Tuesday, March 31, 2009

idul Fitri, Halalbihalal, dan Ketakwaan Sosial

idul Fitri, Halalbihalal, dan Ketakwaan Sosial

Oleh Abd Rohim Ghazali

IDUL Fitri berarti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian (fitrah). Fitrah kejadian manusia itu suci. Namun, dalam perjalanan sejarahnya manusia senantiasa bergelimang dosa. Karena itu, perlu upaya pengembalian pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri.

Dosa yang paling banyak dilakukan manusia adalah kesalahan-baik kecil maupun besar-terhadap sesamanya. Disebabkan oleh hal-hal yang sepele antarmanusia bisa bermusuhan, bertikai, hingga saling bunuh. Idul Fitri merupakan momentum untuk saling memaafkan antarmanusia, baik secara individu maupun kolektif. Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halalbihalal. Meski awalnya eksklusif milik umat Islam, kini telah menjadi fenomena nasional, telah dimiliki dan dilaksanakan semua kalangan, tak terkecuali non-Muslim. Fenomena ini wajar karena relevan dengan inklusivitas misi ajaran Islam.

Halalbihalal, seperti disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Terminologi ini jelas menunjukkan adanya ikatan primordial ideologis karena dikaitkan dengan acara Lebaran yang hanya dimiliki umat Islam. Bagaimanapun Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang telah sebulan penuh (Ramadhan) berhasil melawan berbagai nafsu yang membelenggu jiwa. Dalam konteks ini tentu pesta kemenangan Lebaran "hanya" berhak dimiliki umat Islam yang berpuasa plus dilandasi iman.

Namun, apakah halalbihalal hanya dimilik umat Islam? Menurut pakar tafsir Prof Dr Quraish Shihab, halalbihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata bahasa Arab halal diapit satu kata penghubung ba (baca, bi) (Shihab, 1992: 317)

Meski dari bahasa Arab, yakinlah, orang Arab sendiri tidak akan mengerti makna sebenarnya halalbihalal-kecuali bagi yang sudah diberi tahu-karena ia khas dan kreativitas bangsa Indonesia.

Dalam Al Quran kata halal memiliki dua makna. Pertama, dalam pengertian hukum yang berarti ?diperkenankan? (lawan dari haram). Kedua, dalam pengertian ?perolehan rezeki atau memakan makanan?, yang selalu dikaitkan dengan kata thayyib yang berarti ?baik dan menyenangkan?. Artinya, kadang ada sesuatu yang halal, tetapi tidak baik, misalnya talak (cerai, pemutusan hubungan suami istri), seperti ditegaskan Rasulullah SAW, dihalalkan, tetapi dibenci (berarti tidak baik dan tidak menyenangkan).

Berarti dalam hal ini halal yang patut dijadikan pedoman adalah yang baik dan menyenangkan. "Dalam surat Ali ?Imron: 134-135 ditegaskan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain.

Bila demikian, halalbihalal bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang plus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau secara umum, makna filosofisnya berarti tiap orang dituntut tidak melakukan apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Artinya, ketika berhalalbihalal, seharusnya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain yang diajak berhalalbihalal.

Dari sini juga bisa dipahami, kebutuhan akan saling memaafkan dan berbuat kebaikan bagi orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan tetapi, kapan pun dan di mana pun karena kebutuhan manusia akan saling memaafkan dan berbuat kebaikan tidak dibatasi dimensi ruang dan waktu. Apalagi hanya dibatasi oleh semangat primordial idiologis yang sempit, tentu sangat tidak relevan.

Berangkat dari makna halalbihalal seperti tersebut di atas, pesan moral halalbihalal menjadi sangat universal, tidak semata dimiliki oleh umat Islam dalam pengertian idiologis yang formal.

Ketakwaan sosial

Makna halalbihalal yang dijelaskan itu memang amat filosofis dan ideal. Karena dalam realitasnya kesan terkotak-kotaknya umat beragama dalam melakukan halalbihalal masih jelas terlihat. Halalbihalal yang menjadi hajat para petinggi negara atau para ningrat tentu hanya akan menghadirkan undangan khusus saja, sedangkan komunitas marjinal tentu tidak diundang.

Selain itu, halalbihalal juga sering dijadikan ajang unjuk kekayaan (pamer), yang hadir umumnya berpakaian bagus-bagus dengan menu hidangan mewah. Jadi, mereka yang tidak memiliki pakaian bagus akan merasa malu untuk datang meski diundang. Belum lagi ada halalbihalal yang hanya dilakukan terbatas pada organisasi atau sekte agama tertentu, yang sangat eksklusif.

Bila demikian, kiranya perlu adanya reinterpretasi dan penyadaran secara kolektif terhadap makna, fungsi dan manifestasi halalbihalal. Caranya tidak mudah, tetapi hal ini bisa dilakukan mulai dari penyadaran diri sendiri, melalui pemahaman komprehensif terhadap dalil-dalil baik yang berasal dari kitab suci maupun dari realitas sejarah yang telah banyak memberi pelajaran bagi manusia sebagai makhluk bernalar. Pemahaman yang tentu saja diikuti tindakan riil. Ditegaskan dalam Al Quran, manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan dijadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. (Bukan untuk saling membanggakan bangsa atau sukunya satu sama lain), tetapi untuk saling bersilaturahmi, kenal-mengenal dan saling memaafkan (QS, 49:13).

Selanjutnya ditegaskan, yang terbaik di antara manusia bukan karena suku atau bangsanya, tetapi karena kadar takwanya. Takwa bisa diraih melalui perbuatan kebajikan (amal saleh). Sering ditekankan, amal saleh dilakukan untuk menciptakan komunitas takwa (la?allakum tattaqun). Artinya, bukan semata ketakwaan individual, melainkan ketakwaan sosial.

Dalam konteks ketakwaan sosial, segala bentuk interaksi kemanusiaan harus dilandasi semangat ke-Tuhan-an, selain kemanusiaan, kebersamaan yang egaliter baik dalam tampilan fisik maupun non-fisik. Semangat primordial yang bisa membuat manusia enggan atau malu berinteraksi harus ditanggalkan.

Dalam dalil sosiologis manusia juga diniscayakan untuk berinteraksi satu sama lain (diistilahkan sebagai makhluk sosial). Dan bila menginginkan suatu masyarakat yang harmonis, tentu saja interaksi harus dilandasi tanpa eksploitasi, saling menghormati dan saling memaafkan jika terjadi persengketaan atau kesalahpahaman satu sama lain.

Dari sejarah dapat dibaca dan dilihat bagaimana masa depan masyarakat yang mengabaikan prinsip-prinsip itu, misalnya masyarakat Mesir Kuno yang tiranik dan eksploitatif atau masyarakat komunis yang mengaku sosialis, padahal dalam aktualisasinya amat asosial. Meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif, semuanya sudah pada tiang gantungan sejarah, disebabkan dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan terhadap kemanusiaan universal baik secara individual maupun kolektif. Dan kemungkinan besar akan cepat-cepat menyusul masyarakat kapitalis yang berorientasi pada pertumbuhan kapital dengan menafikan etika ketuhanan dan kemanusiaan.

Dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial-atau kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang-Idul Fitri dengan budaya halalbihalalnya diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya. Tetapi, dengan syarat harus dilaksanakan secara kontekstual tanpa kehilangan substansi maknanya.

Abd Rohim Ghazali Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

No comments: