Tuesday, March 31, 2009

ANTARA KANAN DAN KIRI

ILMU USHÛL AL-DÎN

[1]



Istilah kanan dan kiri biasanya selalu diidentikkan dengan dunia politik. Namun demikian, sebenarnya kanan dan kiri juga merupakan sikap manusia dalam bidang pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial secara umum, dan dalam kehidupan sehari-hari secara khusus. Makalah ini mencoba menjelaskan orientasi kanan dan kiri dalam pemikiran agama, yang kita dapatkan dalam turâts lama dan wijdân (dlamîr) kita di masa sekarang, sebagaimana kita warisi dari ilmu ushûl al-dîn.

Kanan dan kiri bukanlah sekedar dua sikap yang berbeda, tapi juga merupakan dua orientasi tafsir yang berlawanan. Di satu sisi, pihak kanan banyak sekali memanfaatkan pemikiran kiri demi kepentingannya. Sementara di sisi lain, pihak kiri juga banyak melakukan re-interpretasi terhadap pemikiran kanan, sehingga sesuai dengan kepentingannya.

Kanan dan kiri dalam pemikiran agama pada dasarnya adalah kondisi sosial yang menunjukkan adanya dua kelas masyarakat yang masing-masing berusaha untuk melindungi hak-haknya dengan menggunakan bangunan teori yang tersedia dalam masyarakat tradisional. Bangunan teori yang dimaksud di sini tak lain adalah keyakinan agama. Ini menunjukkan bahwa kanan dan kiri sebenarnya lebih merupakan permasalahan praktis ketimbang teoritis; lebih menunjukkan adanya bangunan sosial ketimbang pemikiran. Golongan minoritas (kelas atas) yang memegang kekuasaan dan menguasai saranan produksi berusaha untuk mengekploitasi golongan mayoritas (kelas bawah) dengan memanfaatkan pemikiran agama, yakni dengan menafsirkan agama demi kepentingannya. Sementara kelas bawah berusaha menyingkirkan kelas atas dengan menggunakan senjata yang sama. Dengan demikian, agama dapat dianalogikan seperti pedang bermata dua yang dapat digunakan oleh dua pihak dengan kepentingan yang berbeda. Inilah arti idiom yang sangat terkenal: "Agama adalah candu masyarakat dan teriakan orang-orang tertindas".

Ilmu ushûl al-dîn, yang memuat sampel pemikiran agama, biasanya terdiri dari dua mukadimah, delapan isi, dan satu atau dua materi tambahan sebagai penutup. Dengan demikian ada dua belas materi yang dibahas dalam ilmu ushûl al-dîn. Di sanalah terjadi tarik-menarik antara kanan dan kiri yang akan kita bicarakan berikut ini.

1. Mukadimah pertama

Mukadimah pertama ini biasanya berisi teori pengetahuan (nadzariyatu'l ma‘rifah) atau teori ilmu (nadzariyatu'l ‘lmi)[2], sebagai jawaban atas pertanyaan 'apa yang saya ketahui?'[3] Dalam mukadimah yang pertama ini terdapat dua sikap. Pertama, sikap yang menjadikan iman sebagai sarana pengetahuan. Iman adalah perbuatan yang pertama kali dilakukan, dan sama sekali tidak didahului oleh perbuatan lain. Iman bersifat menerima tanpa menolak, mengambil tanpa memberi. Setelah iman ini barulah tiba giliran akal yang bertugas untuk menjustifikasi dan memahami tanpa mengkritisi sedikit pun. Ini adalah sikap kanan.

Orang yang berangkat dengan iman sebagai teori pengetahuan lebih cenderung untuk taat kepada para pemimpin. Demikian juga masyarakat yang memulai hidupnya dengan keyakinan-keyakinan tertentu tanpa mendiskusikannya akan cenderung untuk bersikap tenang dan tunduk. Oleh karena itulah sistem kanan berusaha untuk menyebarkan iman dalam pengertian ini, sehingga mereka bisa mempertahankan status quo. Sistem kanan tidak memberi perhatian terhadap penghapusan buta huruf dengan mengembangkan sistem pengajaran. Yang dilakukan kanan justru membangun masjid, memeriahkan hari-hari besar, mendukung kelompok-kelompok sufi, memperbanyak acara-acara keagamaan di media komunikasi, tapi bukan didasarkan atas keyakinan akan kebenaran agama, melainkan didasarkan pada kemunafikan.

Sebagai tandingan atas sikap kanan ini terdapat sikap lain yang menjadikan teori pengetahuan berangkat dari akal bukan dari iman. Berpikir adalah kewajiban agama yang pertama kali harus dilakukan sebelum iman sebagai satu bentuk penerimaan; sebelum iman sebagai kandungan (Allah, malaikat, kitab, rasul dan hari akhir); dan sebelum iman sebagai aktifitas menjalankan syiar dan ritual. Dengan demikian, berpikir ada sebelum iman. Dengan berpikir manusia bisa membedakan antara yang benar dan yang salah. Sesuatu tidak dapat diterima sebagai kebenaran jika tidak dapat terbukti bahwasanya dia benar. Sesuatu yang tidak memiliki bukti kebenaran hendaklah dibuang jauh-jauh, begitu kata para ahli logika klasik. Dengan demikian, sarana dan sumber pengetahuan yang meragukan, seperti taklid, ilham dan lain-lain, hendaklah ditolak mentah-mentah.

Ini adalah sikap kiri. Oleh karena itulah, sistem progresif kiri berjuang untuk membasmi buta huruf, menyebarkan pengajaran dan mengadakan dialog terbuka antara aliran-aliran pemikiran yang bermacam-macam. Sistem kiri tidak melakukan intervensi dalam kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum dan dipraktekkan oleh lembaga-lembaga demokratis secara nyata.

Dalam prakteknya, pihak kanan banyak memanfaatkan sikap kiri ini demi kepentingannya. Yang demikian itu dilakukan dengan mendirikan sistem liberal yang didirikan di atas teori kiri, yakni kebebasan berpikir dan bertindak. Tapi kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kebebasan yang bertujuan untuk membela kelas buruh, melainkan kebebasan yang hanya terbatas pada golongan kapitalis dan kelompok pemegang keputusan saja. Kadang-kadang kebebasan ini juga digunakan demi kepentingan etnis tertentu saja. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Barat yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir, tapi di saat yang sama melakukan penjajahan di Timur dan menenggelamkan rakyatnya dalam kebodohan.

Di sisi lain, pihak kiri juga bisa melakukan re-interpretasi terhadap dogma-dogma kanan demi kepentingan kiri. Hal ini terutama bisa dilakukan dalam masyarakat yang masih berpegang erat kepada keprcayaan-kepercayaannya, yakni dengan menjadikan kepercayaan-kepercayaan tersebut sebagai sarana untuk membela kepentingan orang-orang miskin, memobilisasi golongan buruh dan menyatukannya dalam satu partai, sehingga menjadi satu kekuatan politik yang mampu melakukan tekanan-tekanan terhadap kanan. Baru setelah itu dilakukan pencerahan terhadap dogma, sehingga peran iman dapat diambil alih oleh peran akal.

2. Mukadimah kedua

Mukadimah kedua ini berisi nadzariyatu’l wujûd (ontologi) yang berisi jawaban atas pertanyaan ‘apa yang saya tahu ?’ Di sini juga tampak adanya dua sikap yang berlawanan. Pertama, sikap yang menjadikan muatan pengetahuan itu adalah sesuatu yang ‘baru’ (hâdits), berubah dan bersifat mumkin. Yang dimaksud di sini adalah alam tempat kita hidup. Tapi alam sebagai muatan pengetahuan di sini tak lebih hanyalah sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang ada di balik alam, yang bersifat qadîm, wâjib dan tidak berubah. Alam adalah sesuatu yang tidak kekal yang menunjukkan adanya sesuatu yang kekal, yaitu Allah. Allah bersifat kekal dan kaya. Allah bisa berbuat apa saja terhadap alam yang miskin dan fana. Dengan demikian, tidak ada aturan yang menjamin kepentingan manusia. Alam ini berjalan tanpa diatur oleh hukum-hukum pasti.

Ini adalah sikap kanan dalam pemikiran agama. Sistem konservatif kanan berusaha untuk menyebarkan faham ketidakkekalan alam untuk merampasnya dari tangan kaum tertindas. Mereka memberi iming-iming kebahagiaan yang ada di balik alam (akhirat) dengan tujuan agar manusia terlena dan mudah untuk dieksploitasi.

Lawan dari sikap ini adalah sikap yang menjadikan alam sebegai sesuatu yang kekal. Alam adalah sesuatu yang bersifat qadîm dan bukan hâdits. Alam ini tunduk pada hukum-hukum pasti yang mungkin dipelajari oleh manusia, sehingga manusia bisa menguasai alam dengan perantaraan hukum-hukum tersebut. Dengan demikian, alam bukanlah sekedar sarana untuk menunjukkan sesuatu yang berada di baliknya.

Ini adalah sikap kiri. Sistem kiri mengajarkan bahwa hasil dari perbuatan manusia akan didapatkannya di alam ini. Dengan demikian manusia memiliki kesadaran terhadap alam dan keyakinan terhadap hukum-hukum yang mengaturnya. Dengan kesadaran dan keyakinan ini manusia akan berusaha untuk melindungi kepentingan-kepentingannya dan berusaha untuk menjaga hak-haknya dari ancaman pihak lain, baik dari luar maupun dari dalam.

Dalam prakteknya, kanan memanfaatkan sikap kiri demi kepentingannya. Hal ini dilakukan dengan menafsirkan kepastian hukum-hukum alam untuk menjustisfikasi kapitalisme. Kanan menjadikan hukum penawaran dan permintaan sebagai keniscayaan. Demikian juga halnya dengan hubungan antara pemilik modal dan pekerja yang dipahami sebagai kepastian yang tidak bisa berubah.

Di sisi lain kiri juga dapat melakukan re-interpresi terhadap sikap kanan dengan menjadikan ketidakpastian hukum alam sebagai dasar untuk menyadarkan masyarakat. Sistem kapitalisme bukanlah suatu keniscayaan yang tidak dapat dirubah, tapi tak lebih hanyalah sistem yang diciptakan oleh kanan untuk mengekploitasi kiri. Dengan demikian, sistem yang selama ini digembar-gemborkan oleh kanan sebagai puncak dari apa yang pernah dihasilkan oleh akal manusia itu bisa dirubah dan diganti dengan yang lain.

3. Materi pertama

Materi pertama ini berisi pembahasan tentang dzat Tuhan. Ini adalah pondasi utama ilmu akidah. Berkenaan dengan dzat Tuhan ini tampak ada dua orientasi. Pertama, orientasi yang menetapkan sifat yang enam bagi dzat ini, yaitu: ada, qadam, kekal, berbeda dengan makhluk, tidak berada di suatu tempat dan esa. Ini berarti bahwa dzat Tuhan itu benar-benar ada, ada sejak dahulu dan tidak ada sesuatu pun yang mendahului keberadaannya, kekal selamanya dan tidak ada sesuatu pun yang lebih kekal dari dia, tidak menyerupai makhluk dan tidak ada satu makhluk pun yang menyerupai dia, tidak menempati ruang, dan bersifat tunggal. Dengan demikian dzat Tuhan adalah sesuatu yang berada di luar wujud manusia dan memiliki semua sifat yang mungkin dimiliki oleh dzat yang mutlak.

Ini adalah orientasi kanan. Apa bila orientai ini berpindah dari tataran akidah ke tataran sosial, maka yang terjadi adalah terciptanya sistem sosial yang berpusat pada satu kekuasaan yang berada di puncak yang memiliki segala sifat yang dimiliki oleh dzat yang mutlak. Dalam dunia politik hal ini mengakibatkan terjadinya sistem kepemimpian yang diktator. Sedangkan dalam dunia ekonomi hal ini melahirkan kapitalisme. Dengan demikian sistem sosial yang tercipta adalah sistem sosial yang memberikan kebebasan mutlak kepada seseorang atau golongan tertentu dengan mengorbankan rakyat banyak.

Lawan dari orientasi ini adalah orientasi yang menjadikan keberadaan manusia sebagai sesuatu yang ada dengan sebenarnya dan sama sekali tidak diragukan keberadannya. Tidak ada sesuatu pun yang mampu menghancurkan keberadaan manusia. Dia bersifat qadîm dalam arti keberadaannya ada sejak zaman azali dan tidak perlu diragukan lagi. Dia bersifat kekal dalam arti tidak mungkin untuk binasa. Dia tidak membutuhkan tempat karena dia ada di mana-mana. Kemanusiaan adalah sesuatu yang tidak terbatas ruang dan tempat, tidak menyerupai sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya karena dia melampui segala yang ada. Orientasi inilah yang menolak segala bentuk personifikasi dan penetapan dzat, serta mengembalikan ciri utama manusia yaitu eksistensi. Dengan demikian hidup manusia berubah menjadi gerak, aktifitas dan perjuangan, dengan eksisitensi berada di dalamnya dan bukan di luarnya.

Ini adalah orientasi kiri. Sistem sosial yang didirikan di atas orientasi ini adalah sistem sosial yang humanis, yang mengakui keberadaan manusia tanpa membedakan antara pemimpin dan bawahan, antara kaya dan miskin, antara laki-laki dan perempuan. Eksistensi adalah milik semua manusia, dan bukan hanya milik para pemimpin dan orang-orang kaya yang tinggal di villa-villa megah, sementara jutaan rakyat harus tinggal di gubuk-gubuk reot.

Dalam prakteknya, kanan melakukan penafsiran terhadap kecenderungan humanisme ini demi kepentingannya. Maka terciptalah sistem liberalisme kanan yang mengakui kemanusiaan manusia. Tapi manusia yang dimaksud di sini hanyalah pribadi tertentu atau golongan tertentu saja. Dari liberalisme muncullah kapitalisme dan rasisme Barat yang hanya mengakui kemanusiaan bangsa Barat saja.

Di sisi lain, kiri juga dapat melakukan penafsiran ulang terhadap orientasi kanan dengan menciptakan sistem otoriter, terutama bagi masyarakat yang masih melalui fase iman tradisional yang belum bisa melepaskan diri dari pemikiran tentang adanya dzat yang azali dan kekal. Bedanya dengan kanan, sistem otoriter kiri ini berpihak kepada kaum lemah. Keberadaan Tuhan yang mutlak dimanfaatkan untuk membela kaum tertindas. Tuhan adalah Maha Besar di antara semua yang besar, dan bukan Besar di antara semua yang kecil. Tuhan adalah Maka Kuat di antara semua yang kuat, bukan Kuat di antara semua yang lemah.

4. Materi kedua

Dzat, dengan enam sifatnya yang berhubungan dengan dirinya sendiri itu, juga memiliki sifat-sifat lain yang berhubungan dengan alam. Sifat-sifat ini ada tujuh, kita warisi dari para pendahulu, yaitu: mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, berbicara dan berkehendak. Ketujuh sifat ini mutlak seperti sifat-sifat dzat, dan terpersonifikasi, dalam arti hanya dimiliki oleh dzat yang mutlak. Dengan demikian, manusia kehilangan sifat-sifat utamanya, yaitu mengetahui, berkuasa dan hidup. Hal ini disebabkan karena manusia tidak memiliki sifat mendengar dan melihat yang menjadi sarana untuk mengetahui; kehilangan sifat berbicara sebagai alat komunikasi dan ikut berperan-serta dalam hidup; dan kehilangan kehendak untuk melaksanakan kekuasaan.

Ini adalah sikap kanan. Sistem politik yang didirikan di atas sikap ini adalah sistem yang mendewakan para pemimpin yang berada di puncak piramida. Hanya mereka yang berada di puncak lah yang memiliki sifat hidup, mengetahui dan berkuasa. Sementara mereka yang ada di bawah adalah mati, bodoh, lemah, buta, tuli dan bisu. Dalam sistem ekonomi, hanya bagi para pemilik kapital lah segala sifat hidup, mengetahui dan berkuasa itu.

Lawan dari sikap ini adalah yang berusaha mengembalikan sifat-sifat utama bagi manusia ini. Manusia adalah dzat yang mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, berbicara dan berkehendak. Dengan demikian, kebekuan berubah menjadi gerak, dan ketertindasan berubah menjadi kebebasan.

Ini adalah sikap kiri. Oleh karena itulah, sistem progresif kiri berusaha untuk menciptakan manusia yang mengetahui dan hidup, dengan cara membasmi kebodohan, kelemahan dan ketidak-berdayaan.

Di satu sisi, kanan memanfaatkan sikap kiri ini demi kepentingannya dengan merealisasikan sifat-sifat di atas dalam kehidupan sehari-hari, tapi hanya terbatas pada golongan mereka saja. Hanya para penguasa dan pemilik kapital lah yang punya sifat mengetahui, berkuasa dan hidup, yang mendengar, melihat, berbicara dan berkehendak. Sementara selain mereka tetap saja bodoh, lemah, mati, bisu, buta, tuli dan tak berkehendak. Rasisme peradaban juga memanfaatkan sikap ini dengan menjadikan bangsa Barat sebagai bangsa yang hidup, mengetahui dan berkuasa. Sementara bangsa-bangsa lain adalah bangsa-bangsa yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, sehingga tidak akan mampu menyusul kemajuan Barat.

Di pihak lain, kiri juga bisa melakukan penafsiran ulang terhadap sikap kanan, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat ini sebagai tauladan yang ingin dicapai oleh manusia, atau sebagai ukuran bagi peri laku manusia.

5. Materi ketiga

Materi ketiga ini berisi perbuatan-perbuatan (af‘âl) Tuhan. Orientasi kanan dalam hal ini menjadikan perbuatan Tuhan itu bersifat mutlak, mencakup segala sesuatu, tidak terbatas, dan tidak ada perbuatan lain yang menghalanginya. Dari sini terbentuklah akidah qadlâ' dan qadar, penetapan perintah takwînî Tuhan yang mencakup segala sesuatu, dan penetapan perintah Tuhan yang mengatur segala kehidupan manusia. Manusia dalam hal ini tak lebih hanyalah bagian dari alam yang di dalamnya berlaku qadlâ' dan qadar Allah. Manusia tidak memiliki kekuasaan yang independen dan kehendak yang khusus, sehingga tidak berhak untuk mengambil keputusan. Teori kasb Asy'ari adalah bagian dari orientasi ini.

Apabila orientasi ini berpindah dari tataran teologi ke tataran politik, maka akan kita dapatkan sistem politik yang mengakui kekuasaan seorang individu dengan mutlak, yang mendahulukan keinginan pemimpin di atas kehendak rakyat, yang menjadikan rakyat berada di antara dua jari pemimpin.

Sementara orientasi kiri menetapkan kebebasan manusia dan kemerdekaan kehendaknya. Manusia lah yang menciptakan perbuatannya sendiri dan menentukan pilihannya sendiri. Dalam tataran politik pun sistem progresif kiri mengakui kebebasan kehendak dan perbuatan manusia ini.

Kanan sering kali memanfaatkan orientasi kiri ini demi kepentingannya, yakni dengan mendirikan sistem liberalisme yang mengakui kebebasan manusia. Tapi kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang hanya dimiliki oleh golongan minoritas, pemegang kekuasaan dan modal. Sementara golongan mayoritas tidak berhak untuk mengenyam kebabasan ini.

Di pihak lain, kiri juga dapat melakukan re-interpretasi terhadap akidah qadlâ' qadar dan fatalisme kanan demi kepentingan kaum tertindas, terutama bagi masyarakat yang masih terkekang oleh tradisi dan warisan leluhur. Hal ini dilakukan dengan membangkitkan keberanian dan sikap heroik dalam diri manusia. Jika kematian adalah sesuatu yang pasti, kenapa kita memilih hidup dalam kehinaan? Ini adalah apa yang dilakukan oleh Al-Afghani, yang menjadikan akidah qadlâ' dan qadar sebagai alat untuk menolak ketertindasan dan kehinaan, membangkitkan kekuatan massa yang selama ini terpendam, dan menghilangkan ketakutan yang menyelimutinya.

6. Materi ke empat

Karena setiap agama didasarkan atas wahyu lisan yang dikodifikasikan, baik secara langsung maupun setelah berlalu beberapa generasi, maka timbulnya permasalahan kitab suci dan hubungannya dengan kekuasaan akal. Dalam istilah lain permasalahan ini disebut dengan permasalahan naql dan ‘aql. Sikap kanan dalam hal ini memprioritaskan naql atas ‘aql, dan menjadikan yang kedua sebagai sub-ordinat yang pertama. Yang terjadi selanjutnya adalah penyia-nyiaan fungsi akal sebagai pembagi umum (al-qâsim al-musytarak) antara semua manusia, dan pengingkaran terhadap kemampuan akal sebagai dasar ilmu dan pengetahuan. Yang dilakukan selanjutnya adalah bersandar pada dasar yang lain yang tingkat keyakinannya lebih rendah, yaitu nash yang bisa jadi benar secara historis, tapi bisa jadi juga terjadi penyelewengan (tahrîf). Selain itu nash ditulis dengan bahasa tertentu yang pemahaman sangat tergantung pada tata bahasa tersebut dan metode tafsir tertentu. Terkadang nash ditulis dengan selain bahasa aslinya, sehingga mengakibatkan pergeseran dari makna aslinya.

Lawan dari sikap ini adalah sikap kiri yang menjadikan akal sebagai asas yang di atasnya didirikan kekuasaan kitab suci. Di sini akal yang mendapatkan prioritas. Alasannya adalah karena akal mampu mencapai 'kepastian' (yaqîn) dengan menggunakan aksioma, postulat, bukti-bukti dan penyelidikan; sementara nash hanya mampu mencapai 'dugaan' (dzann). Sesuatu yang bersifat 'dugaan' tentu tidak dapat mengalahkan yang 'pasti'.

Kanan sering memanfaatkan sikap kiri demi kepentingannya, dengan melakukan rasionalisasi kepentingan-kepentingan minoritas, menciptakan teori investasi kapital, dan menjustifikasi status quo, monopoli dan eksploitasi. Hanya saja akal yang digunakan oleh kanan ini bukanlah akal sederhana, tapi akal yang sudah dipenuhi oleh nafsu dan kepentingan.

Di sisi lain, kiri juga juga dapat melakukan re-interpretasi terhadap nash demi kepentingannya, terutama dalam masyarakat yang percaya kepada kekuatan nash. Interpretasi yang dimaksud di sini adalah interpretasi yang membela kepentingan kaum lemah dan sesuai dengan tuntutan masa.

Berhubungan dengan permasalahan ‘aql dan naql ini terdapat permasalahan baik dan buruk, permasalahan maslahat (shalâh dan ashlah), dan permasalahan tujuan alam. Di sini juga terjadi tarik-menarik antara kanan dan kiri. Sikap kanan menjadikan baik dan buruk itu dari Allah baik keberadaan maupun hukumnya. Artinya, semua yang ada di alam ini, yang baik maupun yang buruk, adalah perbuatan Allah bukan perbuatan manusia. Dan hukum atas suatu perbuatan, apakah dia itu baik atau buruk juga bersumber dari Allah dengan perintah dan larangan-Nya. Sesuatu itu baik jika diperintah oleh Allah, dan buruk jika dilarang oleh-Nya. Selanjutnya, segala sesuatu yang ada di alam ini tidak tunduk pada aturan tertentu, dan tidak pula bertujuan demi maslahat hamba (manusia), karena semuanya adalah perbuatan Allah yang mutlak.

Sementara kiri beranggapan bahwa baik dan buruk adalah dua kondisi sosial yang diciptakan oleh manusia, dan manusia bertanggung-jawab atas semua itu. Kiri juga berpandangan bahwa alam berjalan dengan aturan yang pasti, dan bertujuan demi maslahat (shalâh ) manusia, bahkan maslahat yang paling tinggi (ashlah).

Ke-empat materi di atas (dzat, sifat, perbuatan, akal dan naql) masuk dalam permasalahan ilâhiyât yang mencakup dua teori: tauhid dan keadilan. Atau bisa juga dimasukkan ke dalam permasalahan ‘aqliyât, yaitu permasalahan-permasalahan yang bisa dicapai keyakinan atasnya dengan menggunakan petunjuk akal di samping petunjuk naql. Oleh karena itulah orang yang mengingkari permasalahan-permasalahan di atas (keberadaan Allah dan manusia sebagai kehendak yang bebas dan akal yang independen yang mampu membedakan yang baik dan yang buruk) bisa disebut kafir. Sementara empat materi selanjutnya (kenabian, ma'âd, asmâ' dan ahkâm, dan imâmah) termasuk ke dalam sam‘iyât yang tidak mungkin dicapai keyakinan atasnya dengan akal, dan pembahasan di dalamnya hanya bersandar pada naql, sehingga hanya mampu mencapi tingkat dzann dan yang mengingkarinya tidak kafir.

Dalam hal ini sikap kanan juga berbeda dengan sikap kiri. Kanan berusaha menyatukan dua kumpulan di atas ke dalam sam‘iyât semuanya. Dengan demikian, kanan telah menghancurkan dasar akal yang yakin dengan alasan untuk melindungi akidah agama, padahal yang mereka lakukan sebenarnya adalah menambah-nambah akidah tersebut. Mereka tidak sadar bahwa dengan menjadikan ‘aqliyât ke dalam sam‘iyât berarti mengembalikan yang yakin menjadi dzann, dan menghancurkan apa yang telah dibangun oleh para pendahulu. Selanjutnya, kanan menjadikan sam‘iyât yang nyaris mencakup segala sesuatu itu sebagai yaqîniyât, sehingga orang yang mengingkarinya atau berbeda tafsir tentangnya dikafirkan.

Kebalikan dari sikap ini adalah sikap yang mencoba memperluas lapangan ‘aqliyât hingga mencakup sam‘iyât. Tujuannya adalah agar dapat juga mencapai yakin dalam permasalah sam‘iyât ini. Dengan demikian manusia bisa merasa puas dengan permasalahan kenabian dan ma‘âd, serta memahami dengan benar hakikat iman, serta kewajiban pemimpin dan sifat-sifatnya. Inilah sikap kiri dalam agama.

7. Materi ke lima

Karena setiap agama berdiri atas dasar wahyu, dan setiap wahyu diturunkan kepada seorang nabi, maka masalah kenabian menjadi materi ke lima imu Ushûl al-dîn klasik, dan merupakan materi pertama sam‘iyât. Di sini juga tampak adanya dua orientasi. Pertama, orientasi kanan yang menjadikan kenabian sebagai sesuatu yang harus (dlarûrî). Tanpa kenabian hidup manusia tidak akan berarti sama sekali. Manusia lemah dari segi akal untuk mengetahui maslahat-maslahatnya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan petunjuk dari luar dirinya. Tanpa petunjuk itu manusia akan sesat seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi. Kemudian, bukti kebenaran kenabian itu juga berasal dari luar, yaitu mukjizat dengan pengertian konvensional (kejadian luar biasa yang bertentangan dengan hukum alam).

Sistem kanan didirikan di atas orientasi ini. Sebagaimana manusia membutuhkan petunjuk seorang nabi, dia juga membutuhkan petunjuk seorang pemimpin atau pemegang modal. Dan sebagaimana nabi mengeluarkan mukjizat, para pemimpin dan pemilik modal pun mengeluarkan mukjizat yang serupa dengan cara menghancurkan lawan politik dalam waktu sekejap, mendirikan dan membubarkan lembaga-lembaga seperti membalikkan talapak tangan, serta mendirikan perusahaan-perusahaan dan melipatgandakan laba dalam hitungan detik. Hal inilah yang mendasari terciptanya kepercayaan yang mutlak terhadap para penguasa dan pemilik modal.

Lawan dari orientasi ini adalah orientasi kiri yang menolak segala bentuk petunjuk yang berasal dari luar diri manusia. Dalam pandangan kiri manusia merdeka dan memiliki kemampuan yang cukup, sehingga tidak membutuhkan bantuan dari luar, baik berbentuk teoritis maupun praktis. Kiri juga meletakkan manusia dalam perkembangan sejarah. Sebelum mencapai fase terakhir penurunan wahyu manusia memang tidak mampu untuk merumuskan permasalahan-permasalahan teoritis, selain juga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya secara praktis. Oleh karena itulah kemunculan nabi sangat dibutuhkan. Setiap nabi berperan untuk mendorong kemajuan manusia selangkah ke depan. Hingga ketika manusia sudah mencapai kesempurnaan dan kemerdekaan dari segi teoritis dan praktis, mampu untuk mengetahui kemaslahatannya dengan akalnya dan merealisasikannya dengan perbuatannya, maka dengan sendirinya wahyu tidak dibutuhkan lagi. Kiri juga memandang bahwa kebenaran kenabian itu bukanlah didasarkan pada kejadian-kejadian luar biasa, tapi dengan kekuatan yang dikandung oleh kenabian itu sendiri, yakni bukti-bukti yang jelas secara rasional dan inderawi, efektivitas kandungannya, dan pengaruhnya terhadap perbaikan kondisi manusia.

Sebenarnya kanan juga mengakui kemampuan dan kebebasan akal manusia ini. Tapi manusia yang dimaksud di sini hanya golongan minoritas mereka saja. Sementara itu, tidak mungkin bagi kiri untuk melakukan re-interpretasi terhadap orientasi kanan demi kepentingannya, karena penetapan kebutuhan manusia terhadap petunjuk teoritis dan praktis dari luar dirinya adalah sesuatu yang sangat naif. Kecuali jika yang dimaksud di sini adalah perlunya ideologi bagi manusia. Agama dalam kamus politik modern disebut ideologi. Dan manusia tanpa ideologi adalah mayat. Tapi ideologi bukanlah petunjuk bagi manusia. Ideologi adalah ungkapan teoritis terhadap kondisi manusia dan kebutuhannya, serta realisasi kebutuhan tersebut pada tataran pemikiran.

8. Materi ke enam

Jika kenabian berbicara tentang masa lalu manusia, maka ma‘âd (akhirat) berbicara tentang masa depan manusia. Bisa jadi yang disebut terakhir ini merupakan materi utama dalam sam‘iyât. Tidak ada satu agama pun yang tidak berbicara tentang akhirat, sebagai jawaban atas pertanyaan 'apa yang akan terjadi pada manusia setelah mati nanti?' atau 'apa yang saya harapkan setelah mati nanti?' Kanan menjadikan kematian itu sebagai perbuatan dan takdir Tuhan, bukan disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau pembunuhan. Adanya kematian menuntut pembagian manusia ke dalam dua bagian: jasad dan ruh. Yang pertama fana, tidak bernilai dan akan hancur menjadi tanah. Sedangkan yang kedua kekal dan padanya akan terjadi pembersihan dan hisab. Perjalanan setelah mati itu dimulai dengan siksa kubur. Kita tidak tahu apakah siksa kubur itu menimpa badan yang hancur ataukah ruh yang naik ke langit? Kemudian tibalah hisab, surga, neraka, shirâth, dan haudl. Selain itu kanan juga menetapkan tanda-tanda hari kiamat yang terdiri dari terbelahnya bulan, terbitnya matahari dari barat, Ya'jûj dan Ma'jûj, keluarnya binatang melata dan Masîh Dajjâl. Hisab terjadi atas dasar kehendak Hakim yang tidak tunduk pada undang-undang keadilan. Boleh saja Dia menghukum orang baik dan mengampuni orang jahat, dan tidak ada sesuatu pun yang mampu menentang keputusannya. Apabila ada ganjaran, maka ini terjadi berdasarkan perbuatan seseorang. Setiap orang memiliki surga sendiri yang berbeda tingkatnya dengan yang dimiliki oleh orang lain.

Sistem konservatif kanan bersandar pada permasalahan-permasalahan akhirat ini untuk memberi iming-iming kepada manusia dengan apa yang tidak didapatkannya di dunia ini. Dengan begitu mereka dapat dengan bebas melakukan eksploitasi dan monopoli, karena kaum tertindas yang sudah mendapatkan ganti akhirat tidak akan berbuat banyak di dunia ini.

Berbeda dengan kanan, kiri menjadikan kematian sebagai akibat langsung dari sebab-sebab tertentu seperti penyakit, kecelakaan, pembunuhan dan peperangan. Oleh karena itu kematian bisa diminimalisir dengan memperbaiki kondisi manusia. Sedangkan manusia, dalam pandangan kiri adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisah, tidak penting apakah dinamai jasad, atau perasaan, atau hidup, atau jiwa. Bahkan kekekalan jasad lebih merupakan anugerah bagi manusia ketimbang kekekalan jiwa. Jasad lah yang sebenarnya mematikan jiwa dan menghancurkannya. Kematian manusia adalah disebabkan karena kematian badannya dan bukan jiwanya. Oleh karena itu, bagaimana kita mengatakan bahwa jasad itu fana dan jiwa itu kekal?

Kemudian tentang apa yang akan terjadi setelah mati, semua itu tak lebih hanyalah gambaran atau metafora tentang alam impian yang mungkin bagi manusia untuk hidup di dalamnya. Dengan demikian manusia memiliki keyakinan akan adanya alam yang lebih baik yang harus direalisasikan di alam ini dan bukan didapatkan di akhirat nanti. Dengan metafora itu juga manusia bisa memahami bahwa orang yang berbuat jahat akan mendapatkan balasannya. Demikian juga orang yang berbuat baik. Metafora ini juga menunjukkan bahwa hanya kerja lah yang menjadi dasar penilaian manusia. Tanpa kerja manusia tidak akan memiliki nilai sama sekali. Sedangkan kenapa menggunakan metafora? Jawabannya adalah karena metafora mampu menggambarkan satu makna dengan jelas dan menyampaikan kepada sebesar mungkin jumlah manusia dengan mengabaikan tingkat pemahaman mereka.

Tentang hisab, kiri memandang bahwa itu dilakukan atas dasar hukum keadilan, dan bukan atas hukum kasih sayang Tuhan. Orang yang berbuat jahat pasti akan menerima siksaan, dan orang yang berbuat baik pasti akan memperoleh ganjaran. Tapi ini tidak dengan sendirinya berarti adanya tingkatan-tingkatan surga.

Ini semua adalah sikap kiri. Oleh karena itulah kita mendapatkan gerakan-gerakan revolusioner sebagai gerakan futuristik yang yakin bahwa kemenangan itu akhirnya pasti datang dan terealisasi di dunia ini, bukan di akhirat nanti.

9. Materi ke tujuh

Karena permasalahan hari akhir memiliki arti bahwa hanya kerja lah yang menjadi dasar nilai manusia, maka permasalahan asmâ' dan ahkâm menjadi salah satu dasar ushûl al-dîn. Yang dimaksud di sini adalah makna islâm dan îmân, serta hukum kufr , fisq dan nifâq. Pertanyaannya di sini adalah 'apakah hubungan antara iman dan amal?' Kanan dalam hal ini menjadikan iman sekedar perasaan batin belaka, yaitu imannya manusia secara umum, yang tidak berubah menjadi pemikiran, perkataan atau perbuatan; atau menjadikannya sebagai perasaan batin yang berbentuk pemikiran, yaitu imannya para terpelajar, yang tidak berubah menjadi perkataan atau perbuatan; atau menjadikannya sebagai perkataan belaka, tanpa tahu perasaan atau pemikiran apa yang mendasarinya dan perbuatan apa yang mengikutinya, dan inilah iman orang-orang munafik.

Sistem konservatif kanan tidak meminta dari manusia lebih dari perasaan batin mereka saja, karena jika mereka berbicara maka mereka akan menuntut hak-haknya, dan jika mereka berbuat maka mereka akan memberontak melawan kedzaliman yang menimpa mereka. Sistem ini juga tidak meminta dari kaum terdidik lebih dari iman pemikiran. Demikian juga tidak meminta lebih dari pengucapan syahadat, sehingga manusia menyangka bahwa mereka telah beriman dengan sekedar mengucapkan omong kosong itu. Dengan demikian, kemunafikan beragama menjadi dasar kehidupan sistem konservatif.

Kebalikan dari sikap ini adalah sikap kiri yang menjadikan iman dan amal sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Barang siapa yang tidak beramal, maka dia tidak beriman. Dengan demikian, amal adalah inti dari iman. Iman tanpa amal adalah iman yang tak berwujud. Iman tanpa perasaan dan pembenaran akal juga adalah iman yang kosong. Dan iman tanpa kata-kata yang jelas adalah iman yang hina. Sistem progresif kiri memberi prioritas kerja atas teori, mengkritik para pemikir yang merasa cukup dengan pembenaran akal tanpa kerja, dan berusaha untuk memomibilisasi massa untuk menuntut hak-haknya baik dengan perkataan maupun perbuatan.

10. Materi ke delapan

Setelah selesai pembahasan tentang amal pribadi, selanjutnya adalah pembahasan tentang amal sosial. Maka jadilah permasalahan politik sebagai salah satu materi ilmu ushûl aldîn klasik. Kanan dalam hal ini menjadikan politik sebagai tambahan dalam ilmu ushûl aldîn, dan bukan pokok sebagaimana tauhid dan keadilan. Politik lebih dekat dengan fikih dan syari'ah ketimbang dengan dasar-dasar akidah. Inilah yang menyebabkan rendahnya minat manusia terhadap politik. Agama seolah-olah hanyalah akidah belaka, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik. Selama manusia telah beriman, maka tidak penting lagi sistem politik yang dimilikinya. Sikap inilah yang membatasi agama pada permasalahan ibadah saja, dan menjauhkan orang-orang yang beriman dari aktifitas politik.

Sikap ini adalah juga sikap yang menjadikan semua permasalahan politik terpusat pada pribadi pemimpin, sifat-sifatnya, kelebihannya dan hasil usahanya. Apabila pemimpin baik, maka yang dipimpin pun akan baik. Sedangkan badan-badan hukum, seperti keuangan, pajak, pengadilan, perwakilan dan hak rakyat untuk melakukan pengawasan tidak masuk dalam cakupan politik. Permasalahan politik hanya terbatas pada pribadi imam, sebagaimana agama yang hanya terbatas pada iman dan beribadah kepada Allah saja.

Sikap ini adalah juga sikap yang menjadikan imam adalah dari suku tertentu, dan bukan berdasarkan komitmennya terhadap kaedah-kaedah politik dan cita-cita sosial. Oleh karena itulah sistem monarki lebih dekat dengan sistem kanan ketimbang dengan sistem republik dan kerakyatan.

Lawan dari sikap ini adalah sikap kiri yang menjadikan politik sebagai pokok dan bukan cabang. Dalam pandangan Kiri Tuhan dan rakyat adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Suara Tuhan adalah juga suara rakyat. Dengan begitu tauhid dipahami sebagai penyatuan antara hukum manusia dan hukum Tuhan dan penyatuan antara syari'at bumi dan syari'at langit. Oleh karena itulah sistem progresif kiri selalu berusaha untuk menciptakan sistem yang adil, yang di dalamnya tidak lagi terdapat perbedaan kelas, dan didasarkan atas kepemilikan umum terhadap alat-alat industri, sehingga dapat dicegah adanya eksploitasi dan monopoli.

Sikap ini adalah juga sikap yang menjadikan pemikiran politik terfokus pada pembentukan lembaga-lembaga perundangan-undangan dan medeklarasikan kebebasannya. Pemimpin diangkat berdasarkan pemilihan, baik langsung maupun tidak langsung, dan dinilai berdasarkan pada komitmennya terhadap undang-undang, dengan mengabaikan kelas dan ras yang dimilikinya.

11. Materi tambahan

Setelah pembahasan tentang amal sosial, tiba selanjutnya pembahasan tentang amal sejarah atau akumulasi amal-amal sosial sepanjang masa. Kanan dalam hal ini hanya membatasi pembahasan pada amal sosial saja, tanpa membahas keberadaan umat dalam sejarah. Oleh karena itulah sistem konservatif kanan berusaha untuk menghapuskan jejak-jejak sejarah, menjauhkan umat dari perjalannya, dan menuduh semua gerakan nasioal sebagai kekacauan dan pemberontakan terhadap kemapanan. Kalau toh ada sebagian yang berbicara tentang sejarah, maka mereka akan menghukumi bahwa sejarah itu berjalan menuju kehancuran. Puncak kejayaan sejarah itu ada di masa lampau. "Sebaik-baik masa adalah masaku..." Sehingga kemajuan yang hakiki adalah kembali ke masa lampau, masa kenabian, sahabat dan para khalifah. Oleh karena itulah sistem kanan sangat membangga-banggakan kejayaan masa lampau itu.

Sikap ini adalah sikap yang tidak memperhatikan persatuan umat, dan justru mementingkan deklarasi kelompok yang selamat dan mengkafirkan kelompok lainnya yang sesat. Yang selamat itu adalah pewaris syar'i khilafah, yang juga merupakan pewaris kenabian. Dalam tataran politik sikap ini menjadikan sejarah umat sebagai sejarah tunggal, yaitu sejarah para penguasa dan keluarga istana, dan bukan sejarah rakyat yang terpecah-belah.

Kebalikan dari sikap ini adalah sikap kiri yang menjadikan sejarah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan pribadi dan kelompok. Oleh karena itulah, sisstem kiri sebenarnya adalah sistem analisa historis terhadap politik. Semakin rakyat tahu pada fase sejarah apa dia hidup, semakin besar ambisinya untuk melakukan revolusi. Dan bisa jadi bencana kita saat ini adalah kebodohan kita terhadap fase sejarah yang sedang kita lampaui.

Dalam pandangan kiri sejarah tidak berjalan ke belakang, tapi maju ke depan. Masa depan memiliki potensi perkembangan yang lebih besar dibanding masa lampau. Setiap generasi dalam perjalanan sejarah berperan dalam memajukan sejarah itu, meskipun dari segi dhahir tampak mundur, karena kemunduran itu akan disusul oleh kemajuan yang berlipat. Kiri juga tidak mengakui adanya pewaris syar'i bagi kelompok yang selamat dengan menafikan kelompok yang lain. Umat dalam pandangan kiri adalah satu kesatuan yang utuh.

12. Penutup

Apakah materi-materi ilmu ushû al-dîn itu terbatas pada apa yang kita warisi dari leluhur, sebagaimana kita uraikan di atas, atau mungkin untuk menambahkan materi baru sesuai dengan tuntutan zaman? Di sini juga tampak dua sikap. Pertama, sikap kanan yang membatasi materi ushû al-dîn pada apa yang diwarisi dari para pendahulu. Tidak ada satu permasalahan pun yang belum dibahas oleh para pendahulu. Maka tugas kita tak lebih hanyalah menjelaskan atau meringkas tanpa menambah sedikit pun. Sikap ini mengakibatkan ilmu ushû al-dîn kehilangan relevansinya dengan tuntutan masa. Dalam tataran politik, kanan juga memandang memandang kondisi saat ini adalah kondisi terbaik yang tidak mungkin untuk diganti dengan yang lebih baik lagi.

Kedua, sikap kiri yang menjadikan ilmu ushû al-dîn sebagai sesuatu yang berkembang. Akidah bukanlah sekedar hukum-hukum formal, tapi juga memiliki muatan sosial sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itulah sangat mungkin untuk memunculkan teologi-teologi baru, seperti teologi bumi, teologi revolusi, teologi kemajuan, teologi pembangunan, teologi perubahan sosial, teologi pembebasan, teologi perlawanan dan lain-lain. Secara singkat dapat diringkas dalam teologi politik, karena inilah permasalahan kontemporoer kita yang harus menjadi materi baru ilmu ushû al-dîn.

Demikianlah tarik-menarik antara kanan dan kiri dalam pemikiran agama. Di akhir makalah ini patut diperhatikan bahwa dalam turâts lama, kanan dalam pemikiran agama adalah sikap asy'ariyah, sedangkan kiri adalah sikap mu'tazilah.

[1] Ditulis berdasarkan buku Al-Dîn wa al-Tsaurah Fî Mishr 1952-1981, jilid VII, berjudul Al-Yamîn wa'l Yasâr fi'l Fikri al-Dînî, karya D. Hassan Hanafi.

[2] Padanannya dalam bahasa Inggrisnya adalah epistemology. Sementara padanannya dalam bahasa Perancis adalah épistémologie. Kedua kata ini memiliki arti yang relatif sama. Namun demikian, épistémologie mempunyai arti yang lebih luas dari pada epistemology, karena épistémologie diartikan sebagai filsafat ilmu di mana tercakup di dalamnya teori pengetahuan (epistemology). Lihat: Falsafatu'l ‘Ilmidalam Al-Mausû‘ah al-Falsafiyah al-‘Arabiyyah, hal. 1023.

[3] Pemakalah menduga adanya kesalahan cetak pada bagian ini. Setahu pemakalah, teori pengetahuan (epistemologi) adalah cabang filsafat yang membahas apa sarana dan bagaimana tata-cara untuk mencapai pengetahuan. Sehingga dengan demikian, epistemologi bukanlah jawaban atas pertanyaan 'apa yang saya ketahui?' tapi 'bagaimana saya mengetahui?'. Lihat: Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, M. Thoyibi (ed.), hal. 19; Falsafatu'l ‘Ilmi bi Nadzrah Islâmiyah, D. Ahmad Fu'âd Bâsyâ, hal. 15.

No comments: