Sains Vedik dan Nasionalisme Hindu:
                   Gugatan terhadap Upaya Sintesis Agama dan Sains 
* Meera Nanda 
Agama dan nasionalisme-dua pendorong mobilisasi massa yang paling 
kuat-telah melebur di India saat ini, dan mengarah kepada pengukuhan 
Hindutva, atau ke-Hindu-an, yang amat mengkhawatirkan. Sejak dasawarsa 
lalu India diperintah oleh Bharatiya Janata Party (BJP), 
partai berideologi Hindutva. Gagasan di belakang Hindutva adalah 
menjadikan India sebagai negara bangsa Hindu, dan memaksa negara untuk 
menafsirkan ulang undang-undang agar sejalan dengan nilai-nilai Hindu.
Fakta tentang bangkitnya Hindutva sudah cukup banyak diketahui, nyata di 
hadapan mata setiap orang yang membaca halaman-halaman luar negeri di 
koran-koran. Yang tak banyak diketahui adalah fakta bahwa gerakan Hindutva 
terobsesi oleh sains modern.
Apa yang disebut "sains Vedik" ada di jantung ideologi ini. ("Vedik" 
adalah kata sifat dari Weda/Veda, kitab Hindu.) Sains Vedik tak terlalu 
berbeda dari kreasionisme Kristen (creation science) ataupun gagasan sains 
Islam dalam satu hal: yaitu, dalam niatannya untuk menciptakan ilmu alam 
yang tak bertentangan dengan kitab suci-dalam hal ini kitab-kitab Weda.
Agama Hindu bukanlah agama kitab, sebagaimana halnya Islam dan Kristen. Ia 
tak dikenal melalui suatu kitab suci. Weda adalah kumpulan kitab suci kaum 
Hindu ortodoks, yang disusun selama masa 
ratusan tahun, sejak sekitar tahun 1500 sebelum masehi (SM).
Ada empat kitab Weda, yang diikuti oleh hampir 200 kitab Upanishad. Yang 
belakangan ini disusun selama masa aksial agama Hindu di antara tahun 800 
hingga 400 SM. Upanishad juga dikenal dengan Vedanta, berisi inti 
ajaran-ajaran filosofis Weda. Vedanta mengajarkan panteisme spiritual yang 
idealistik.
Tuhan tak terpisah dari alam dan manusia, tapi seluruh alam semesta dan 
seisinya adalah Tuhan, yang disebut dengan Atman atau Brahman. Brahman 
bukanlah suatu Tuhan personel, tapi berwujud roh, atau kesadaran, tanpa 
materi. Roh Mutlak ini merupakan substansi dari semua yang ada. Perwujudan 
Vedanta yang bersifat amat monistik, yaitu Advaita Vedanta, meyakini bahwa 
hanya ada satu realitas puncak, yaitu realitas Brahman, sementara dunia 
wadak ini adalah ilusi.
Proyek sains Vedik memiliki dua tujuan. Yang pertama sifatnya amat 
"saintistik". Yaitu, menyatakan bahwa ajaran-ajaran Weda, yang berasal 
dari sekitar tahun 1500 SM, memuat semua kemajuan sains modern mulai dari 
fisika Newton hingga Einstein, dari fisiologi manusia hingga biologi 
molekuler. Yang kedua bersifat amat relatifistik: menyatakan bahwa cara 
mengetahui Vedik sama rasional dan empirisnya, dalam konteks metafisika 
monistik Vedanta, dengan metode-metode sains modern yang berkembang dalam 
konteks metafisika dualistik agama-agama Ibrahimi.
Perlu dicatat, bahwa dialog antara iman dan akal, antara idealisme dan 
naturalisme bukanlah merupakan hal baru dalam agama Hindu. Sesungguhnya, 
selalu ada ketegangan antara ajaran-ajaran Weda dan Upanishad yang 
sifatnya mistis dan menolak dunia dengan filsafat-filsafat tak ortodoks 
non-Vedik yang bersifat lebih empiris dan materialistis.
Dan harus diingat bahwa tradisi non-Vedik adalah juga bagian dari tradisi 
Hindu. Hampir seluruh tahap dalam sejarah intelektual India-mulai dari 
kelahiran Buddha pada abad ke-6 SM hingga datangnya Islam pada abad ke-11, 
dan lalu kedatangan Inggris dan agama Kristen pada abad ke-17-diwarnai 
oleh debat dan upaya-upaya sintesis antara panteisme Vedanta dengan 
filsafat-filsafat dualis dan materialis lainnya.
Gerakan nasionalisme India di abad ke-19 dan ke-20 dipengaruhi oleh 
konflik ini, dan akhirnya melahirkan upaya-upaya awal untuk menyerap sains 
modern ke dalam Weda. Kaum Hindutva kontemporer melanjutkan upaya yang 
telah dirintis oleh generasi nasionalis Hindu sebelumnya, dan kini dengan 
agresif mengembangkan proyek sains Vedik. Dalam konteks pembicaraan saya 
tentang dunia pascakolonial, saya hanya akan membahas gerakan sains Vedik 
kontemporer.
Ada dua aspek dunia pascakolonial yang ingin saya tekankan. Kedua aspek 
inilah yang membuat gagasan sains Vedik menjadi amat berbahaya. Pertama, 
teori-teori mengenai sains Vedik diciptakan dan digunakan oleh gerakan 
politik chauvinis Hindu dan para intelektualnya.
Kedua, sisi intelektual dunia pascakolonial ditandai dengan kecurigaan 
posmodernis terhadap sains modern. Filosof sains Barat, kaum intelektual 
feminis, dan kritisi kebudayaan sendiri amat mencurigai klaim 
universalitas sains modern dan budaya modernitas pada umumnya.
Namun, kritik internal Barat atas pengalaman modernitasnya sendiri itu 
dengan senang hati diambil penganjur sains Vedik. Kritik ini lalu 
diperluas, dengan tujuan menafikan pentingnya sains modern untuk mendorong 
Pencerahan dan pembaruan agama-agama mereka sendiri. Padahal, mereka masih 
hidup di alam pramodern-dimana agama memainkan peran amat penting dalam 
kehidupan masyarakat dan kerap bersifat amat menindas-dan masih 
membutuhkan Pencerahan. Dengan kata lain, kritik postmodern atas 
Pencerahan yang dilakukan di masyarakat (Barat) pasca-Pencerahan 
dimanfaatkan untuk mengingkari perlunya Pencerahan dalam konteks budaya 
pramodern.
Ada tiga aspek dalam paradigma sains Vedik yang ingin saya kemukakan di 
sini. Pertama, bagaimanakah pencampuradukan antara sains modern dan 
mitos-mitos Vedik membantu ideologi Hindutva? Mengapa kita mesti 
mengkhawatirkannya? 
Kedua, bagaimanakah penganjur sains Vedik memanfaatkan logika kaum 
konstruktivis sosial dan posmodernis untuk mempertahankan tradisi Vedanta 
yang paling mistis, idealistik, dan menafikan dunia, serta menyebutnya 
sebagai "ilmiah"? Ketiga, mengapa India membutuhkan sekularisasi dan 
desakralisasi alam?
1. Politik sains Vedik
Ada tiga contoh tentang bagaimana sains diidentikkan dengan mitologi 
Hindu, lalu dimanfaatkan secara politis. Contoh pertama: India mengadakan 
uji coba bom nuklir pada Mei 1998. Ledakan bom itu dirayakan di India 
dengan suatu gairah keagamaan.
Padang pasir di Pokharan, tempat ledakan terjadi, dinyatakan sebagai tanah 
suci, dan organisasi Vishwa Hindu Parishad (VHP), yang didirikan untuk 
melestarikan dan menyebarkan ajaran Hindu, berjanji akan membangun kuil 
tepat di tempat ledakan tersebut untuk penyembahan Dewi Syakti (kekuatan) 
dan Vigyan (ilmu).
Ada pula rencana untuk mengambil pasir dari Pokharan untuk digunakan dalam 
upacara sembahyang bersama di seluruh India. Arakan keagamaan pun 
dilangsungkan, dan dibuatlah patung para dewa dengan lingkaran asap nuklir 
di sekeliling kepala mereka.
Bukan hanya itu. Dalam Bhagawat Gita, kitab suci Hindu yang lain, Dewa 
Khrishna menampakkan dirinya kepada Arjuna di medan pertempuran dengan 
kata-kata ini: "Akulah cahaya seribu mentari, kecemerlangan dari yang Maha 
Kuasa. Akulah kematian."
Robert Oppenheimer, fisikawan yang ikut menciptakan bom atom pertama, 
mengutip kata-kata Khrishna ini ketika ia menyadari bahwa manusia telah 
melepaskan kekuatan perusak luar biasa yang hanya dimiliki oleh para dewa 
saja. Oppenheimer menyuarakan kata-kata ini dengan kepedihan.
Namun, di India kalimat Gita ini dianggap sebagai ramalan Hindu yang 
terbukti kebenarannya di tanah Hindu. Dikatakan bahwa bom itu telah 
diramalkan dalam Gita, dan kebesaran India sudah merupakan suratan takdir.
Lebih jauh, mitos lama bahwa Gita memuat semua ilmu fisika yang dibutuhkan 
untuk membuat bom nuklir, dan bahwa Barat mencuri fisika nuklir dari Gita, 
digemakan berulang-ulang. Tak hanya ledakan bom, bahkan sains yang 
mendasarinya pun dianggap telah diramalkan semuanya oleh Gita.
Perkembangan yang buruk dan berbahaya ini berubah menjadi perayaan 
kebesaran Hindu. Nuklirisasi wilayah anak benua yang dilakukan India 
menjadi lambang perang antara kebaikan dan kejahatan, dengan janji Dewa 
Khrishna untuk membantu India yang berada di sisi kebaikan.
Contoh kedua saya berasal dari luar angkasa. India adalah satu-satunya 
negara di dunia yang secara bersamaan meluncurkan satelit untuk menjelajah 
angkasa dan sekaligus mengajarkan astrologi sebagai bagian sains Vedik di 
universitas-universitasnya.
Pada April 2001, untuk pertama kalinya India berhasil meluncurkan satelit 
komunikasi geo-stasioner; baik landasan peluncuran maupun satelitnya 
adalah hasil produksi dalam negeri. Pada Juli 2001, kementerian pendidikan 
India mengumumkan bahwa seluruh pelajar S1 dan D3 di sana akan memberikan 
pengajaran astrologi sebagai cabang sains.
Akan ada laboratorium-laboratorium dan perpustakaan-perpustakaan, juga 
kajian pascasarjana di universitas, untuk terlibat dalam "riset lebih 
jauh" mengembangkan astrologi. Astrologi hanyalah satu dari beberapa 
cabang sains Vedik yang akan ditawarkan. Selain itu, pemerintah India juga 
menawarkan beragam ilmu tradisional, beberapa di antaranya tak punya nilai 
sama sekali, seperti vastu shastra (semacam Feng Shui Cina), terapi 
kencing sapi, matematika Vedik, parapsikologi, dan penyembuhan religius.
Ilmu-ilmu tradisional yang diturunkan dari Weda disejajarkan statusnya 
dengan sains modern. Ini bukan sekadar retorika. Dengan restu kejaksaan 
agung, Hinduisasi pendidikan yang masif di sekolah-sekolah negeri telah 
mulai.
Di luar sistem pendidikan umum, India memiliki jaringan yang besar dan 
terus berkembang yang terdiri dari sekolah-sekolah milik kaum radikal 
nasionalis Hindu seperti Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), induk BJP, dan 
VHP. Mengutip koran New York Times, kini ada sekitar 20.000 sekolah 
swasta, dengan 2,5 juta pelajar, dan setiap bulan ada seribu sekolah baru.
Di sekolah-sekolah Hindutva swasta ini, yang menerima subsidi pemerintah, 
nasionalisme Hindu telah sepenuhnya mewarnai pendidikan yang dilangsungkan 
di sana. Sekolah-sekolah ini adalah semacam madrasah yang ada di Pakistan. 
Bedanya, sekolah-sekolah Hindu tersebut tak begitu saja menolak sains 
modern, tapi mengajarkannya sebagai versi lain dari Weda dan Vedanta.
Apa yang kita saksikan di India adalah bentuk modernitas yang reaksioner, 
dimana kemajuan teknologi modern digunakan secara aktif sebagai alat 
promosi nilai-nilai dan ilmu-ilmu tradisional.
Contoh ketiga tampak dalam deklarasi bahwa Weda dan bahkan peradaban 
Lembah Indus pra-Weda adalah hasil ciptaan kaum Arya. India dinyatakan 
sebagai tanah air kaum Arya. Penemuan seluruh sains dalam Weda mengandung 
subteks ini: mendeklarasikan India, bukan Yunani, sebagai induk seluruh 
ilmu.
Versi sejarah Eropa-sentris yang menjijikkan diganti dengan versi sejarah 
Indosentris yang sama buruknya. Yang lebih buruk adalah pembangkitan 
kembali semua mitos tentang keunggulan Arya yang politeistik dan 
panteistik di atas agama-agama monoteistik Semitik.
Lagi-lagi, Aryanisasi bukan hanya sekadar debat intelektual. New York 
Times pada 20 Desember yang lalu melaporkan bahwa buku-buku sekolah yang 
baru nyata-nyata mengacu kepada peradaban Lembah Indus sebagai peradaban 
Saraswati-Indus-inilah cara mengklaim bahwa seluruh sejarah pra-Weda di 
wilayah ini semuanya adalah milik kaum Arya India.
2. Legitimasi sains Vedik
Ada dua jenis argumen yang diajukan untuk sains Vedik: politis dan 
epistemologis. Ironisnya, kedua argumen ini hampir semuanya dipinjam dari 
gerakan konstruktivisme sosial, feminis, dan kritik 
pascakolonial. Ironis, karena argumen-argumen tersebut dipopulerkan oleh 
pengkritik sains dari kalangan akademisi kiri di universitas-universitas 
Barat, yang biasanya dikenal karena keprogresifannya.
Argumen-argumen posmodernis dan anti-Pencerahan tersebut nyatanya amat 
populer di kalangan intelektual dan aktivis sosial India juga; sebetulnya, 
kaum intelektual asal India termasuk cukup terkemuka dalam debat-debat 
mengenai universalisme sains. Dalam proses penciptaan sains Vedik, kita 
melihat bahwa kaum akademisi kiri secara tak sadar telah membantu kelompok 
yang tak mereka sukai, yaitu gerakan (keagamaan) kanan.
Pertama, soal justifikasi politis. Penganjur sains Vedik memandang diri 
mereka sebagai bagian dari proyek posacakolonial, tak berbeda dari 
intelektual sekuler yang sudah cukup lama menganjurkan "dekolonisasi 
pikiran". Para penganjur sains Vedik itu menganggap sains modern hanyalah 
bentukan pemahaman alam yang khas Kristen Barat, alias tak universal.
Argumennya dikembangkan dari gagasan Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan 
pengkritik sains Barat yang lebih belakangan, seperti Richard Rorty, 
Sandra Harding, Vandana Shiva, dan Ashis Nandy. Sains modern tak 
universal, dan hanya absah dalam kerangka ontologi dualis Kristen yang 
memisahkan Tuhan dari alam semesta, dan meletakkan-Nya di atasnya.
India hanya dapat mengadopsi unsur-unsur sains yang sesuai dengan metafika 
kesatuan antara alam dan Tuhan yang ada dalam Hindu (contoh: mekanika 
kuantum dan ekologi). Untuk yang lainnya, India mesti menggunakan kategori 
pikiran Hindu, yang diturunkan dari Weda, untuk membangun ilmu alam mereka 
sendiri.
Gagasan bahwa setiap budaya dan agama mesti memiliki ilmu alamnya sendiri, 
yang memanfaatkan dan menegaskan metafisikanya sendiri, adalah gagasan 
yang menurut saya salah kaprah. Ia mengelirukan asal sains modern dalam 
theisme ilmuwan seperti Kepler atau Newton dengan esensi metode ilmiah dan 
pandangan dunia ilmiah.
Mungkin tak salah mengatakan bahwa sains modern lahir dalam konteks 
teistik Kristen. Namun saya melihat bahwa theisme Kristen diperlukan hanya 
untuk melahirkan gagasan ekperimentasi dalam sains modern. Sedikit demi 
sedikit, sains mendapatkan otonominya dari agama, dan membangun standar 
cara pengajuan pertanyaan dan cara menjawabnya dari tradisinya sendiri 
yang merupakan hasil akumulasi bertahap.
Akumulasi tradisi itu tak dikungkung dalam metafisika Yahudi-Kristen, 
namun tersedia bebas untuk diambil semua budaya. Lebih-lebih, 
budaya-budaya lain punya kewajiban untuk menunjukkan bahwa
kosmologi dalam agama-agama mereka sendiri tak bertentangan dengan apa 
yang kita ketahui melalui akumulasi tradisi sains tersebut. Saya sepakat 
dengan Abdul Karim Soroush yang berpandangan bahwa kesadaran keagamaan 
harus terus berkembang sesuai masanya. Dengan kata lain, teologi tak boleh 
menentang temuan-temuan ilmiah. Sains Vedik adalah upaya mengelak dari 
tantangan ini.
Kedua, dalam hal argumen epistemologis untuk sains Vedik pun, terjadi hal 
serupa. ada bayang-bayang konsepsi sains kaum relativis posmodernis yang 
disukai akademisi sekular dari disiplin kajian sains (science studies) di 
Barat.
Sejauh ini saya sudah berupaya menunjukkan bagaimana ideolog Hindutva 
menganggap bahwa upaya melakukan dekolonisasi ilmu dan mengembangkan suatu 
sains Hindu alternatif merupakan tugas patriotik mereka. Pertanyaan yang 
wajar muncul adalah: apa yang mereka lihat sebagai esensi Hindu? Apakah 
itu sejalan dengan naturalisme dan empirisisme sains modern?
Menurut penganjur sains Vedik, esensi ajaran Hindu adalah spiritualitas. 
Yaitu, kepercayaan Vedantik akan kehadiran roh, Kesadaran Mutlak, atau 
Brahman dalam segala sesuatu. Sebagian besar dari kita berpikir bahwa 
spiritualitas berseberangan dengan analisis empiris dan logis atas data, 
yang disyaratkan ilmu alam.
Tapi penggagas sains Vedik menganggap bahwa spiritualitas Hindu bersifat 
saintifik, bahwa ia adalah cara rasional dan empiris yang baik dalam 
memahami alam empiris dan juga alam rohaniah. Hinduisme bersifat rohaniah, 
tapi dalam cara yang saintifik. Konflik antara keduanya adalah problem 
kaum Semit. Bahkan gagasan "kontradiksi" sendiri adalah gagasan khas 
Semit, karena kepercayaan Hindu menghubungkan dan menyelaraskan 
kutub-kutub yang bertentangan.
Sesungguhnya, umat Hindu menganggap bahwa agama Hindu adalah satu-satunya 
agama yang konsepsi ketuhanannya diteguhkan oleh temuan-temuan sains 
modern. Tuhan eksternal yang berada terpisah dari alam dan merancang 
hukum-hukum alam dari luar telah dibuktikan kekeliruannya oleh sains; 
fisika kuantum telah menegaskan kehadiran Brahman atau kesadaran di dalam 
alam.
Tak perlu dikatakan bahwa ini adalah tafsiran yang penuh bias atas fisika 
kuantum. Ada penjelasan realis atas paradoks-paradoks pada tingkat 
subatomik yang dimunculkan fisika kuantum, dan penjelasan itulah yang 
dipakai oleh para fisikawan aktif.
Namun, klaim mengenai keilmiahan spiritualisme tak berhenti pada 
penggambaran adanya kesejajaran antara fisika kuantum dan "kearifan 
Timur". Generasi baru praktisi sains Vedik mengklaim bahwa metode 
spiritualitas-aktivitas batin melalui yoga dan meditasi-adalah metode yang 
tepat untuk memperoleh ilmu obyektif mengenai alam empiris.
Sayangnya, memperhatikan sejarah sains di India, spiritualitas 
introspektif yang dipraktikkan kaum Brahmin justru tampak menghambat 
kemajuan sains. Praktik rohaniah tradisional justru membawa ke
pemikiran magis yang didasarkan pada korespondensi dan logika asosiatif. 
Penganjur sains Vedik mengklaim bukan saja bahwa metode batiniah ini 
memiliki karakter ilmiah di era Weda, tapi juga saat ini.
Berikut ini sebuah contoh ringkas tentang bagaimana spiritualitas 
didefinisikan ulang sebagai metode untuk sains Vedik dalam buku-buku baru 
mengenai fisika Vedik yang ditulis pengarang-pengarang yang baru naik daun 
di India, seperti Subhash Kak, Ram Mohan Roy, dan David Frawley. Kak 
menulis banyak buku yang mengklaim bahwa ayat-ayat Weda sesungguhnya 
adalah rekaman temuan astronomi: ayat-ayat dalam Yajurveda yang 
memerintahkan pembangunan altar penyembahan
sesungguhnya merupakan kata-kata sandi untuk temuan-temuan kosmologis 
seperti lamanya tahun tropis, jarak antara Matahari dan Bumi, bahkan 
kecepatan cahaya-semuanya ternyata sama persis seperti apa yang ditemukan 
fisika modern, sampai desimal terakhir!
Jelas Kak memaksakan temuan modern ke dalam Weda. Karya Kak telah 
mengilhami penafsiran lain yang bahkan lebih liar, seperti "penemuan" 
fermion, boson, dan quark dalam kitab-kitab suci itu. Pertanyaan yang 
selalu muncul adalah bagaimana para penyusun Weda mengetahui semua fisika 
ini. Apa metode mereka? Mengapa kita tak dapat menemukan bekas-bekas 
observatorium mereka, atau rekaman eksperimen mereka?
Biasanya jawaban yang diberikan adalah bahwa para pemikir Weda itu 
"mengintuisikan", "merealisasikan dalam pengalamannya", atau "mendapat 
kilasan persepsi" hukum-hukum alam dengan cara mempersiapkan kesadaran 
mereka melalui meditasi Yoga. Melalui kontak dengan Brahman, Kesadaran 
batin, mereka mengenali Brahman atau kesadaran yang ada dalam alam. 
Melalui perenungan diri yang dalam, mereka dapat melihat keserupaan, 
homologi, atau ekuivalensi antara 
yang kosmik, terrestrial, dan spiritual.
"Metode" penemuan homologi antara mikrokosmos kehidupan manusia dan 
makrokosmos alam semesta ini adalah metode astrologi, ilmu garis tangan, 
dan ilmu-ilmu kuno lainnya yang mencoba mengontrol alam semesta agar 
bersesuaian dengan makna dan tujuan hidup manusia. Metode korespondensi 
adalah metode yang ditinggalkan ilmu alam dan, akibatnya, melahirkan sains 
modern.
Namun, menurut Kak dan kawan-kawan, menganggap logika asosiatif sebagai 
magis adalah prasangka Barat. Dalam metafisika Vedanta, yang tak mengenal 
pembedaan antara Tuhan dan alam, roh dan materi, pengetahuan tentang roh 
adalah metode yang absah sebagai alat mengetahui dunia material. Apa yang 
dianggap magis di Barat, di India dianggap saintifik. (Cara menjustifikasi 
keilmiahan astrologi Vedik ini digunakan bukan hanya di masa lalu tapi 
juga saat ini.) Pada puncaknya, ujian untuk apa yang dianggap saintifik 
diputuskan bukan berdasarkan kelayakan empirisnya, tapi berdasarkan suatu 
kerangka metafisis. Metafisika yang berbeda melegitimasi metode ilmiah 
yang berbeda. Tak ada alasan menganggap bahwa sains seperti yang kita 
kenal saat ini bertentangan dengan cara pikir magis dalam Hinduisme.
3. Bahaya sains Vedik
Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan ini, yaitu bahaya sains 
Vedik, dan, lebih umum, bahaya upaya rekonsiliasi sains dan agama yang 
terlalu terburu-buru. Di balik topeng sains Vedik, ada upaya habis-habisan 
melawan Pencerahan dan Reformasi di India saat ini. Anti-Pencerahan ini 
menyalakan chauvinisme Hindu yang tak hanya menyebabkan bencana besar bagi 
minoritas-minoritas agama, tapi juga berbahaya bagi mayoritas Hindu 
sendiri. Sebabnya, di balik topeng otentisitas budaya, cara pikir magis 
dan takhayul dipromosikan sebagai sains. Selama cara pikir ini bertahan di 
masyarakat India, mereka akan tetap tertawan oleh nabi-nabi palsu.
Di alam pascamodern, pasca-Pencerahan, banyak orang yang dikecewakan oleh 
cara pikir dan cara hidup sekular. Namun, apa pun kelemahan Pencerahan, 
fakta yang tak bisa dibantah adalah bahwa ia berhasil membantu membebaskan 
pikiran, membebaskan manusia, dari ketakutan akan akibat-akibat kosmik 
dari tindakan mereka di dunia ini, di sini dan kini. Pencerahan, tak bisa 
dibantah, membantu pembersihan rumah agama-agama sehingga tersisa ruang 
bagi hak individu untuk berpikir untuk dirinya sendiri, untuk mengajukan 
pertanyaan, dan menggugat otoritas.
Dengan menafikan kemajuan dan universalitas sains modern, proyek sains 
Vedik-pada dasarnya, semua proyek "sains alternatif"-sedang melucuti 
kekuatan Pencerahan dan sekularisasi di India.
Dalam konteks yang lebih umum, menyangkut sintesis sains dan agama, kita 
harus lebih jujur terhadap sains. Upaya mencocokkan temuan fisika dan 
biologi ke suatu metafisika-bahkan ketika keduanya terlihat benar-benar 
bertentangan-tak layak dilakukan. Teologi harus menjadi kontemporer, 
berubah seirama dengan perubahan zaman, jika ia mau terus terlibat bersama 
keseluruhan diri manusia, pikiran, dan hatinya.
Saya sama sekali tak meremehkan nilai penting hal-hal yang sakral dan suci 
dalam kehidupan manusia. Hidup yang sepenuhnya sekular dan rasional akan 
menjadi miskin secara emosional. Ia bukanlah hidup yang layak 
diperjuangkan.
Tapi apa yang sakral tak perlu dikaitkan dengan yang adi-alami 
(supernatural). Apa yang dicari manusia dalam agama adalah suatu rasa yang 
mentransendensi apa yang ada di sini dan kini. Untuk jenis makhluk 
berpikir seperti manusia, rasa transendensi ini dapat (tetap) bertahan 
hidup, melampaui kematian Tuhan.
(Artikel ini berasal dari presentasi penulis pada Konferensi Internasional 
"Religion and Science in the Post-colonial World", Program Studi Agama dan 
Lintas Budaya, Pascasarjana UGM, 2-5 Januari
2003. Diterjemahkan oleh Zainal Abidin Bagir dengan izin dari penulis dan 
penyelenggara konferensi.)
Dr Meera Nanda, penulis buku yang akan diterbitkan Rutgers University 
Press, Prophets Facing Backward: Postmodern Critiques of Science and the 
Making of Hindu Nationalism. Bukunya yang lain berjudul Breaking the Spell 
of Dharma: A Case for Indian Enlightenment (2002). Berasal dari India, ia 
kini tinggal di AS, dan hingga tahun lalu adalah dosen tamu di Departemen 
Filsafat, Columbia University, AS.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment