Tuesday, March 31, 2009

Sains Vedik dan Nasionalisme Hindu

Sains Vedik dan Nasionalisme Hindu:
Gugatan terhadap Upaya Sintesis Agama dan Sains


* Meera Nanda

Agama dan nasionalisme-dua pendorong mobilisasi massa yang paling
kuat-telah melebur di India saat ini, dan mengarah kepada pengukuhan
Hindutva, atau ke-Hindu-an, yang amat mengkhawatirkan. Sejak dasawarsa
lalu India diperintah oleh Bharatiya Janata Party (BJP),
partai berideologi Hindutva. Gagasan di belakang Hindutva adalah
menjadikan India sebagai negara bangsa Hindu, dan memaksa negara untuk
menafsirkan ulang undang-undang agar sejalan dengan nilai-nilai Hindu.

Fakta tentang bangkitnya Hindutva sudah cukup banyak diketahui, nyata di
hadapan mata setiap orang yang membaca halaman-halaman luar negeri di
koran-koran. Yang tak banyak diketahui adalah fakta bahwa gerakan Hindutva
terobsesi oleh sains modern.

Apa yang disebut "sains Vedik" ada di jantung ideologi ini. ("Vedik"
adalah kata sifat dari Weda/Veda, kitab Hindu.) Sains Vedik tak terlalu
berbeda dari kreasionisme Kristen (creation science) ataupun gagasan sains
Islam dalam satu hal: yaitu, dalam niatannya untuk menciptakan ilmu alam
yang tak bertentangan dengan kitab suci-dalam hal ini kitab-kitab Weda.

Agama Hindu bukanlah agama kitab, sebagaimana halnya Islam dan Kristen. Ia
tak dikenal melalui suatu kitab suci. Weda adalah kumpulan kitab suci kaum
Hindu ortodoks, yang disusun selama masa
ratusan tahun, sejak sekitar tahun 1500 sebelum masehi (SM).

Ada empat kitab Weda, yang diikuti oleh hampir 200 kitab Upanishad. Yang
belakangan ini disusun selama masa aksial agama Hindu di antara tahun 800
hingga 400 SM. Upanishad juga dikenal dengan Vedanta, berisi inti
ajaran-ajaran filosofis Weda. Vedanta mengajarkan panteisme spiritual yang
idealistik.

Tuhan tak terpisah dari alam dan manusia, tapi seluruh alam semesta dan
seisinya adalah Tuhan, yang disebut dengan Atman atau Brahman. Brahman
bukanlah suatu Tuhan personel, tapi berwujud roh, atau kesadaran, tanpa
materi. Roh Mutlak ini merupakan substansi dari semua yang ada. Perwujudan
Vedanta yang bersifat amat monistik, yaitu Advaita Vedanta, meyakini bahwa
hanya ada satu realitas puncak, yaitu realitas Brahman, sementara dunia
wadak ini adalah ilusi.

Proyek sains Vedik memiliki dua tujuan. Yang pertama sifatnya amat
"saintistik". Yaitu, menyatakan bahwa ajaran-ajaran Weda, yang berasal
dari sekitar tahun 1500 SM, memuat semua kemajuan sains modern mulai dari
fisika Newton hingga Einstein, dari fisiologi manusia hingga biologi
molekuler. Yang kedua bersifat amat relatifistik: menyatakan bahwa cara
mengetahui Vedik sama rasional dan empirisnya, dalam konteks metafisika
monistik Vedanta, dengan metode-metode sains modern yang berkembang dalam
konteks metafisika dualistik agama-agama Ibrahimi.

Perlu dicatat, bahwa dialog antara iman dan akal, antara idealisme dan
naturalisme bukanlah merupakan hal baru dalam agama Hindu. Sesungguhnya,
selalu ada ketegangan antara ajaran-ajaran Weda dan Upanishad yang
sifatnya mistis dan menolak dunia dengan filsafat-filsafat tak ortodoks
non-Vedik yang bersifat lebih empiris dan materialistis.

Dan harus diingat bahwa tradisi non-Vedik adalah juga bagian dari tradisi
Hindu. Hampir seluruh tahap dalam sejarah intelektual India-mulai dari
kelahiran Buddha pada abad ke-6 SM hingga datangnya Islam pada abad ke-11,
dan lalu kedatangan Inggris dan agama Kristen pada abad ke-17-diwarnai
oleh debat dan upaya-upaya sintesis antara panteisme Vedanta dengan
filsafat-filsafat dualis dan materialis lainnya.

Gerakan nasionalisme India di abad ke-19 dan ke-20 dipengaruhi oleh
konflik ini, dan akhirnya melahirkan upaya-upaya awal untuk menyerap sains
modern ke dalam Weda. Kaum Hindutva kontemporer melanjutkan upaya yang
telah dirintis oleh generasi nasionalis Hindu sebelumnya, dan kini dengan
agresif mengembangkan proyek sains Vedik. Dalam konteks pembicaraan saya
tentang dunia pascakolonial, saya hanya akan membahas gerakan sains Vedik
kontemporer.

Ada dua aspek dunia pascakolonial yang ingin saya tekankan. Kedua aspek
inilah yang membuat gagasan sains Vedik menjadi amat berbahaya. Pertama,
teori-teori mengenai sains Vedik diciptakan dan digunakan oleh gerakan
politik chauvinis Hindu dan para intelektualnya.

Kedua, sisi intelektual dunia pascakolonial ditandai dengan kecurigaan
posmodernis terhadap sains modern. Filosof sains Barat, kaum intelektual
feminis, dan kritisi kebudayaan sendiri amat mencurigai klaim
universalitas sains modern dan budaya modernitas pada umumnya.

Namun, kritik internal Barat atas pengalaman modernitasnya sendiri itu
dengan senang hati diambil penganjur sains Vedik. Kritik ini lalu
diperluas, dengan tujuan menafikan pentingnya sains modern untuk mendorong
Pencerahan dan pembaruan agama-agama mereka sendiri. Padahal, mereka masih
hidup di alam pramodern-dimana agama memainkan peran amat penting dalam
kehidupan masyarakat dan kerap bersifat amat menindas-dan masih
membutuhkan Pencerahan. Dengan kata lain, kritik postmodern atas
Pencerahan yang dilakukan di masyarakat (Barat) pasca-Pencerahan
dimanfaatkan untuk mengingkari perlunya Pencerahan dalam konteks budaya
pramodern.

Ada tiga aspek dalam paradigma sains Vedik yang ingin saya kemukakan di
sini. Pertama, bagaimanakah pencampuradukan antara sains modern dan
mitos-mitos Vedik membantu ideologi Hindutva? Mengapa kita mesti
mengkhawatirkannya?

Kedua, bagaimanakah penganjur sains Vedik memanfaatkan logika kaum
konstruktivis sosial dan posmodernis untuk mempertahankan tradisi Vedanta
yang paling mistis, idealistik, dan menafikan dunia, serta menyebutnya
sebagai "ilmiah"? Ketiga, mengapa India membutuhkan sekularisasi dan
desakralisasi alam?

1. Politik sains Vedik

Ada tiga contoh tentang bagaimana sains diidentikkan dengan mitologi
Hindu, lalu dimanfaatkan secara politis. Contoh pertama: India mengadakan
uji coba bom nuklir pada Mei 1998. Ledakan bom itu dirayakan di India
dengan suatu gairah keagamaan.

Padang pasir di Pokharan, tempat ledakan terjadi, dinyatakan sebagai tanah
suci, dan organisasi Vishwa Hindu Parishad (VHP), yang didirikan untuk
melestarikan dan menyebarkan ajaran Hindu, berjanji akan membangun kuil
tepat di tempat ledakan tersebut untuk penyembahan Dewi Syakti (kekuatan)
dan Vigyan (ilmu).

Ada pula rencana untuk mengambil pasir dari Pokharan untuk digunakan dalam
upacara sembahyang bersama di seluruh India. Arakan keagamaan pun
dilangsungkan, dan dibuatlah patung para dewa dengan lingkaran asap nuklir
di sekeliling kepala mereka.

Bukan hanya itu. Dalam Bhagawat Gita, kitab suci Hindu yang lain, Dewa
Khrishna menampakkan dirinya kepada Arjuna di medan pertempuran dengan
kata-kata ini: "Akulah cahaya seribu mentari, kecemerlangan dari yang Maha
Kuasa. Akulah kematian."

Robert Oppenheimer, fisikawan yang ikut menciptakan bom atom pertama,
mengutip kata-kata Khrishna ini ketika ia menyadari bahwa manusia telah
melepaskan kekuatan perusak luar biasa yang hanya dimiliki oleh para dewa
saja. Oppenheimer menyuarakan kata-kata ini dengan kepedihan.

Namun, di India kalimat Gita ini dianggap sebagai ramalan Hindu yang
terbukti kebenarannya di tanah Hindu. Dikatakan bahwa bom itu telah
diramalkan dalam Gita, dan kebesaran India sudah merupakan suratan takdir.

Lebih jauh, mitos lama bahwa Gita memuat semua ilmu fisika yang dibutuhkan
untuk membuat bom nuklir, dan bahwa Barat mencuri fisika nuklir dari Gita,
digemakan berulang-ulang. Tak hanya ledakan bom, bahkan sains yang
mendasarinya pun dianggap telah diramalkan semuanya oleh Gita.

Perkembangan yang buruk dan berbahaya ini berubah menjadi perayaan
kebesaran Hindu. Nuklirisasi wilayah anak benua yang dilakukan India
menjadi lambang perang antara kebaikan dan kejahatan, dengan janji Dewa
Khrishna untuk membantu India yang berada di sisi kebaikan.

Contoh kedua saya berasal dari luar angkasa. India adalah satu-satunya
negara di dunia yang secara bersamaan meluncurkan satelit untuk menjelajah
angkasa dan sekaligus mengajarkan astrologi sebagai bagian sains Vedik di
universitas-universitasnya.

Pada April 2001, untuk pertama kalinya India berhasil meluncurkan satelit
komunikasi geo-stasioner; baik landasan peluncuran maupun satelitnya
adalah hasil produksi dalam negeri. Pada Juli 2001, kementerian pendidikan
India mengumumkan bahwa seluruh pelajar S1 dan D3 di sana akan memberikan
pengajaran astrologi sebagai cabang sains.

Akan ada laboratorium-laboratorium dan perpustakaan-perpustakaan, juga
kajian pascasarjana di universitas, untuk terlibat dalam "riset lebih
jauh" mengembangkan astrologi. Astrologi hanyalah satu dari beberapa
cabang sains Vedik yang akan ditawarkan. Selain itu, pemerintah India juga
menawarkan beragam ilmu tradisional, beberapa di antaranya tak punya nilai
sama sekali, seperti vastu shastra (semacam Feng Shui Cina), terapi
kencing sapi, matematika Vedik, parapsikologi, dan penyembuhan religius.

Ilmu-ilmu tradisional yang diturunkan dari Weda disejajarkan statusnya
dengan sains modern. Ini bukan sekadar retorika. Dengan restu kejaksaan
agung, Hinduisasi pendidikan yang masif di sekolah-sekolah negeri telah
mulai.

Di luar sistem pendidikan umum, India memiliki jaringan yang besar dan
terus berkembang yang terdiri dari sekolah-sekolah milik kaum radikal
nasionalis Hindu seperti Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), induk BJP, dan
VHP. Mengutip koran New York Times, kini ada sekitar 20.000 sekolah
swasta, dengan 2,5 juta pelajar, dan setiap bulan ada seribu sekolah baru.

Di sekolah-sekolah Hindutva swasta ini, yang menerima subsidi pemerintah,
nasionalisme Hindu telah sepenuhnya mewarnai pendidikan yang dilangsungkan
di sana. Sekolah-sekolah ini adalah semacam madrasah yang ada di Pakistan.
Bedanya, sekolah-sekolah Hindu tersebut tak begitu saja menolak sains
modern, tapi mengajarkannya sebagai versi lain dari Weda dan Vedanta.

Apa yang kita saksikan di India adalah bentuk modernitas yang reaksioner,
dimana kemajuan teknologi modern digunakan secara aktif sebagai alat
promosi nilai-nilai dan ilmu-ilmu tradisional.

Contoh ketiga tampak dalam deklarasi bahwa Weda dan bahkan peradaban
Lembah Indus pra-Weda adalah hasil ciptaan kaum Arya. India dinyatakan
sebagai tanah air kaum Arya. Penemuan seluruh sains dalam Weda mengandung
subteks ini: mendeklarasikan India, bukan Yunani, sebagai induk seluruh
ilmu.

Versi sejarah Eropa-sentris yang menjijikkan diganti dengan versi sejarah
Indosentris yang sama buruknya. Yang lebih buruk adalah pembangkitan
kembali semua mitos tentang keunggulan Arya yang politeistik dan
panteistik di atas agama-agama monoteistik Semitik.

Lagi-lagi, Aryanisasi bukan hanya sekadar debat intelektual. New York
Times pada 20 Desember yang lalu melaporkan bahwa buku-buku sekolah yang
baru nyata-nyata mengacu kepada peradaban Lembah Indus sebagai peradaban
Saraswati-Indus-inilah cara mengklaim bahwa seluruh sejarah pra-Weda di
wilayah ini semuanya adalah milik kaum Arya India.

2. Legitimasi sains Vedik

Ada dua jenis argumen yang diajukan untuk sains Vedik: politis dan
epistemologis. Ironisnya, kedua argumen ini hampir semuanya dipinjam dari
gerakan konstruktivisme sosial, feminis, dan kritik
pascakolonial. Ironis, karena argumen-argumen tersebut dipopulerkan oleh
pengkritik sains dari kalangan akademisi kiri di universitas-universitas
Barat, yang biasanya dikenal karena keprogresifannya.

Argumen-argumen posmodernis dan anti-Pencerahan tersebut nyatanya amat
populer di kalangan intelektual dan aktivis sosial India juga; sebetulnya,
kaum intelektual asal India termasuk cukup terkemuka dalam debat-debat
mengenai universalisme sains. Dalam proses penciptaan sains Vedik, kita
melihat bahwa kaum akademisi kiri secara tak sadar telah membantu kelompok
yang tak mereka sukai, yaitu gerakan (keagamaan) kanan.

Pertama, soal justifikasi politis. Penganjur sains Vedik memandang diri
mereka sebagai bagian dari proyek posacakolonial, tak berbeda dari
intelektual sekuler yang sudah cukup lama menganjurkan "dekolonisasi
pikiran". Para penganjur sains Vedik itu menganggap sains modern hanyalah
bentukan pemahaman alam yang khas Kristen Barat, alias tak universal.

Argumennya dikembangkan dari gagasan Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan
pengkritik sains Barat yang lebih belakangan, seperti Richard Rorty,
Sandra Harding, Vandana Shiva, dan Ashis Nandy. Sains modern tak
universal, dan hanya absah dalam kerangka ontologi dualis Kristen yang
memisahkan Tuhan dari alam semesta, dan meletakkan-Nya di atasnya.

India hanya dapat mengadopsi unsur-unsur sains yang sesuai dengan metafika
kesatuan antara alam dan Tuhan yang ada dalam Hindu (contoh: mekanika
kuantum dan ekologi). Untuk yang lainnya, India mesti menggunakan kategori
pikiran Hindu, yang diturunkan dari Weda, untuk membangun ilmu alam mereka
sendiri.

Gagasan bahwa setiap budaya dan agama mesti memiliki ilmu alamnya sendiri,
yang memanfaatkan dan menegaskan metafisikanya sendiri, adalah gagasan
yang menurut saya salah kaprah. Ia mengelirukan asal sains modern dalam
theisme ilmuwan seperti Kepler atau Newton dengan esensi metode ilmiah dan
pandangan dunia ilmiah.

Mungkin tak salah mengatakan bahwa sains modern lahir dalam konteks
teistik Kristen. Namun saya melihat bahwa theisme Kristen diperlukan hanya
untuk melahirkan gagasan ekperimentasi dalam sains modern. Sedikit demi
sedikit, sains mendapatkan otonominya dari agama, dan membangun standar
cara pengajuan pertanyaan dan cara menjawabnya dari tradisinya sendiri
yang merupakan hasil akumulasi bertahap.

Akumulasi tradisi itu tak dikungkung dalam metafisika Yahudi-Kristen,
namun tersedia bebas untuk diambil semua budaya. Lebih-lebih,
budaya-budaya lain punya kewajiban untuk menunjukkan bahwa
kosmologi dalam agama-agama mereka sendiri tak bertentangan dengan apa
yang kita ketahui melalui akumulasi tradisi sains tersebut. Saya sepakat
dengan Abdul Karim Soroush yang berpandangan bahwa kesadaran keagamaan
harus terus berkembang sesuai masanya. Dengan kata lain, teologi tak boleh
menentang temuan-temuan ilmiah. Sains Vedik adalah upaya mengelak dari
tantangan ini.

Kedua, dalam hal argumen epistemologis untuk sains Vedik pun, terjadi hal
serupa. ada bayang-bayang konsepsi sains kaum relativis posmodernis yang
disukai akademisi sekular dari disiplin kajian sains (science studies) di
Barat.

Sejauh ini saya sudah berupaya menunjukkan bagaimana ideolog Hindutva
menganggap bahwa upaya melakukan dekolonisasi ilmu dan mengembangkan suatu
sains Hindu alternatif merupakan tugas patriotik mereka. Pertanyaan yang
wajar muncul adalah: apa yang mereka lihat sebagai esensi Hindu? Apakah
itu sejalan dengan naturalisme dan empirisisme sains modern?

Menurut penganjur sains Vedik, esensi ajaran Hindu adalah spiritualitas.
Yaitu, kepercayaan Vedantik akan kehadiran roh, Kesadaran Mutlak, atau
Brahman dalam segala sesuatu. Sebagian besar dari kita berpikir bahwa
spiritualitas berseberangan dengan analisis empiris dan logis atas data,
yang disyaratkan ilmu alam.

Tapi penggagas sains Vedik menganggap bahwa spiritualitas Hindu bersifat
saintifik, bahwa ia adalah cara rasional dan empiris yang baik dalam
memahami alam empiris dan juga alam rohaniah. Hinduisme bersifat rohaniah,
tapi dalam cara yang saintifik. Konflik antara keduanya adalah problem
kaum Semit. Bahkan gagasan "kontradiksi" sendiri adalah gagasan khas
Semit, karena kepercayaan Hindu menghubungkan dan menyelaraskan
kutub-kutub yang bertentangan.

Sesungguhnya, umat Hindu menganggap bahwa agama Hindu adalah satu-satunya
agama yang konsepsi ketuhanannya diteguhkan oleh temuan-temuan sains
modern. Tuhan eksternal yang berada terpisah dari alam dan merancang
hukum-hukum alam dari luar telah dibuktikan kekeliruannya oleh sains;
fisika kuantum telah menegaskan kehadiran Brahman atau kesadaran di dalam
alam.

Tak perlu dikatakan bahwa ini adalah tafsiran yang penuh bias atas fisika
kuantum. Ada penjelasan realis atas paradoks-paradoks pada tingkat
subatomik yang dimunculkan fisika kuantum, dan penjelasan itulah yang
dipakai oleh para fisikawan aktif.

Namun, klaim mengenai keilmiahan spiritualisme tak berhenti pada
penggambaran adanya kesejajaran antara fisika kuantum dan "kearifan
Timur". Generasi baru praktisi sains Vedik mengklaim bahwa metode
spiritualitas-aktivitas batin melalui yoga dan meditasi-adalah metode yang
tepat untuk memperoleh ilmu obyektif mengenai alam empiris.

Sayangnya, memperhatikan sejarah sains di India, spiritualitas
introspektif yang dipraktikkan kaum Brahmin justru tampak menghambat
kemajuan sains. Praktik rohaniah tradisional justru membawa ke
pemikiran magis yang didasarkan pada korespondensi dan logika asosiatif.
Penganjur sains Vedik mengklaim bukan saja bahwa metode batiniah ini
memiliki karakter ilmiah di era Weda, tapi juga saat ini.

Berikut ini sebuah contoh ringkas tentang bagaimana spiritualitas
didefinisikan ulang sebagai metode untuk sains Vedik dalam buku-buku baru
mengenai fisika Vedik yang ditulis pengarang-pengarang yang baru naik daun
di India, seperti Subhash Kak, Ram Mohan Roy, dan David Frawley. Kak
menulis banyak buku yang mengklaim bahwa ayat-ayat Weda sesungguhnya
adalah rekaman temuan astronomi: ayat-ayat dalam Yajurveda yang
memerintahkan pembangunan altar penyembahan
sesungguhnya merupakan kata-kata sandi untuk temuan-temuan kosmologis
seperti lamanya tahun tropis, jarak antara Matahari dan Bumi, bahkan
kecepatan cahaya-semuanya ternyata sama persis seperti apa yang ditemukan
fisika modern, sampai desimal terakhir!

Jelas Kak memaksakan temuan modern ke dalam Weda. Karya Kak telah
mengilhami penafsiran lain yang bahkan lebih liar, seperti "penemuan"
fermion, boson, dan quark dalam kitab-kitab suci itu. Pertanyaan yang
selalu muncul adalah bagaimana para penyusun Weda mengetahui semua fisika
ini. Apa metode mereka? Mengapa kita tak dapat menemukan bekas-bekas
observatorium mereka, atau rekaman eksperimen mereka?

Biasanya jawaban yang diberikan adalah bahwa para pemikir Weda itu
"mengintuisikan", "merealisasikan dalam pengalamannya", atau "mendapat
kilasan persepsi" hukum-hukum alam dengan cara mempersiapkan kesadaran
mereka melalui meditasi Yoga. Melalui kontak dengan Brahman, Kesadaran
batin, mereka mengenali Brahman atau kesadaran yang ada dalam alam.
Melalui perenungan diri yang dalam, mereka dapat melihat keserupaan,
homologi, atau ekuivalensi antara
yang kosmik, terrestrial, dan spiritual.

"Metode" penemuan homologi antara mikrokosmos kehidupan manusia dan
makrokosmos alam semesta ini adalah metode astrologi, ilmu garis tangan,
dan ilmu-ilmu kuno lainnya yang mencoba mengontrol alam semesta agar
bersesuaian dengan makna dan tujuan hidup manusia. Metode korespondensi
adalah metode yang ditinggalkan ilmu alam dan, akibatnya, melahirkan sains
modern.
Namun, menurut Kak dan kawan-kawan, menganggap logika asosiatif sebagai
magis adalah prasangka Barat. Dalam metafisika Vedanta, yang tak mengenal
pembedaan antara Tuhan dan alam, roh dan materi, pengetahuan tentang roh
adalah metode yang absah sebagai alat mengetahui dunia material. Apa yang
dianggap magis di Barat, di India dianggap saintifik. (Cara menjustifikasi
keilmiahan astrologi Vedik ini digunakan bukan hanya di masa lalu tapi
juga saat ini.) Pada puncaknya, ujian untuk apa yang dianggap saintifik
diputuskan bukan berdasarkan kelayakan empirisnya, tapi berdasarkan suatu
kerangka metafisis. Metafisika yang berbeda melegitimasi metode ilmiah
yang berbeda. Tak ada alasan menganggap bahwa sains seperti yang kita
kenal saat ini bertentangan dengan cara pikir magis dalam Hinduisme.

3. Bahaya sains Vedik

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan ini, yaitu bahaya sains
Vedik, dan, lebih umum, bahaya upaya rekonsiliasi sains dan agama yang
terlalu terburu-buru. Di balik topeng sains Vedik, ada upaya habis-habisan
melawan Pencerahan dan Reformasi di India saat ini. Anti-Pencerahan ini
menyalakan chauvinisme Hindu yang tak hanya menyebabkan bencana besar bagi
minoritas-minoritas agama, tapi juga berbahaya bagi mayoritas Hindu
sendiri. Sebabnya, di balik topeng otentisitas budaya, cara pikir magis
dan takhayul dipromosikan sebagai sains. Selama cara pikir ini bertahan di
masyarakat India, mereka akan tetap tertawan oleh nabi-nabi palsu.

Di alam pascamodern, pasca-Pencerahan, banyak orang yang dikecewakan oleh
cara pikir dan cara hidup sekular. Namun, apa pun kelemahan Pencerahan,
fakta yang tak bisa dibantah adalah bahwa ia berhasil membantu membebaskan
pikiran, membebaskan manusia, dari ketakutan akan akibat-akibat kosmik
dari tindakan mereka di dunia ini, di sini dan kini. Pencerahan, tak bisa
dibantah, membantu pembersihan rumah agama-agama sehingga tersisa ruang
bagi hak individu untuk berpikir untuk dirinya sendiri, untuk mengajukan
pertanyaan, dan menggugat otoritas.

Dengan menafikan kemajuan dan universalitas sains modern, proyek sains
Vedik-pada dasarnya, semua proyek "sains alternatif"-sedang melucuti
kekuatan Pencerahan dan sekularisasi di India.

Dalam konteks yang lebih umum, menyangkut sintesis sains dan agama, kita
harus lebih jujur terhadap sains. Upaya mencocokkan temuan fisika dan
biologi ke suatu metafisika-bahkan ketika keduanya terlihat benar-benar
bertentangan-tak layak dilakukan. Teologi harus menjadi kontemporer,
berubah seirama dengan perubahan zaman, jika ia mau terus terlibat bersama
keseluruhan diri manusia, pikiran, dan hatinya.

Saya sama sekali tak meremehkan nilai penting hal-hal yang sakral dan suci
dalam kehidupan manusia. Hidup yang sepenuhnya sekular dan rasional akan
menjadi miskin secara emosional. Ia bukanlah hidup yang layak
diperjuangkan.

Tapi apa yang sakral tak perlu dikaitkan dengan yang adi-alami
(supernatural). Apa yang dicari manusia dalam agama adalah suatu rasa yang
mentransendensi apa yang ada di sini dan kini. Untuk jenis makhluk
berpikir seperti manusia, rasa transendensi ini dapat (tetap) bertahan
hidup, melampaui kematian Tuhan.

(Artikel ini berasal dari presentasi penulis pada Konferensi Internasional
"Religion and Science in the Post-colonial World", Program Studi Agama dan
Lintas Budaya, Pascasarjana UGM, 2-5 Januari
2003. Diterjemahkan oleh Zainal Abidin Bagir dengan izin dari penulis dan
penyelenggara konferensi.)

Dr Meera Nanda, penulis buku yang akan diterbitkan Rutgers University
Press, Prophets Facing Backward: Postmodern Critiques of Science and the
Making of Hindu Nationalism. Bukunya yang lain berjudul Breaking the Spell
of Dharma: A Case for Indian Enlightenment (2002). Berasal dari India, ia
kini tinggal di AS, dan hingga tahun lalu adalah dosen tamu di Departemen
Filsafat, Columbia University, AS.

No comments: