Tuesday, March 31, 2009

Primordialisme

Menangkal Kecenderungan Primordialisme

Oleh Eko Budihardjo

KECENDERUNGAN primordialisme belakangan ini tampaknya semakin menguat di berbagai pelosok Tanah Air. Bentuknya bermacam-macam. Primordialisme yang berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, golongan, bahkan juga asal pendidikan.

Kita pernah dengar istilah "Mafia Berkeley" di lingkungan elite pemerintahan kita pada era Orde Baru. Atau pertarungan antara kelompok "Widjojonomics" yang berorientasi pada latar pemikiran ekonomi, versus "Habibienomics" yang berlandaskan pemikiran teknologi tinggi.

Kita juga mendengar isu tentang "penjabaran" yang diterjemahkan dengan penempatan orang-orang yang berasal dari Jawa Barat pada posisi-posisi kunci, ketika Menteri Dalam Negeri-nya berasal dari suku Sunda. Tatkala suatu kementerian dipimpin oleh seorang Batak, terjadi pulalah gerakan "pem-Batak-an".

Jangan dikira bahwa pada era reformasi ini kecenderungan primordialisme seperti itu sudah menyusut. Sama sekali tidak; bahkan nampaknya justru kian kuat dan menyebar bagai kanker.

Petuah-petuah seperti "let the best player wins" dilupakan begitu saja. Di berbagai daerah terdengar suara-suara keras agar pimpinan daerah, baik gubernur, wali kota, atau bupati harus putra daerah.

Beberapa waktu yang lalu, tokoh-tokoh Betawi beramai-ramai menuntut agar Gubernur DKI Jakarta pengganti Sutiyoso harus orang Betawi. Para anggota DPRD DKI Jakarta bahkan diancam bila tidak memenuhi tuntutan tersebut. Bukan main. Sebaliknya, tokoh puncak PDI-P justru mendukung Sutiyoso yang notabene bukan kadernya.

Mereka mungkin lupa bahwa Kota Jakarta sudah menjadi ibu kota negara milik seluruh bangsa Indonesia. Mestinya kita pilih pimpinan yang terbaik untuk mengangkat harkat dan martabat warga bangsa, tanpa melihat asal-usulnya, jenis kelaminnya, kesukuannya, agamanya, genting sekolah yang "dimakannya", dan lain-lain.

Yang berkemampuan menonjol seyogianya diberi kesempatan untuk memimpin. Jangan justru mempraktikkan ilmu rumput: yang menonjol malah dikepras.

Kebanggaan suku-suku tertentu memang juga penting, dan bahkan sering dijadikan stereotip. Misalnya, orang Jawa tradisional yang nyengkelit keras di belakang, bisa sangat halus bila berhadapan, tetapi begitu tersinggung kerislah yang bicara. Pembakaran kantor balaikota dan Gedung DPRD Surakarta bisa dijelaskan dengan latar belakang situasi seperti itu.

Atau tentang orang Batak yang bila sendirian bernyanyi, berdua main catur, bertiga... dan seterusnya. Bimbo pun bersenandung tentang Jawa Barat dengan liriknya: "Ketika Tuhan tersenyum, lahirlah Pasundan".

Indonesia dengan 17.508 pulaunya dan lebih dari 300 suku bangsanya, bila ingin tampil prima dalam persaingan global mesti meninggalkan kecenderungan primordialisme yang sempit semacam itu. Kebanggaan suku, kebanggaan adat, kebanggaan parpol, kebanggaan sivitas akademika, kebanggaan budaya lokal, semua absah dan penting untuk menanamkan rasa percaya diri; namun tidak sepatutnya digunakan dengan niatan untuk menjatuhkan yang lain.

Petuah arif: Tanaman dengan aneka bunga akan lebih indah ketimbang hutan dengan satu jenis pohon, sangat pas untuk mengingatkan semua pihak tentang sifat plural dari suatu negara-bangsa seperti tanah air kita ini, yang mestinya justru didayagunakan dengan baik tanpa mengedepankan primordialisme.

Negara bangsa

Bicara tentang negara bangsa, saya ingat pernyataan Prof Azyumardi Azra bahwa salah satu dampak terbesar penetrasi Barat dengan pemikirannya yang modern adalah yang menyangkut konsep serta sistem politik kenegaraan. Konsep-konsep Barat tentang negara bangsa atau nation-states, kedaulatan rakyat atau sovereignty, hak asasi manusia atau human rights, yang semula terasa asing bagi telinga kita, saat ini sudah menjadi wacana keseharian.

Konsep negara bangsa berlandaskan terutama sekali pada tolok ukur etnis (kesukuan), kultur (kebudayaan), bahasa, dan wilayah (geografis), yang semuanya bersifat plural.

Berbeda sekali dengan negara agama atau kekhalifahan, yang berlandaskan keimanan atau religiusitas. Semula, sejak masa awal perkembangan Islam di masa silam sampai dengan zaman pramodern, hanya dikenal dua macam konsep tentang terbentuknya negara, yaitu apa yang disebut dengan dar al-Islam atau wilayah kaum Islam, dan dar al-harb atau wilayah non-Muslim.

Dengan munculnya gagasan negara-bangsa dari pemikir Barat, terciptalah ketegangan historis dan konseptual di antara para pemikir Islam. Mulailah dikembangkan konsep pluralisme bangsa dan teritorial, mengacu pada kitab suci Al Quran.

Ayat-ayat Al Quran yang sering dikutip misalnya adalah bahwa Tuhan menciptakan manusia dan membagi-baginya ke dalam bangsa-bangsa dan suku-suku untuk saling mengenal dan bahwa Terdapatnya bermacam-macam bahasa dan warna kulit merupakan tanda-tanda bagi orang mengetahui, atau bahwa pluralisme alias keberagaman merupakan sesuatu yang absah karena Jika Allah mau, Dia dapat menciptakan kamu sekalian sebagai satu umat (QS. 42:8).

Dengan landasan pemikiran bahwa negara-bangsa adalah negara yang memadukan berbagai suku, agama, bahasa, budaya, adat, pulau, wilayah, yang berbeda-beda, dituntut adanya tolerance, integrity, trust, dan spirit to unite (TITS).

Namun, apa yang terjadi di era reformasi ini, ternyata kecenderungan untuk berpisah justru lebih mengeras ketimbang semangat untuk bersatu. Aceh dengan GAM-nya, Papua dengan GPM-nya, Maluku dengan FKM-nya, semua ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kenapa? Cobalah kita renungkan gurindam karya Taufik Ismail: Gajah mati meninggalkan gading/Harimau mati meninggalkan belang/Konglomerat mati meninggalkan hutang/Rakyat mati tinggal tulang belulang.

Negara pada hakikatnya merupakan instrumen bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan sosial, kesejahteraan, kedamaian, kebebasan, dan kebahagiaan!

Belajar dari sejarah

Untuk menangkal primordialisme dengan mengaktualisasikan gagasan negara-bangsa, seyogianya kita memang tidak hanya melihat ke depan, tetapi justru mesti lebih banyak belajar dari sejarah, dari kearifan masa silam yang cenderung terlupakan. Coba kita simak bersama kisah Madinah yang di bawah pimpinan Rasulullah menjadi negara pertama dengan kewarganegaraan yang majemuk dengan latar penduduk yang plural ditilik dari suku dan agamanya.

Di negara Madinah itu hidup dengan damai, sejahtera, dan saling bantu membantu suku-suku Arab Quraisy, suku Arab Islam dari wilayah lain, suku Arab Islam asli Madinah, suku Yahudi penduduk Madinah, dan... suku Arab yang belum menerima Islam. Nabi Muhammad memproklamasikan negara baru tersebut dengan konstitusi tertulis yang populer dengan nama Piagam Madinah (baca buku Politik Demi Tuhan, 1999).

Dalam piagam tersebut diletakkan dasar-dasar kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk dalam hal suku dan agama. Hubungan antarwarga diatur dengan prinsip bertetangga-baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela kaum yang teraniaya, saling menegur dan menasihati; dan menghormati kebebasan beragama.

Alangkah indah bila negara-bangsa Indonesia berlangsung seperti itu. Tidak seperti Indonesia yang digambarkan oleh Taufiq Ismail sebagai penyair: Langit akhlak rubuh/ di atas negeriku berserak-serak/ hukum tak tegak/ doyong berderak-derak/ ...di sela khalayak aku berlindung di belakang kacamata hitam/ dan kubenamkan topi baret di kepala/ malu aku jadi orang Indonesia.

Saat ini kita memang pantas merasa malu sebagai bangsa yang pernah besar di zaman Soekarno-Hatta. Semua itu akibat primordialisme yang sempit, dengan pemikiran yang terkotak-kotak, hanya memikirkan kepentingan kelompok, golongan, partai, fraksi, atau bahkan diri sendiri, dan untuk waktu sesaat.

Tak heran kalau ada yang menyatakan bahwa para politisi itu hanya memikirkan the next election, sedangkan yang kita dambakan adalah negarawan yang bisa melihat jauh ke depan memikirkan the next generation.

Dari konflik ke konsensus dan komitmen

Kecenderungan yang menguat mengenai primordialisme beberapa waktu belakangan ini telah mengakibatkan aneka ragam konflik di Tanah Air kita: konflik antar-agama, antarsuku, antarpartai, antargolongan, antarkampung, antarfraksi, bahkan juga antarmahasiswa dan antarpelajar. Berbagai konflik yang kian merebak itu cenderung dibiarkan, tanpa ada upaya serius untuk rekonsiliasi.

Tanpa rekonsiliasi, tanpa toleransi, tanpa konsensus, dan tanpa komitmen yang disepakati bersama, upaya untuk mengaktualisasikan rencana menghapus primordialisme dan menciptakan negara-bangsa yang kita dambakan takkan bisa berhasil mengejawantah dalam kenyataan. Mengenai konsensus, paling tidak ada tiga macam konsensus:

Pertama, dalam tataran konsep, ide, gagasan, pemikiran.

Kedua, dalam tataran komunikasi, perkataan, perbincangan, diskusi, dialog.

Ketiga, dalam tataran sikap, tindakan, aksi perbuatan.

Perbedaan pendapat adalah rahmat, tetapi dengan itu jangan lantas diartikan bahwa kesepakatan adalah laknat. Yang menjadi salah satu masalah besar bagi bangsa ini adalah hampir dalam setiap forum adu argumen, mereka saling berbeda pendapat seolah sebagai musuh.

Padahal semestinya mereka berdiskusi dan bersaing dengan penuh nuansa persahabatan (friendly rivalry). Di masa silam, Bung Karno dan Muhammad Natsir sering berbeda pendapat, bahkan berpolemik keras di media massa; tetapi begitu mereka bertemu muka, wajah cerah mereka bersinar seperti pertemuan kakak dengan adiknya. Contoh lain, Mr Wilopo, Moehammad Roem, dan Kasimo menyampaikan tiga visi untuk tiga garis politik yang berbeda-beda, namun mereka bertiga tetap akrab dalam pergaulan sehari-harinya.

Mereka semua itu tidak saling menerkam bagai musuh, apalagi saling beroposisi bergulat berdarah-darah sampai mati. Di era Orde Baru, Pak Nas, Bang Ali, Pak Ton, dicekal, disumbat jalur rezekinya, gerakan mereka dimata-matai seolah-olah mereka itu musuh negara. Kalau mereka bukan orang terkenal, barangkali sudah diculik atau bahkan dibunuh, seperti kasus Udin dan Marsinah.

Saat ini kita betul-betul sudah sangat memerlukan rekonsiliasi konflik, perumusan konsensus, dan penggalangan upaya meneguhkan komitmen untuk berbangsa dan bernegara dengan penuh ketulusan. Dan yang paling penting adalah menangkal gejala primordialisme agar tidak kian merebak. Bila tidak segera ditangkal, benih-benih perpecahan akan tumbuh subur.

Berkaitan dengan masalah itu, nasib bangsa dan negara kita menjadi pertaruhan! Semoga para pemimpin kita segera sadar.

PROF IR EKO BUDIHARDJO MSC Rektor Undip dan Ketua Forum Rektor Indonesia 2000/2001

Search :

No comments: