawasan wisata Pacet, Jawa Timur, atau di Garut, Jawa Barat, tahun lalu yang menewaskan puluhan warga sekitar. Hingga kini tidak ada upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu.
Demikian pula terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser yang sudah lama dirusak secara tersistem maupun tak tersistem oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Bupati Langkat Syamsul Arifin meyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). "Berdasarkan pemantauan terakhir di daerah kami, perambahan di Leuser sekarang ini sudah mencapai 42.000 hektar. Kami sudah sampaikan hal itu kepada instansi terkait karena kondisi ini memerlukan penanganan yang sangat serius dan tepat sasaran," kata Syamsul.
Akibat pencurian kayu/penebangan liar yang juga melibatkan pengawas hutan maupun aparat keamanan, lanjutnya, masyarakat di Kabupaten Langkat menanggung risiko yang sangat mahal. Bencana alam ini telah membuat daerah wisata alam yang sangat terkenal dengan orangutannya itu terancam tutup.
Penebangan liar dan perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser hingga kini terus berlangsung baik di kawasan Sumatera Utara maupun Aceh. Terbukti, jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar.
Dari berbagai keterangan maupun hasil penjajakan di lapangan, kondisi yang amat memprihatinkan ini bisa terjadi karena berbagai hal. Di antaranya keterlibatan oknum-oknum instansi kehutanan, aparat keamanan, bahkan oknum-oknum lembaga legislatif di samping masyarakat sendiri. Eforia reformasi juga ikut mendorong makin maraknya aksi-aksi penebangan liar.
Sebagian masyarakat yang sama sekali tidak mengerti dan memahami fungsi hutan menganggap hutan boleh dirambah dan diambil kayunya karena anugerah Tuhan. Akan tetapi, aksi-aksi perambahan yang dilakukan masyarakat bukan semata karena ketidaktahuan akan pentingnya fungsi hutan. Cukong-cukong kayu atau pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) nakal diduga berdiri di belakang aksi masyarakat tersebut.
KAWASAN Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia yang sangat berguna untuk kelangsungan hidup manusia sehingga wajib diamankan dan dilestarikan. Khusus bagi masyarakat Sumatera Utara, mereka terkait langsung karena di kawasan itu terdapat hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air dan menahan banjir di daerah hilir, seperti Kota Medan dan kawasan Deli Serdang. Hutan Leuser merupakan hutan hujan tropis terlengkap di dunia yang mampu menyuplai air secara kontinu, baik untuk irigasi, pertanian, industri, maupun kebutuhan hidup lainnya.
Hutan Leuser menyediakan tempat-tempat resapan air seperti hutan gambut dan rawa-rawa. Di hutan primer Leuser tersedia Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air (DTA). DTA yang disuplai dari jasa ekologi Leuser hidrologi adalah DTA Jambo Aye, DTA Tamiang, DTA Wampu, DTA Krueng Tripa, dan DTA Alas.
Lebatnya kanopi vegetasi hutan Leuser (kayu-kayu) tidak hanya berfungsi mengurangi terpaan arus angin yang berembus dari daratan Asia atau dari benua Australia. Ia juga mampu menampung air presipitasi (lapisan endapan), menahannya mulai dari permukaan daun, ranting, cabang dan batang sampai ke akar-akar kayu, air dibawa ke seluruh lapisan tanah dan sebagian ditahan oleh material pelapukan (humus) untuk disimpan sebagai cadangan. Apabila melebihi kapasitas daya simpan, air akan dialirkan, dan air itulah yang disuplai untuk kebutuhan hidup penduduk di bawahnya.
Namun penebangan yang terus-menerus (legal dan ilegal) berdampak terhadap hilangnya sumber air, yang didasari prinsip siklus resapan air, di mana sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutan Leuser tidak lagi berfungsi sebagai resapan air hujan. Dengan demikian, air tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas.
Sementara itu, resapan air pada bagian bawah tidak terjadi. Dan ketika turun hujan lebat Minggu (2/11) malam, arusnya bercampur lumpur meluncur dengan dahsyat melalui Sungai Bohorok menghancurkan permukiman dan kawasan wisata, karena tidak ada lagi pohon-pohon penyangga penahan air hujan.
Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di semua tipe hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terang-terangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Kedua adalah pencurian kayu secara besar-besaran yang sering dibekingi oleh aparat penegak hukum (tentara, polisi, dan pejabat kehutanan). Kategori ini mencakup kegiatan penebangan yang tidak terkendali di dalam dan di luar areal konsesi. Perusakan Leuser juga bisa terjadi oleh proyek pemerintah sendiri, seperti pembangunan jalan Ladia Galaska.
Karena itu, seperti ditegaskan Kepala Badan Planologi Kehutanan Boen M Purnama, Departemen Kehutanan (Dephut) menolak proyek ini karena terkait dengan upaya mempertahankan keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser yang kini sudah banyak dirambah penebang liar. "Upaya mempertahankan kawasan hutan yang masih ada terpaksa dilakukan karena tekanan terhadap sektor ini sekarang sangat besar," katanya beberapa waktu lalu.
Usulan pembangunan jaringan jalan ini dan proyek jalan yang berhubungan lainnya memotong ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser. Bahkan, menurut catatan Dephut, proyek ini melintasi hutan lindung yang memiliki kemiringan lebih dari 40 persen serta kawasan konservasi lain.
Sedikitnya terdapat sembilan lokasi jalan yang berada di titik rawan kelestarian yang akan dilintasi megaproyek ini, dan hanya tiga lokasi yang memenuhi prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
KERUSAKAN hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan di republik ini. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi ini. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.
Parahnya kondisi hutan diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan, hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta hektar. Seluas 59,62 juta hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan, yakni di dalam hutan lindung (10,52 huta hektar), hutan konservasi (4,69 juta hektar) dan hutan produksi (44,42 juta hektar).
Laju kerusakan hutan periode 1985- 1997 tercatat 1,6 juta hektar/tahun, sedangkan periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta hektar/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode 2000-2003 karena aktivitas penebangan liar, penyelundupan kayu, dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang tak terkendali. Melihat fakta ini, ada yang memprediksikan, hutan di Sumatera akan habis pada tahun 2005.
Kerusakan sumber daya hutan dan lahan telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti turunnya mutu lingkungan hidup, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversitas dan pendapatan negara. Contoh terakhir musibah di kawasan wisata Bohorok, Kabupaten Langkat.
Walaupun kerusakannya demikian hebat, hingga kini belum ada tanda-tanda hutan di republik ini diperbaiki. Malah tahun 2003-2004 cenderung menjadi tahun transisi yang penuh ancaman terhadap upaya perbaikan pengelolaan hutan. Indikatornya, antara lain, masih lebarnya gap dan pertentangan kebijakan kehutanan pusat dan daerah dalam praktik operasional pengelolaan hutan.
Indikator lain adalah belum terfokusnya program kehutanan nasional yang mengakar di daerah dan tidak dilaksanakannya secara memadai kewenangan perlindungan hutan (khususnya penataan batas), pengendalian penebangan liar dan kebakaran hutan di daerah. Hasil hutan kayu masih merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya hutan, belum mantapnya organisasi dan personel kehutanan di pusat dan daerah. Hasil Pemilu 2004 juga berpotensi mengubah kembali arah program kehutanan jangka panjang.
Rimbawan praktisi dari Universitas Gadjah Mada, Transtoto Handadhari, menggambarkan, meskipun di tingkat pusat terus disibukkan dengan penyusunan berbagai aturan pelestarian hutan, sebaliknya komitmen pelestarian hutan di lapangan semakin kabur bahkan terkesan ambivalen. Akibat kekuatan pasar kayu bulat, praktik tebangan liar terus marak. Malah ekspor log (kayu bulat) yang sudah dilarang kabarnya terus berlangsung.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2002 terdapat realisasi ekspor kayu bulat 55.109 kubik senilai 11,20 juta dollar AS. Sampai April 2003, ekspor yang sama tercatat 2.767 meter kubik senilai 881.000 dollar AS. Padahal, sejak 8 Oktober 2001, ekspor log dan bahan baku serpih dihentikan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 292/MPP/Kep/10/2001.
Larangan ekspor log semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, khususnya dalam Pasal 76 yang menyatakan ekspor log dan bahan baku serpih dilarang. Memang sebelumnya terjadi kesepakatan antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membuka ekspor log. Namun, kebijakan itu mendorong makin merebaknya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan alam terancam dan lingkungan hidup rusak.
Karena itu, Departemen Kehutanan meminta penegak hukum mengusut adanya ekspor log tahun 2002-2003 karena melanggar aturan. Aksi ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan tindak pidana penyelundupan karena membuka kesempatan terjadinya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu.
SEMENTARA itu, otonomi daerah, salah satu agenda reformasi, ternyata memiliki peran besar terhadap merosotnya kualitas dan kuantitas hutan. Pemberian desentralisasi kewenangan yang besar tanpa rambu-rambu yang dipatuhi telah menyebabkan dirusaknya sumber daya hutan secara sadar, menggunakan payung legal, massal, dan serentak dalam waktu yang sangat pendek.
Pemerintah daerah berlomba menerbitkan berbagai peraturan daerah (perda) di bidang kehutanan, di saat pemerintah pusat kedodoran menyusun aturan-aturan untuk dipedomani daerah. Keputusan menteri pun tidak mudah dilaksanakan daerah yang notabene juga memiliki rimbawan praktik yang selayaknya juga memahami keinginan pelestarian hutan.
Ekses otonomi daerah lainnya memunculkan berbagai pungutan daerah terhadap produksi kayu bulat di luar dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan yang telah menjadi kewajiban pengusaha kayu. "Tambahan berbagai pungutan yang jumlahnya cukup memberatkan pengusaha kayu bulat itu justru menyebabkan eskalasi penebangan kayu liar," ungkap Transtoto.
Pungli terus marak dan terang-terangan dengan tarif semakin tinggi, yang menyebabkan angka prakiraan kayu liar rata-rata mencapai 60-70 persen dari kayu yang masuk pasar/industri. Kalau tebangan tanpa izin terus terjadi, maka pengelolaan hutan lestari tidak akan pernah ada dan tidak akan ada satu pengusaha kayu pun yang akan mampu memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari yang dipersyaratkan menghadapi perdagangan bebas AFTA mulai tahun ini.
Karena itu, legislatif dan pemerintah perlu secepatnya menyusun ulang atau menyempurnakan aturan UU maupun PP dan perda bagi pemberdayaan masing-masing jenjang institusi pemerintahan pusat-daerah yang saling mengikat dan terikat dalam upaya pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan.
Selama ini daerah kabupaten/kota berpendapat keluarnya PP No 34/2002 dimaksudkan untuk resentralisasi pengelolaan hutan, tanpa menyadari makna bahwa sebenarnya diperlukan suatu pengendalian sentralistis terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk pendayagunaan sumber daya hutan dan ekosistem lingkungan. Ini dilupakan para penggagas percepatan otonomi daerah yang tidak pernah memahami esensi fungsi kesatuan pengelolaan lingkungan. Ironisnya, keputusan menteri yang layak dijadikan pedoman dasar pengelolaan hutan hanya digunakan oleh pemerintah daerah bila dianggap menguntungkan.
Saatnya tahun 2003-2004 ini dijadikan jangka benah (recovery period) hutan alam dan pembangunan hutan tanaman secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hutan alam terutama hasil kayu harus dihemat, dengan dukungan program pokok berupa gerakan pembangunan hutan tanaman di dalam dan di luar kawasan hutan negara, perlindungan sumber daya hutan, serta penelitian kehutanan yang efektif.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang rencananya digulirkan pemerintah awal Desember mendatang akan ikut menjadi penentu perbaikan sumber daya hutan dan lingkungan. Standar dan kriteria pengelolaan hutan yang disusun pemerintah pusat perlu segera dilengkapi aturan detail, dilengkapi sanksi pelanggaran yang mengikat sebagaimana Forest Practices Codes di negara-negara maju. Termasuk sanksi pelanggaran bagi aparat pusat/daerah. (dmu)
MENDERITA KARENA KEBERATAN NAMA
MENDERITA KARENA KEBERATAN NAMA
Ada anggapan, nama yang "berat" bisa mendatangkan sial. Penyandangnya sakit-sakitan atau hidupnya sering dilanda derita. Pendapat lain mengatakan, "nama yang buruk" akan mempengaruhi aktivitas pribadi dan sosial pemilik nama itu. Bagaimana duduk perkara yang sebenarnya?
Tak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan pujangga Inggris terkenal William Shakespeare, what is a name, Kamus Besar Bahasa Indonesia hanya menjelaskan bahwa nama adalah kata untuk membedakan atau menyebut sesuatu atau memanggil seseorang. Tapi, ada yang berpendapat bahwa sebuah nama, terutama nama seseorang, memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar sebutan. Ada pula yang menyebutkan, nama adalah kekuatan "jiwa" dari benda itu sendiri. Selain menjadi indentitas sepanjang hidup, nama konon menyimpan kekuatan misterius.
Sebutlah misalnya, Indah Suprapti Basuki. Sebuah nama yang bagus dan mengandung makna yang baik. Indah (cantik, elok), Prapti (datang),dan Basuki (sehat). Selalu cantik dan sehat, itulah harapannya. Namun apa yang terjadi? Hingga usia 17 tahun si pemilik nama justru sering sakit-sakitan, keluar masuk rumah sakit, bahkan sempat nyaris meninggal. Berbagai upaya pengobatan seolah-olah sia-sia. Akhirnya, meski terkesan mengada-ada, orang tua Indah lalu menempuh cara lain. Yakni mengganti nama sesuai tradisi Jawa dengan ditandai selamatan bubur merah-putih. Lantas, Indah Suprapti Basuki berganti nama menjadi Iin Suprapti. "Syukurlah, dengan nama baru Iin Suprapti, saya sekarang tidak lagi sakit-sakitan," tuturnya.
Penyanyi senior Titiek Puspa kepada Intisari pernah mengaku mengalami nasib serupa. Semasa kecilnya ia sempat sakit-sakitan, sehingga orang tuanya merasa perlu mengganti namanya. Tiga kali malah. Dari Sudarwati diganti Kadarwati, sampai kemudian diubah menjadi Sumarti.
Tidak cocok dan berat nama
Menurut Iin SP, supranaturalis yang tinggal di Bekasi, tradisi Jawa mengenal dua istilah yang disebut kabotan jeneng ("keberatan nama") dan "tidak cocok nama".
"Keberatan nama", di sini bukan dalam arti karena deretan nama yang panjang, tapi lebih pada makna yang dianggap terlalu tinggi atau muluk. Misal, Bagus Sarwa Prakosa merupakan nama bermakna tinggi, artinya "tampan dan selalu kuat". Demikian pula nama-nama Indah Cahyaning Wulan (sinar bulan yang elok), Sekar Langit Cahyaning Wulan (sinar bulan bunganya langit) memiliki makna yang baik dan mendalam.
Nama-nama seperti itu bisa dianggap "berat" bagi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak kuat menyandangnya. Tapi, bisa jadi nama-nama serupa akan terasa biasa-biasa saja ketika disandang orang lain. "Keberatan nama" tidak secara otomatis berlaku bagi orang lain. "Kasus kabotan jeneng lebih dikarenakan tidak sinkronnya makna nama tersebut dengan aura pemiliknya," kata Iin SP.
Sedangkan untuk istilah "tidak cocok nama", jelas Iin SP, lebih berdasar pada hasil perhitungan unsur mistis kultur Jawa. Dikatakan cocok kalau dalam perhitungannya jatuh pada unsur "Sri", "Lungguh", atau "Gedhong". Sebaliknya, dianggap "tidak cocok nama" bila hasil perhitungan Jawa jatuh pada unsur "Lara" atau "Pati". (Baca boks: Perhitungan Nama Ala Jawa).
Dalam kasus nama Bagus Sarwa Prakosa misalnya, yang mengandung arti baik, yakni "tampan dan selalu kuat", berdasarkan perhitungan neptu Jawa kebetulan juga masuk kategori baik karena jatuh pada unsur "Sri" yang berarti kemakmuran. Namun bukan berarti nama yang dianggap baik (cocok) menurut perhitungan Jawa akan selalu baik (kuat) disandang oleh seseorang.
"Kalau seseorang kuat menyandang nama itu diyakini hidupnya akan serba makmur. Sebaliknya, kalau si empunya nama ternyata malahan sakit-sakitan, berarti ia tak kuat atau keberatan menyandang nama tersebut," tutur Iin SP.
"Keberatan nama" dan "tidak cocok nama", katanya, sama-sama memberikan dampak yang kurang baik terhadap diri pemiliknya. Biasanya disertai dengan beberapa kondisi yang tidak menyenangkan, seperti sering sakit-sakitan, sakit tak sembuh-sembuh, atau kerap tertimpa sial dalam hidupnya, dsb.
Kalau seseorang mengalami hal-hal demikian, artinya orang tersebut tidak cocok atau keberatan (tidak kuat) menyandang nama itu. Kalau sudah demikian, tradisi berganti nama perlu dilaksanakan.
Konotasi negatif dan umur pendek
Yang unik, urusan makna sebuah nama ini bukan monopoli budaya Timur saja. Dalam tradisi Barat yang dikenal rasional pun juga ada keyakinan bahwa sebuah nama memiliki konotasi positif atau negatif. Berdasarkan penelitian di California, seperti ditulis The Sunday Times, 29 Maret 1998, disebutkan bahwa pria dengan inisial nama yang berkonotasi negatif tidak berumur lebih panjang dibandingkan dengan pria yang memiliki inisial nama berkonotasi positif.
Penelitian terhadap sertifikat kematian orang di California antara tahun 1969 dan 1995 menunjukkan, pria yang inisial namanya memiliki konotasi negatif, seperti DIE, RAT, BUM, dan ASS, rata-rata meninggal pada usia 2,8 tahun lebih muda daripada kelompok kontrol (nama-nama dengan inisial tanpa arti). Sebaliknya, pria berinisial nama positif, seperti ACE, WOW, JOY, usia harapan hidupnya rata-rata 4,48 tahun lebih panjang.
Berdasarkan pengamatan di Amerika, dalam Gunnar Pettersson: Names Never Hurt You, menunjukkan bahwa orang yang memiliki nama keluarga, seperti Small, Short, atau Little, kemungkinan lebih menderita perasaan rendah diri ketimbang nama-nama lain. Hal senada dikatakan Alison B. Martin dalam Emerging Names in Bay County, FL, di Internet. "A bad name", tulis dia, akan memberikan suatu perasaan rendah diri sepanjang hidup bagi pemilik nama itu.
Hasil penelitian psikolog Albert Mehrabian, Ph.D., seperti tertuang dalam tulisan Selecting Attractive and Beneficial Baby and Adult Names, menunjukkan bahwa makna nama yang tidak menyenangkan atau kurang menarik cenderung merugikan atau mengalangi aktivitas pribadi, sosial, dan aktivitas kerja mereka.
Memilih nama untuk anak
Tak jarang, nama menjadi cerminan dari harapan orang tua terhadap anak. Makanya, dalam memilihkan nama untuk anak, orang tua biasanya akan mempertimbangkan beberapa faktor.
Di masyarakat Barat banyak orang tua memilih nama anaknya dari nama tokoh yang disukai atau dikagumi. Misal, nama bintang film, politisi, teman semasa kecil, dsb. Dengan harapan si anak akan "mewarisi" kualitas yang dimiliki tokoh yang dikagumi itu. Sedangkan pasangan Jody Wobser dan Jim, seperti ditulis Alison, memberikan nama bagi enam anak mereka dengan inisial "J" (Jake, Jaclin, John, Joe, Jayme, dan Jared). Masing-masing diambil dari nama bintang film yang digabung dengan nama sahabat dekat pasangan itu. Selain memberikan nama yang individualistis, mereka juga mempertimbangkan definisi, makna, dan konotasi nama itu. Keluarga ini merasa, definisi dan makna nama memberikan kepribadian dan karakter kepada yang bersangkutan.
Perihal memilih sebuah nama, Iin SP menyarankan, sebaiknya dihitung dulu berdasarkan perhitungan neptu Jawa. Calon-calon nama yang akan dipakai dihitung berdasarkan perhitungan neptuJawa. Selain harus memenuhi kategori cocok (unsur "Sri", "Lungguh", "Gedhong"), sekiranya perlu memilih nama yang akan kuat disandang oleh anak itu. "Pilihlah nama yang tidak terlalu muluk-muluk, sak madya (yang biasa) saja. Nama yang 'berat' atau muluk, bisa jadi anak tidak kuat menyandangnya, akibatnya malahan sakit-sakitan," tuturnya.
Misal, calon nama yang ingin diberikan adalah Hendi Susanto. Menurut perhitungan Jawa, nilai nama itu adalah 10 {Hen(ha = 1) + di (da = 1) + Su (sa = 3) + san (sa = 3) + to (ta = 2) = 10}, berarti jatuh pada unsur "Pati". Unsur ini, dalam perhitungan Jawa, menunjukkan konotasi arti yang negatif, yakni berumur pendek. Maka dari itu perlu diupayakan agar jatuh pada unsur yang mempunyai arti positif ("Sri", "Lungguh", atau "Gedhong"). Misal, namanya diubah sedikit menjadi Hendi Susantho, sehingga nilainya menjadi 12 {Hen (ha = 1) + di(da = 1) + Su (sa = 3) + san (sa = 3) + tho (tha = 4) = 12}, dan jatuh pada unsur "Lungguh". "Mudah-mudahan kelak anak itu akan punya kedudukan yang baik," kata Iin SP.
Contoh lain, Nindita. Nama ini kelihatan keren, tapi memiliki makna yang tidak bagus, yakni tercela. Berdasarkan perhitungan neptu Jawa, Nindita memiliki angka 5 {Nin (na = 2) + di (da = 1) + ta (ta = 2) = 5}, dan jatuh pada unsur "Pati". Jadi, selain punya makna kurang baik, nama itu pun tidak cocok. Si pemilik nama itu diyakini akan berumur pendek. Tapi akan lain kalau pada nama itu disisipi huruf "h", sehingga menjadi Ninditha. Nilai nama itu pun menjadi 7 {Nin (na = 2) + di (da = 1) + tha (tha = 4) = 7}, dan jatuh pada unsur "Lungguh". "Dengan sedikit mengubah nama itu, mudah-mudahan bisa mengubah nasib pemilik nama yang bersangkutan," ujar Iin SP.
Penggantian atau pengubahan nama, tutur Iin SP, tidak harus secara total. Artinya, bisa hanya dengan menyisipkan, menambahkan, atau mengurangi satu huruf, boleh di depan maupun belakang nama itu. Pergantian nama itu pun tidak harus sekaligus mengubah akte lahir. "Yang penting niat batinnya ingin berganti nama. Kemudian dalam pergaulan keseharian menggunakan nama baru itu. Sementara untuk urusan resmi tetap bisa menggunakan nama sesuai akte lahir," ujarnya.
Perihal perhitungan nama, kata Iin, tidak hanya berlaku untuk pemberian nama diri seseorang, tetapi juga bisa untuk nama toko, perusahaan, atau yang lainnya. "Kalau sebuah nama jatuh pada unsur 'Sri', toko atau perusahaan itu bisa laris dan maju," katanya.
Terlepas dari keterangan di atas, persoalan nama memang sepenuhnya terpulang kepada pendapat pribadi Anda masing-masing. Mau percaya, tidak ada yang melarang. Tidak percaya, ya, monggo. Kalau penasaran ingin mengetahui makna nama Anda, silakan mencoba menghitung sendiri. (Rye/Yan)
Boks: Perhitungan Ala Jawa
Kembali ke edisi baru
Ada anggapan, nama yang "berat" bisa mendatangkan sial. Penyandangnya sakit-sakitan atau hidupnya sering dilanda derita. Pendapat lain mengatakan, "nama yang buruk" akan mempengaruhi aktivitas pribadi dan sosial pemilik nama itu. Bagaimana duduk perkara yang sebenarnya?
Tak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan pujangga Inggris terkenal William Shakespeare, what is a name, Kamus Besar Bahasa Indonesia hanya menjelaskan bahwa nama adalah kata untuk membedakan atau menyebut sesuatu atau memanggil seseorang. Tapi, ada yang berpendapat bahwa sebuah nama, terutama nama seseorang, memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar sebutan. Ada pula yang menyebutkan, nama adalah kekuatan "jiwa" dari benda itu sendiri. Selain menjadi indentitas sepanjang hidup, nama konon menyimpan kekuatan misterius.
Sebutlah misalnya, Indah Suprapti Basuki. Sebuah nama yang bagus dan mengandung makna yang baik. Indah (cantik, elok), Prapti (datang),dan Basuki (sehat). Selalu cantik dan sehat, itulah harapannya. Namun apa yang terjadi? Hingga usia 17 tahun si pemilik nama justru sering sakit-sakitan, keluar masuk rumah sakit, bahkan sempat nyaris meninggal. Berbagai upaya pengobatan seolah-olah sia-sia. Akhirnya, meski terkesan mengada-ada, orang tua Indah lalu menempuh cara lain. Yakni mengganti nama sesuai tradisi Jawa dengan ditandai selamatan bubur merah-putih. Lantas, Indah Suprapti Basuki berganti nama menjadi Iin Suprapti. "Syukurlah, dengan nama baru Iin Suprapti, saya sekarang tidak lagi sakit-sakitan," tuturnya.
Penyanyi senior Titiek Puspa kepada Intisari pernah mengaku mengalami nasib serupa. Semasa kecilnya ia sempat sakit-sakitan, sehingga orang tuanya merasa perlu mengganti namanya. Tiga kali malah. Dari Sudarwati diganti Kadarwati, sampai kemudian diubah menjadi Sumarti.
Tidak cocok dan berat nama
Menurut Iin SP, supranaturalis yang tinggal di Bekasi, tradisi Jawa mengenal dua istilah yang disebut kabotan jeneng ("keberatan nama") dan "tidak cocok nama".
"Keberatan nama", di sini bukan dalam arti karena deretan nama yang panjang, tapi lebih pada makna yang dianggap terlalu tinggi atau muluk. Misal, Bagus Sarwa Prakosa merupakan nama bermakna tinggi, artinya "tampan dan selalu kuat". Demikian pula nama-nama Indah Cahyaning Wulan (sinar bulan yang elok), Sekar Langit Cahyaning Wulan (sinar bulan bunganya langit) memiliki makna yang baik dan mendalam.
Nama-nama seperti itu bisa dianggap "berat" bagi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak kuat menyandangnya. Tapi, bisa jadi nama-nama serupa akan terasa biasa-biasa saja ketika disandang orang lain. "Keberatan nama" tidak secara otomatis berlaku bagi orang lain. "Kasus kabotan jeneng lebih dikarenakan tidak sinkronnya makna nama tersebut dengan aura pemiliknya," kata Iin SP.
Sedangkan untuk istilah "tidak cocok nama", jelas Iin SP, lebih berdasar pada hasil perhitungan unsur mistis kultur Jawa. Dikatakan cocok kalau dalam perhitungannya jatuh pada unsur "Sri", "Lungguh", atau "Gedhong". Sebaliknya, dianggap "tidak cocok nama" bila hasil perhitungan Jawa jatuh pada unsur "Lara" atau "Pati". (Baca boks: Perhitungan Nama Ala Jawa).
Dalam kasus nama Bagus Sarwa Prakosa misalnya, yang mengandung arti baik, yakni "tampan dan selalu kuat", berdasarkan perhitungan neptu Jawa kebetulan juga masuk kategori baik karena jatuh pada unsur "Sri" yang berarti kemakmuran. Namun bukan berarti nama yang dianggap baik (cocok) menurut perhitungan Jawa akan selalu baik (kuat) disandang oleh seseorang.
"Kalau seseorang kuat menyandang nama itu diyakini hidupnya akan serba makmur. Sebaliknya, kalau si empunya nama ternyata malahan sakit-sakitan, berarti ia tak kuat atau keberatan menyandang nama tersebut," tutur Iin SP.
"Keberatan nama" dan "tidak cocok nama", katanya, sama-sama memberikan dampak yang kurang baik terhadap diri pemiliknya. Biasanya disertai dengan beberapa kondisi yang tidak menyenangkan, seperti sering sakit-sakitan, sakit tak sembuh-sembuh, atau kerap tertimpa sial dalam hidupnya, dsb.
Kalau seseorang mengalami hal-hal demikian, artinya orang tersebut tidak cocok atau keberatan (tidak kuat) menyandang nama itu. Kalau sudah demikian, tradisi berganti nama perlu dilaksanakan.
Konotasi negatif dan umur pendek
Yang unik, urusan makna sebuah nama ini bukan monopoli budaya Timur saja. Dalam tradisi Barat yang dikenal rasional pun juga ada keyakinan bahwa sebuah nama memiliki konotasi positif atau negatif. Berdasarkan penelitian di California, seperti ditulis The Sunday Times, 29 Maret 1998, disebutkan bahwa pria dengan inisial nama yang berkonotasi negatif tidak berumur lebih panjang dibandingkan dengan pria yang memiliki inisial nama berkonotasi positif.
Penelitian terhadap sertifikat kematian orang di California antara tahun 1969 dan 1995 menunjukkan, pria yang inisial namanya memiliki konotasi negatif, seperti DIE, RAT, BUM, dan ASS, rata-rata meninggal pada usia 2,8 tahun lebih muda daripada kelompok kontrol (nama-nama dengan inisial tanpa arti). Sebaliknya, pria berinisial nama positif, seperti ACE, WOW, JOY, usia harapan hidupnya rata-rata 4,48 tahun lebih panjang.
Berdasarkan pengamatan di Amerika, dalam Gunnar Pettersson: Names Never Hurt You, menunjukkan bahwa orang yang memiliki nama keluarga, seperti Small, Short, atau Little, kemungkinan lebih menderita perasaan rendah diri ketimbang nama-nama lain. Hal senada dikatakan Alison B. Martin dalam Emerging Names in Bay County, FL, di Internet. "A bad name", tulis dia, akan memberikan suatu perasaan rendah diri sepanjang hidup bagi pemilik nama itu.
Hasil penelitian psikolog Albert Mehrabian, Ph.D., seperti tertuang dalam tulisan Selecting Attractive and Beneficial Baby and Adult Names, menunjukkan bahwa makna nama yang tidak menyenangkan atau kurang menarik cenderung merugikan atau mengalangi aktivitas pribadi, sosial, dan aktivitas kerja mereka.
Memilih nama untuk anak
Tak jarang, nama menjadi cerminan dari harapan orang tua terhadap anak. Makanya, dalam memilihkan nama untuk anak, orang tua biasanya akan mempertimbangkan beberapa faktor.
Di masyarakat Barat banyak orang tua memilih nama anaknya dari nama tokoh yang disukai atau dikagumi. Misal, nama bintang film, politisi, teman semasa kecil, dsb. Dengan harapan si anak akan "mewarisi" kualitas yang dimiliki tokoh yang dikagumi itu. Sedangkan pasangan Jody Wobser dan Jim, seperti ditulis Alison, memberikan nama bagi enam anak mereka dengan inisial "J" (Jake, Jaclin, John, Joe, Jayme, dan Jared). Masing-masing diambil dari nama bintang film yang digabung dengan nama sahabat dekat pasangan itu. Selain memberikan nama yang individualistis, mereka juga mempertimbangkan definisi, makna, dan konotasi nama itu. Keluarga ini merasa, definisi dan makna nama memberikan kepribadian dan karakter kepada yang bersangkutan.
Perihal memilih sebuah nama, Iin SP menyarankan, sebaiknya dihitung dulu berdasarkan perhitungan neptu Jawa. Calon-calon nama yang akan dipakai dihitung berdasarkan perhitungan neptuJawa. Selain harus memenuhi kategori cocok (unsur "Sri", "Lungguh", "Gedhong"), sekiranya perlu memilih nama yang akan kuat disandang oleh anak itu. "Pilihlah nama yang tidak terlalu muluk-muluk, sak madya (yang biasa) saja. Nama yang 'berat' atau muluk, bisa jadi anak tidak kuat menyandangnya, akibatnya malahan sakit-sakitan," tuturnya.
Misal, calon nama yang ingin diberikan adalah Hendi Susanto. Menurut perhitungan Jawa, nilai nama itu adalah 10 {Hen(ha = 1) + di (da = 1) + Su (sa = 3) + san (sa = 3) + to (ta = 2) = 10}, berarti jatuh pada unsur "Pati". Unsur ini, dalam perhitungan Jawa, menunjukkan konotasi arti yang negatif, yakni berumur pendek. Maka dari itu perlu diupayakan agar jatuh pada unsur yang mempunyai arti positif ("Sri", "Lungguh", atau "Gedhong"). Misal, namanya diubah sedikit menjadi Hendi Susantho, sehingga nilainya menjadi 12 {Hen (ha = 1) + di(da = 1) + Su (sa = 3) + san (sa = 3) + tho (tha = 4) = 12}, dan jatuh pada unsur "Lungguh". "Mudah-mudahan kelak anak itu akan punya kedudukan yang baik," kata Iin SP.
Contoh lain, Nindita. Nama ini kelihatan keren, tapi memiliki makna yang tidak bagus, yakni tercela. Berdasarkan perhitungan neptu Jawa, Nindita memiliki angka 5 {Nin (na = 2) + di (da = 1) + ta (ta = 2) = 5}, dan jatuh pada unsur "Pati". Jadi, selain punya makna kurang baik, nama itu pun tidak cocok. Si pemilik nama itu diyakini akan berumur pendek. Tapi akan lain kalau pada nama itu disisipi huruf "h", sehingga menjadi Ninditha. Nilai nama itu pun menjadi 7 {Nin (na = 2) + di (da = 1) + tha (tha = 4) = 7}, dan jatuh pada unsur "Lungguh". "Dengan sedikit mengubah nama itu, mudah-mudahan bisa mengubah nasib pemilik nama yang bersangkutan," ujar Iin SP.
Penggantian atau pengubahan nama, tutur Iin SP, tidak harus secara total. Artinya, bisa hanya dengan menyisipkan, menambahkan, atau mengurangi satu huruf, boleh di depan maupun belakang nama itu. Pergantian nama itu pun tidak harus sekaligus mengubah akte lahir. "Yang penting niat batinnya ingin berganti nama. Kemudian dalam pergaulan keseharian menggunakan nama baru itu. Sementara untuk urusan resmi tetap bisa menggunakan nama sesuai akte lahir," ujarnya.
Perihal perhitungan nama, kata Iin, tidak hanya berlaku untuk pemberian nama diri seseorang, tetapi juga bisa untuk nama toko, perusahaan, atau yang lainnya. "Kalau sebuah nama jatuh pada unsur 'Sri', toko atau perusahaan itu bisa laris dan maju," katanya.
Terlepas dari keterangan di atas, persoalan nama memang sepenuhnya terpulang kepada pendapat pribadi Anda masing-masing. Mau percaya, tidak ada yang melarang. Tidak percaya, ya, monggo. Kalau penasaran ingin mengetahui makna nama Anda, silakan mencoba menghitung sendiri. (Rye/Yan)
Boks: Perhitungan Ala Jawa
Kembali ke edisi baru
Refleksi Kebudayaan
Buah Refleksi Kebudayaan Itu Bernama "Bentara"
DUNIA saat ini tengah ditandai oleh apa yang sering disebut sebagai "dunia konsumerisme". Pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Kehidupan manusia di dunia yang transparan ini harus mempunyai visi yang tepat tentang kecenderungan hidup (the inclination of life) dengan kesadaran positif dan kritis akan adanya kompleksitas struktur permasalahan yang menggejala di sekitar kita.
Seiring dengan itu, kini makin tinggi gejala konsumerisme yang ditandai dengan maraknya dunia industri, menawarkan berbagai macam produk baru untuk kita konsumsi tanpa batas. Dengan menggunakan media televisi, koran, majalah, dan radio untuk mengepung khalayak dalam konsumerisme, itu semua malah berujung pada suatu konsumerisme tak bernalar (mindless consumerism). Dalam kecenderungan itulah dipertaruhkan, misalnya, sehatnya kesadaran dan pola pikir kita.
Konsumerisme ini lebih-lebih lagi harus menjadi keinsafan umum dalam suatu masyarakat modern yang ditandai oleh jaringan komunikasi dan informasi. Dikatakan demikian karena yang diunggulkan oleh era konsumerisme yaitu apa yang sering disebut sebagai "imagologi" di mana realitas (ekonomi) mengalahkan ideologi (etika), dan realitas dikalahkan oleh image (citra-estetika). Sejalan dengan itu, misalnya, pencitraan kecantikan yang dimunculkan oleh produsen kosmetik dengan citra Kaukasia-nya, bahwa wanita bisa dikatakan cantik ialah bila ia berwajah putih, berambut lurus, dan langsing. Maka, terjadilah apa yang oleh Jean Boudilard disebut planed narcisism (narsisme terencana). Inilah masa di mana komoditas barang digeser oleh komoditas budaya. Teknologi informasi dan industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal. Produksi bukan lagi dicipta untuk nilai guna, tapi demi nilai tukar. Komunikasi media (audio, video, visual; koran dan majalah) menjadi jantung perdagangan dengan advertising sebagai ujung tombaknya.
Dialah yang menurut Herry Priyono-dalam pendahuluan buku ini-disebut pasar kapitalis yang menerobos masuk ke hampir semua ranah kehidupan personal dan sosial kita (private and public sphere). Sampai pada urusan makan dan minum kita, suka dan duka kita, juga berada dalam radius kinerja pasar kapitalis itu. Hlm xix.
BEGITU pula ranah media massa, terutama surat kabar harian dan mingguan, semenjak bergulirnya arus reformasi, di mana kebebasan berpendapat menjadi suatu keniscayaan. Media massa kita semakin ditengarai dengan kecenderungan untuk selalu menyodorkan informasi yang bersifat voyeuristik, yang berisi penggerusan kapasitas berpikir sehingga berakibat pada proses pendangkalan kebudayaan. Dan juga bersifat klise, yaitu mengulas apa yang selalu dan sering diulas, tak ada refleksi di sana, sekadar berhenti pada informasi faktual, aktual, bahkan sensasional.
Dalam konteks media massa voyeuristik (voyeuristic journalism) yang dipenuhi dengan gosip selebritis sebagai obyek beritanya, dengan tampilan cover genit, tentunya kehadiran "Bentara" sebagai suplemen kebudayaan mempunyai tujuan lain, yaitu memberikan suguhan reflektif, mungkin juga sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran setan ketakberdayaan (disempowerment) pembaca di tengah kepungan klise massa yang menggejala sebagai akibat. Ia juga merupakan wujud dari konsistensi media massa sebagai pilar utama "pendidik" masyarakat (civic journalism).
Esai-esai Bentara, sebagaimana sebuah esai lainnya yang menekankan pada unsur daya tarik yang dialogis dan mengutamakan keindahan serta dihalalkannya kebebasan dan subyektivitas, esai selalu dibicarakan sebagai apa yang oleh Ignas Kleden disebut suatu jenis kesusastraan (genus litterarium), yang mempunyai arti penting untuk perkembangan dan pertumbuhan bahasa. Kekuatan sebuah esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Ia juga tidak berpretensi mengajukan suatu pemikiran yang kokoh dan ketat, melainkan menyajikan suatu obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, seperti juga puisi, mulai ditulis kembali ketika sastrawan berhenti menulis novel, ilmuwan berhenti menulis buku teks, dan para filosof berhenti menulis traktat.
Ada diferensiasi antara filsafat, ilmu, dan esai. Kalau filsafat memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang pikiran, kalau ilmu memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang kenyataan empiris, maka esai memperlakukan ide sebagai ekspresi spontanitas subyektif melalui pikiran. Dengan demikian, filsafat bersifat mempertanyakan dan menguji ide berdasarkan rasionalitas, ilmu bersifat menjelaskan dan menguji ide berdasarkan obyektivitas, sementara esai melukiskan dan menguji ide berdasarkan orisinalitas.
BUKU yang diedit oleh JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, masing-masing sebagai wartawan dan editor Bentara (Kompas) ini, sedianya pernah terbit setiap Jumat awal bulan sejak tahun pertama (2000) sampai memasuki tahun ketiga (2002). Sebagai lembar kebudayaan, ia berisi informasi yang memikat dan jenial dalam jagat penulisan untuk ukuran media massa harian.
Tidak sekadar kompilasi tulisan seperti halnya buku-buku yang banyak beredar dalam belantara perbukuan Indonesia saat ini, buku ini mempunyai susunan sistematika yang kompleks dan multidisiplin, terdiri dari empat bagian. Bagian pertama mengedepankan refleksi pemikiran dan tokoh nasional dan pemikir dunia, salah satunya yaitu analisa psikologis terhadap kepribadian mantan presiden Soeharto. Bagian kedua memusatkan perhatian pada bidang seni rupa, sastra, film, dan cultural studies. Bagian ketiga menekankan pada ilmu fisika, kosmologi, juga tentang dimungkinkannya penerapan Ekonofisika sebagai disiplin ilmu baru untuk bersaing di pasar saham. Sedangkan bagian keempat dari buku ini menitikberatkan pada agama dan masyarakat, salah satunya mengenai pasang surutnya hubungan agama dan negara dalam lintasan sejarah dan kemungkinannya di masa depan.
Akhirnya buku, atau lebih tepat kumpulan esai-esai ini sangat bermanfaat untuk memperluas horizon dan memberi inspirasi bagi para peminat masalah-masalah kebudayaan, agama, seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, untuk dapat menetaskan benih-benih kesadaran kritis di tengah belantara dan kepungan klise massa demi membuka koridor bagi diskusi-diskusi yang lebih cerdas, memikat, dan produktif. Ia juga bisa dijadikan forum bagi kebutuhan reflektif supaya proses hermeneutika ganda (double heurmeneutic) masih tetap berlangsung di tengah kecenderungan pengebawahan sebuah refleksi. Bagi yang masih belum lengkap dokumentasi atau kliping "Bentara"-nya karena satu dan lain hal, bisa didapatkan dengan hadirnya buku ini.
Tasyriq Hifzhillah Mahasiswa Aqidah dan Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
DUNIA saat ini tengah ditandai oleh apa yang sering disebut sebagai "dunia konsumerisme". Pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Kehidupan manusia di dunia yang transparan ini harus mempunyai visi yang tepat tentang kecenderungan hidup (the inclination of life) dengan kesadaran positif dan kritis akan adanya kompleksitas struktur permasalahan yang menggejala di sekitar kita.
Seiring dengan itu, kini makin tinggi gejala konsumerisme yang ditandai dengan maraknya dunia industri, menawarkan berbagai macam produk baru untuk kita konsumsi tanpa batas. Dengan menggunakan media televisi, koran, majalah, dan radio untuk mengepung khalayak dalam konsumerisme, itu semua malah berujung pada suatu konsumerisme tak bernalar (mindless consumerism). Dalam kecenderungan itulah dipertaruhkan, misalnya, sehatnya kesadaran dan pola pikir kita.
Konsumerisme ini lebih-lebih lagi harus menjadi keinsafan umum dalam suatu masyarakat modern yang ditandai oleh jaringan komunikasi dan informasi. Dikatakan demikian karena yang diunggulkan oleh era konsumerisme yaitu apa yang sering disebut sebagai "imagologi" di mana realitas (ekonomi) mengalahkan ideologi (etika), dan realitas dikalahkan oleh image (citra-estetika). Sejalan dengan itu, misalnya, pencitraan kecantikan yang dimunculkan oleh produsen kosmetik dengan citra Kaukasia-nya, bahwa wanita bisa dikatakan cantik ialah bila ia berwajah putih, berambut lurus, dan langsing. Maka, terjadilah apa yang oleh Jean Boudilard disebut planed narcisism (narsisme terencana). Inilah masa di mana komoditas barang digeser oleh komoditas budaya. Teknologi informasi dan industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal. Produksi bukan lagi dicipta untuk nilai guna, tapi demi nilai tukar. Komunikasi media (audio, video, visual; koran dan majalah) menjadi jantung perdagangan dengan advertising sebagai ujung tombaknya.
Dialah yang menurut Herry Priyono-dalam pendahuluan buku ini-disebut pasar kapitalis yang menerobos masuk ke hampir semua ranah kehidupan personal dan sosial kita (private and public sphere). Sampai pada urusan makan dan minum kita, suka dan duka kita, juga berada dalam radius kinerja pasar kapitalis itu. Hlm xix.
BEGITU pula ranah media massa, terutama surat kabar harian dan mingguan, semenjak bergulirnya arus reformasi, di mana kebebasan berpendapat menjadi suatu keniscayaan. Media massa kita semakin ditengarai dengan kecenderungan untuk selalu menyodorkan informasi yang bersifat voyeuristik, yang berisi penggerusan kapasitas berpikir sehingga berakibat pada proses pendangkalan kebudayaan. Dan juga bersifat klise, yaitu mengulas apa yang selalu dan sering diulas, tak ada refleksi di sana, sekadar berhenti pada informasi faktual, aktual, bahkan sensasional.
Dalam konteks media massa voyeuristik (voyeuristic journalism) yang dipenuhi dengan gosip selebritis sebagai obyek beritanya, dengan tampilan cover genit, tentunya kehadiran "Bentara" sebagai suplemen kebudayaan mempunyai tujuan lain, yaitu memberikan suguhan reflektif, mungkin juga sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran setan ketakberdayaan (disempowerment) pembaca di tengah kepungan klise massa yang menggejala sebagai akibat. Ia juga merupakan wujud dari konsistensi media massa sebagai pilar utama "pendidik" masyarakat (civic journalism).
Esai-esai Bentara, sebagaimana sebuah esai lainnya yang menekankan pada unsur daya tarik yang dialogis dan mengutamakan keindahan serta dihalalkannya kebebasan dan subyektivitas, esai selalu dibicarakan sebagai apa yang oleh Ignas Kleden disebut suatu jenis kesusastraan (genus litterarium), yang mempunyai arti penting untuk perkembangan dan pertumbuhan bahasa. Kekuatan sebuah esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Ia juga tidak berpretensi mengajukan suatu pemikiran yang kokoh dan ketat, melainkan menyajikan suatu obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, seperti juga puisi, mulai ditulis kembali ketika sastrawan berhenti menulis novel, ilmuwan berhenti menulis buku teks, dan para filosof berhenti menulis traktat.
Ada diferensiasi antara filsafat, ilmu, dan esai. Kalau filsafat memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang pikiran, kalau ilmu memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang kenyataan empiris, maka esai memperlakukan ide sebagai ekspresi spontanitas subyektif melalui pikiran. Dengan demikian, filsafat bersifat mempertanyakan dan menguji ide berdasarkan rasionalitas, ilmu bersifat menjelaskan dan menguji ide berdasarkan obyektivitas, sementara esai melukiskan dan menguji ide berdasarkan orisinalitas.
BUKU yang diedit oleh JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, masing-masing sebagai wartawan dan editor Bentara (Kompas) ini, sedianya pernah terbit setiap Jumat awal bulan sejak tahun pertama (2000) sampai memasuki tahun ketiga (2002). Sebagai lembar kebudayaan, ia berisi informasi yang memikat dan jenial dalam jagat penulisan untuk ukuran media massa harian.
Tidak sekadar kompilasi tulisan seperti halnya buku-buku yang banyak beredar dalam belantara perbukuan Indonesia saat ini, buku ini mempunyai susunan sistematika yang kompleks dan multidisiplin, terdiri dari empat bagian. Bagian pertama mengedepankan refleksi pemikiran dan tokoh nasional dan pemikir dunia, salah satunya yaitu analisa psikologis terhadap kepribadian mantan presiden Soeharto. Bagian kedua memusatkan perhatian pada bidang seni rupa, sastra, film, dan cultural studies. Bagian ketiga menekankan pada ilmu fisika, kosmologi, juga tentang dimungkinkannya penerapan Ekonofisika sebagai disiplin ilmu baru untuk bersaing di pasar saham. Sedangkan bagian keempat dari buku ini menitikberatkan pada agama dan masyarakat, salah satunya mengenai pasang surutnya hubungan agama dan negara dalam lintasan sejarah dan kemungkinannya di masa depan.
Akhirnya buku, atau lebih tepat kumpulan esai-esai ini sangat bermanfaat untuk memperluas horizon dan memberi inspirasi bagi para peminat masalah-masalah kebudayaan, agama, seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, untuk dapat menetaskan benih-benih kesadaran kritis di tengah belantara dan kepungan klise massa demi membuka koridor bagi diskusi-diskusi yang lebih cerdas, memikat, dan produktif. Ia juga bisa dijadikan forum bagi kebutuhan reflektif supaya proses hermeneutika ganda (double heurmeneutic) masih tetap berlangsung di tengah kecenderungan pengebawahan sebuah refleksi. Bagi yang masih belum lengkap dokumentasi atau kliping "Bentara"-nya karena satu dan lain hal, bisa didapatkan dengan hadirnya buku ini.
Tasyriq Hifzhillah Mahasiswa Aqidah dan Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Million Unique Visitors To Anthropology.net
Million Unique Visitors To Anthropology.net!
Jump to Comments
Anthropology.net has gone platinum. With the help of guest bloggers and regular contributors, I have hosted 1,000,000 unique visitors since March of 2007. For a highly specialized niche site with no advertisement campaign I consider this milestone a success.
But, I’m going to bid blogging adieu because I have been accepted to medical school. Once I start, I imagine my studies will be like drinking from a fire hydrant and I won’t have much time to keep up with anthropology news and blogging. This is extremely hard to do, as Anthropology.net has been my baby for the last 4 years. Since the average posts takes several hours to compose, and my primary role as a medical student is to be a study bot, I am going to have to shift focus.
So what does that mean to you guys? Obviously, I won’t be posting, commenting, and moderating. I’m going to miss the discussions I’ve had with the readers and keeping up to date. I still will keep the domain and the site live just in case I ever do decide to return. I do want to extend an invitation to new guest bloggers and contributors, if you wanna pick up anthropology blogging, I’ll be more than happy to host you. Just contact me. Anyways, thank you all for such an awesome ride. I hope to be back once my clerkships start… but that won’t be for at least two more years.
Jump to Comments
Anthropology.net has gone platinum. With the help of guest bloggers and regular contributors, I have hosted 1,000,000 unique visitors since March of 2007. For a highly specialized niche site with no advertisement campaign I consider this milestone a success.
But, I’m going to bid blogging adieu because I have been accepted to medical school. Once I start, I imagine my studies will be like drinking from a fire hydrant and I won’t have much time to keep up with anthropology news and blogging. This is extremely hard to do, as Anthropology.net has been my baby for the last 4 years. Since the average posts takes several hours to compose, and my primary role as a medical student is to be a study bot, I am going to have to shift focus.
So what does that mean to you guys? Obviously, I won’t be posting, commenting, and moderating. I’m going to miss the discussions I’ve had with the readers and keeping up to date. I still will keep the domain and the site live just in case I ever do decide to return. I do want to extend an invitation to new guest bloggers and contributors, if you wanna pick up anthropology blogging, I’ll be more than happy to host you. Just contact me. Anyways, thank you all for such an awesome ride. I hope to be back once my clerkships start… but that won’t be for at least two more years.
Poverty and the purchased public sphere
Poverty and the purchased public sphere
Irsyad Zamjani , JAKARTA | Sat, 04/04/2009 11:30 AM | Opinion
During the campaign period of the 2009 election, poverty issues are among the most prominent issues. All political parties proclaim themselves as truly antipoverty parties. The issue has been repeatedly raised within a number of political advertisements in the mass media, on posters, or at mass meetings.
Debates have taken place among politicians regarding the large number of the country’s poor and the policies the government have imposed to eradicate poverty. However, there is a paradox. Among those vicious political disputes, our poor people are not merely materially lacking, but they have also lost their democratic participation. Broadly speaking, they have been undergoing a “deficit of citizenship”.
The modern democracy requires, among other things, an institution called the public sphere, within which the everyday participation of all citizens is accommodated. In the public sphere problems are raised, discussed, and if possible are then solved. The public sphere manifests in institutions ranging from the more formal, such as public seminars, the mass media, up to the more informal, such as bar and coffee shops. In a country that claims itself as democratic, a central question has to be posed: has every citizen had equal opportunity to access the public sphere?
The answer is “No!” Only the haves could access the public sphere. They are those who are involved in intellectual forums of public discussions and seminars. They are able to observe government performance through newspaper reports and, if they wish, write opinion letters. In their leisure time, they attend experts’ and politician’s debates on television, pick up the phone to voice their opinions, or casually pose critiques through text messages on their cell phones.
Among those very democratic situations above, where are the poor? Rather than buying televisions or subscribing to newspapers, they even have trouble affording a meal. Instead of picking up the phone or typing a text message, to earn some cash they have to sweat all day long.
Indeed, they do not have the power to tell their troubles to politicians they have elected. Democracy, for them, is only a five-yearly ritual. Democracy is the matter of “time”, not of “space.” It is just like Christmas, it doesn’t happen every day.
In his seminal work, the Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Germany philosopher Jurgen Habermas has taken into account the way the public sphere transforms. In its emergence in the dusk of the 18th century, it was the bourgeois’ tool to demolish feudalism and then establish more democratic nation-states. It gave a great contribution to the advancement of liberal capitalism.
However, the 20th century saw the development of organized capitalism. In contrast to liberal, free and equal competition, organized capitalism has a tendency to monopolize markets.
Organized capitalism rather creates human needs than fulfils them. The public sphere is monopolized as well. Previously, the public sphere was the field of open public debate. Now, the public sphere has become a meadow to manufacture public opinion through the polling system. Everyone who has power and money can intrude and control public aspirations.
Bourgeoisies buy the public sphere and thus provide the dishes on the democratic menus within. Politicians and intellectuals, who are fond of popularity, embellish the mass media with their eccentric grooming. They fluently dispute, contest opinions and compete for influence and sympathy. The media debates are no more than spectacles, controlled by the mechanism of the visual media market called ratings.
When the public sphere is purchased or monopolized, democracy becomes the property of the haves. They constitute the first class citizens. The poor are no more than the second or maybe third class citizens, needed only when democratic festivities begin. The poor will be useful for democracy only when they transform to be a mass. The masses are more suitable to make merry and cheer at the five-yearly parades than to be involved in the day-to-day politics. If the masses celebrate their democracy every time and every where, the result is anarchy.
The historical clock is turned back. Citizenship becomes a luxury. For the poor, citizenship is in deficit. Nominally, they are citizens, but, substantially, they have lost the most crucial element of citizenship within a modern democratic state; i.e. participation.
They are passive people rather than active citizens. Their voices never heard during the formulation of policies determining their own fate. Besides facing the external burdens, the poor also have to deal with their own internal troubles. By themselves, they are a very vulnerable and dependent community.
Affirmative policies need to be imposed not only for those who have been discriminated against culturally, but also for those who are deprived economically. An affirmative perspective should be considered by political parties, if they are serious about being pro-poor parties.
The writer is a sociologist and researcher at the Center of Asian Studies (CENAS), Jakarta.
Irsyad Zamjani , JAKARTA | Sat, 04/04/2009 11:30 AM | Opinion
During the campaign period of the 2009 election, poverty issues are among the most prominent issues. All political parties proclaim themselves as truly antipoverty parties. The issue has been repeatedly raised within a number of political advertisements in the mass media, on posters, or at mass meetings.
Debates have taken place among politicians regarding the large number of the country’s poor and the policies the government have imposed to eradicate poverty. However, there is a paradox. Among those vicious political disputes, our poor people are not merely materially lacking, but they have also lost their democratic participation. Broadly speaking, they have been undergoing a “deficit of citizenship”.
The modern democracy requires, among other things, an institution called the public sphere, within which the everyday participation of all citizens is accommodated. In the public sphere problems are raised, discussed, and if possible are then solved. The public sphere manifests in institutions ranging from the more formal, such as public seminars, the mass media, up to the more informal, such as bar and coffee shops. In a country that claims itself as democratic, a central question has to be posed: has every citizen had equal opportunity to access the public sphere?
The answer is “No!” Only the haves could access the public sphere. They are those who are involved in intellectual forums of public discussions and seminars. They are able to observe government performance through newspaper reports and, if they wish, write opinion letters. In their leisure time, they attend experts’ and politician’s debates on television, pick up the phone to voice their opinions, or casually pose critiques through text messages on their cell phones.
Among those very democratic situations above, where are the poor? Rather than buying televisions or subscribing to newspapers, they even have trouble affording a meal. Instead of picking up the phone or typing a text message, to earn some cash they have to sweat all day long.
Indeed, they do not have the power to tell their troubles to politicians they have elected. Democracy, for them, is only a five-yearly ritual. Democracy is the matter of “time”, not of “space.” It is just like Christmas, it doesn’t happen every day.
In his seminal work, the Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Germany philosopher Jurgen Habermas has taken into account the way the public sphere transforms. In its emergence in the dusk of the 18th century, it was the bourgeois’ tool to demolish feudalism and then establish more democratic nation-states. It gave a great contribution to the advancement of liberal capitalism.
However, the 20th century saw the development of organized capitalism. In contrast to liberal, free and equal competition, organized capitalism has a tendency to monopolize markets.
Organized capitalism rather creates human needs than fulfils them. The public sphere is monopolized as well. Previously, the public sphere was the field of open public debate. Now, the public sphere has become a meadow to manufacture public opinion through the polling system. Everyone who has power and money can intrude and control public aspirations.
Bourgeoisies buy the public sphere and thus provide the dishes on the democratic menus within. Politicians and intellectuals, who are fond of popularity, embellish the mass media with their eccentric grooming. They fluently dispute, contest opinions and compete for influence and sympathy. The media debates are no more than spectacles, controlled by the mechanism of the visual media market called ratings.
When the public sphere is purchased or monopolized, democracy becomes the property of the haves. They constitute the first class citizens. The poor are no more than the second or maybe third class citizens, needed only when democratic festivities begin. The poor will be useful for democracy only when they transform to be a mass. The masses are more suitable to make merry and cheer at the five-yearly parades than to be involved in the day-to-day politics. If the masses celebrate their democracy every time and every where, the result is anarchy.
The historical clock is turned back. Citizenship becomes a luxury. For the poor, citizenship is in deficit. Nominally, they are citizens, but, substantially, they have lost the most crucial element of citizenship within a modern democratic state; i.e. participation.
They are passive people rather than active citizens. Their voices never heard during the formulation of policies determining their own fate. Besides facing the external burdens, the poor also have to deal with their own internal troubles. By themselves, they are a very vulnerable and dependent community.
Affirmative policies need to be imposed not only for those who have been discriminated against culturally, but also for those who are deprived economically. An affirmative perspective should be considered by political parties, if they are serious about being pro-poor parties.
The writer is a sociologist and researcher at the Center of Asian Studies (CENAS), Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)