Tuesday, March 31, 2009

Dalam Menyambut Lebaran Pilih Mana Tradisi, Mana Ajaran

Dalam Menyambut Lebaran Pilih Mana Tradisi, Mana Ajaran

JIKA tidak ada aral melintang, Idul Fitri 1424 H akan jatuh pada hari Selasa-Rabu, 25-26 Movember 2003 mendatang. Tidak hanya dalam perspektif teologis, dalam konteks sosiologis pun bagi umat Islam Indonesia Idul Fitri adalah momentum sangat istimewa.

Bisa dipastikan pada hari Lebaran kaum muslimin melengkapinya dengan berbagai aksesori. Dari belanja ke berbagai tempat, membuat ketupat, ziarah kubur (nadran, silaturahmi, dan tentu saja mudik ke kampung halaman.

Menghiasi Idul Fitri dengan beragam aktivitas memang tidak salah, tetapi yang keliru adalah menempatkan kebiasaan atau budaya sebagai sesuatu keharusan yang tidak boleh tertinggal. Sehingga, segala cara dilakukan untuk mewujudkannya. Untuk bisa mudik ke kampung halaman, misalnya, tidak sedikit kaum muslimin yang rela mengorbankan segala hal, termasuk meletakkan kebutuhan primer sehari-hari menjadi nomor dua setelah mudik.

Dalam kacamata Direktur Jenderal Bimbingan Agama Islam Departemen Agama (Dirjen Bagais Depag) Qodri Azizy, umat Islam harus bisa memilih dan memilah antara tradisi dan ajaran yang bersumber pada Islam.

"Idul Fitri itu artinya kembali ke fitrah. Secara konseptual, umat Islam yang telah berpuasa selama sebulan penuh memperoleh pengampunan dosa yang pernah dilakukannya. Ada sebuah hadis mengungkapkan, ''Barang siapa yang menjalankan ibadah puasa berlandaskan iman dan keikhlasan, maka akan diampuni dosanya.'' Dengan demikian, Idul Fitri adalah momentum seorang muslim kembali pada kesejatiannya, seperti ketika ia lahir ke muka bumi ini, tanpa dosa dan kesalahan," kata Qodri Azizy.

Mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang ini melanjutkan, di saat Ramadan, umat Islam beribadah, introspeksi, dan muhasabah, maka ketika Idul Fitri ia mendapat kembali predikat seorang manusia yang tanpa dosa sedikit pun.

"Puasa itu ibarat charging. Selama sebelas bulan kita melakukan aktivitas yang terkadang salah dan khilaf, maka di saat puasa kita introspeksi dan mempelajari kesalahan. Sehingga, ketika tiba Idul Fitri semuanya akan lebih baik lagi," tambah Qodri Azizy.

Oleh sebab itu, sambungnya, yang terpenting adalah pada tahun-tahun mendatang sikap dan perilaku umat Islam harus lebih baik dari tahun sebelumnya. Jadi, Idul Fitri harus dijadikan titik tolak atau momentum memperbaiki diri setelah selama sebulan penuh digodok oleh ibadah puasa.

"Makanya, ungkapan di saat Idul Fitri adalah ja'alal-Lah-u minal 'aidin wal faidzin. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali seperti lahir dan menjadi orang-orang yang beruntung," ujar Qodri Azizy.

Kiat menjaga nilai

Alumnus University of Chicago Amerika Serikat ini menguraikan kiat-kiat untuk menjaga nilai fitrah yang diraihnya setelah melaksankan puasa wajib di bulan Ramadan.

Pertama, di saat Idul Fitri seorang muslim harus mengetahui apa kelemahan dirinya. Dengan muhasabah di saat Ramadan dan puncaknya Idul Fitri, maka seseorang bisa mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan untuk mempertahankan kesuciannya. Kesadaran yang mendalam akan nilai fitrah inilah yang bisa mendorong seorang muslim untuk senantiasa berada dalam rel kesucian.

Kedua, ada semangat dan cita-cita (himmah) bahwa di masa mendatang harus lebih baik. Kalau perlu kita janji kepada diri sendiri bahwa setelah Idul Fitri harus lebih baik. Karena, yang bisa mengubah kehidupannya adalah dirinya sendiri. Dengan semangat dan cita-cita inilah, setidaknya akan menumbuhkan tekad bahwa puasa yang telah dilakukan tidak boleh sia-sia atau hanya menahan lapar, haus, dan nafsu seksual semata. Ada nilai yang harus dikejar, yaitu menjalani hidup lebih baik dan berarti bagi diri dan lingkungan sekitarnya.

Ketiga, dengan adanya komitmen pada dirinya sendiri itu, maka fase selanjutnya adalah realisasi dari janji itu. Bahwa cita-cita tidak akan bermakna jika tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan pelaksanaan cita-cita inilah, nilai dan makna ibadah puasa selama satu bulan akan terasa manfaatnya bagi kehidupan selanjutnya.

Dekan Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Badri Yatim menambahkan, Idul Fitri bermakna kembali pada kebenaran. Sebab, fitrah adalah garis-garis kebenaran. Dengan merayakan Idul Fitri, berarti kita siap menjalankan kehambaan dan kekhalifahan berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan hawa nafsu. Konsekuensinya dari kembali ke fitrah adalah mengukur semua amal perbuatan kita berdasarkan kebenaran.

"Menempatkan nilai kebenaran sebagai tolok ukur kehidupan memang tidak mudah, tetapi jika sering mengevaluasi diri, baik harian, bulanan, atau tahunan, maka kita akan konsisten berada dalam fitrah sesuai yang kita raih setelah puasa selama satu bulan," kata Badri Yatim.

Adanya puasa, zakat fitrah, dan Idul Fitri secara berurutan, sambung Badri Yatim, menunjukkan konsistensi. Yakni, meraih kemuliaan pribadi (ketinggian spiritualitas) lewat puasa, kemuliaan masyarakat (pembayaran zakat fitrah), dan memperoleh kesalehan komprehensif lewat puasa (kesalehan pribadi) dan zakat (kesalehan sosial). (Dud/B-1)

No comments: