Tuesday, March 31, 2009

Hegemoni Kebudayaan Jawa dalam Kehidupan Sosial

Proses Hegemoni Kebudayaan Jawa dalam Kehidupan Sosial, Budaya dan Politik Indonesia (Suatu Prespektif Antropologis)

Oleh: Muhammad Arifin [1]



A. Pendahuluan



Mencermati perkembangan politik di Indonesi dewasa ini, menunjukkan bahwa perkembangan tersebut bukannya ke arah proses integrasi bangsa, tapi sebaliknya justru mengarah pada disintegrsai bangsa, misalnya munculnya gerakan-gerakan yang dianggap separatis oleh pemerintah (dalam hal ini Jakarta). Masih segar diingatan kita bagaimana dunia menyoroti dan bahkan menekan Jakarta untuk memberikan peluang bagi rakyat Timor-Timor agar bebas menentukan nasibnya sendiri. Implikasinya adalah Indonesia kehilangan propinsi tersebut yang justru merupakan propinsi terakhir masuk ke dalam wilayah negara kesatuan Indonesia.

Apakah setelah Timor-Timor gejala ini telah berakhir ?, ternyata lepasnya Timor-Timor merupakan moment bagi propinsi lainnya untuk menuntut hal yang sama. Misalnya keinginan masyarakat Sulawesi mendirikan “Negara Indonesia Timur” atau “Makassar Merdeka” khusus dari masyarakat Sulawesi Selatan, “Riau Merdeka”, “Papua Merdeka” dan yang sementara bergolak sekarang adalah ”Gerakan Aceh Merdeka (GAM)”. Demikian pula kerusuhan di Ambon yang sudah hampir berlangsung selama setahun, dianggap sebagai bagian dari fenomena disintegrasi bangsa. Apakah keseluruhan fenomena tersebut merupakan gambaran dari runtuhnya rasa “nasionalisme” sebagai bangsa Indonesia yang dikukuhkan sejak tanggal 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda ?”, ataukah merupakan fenomena munculnya “nasionalisme” yang lebih bersifat “etnosentris atau lokal ?”. Kedua pertanyaan di atas pada dasarnya benar, namun yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini bukanlah soal benar atau salah, akan tetapi lebih ditekankan pada penyebab atau akar permasalahan mengapa fenomena tersebut muncul.

Berdasarkan wacana yang berkembang sekarang, berbagai kerusuhan yang muncul dan keinginan beberapa propinsi untuk memisahkan diri lebih disebabkan oleh kesenjangan sosial dan ketimpangan pembangunan sosial, politik dan ekonomi antara Jakarta (Jawa) dan luar Jawa (non-Jawa). Pernyataan tersebut sebenarnya adalah penghalusan dari rasa dominasi atau hegemoni (menurut Orang Aceh penjajahan) orang/kebudayaan Jawa terhadap non-Jawa. Jika demikian halnya, bagaimana proses dominasi kebudayaan Jawa terhadap kebudayaan non-Jawa berlangsung dan merambah ke seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara ?. Untuk menjawab dan menganalisis lebih lanjut permasalahan ini, maka sangat penting untuk menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengannya, antara lain: hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan/politik dalam pandangan Jawa, konsep kekuasaan Jawa, dan konsep tentang rakyat dan negara. Untuk tujuan analisis lebih lanjut, maka konsep-konsep dan pandangan tersebut akan dijelaskan lagi bagaimana implikasinya dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik di Indonesia dewasa ini.

B. Hubungan Antara Kebudayaan dan Kekuasaan/Politik

Seperti dikemukakan oleh Onghokham (Alfian (ed), 1985:4) bahwa persepsi para pujangga masyarakat tradisional terhadap kebudayaan dapat kita lihat melalui peninggalan-peninggalan para brahmana, ulama, dan pujangga. Salah satu contoh yang dapat kita lihat di Jawa adalah “wayang”. Dalam pertunjukan wayang, dapat kita saksikan bagaimana ditampilkan atau diceritakan adanya kerajaan yang besar dengan rajanya yang besar pula, yang berorientasi pada keraton dan rajanya. Dalam tradisi pewangan ini berdasarkan persepsi budaya para cendekiawan masa lalu, Onghokham mengartikan sebagai adanya kesatuan antara konsepsi mengenai negara, peradaban, dan keseluruhan hidupnya. Sebagai contoh adalah adanya nama atau gelar raja Jawa, yaitu “Paku Buwono”. Kalau paku dicabut maka dengan sendirinya kiamatlah dunia ini dan seluruh kehidupan, peradaban atau kebudayaan di dunia ini (Onghokham dalam Alfian (ed), 1985:4).

Apa yang dikemukakan oleh Onghokham searah dengan pernyataan Kartodirdjo (Amal dan Armawi (peny)1998:50-51) bahwa, peradaban Jawa sejak Kahuripan, Kediri, Singasari berpandangan dunia seperti tercermin dalam dunia pewayangan (ringgit purwa), dimana menonjolakan dikhotomi yang membagi umat manusia menjadi dua golongan, yaitu ksatriya dengan karakteristiknya bermuka hitam atau putih, mata ngliyep, dan kelakuan yang halus, sebaliknya raksasa buta dari sabrang, bermuka merah, mata bulat, kelakuan kasar (bekasakan). Hal ini berimplikasi terhadap pembedaan antara “Sabrang yang kasar (non Jawa)” dan “Jawa yang beradab dan halus”. Pandangan subyektif ini merupakan suatu bukti adanya diskriminasi atau stereotive negataif terhadap orang luar Jawa (etnosentrisme).

Selain wayang, ternyata dalam mistik Jawa sejak zaman Mataram yang dipengaruhi oleh Islam Sufi yang dibawa oleh “Sultan Bonang”, dapat pula ditemukan adanya hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan/politik. Dalam aliran Islam Sufi ini, ada keyakinan bahwa sifat manusia merupakan refleksi dari sifat Allah, sehingga ajaran ini menganggap bahwa “Tuhan adalah Aku”. Konsep ini dalam paham Jawa disebut sebagai bentuk “manunggaling kawula lan gusti”, yaitu bersatunya raja dengan rakyatnya (Onghokham dalam Alfian (ed) 1985:6-7). Fenomena ini bukan hanya fenomena kultural dan religius, akan tetapi berimplikasi terhadap fanomena ideologis dalam kehidupan kerajaan dan masyarakat Jawa hingga sekarang.

Jika kita melihat bagaimana pandangan dan konsepsi Jawa tentang hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan/politik yang tercermin dalam “wayang” dan “mistik Islam” tercermin dalam kehidupan politik kita selama ini, terutama sejak zaman rezim Suharto. Ini berarti konsepsi tersebut tidak hanya berimplikasi terhadap konsep kekuasaan Jawa, akan tetapi lebih dari itu dapat dijadikan sebagai suatu bentuk legitimasi struktur kekuasaan.





C. Konsep Kekuasaan Jawa

“Manunggaling kawula lan gusti”, sebagai suatu bentuk ungkapan mistik Islam Sufi Jawa, berimplikasi luas terhadap berbagai aspek kehidupan di Jawa, terutama dalam kehidupan sosial, budaya dan politik Jawa zaman kerajaan Mataram hingga sekarang. Misalnya, ketika ungkapan ini beralih dalam hubungan raja dan rakyat (bersatunya raja dengan rakyatnya), secara langsung mempengaruhi konsep kekuasaan Jawa itu sendiri.

Oleh orang Jawa konsep, kekusaan tidaklah ditentukan oleh luasnya wilayah yang dikuasai, akan tetapi ditentukan oleh banyaknya jumlah manusia atau cacah yang dikuasai. Sebagai contoh, ketika kerajaan Mataram dibagai dua pada tahun 1755 menjadi “Susuhunan” dan “Kesultanan Yogyakarta”, tidak didasarkan pada pembagian wilayah, akan tetapi atas dasar pembagian cacah, atau keluarga-keluarga petani. Dan pusat kerajaannya adalah “Keraton”, dimana raja serta kerabatnya dan priyayi tinggal (Onghokham dalam Alfian (ed) 1985:6-7). Lain lagi yang dikemukakan oleh Ben Anderson dalam bukunya “The Javanese Concept of Power” (Kartodirjo, 1985: 19), kekuasaan diasosiasikan dengan konsep “sakti”, yang dalam dalam bahasa pedalangan sangat berkaitan dengan empat (4) dimensi, yaitu (1) sakti yang menunjuk pada kekuatan “magis” atau “kekuasaan fisik”(kesakten),(2) mandraguna yang berkaitan dengan keulungan dalam pengetahuan, oleh senjata dan kekirya-an, (3) mukti yang berhubungan dengan kekayaan dan kesejahteraan dan (4) wibawa yang berhubungan prestise dan status.

Keempat konsep kekuasaan tersebut di atas, begitu jelas dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari kalangan orang Jawa baik dalam konteks stratifikasi social secara formal/achieved status (mulai dari lurah hingga presiden), maupun dalam konteks stratifikasi social berdasarkan keturunan (terutama di kalangan priyayi). Hal ini memang lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari politik kebudayaan penguasa/priyayi ketimbang politik kebudayaan Jawa (Jawa rakyat). Meskipun demikian, konsep ini tidak terlepas dari system nilai budaya dan pandangan konsmogoni orang Jawa yang telah direfleksikan dalam kehidupan kesehariannya.

Jika konsep-konsep kekuasaan Jawa di atas dikaitkan dengan fenomena perkembangan politik di Indonesia sekarang, kita dapat menemukan bagaimana konsep kekuasaan ini mendominasi seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia yang disosialisasikan lewat kekuasaan itu sendiri selama era orde baru (era Suhartoisme). Oleh sebab itu, ketika era ORBA berakhir yang ditandai dengan lengsernya Suharto, muncul berbagai gerakan, kecaman dan kritik yang tajam terhadap era kepemimpinannya, terutama yang muncul dari berbagai daerah-daerah di luar Jawa.

Hingga sekarang, dapat kita saksikan wacana demokrasi kekuasaan politik kita didominasi oleh wacana tentang digugatnya dominasi kejawaan dalam kehidupan demokrasi kekuasaan politik di Indonesia. Bahkan tak sedikit gugatan dilontarkan dari kalangan intelektual dan budaya­wan yang berasal dari suku-bangsa Jawa sendiri. Mereka menggugat pemahaman tentang kebudayaan Jawa yang monolitik, adiluhung dan paling luhur. Karenanya, kebudayaan Jawa anti dikritik[2], tapi tidak autokritik. Penghindaran/penolakan terhadap kritik dalam budaya jawa bukannya tanpa alasan, namun lebih berdasar pada konsep “harmoni/keselarasan” yang sering menjadi pilar dan alat legitimasi kekuasaan. Konsep harmoni dan kekuasaan tersebut lebih bersumber pada nilai “rasa”3 dalam teori Jawa (Stange 1998). Mulder misalnya, menghubungkan antara rasa dengan prinsip-prinsip keselarasan, kemanunggalan dan bahkan berdampingan yang diekspresikan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Demikian halnya Geertz menekankan adanya dua hal yang terkait dengan rasa, yaitu “perasaan” dan “makna” dengan menunjuk “hati” sebagai asosiasinya (via Stange 1998:25).

Lebih lanjut, Stange (1998) menekankan bahwa logika rasa merupakan mekanisme yang melandasi interpretasi “etiket, seni dan praktek mistik”. Ia adalah mekanisme yang mendasari kerumitan gagasan-gagasan Jawa yang berkaitan dengan watak, manifestasi dan kekuatan-kekuatan (kesakten) di bidangh politik. “Rasa” menduduki tempat fundamental dalam peta kesadaran spiritual Jawa, dan pada gilirannya secara fundamental ia bias dikaitkan dengan bentuk-bentuk kekuasaan dan otoritas. Apa yang dikemukakan oleh Stange tersebut, bukanlah suatu hal yang mustahil bila dikaitkan dengan fenomena kekuasaan politik kita berdasarkan alur histories (terutama semasa orde lama hingga orde baru).

Pada masa era kepemimpinan Sukarno (orde lama) misalnya, nilai demokrasi kerakyatan (demokrasi terpimpin) menjadi dasar ideologisnya untuk mempertahankan kekuasaannya dan mengarahkan perilaku massa rakyatnya. Misalnya, munculnya ideology kerakyatan yaitu gotong-royong (kerjasama) dan mufakat (konsesnsus). Nilai-nilai ini merupakan dasar bagi upaya memperlancar hubungan-hubungan social dan dalam pengambilan keputusan. Konsensus melalui musyawarah mufakat diambil sebagai ideal untuk menggantikan pengertian demokrasi perwakilan melalui pemilihan umum. Apa yang menjadi dasar ideologis kepemimpinan Sukarno, tidaklah begitu jauh dan bahkan masih mewarnai model ideologis kepemimpinan Suharto, yaitu masih mempertahankan nilai-nilai rasa dan keselarasan. Keduanya masih menganut kepercayaan bahwa hati sanubari seorang raja/penguasa adalah laksana “Samodra”, mencakupi wilayah itu hingga kesadarannya merupakan perwujudan murni atau pencerminan masyarakat. Kritik hanya dibenarkan bilamana mulai tampak bahwa pamrih, motif kepentingan pribadi dan bukannya kepentingan umum yang menjadi dasar kebijakan pemerintah (Stange 1998:28)

Pada prinsipnya, dasar keyakinan dan ideology kekuasaan seperti ini masih mengandung nilai positif, yaitu lebih mementingkan kepentingan rakyat banyak. Akan tetapi sangat potensial mengkultuskan seorang pemimpin, dan bahkan dapat berakibat munculnya model pemerintahan dan kekuasaan yang otoriter (sentralistik). Lebih dari itu, slogan kepentingan rakyat banyak hanya menjadi tameng untuk mencapai kepentingan dan kepuasan pribadi (penguasa). Akibat-akibat semacam inilah yang selama ini dipraktekkan oleh rezim orde baru dan mendominasi seluruh aspek kehidupan masyarakat (bukan hanya Jawa, akan tetapi sangat dirasakan oleh masyarakat luar Jawa).

Dominasi kejawaan dalam kehidupan demokrasi kekuasaan politik di Indonesia ini telah diulas secara panjang-lebar oleh budayawan Sindhunata di harian Kompas 22/7/99 hlm. 4-5, yang memilih judul sangat tegas “De-Jawanisasi” Politik Indonesia. Dalam pandangan sejarah, kebudayaan, perubahan politik, dan wacananya, Sindhunata mencoba memahami paham dan kebudayaan Jawa sehubungan dengan kekuasaan yang menimbulkan prasangka kejawaan tersebut. Sehubungan dengan konteks ini, Sindhunata menengarai setidaknya telah terjadi beberapa hal berikut ini:

C.1 Pengagung-agungan kekuasaan dan Orientasi Masa Lalu

Jika kita menelusuri berbagai fakta historis tentang Jawa, kita akan menemukan berbagai informasi yang keliru atau menyimpang. Dengan mengacu pada studi Berg tentang penulisan-penulisan historiografi Jawa, kita akan mendapatkan bagaimana penulisan sejarah Jawa tidak didasarkan pada realitas sejarah itu sendiri, melainkan pada pola-pola motif pembesaran mitis yang mengenang dan mengagungkan sejarah. Akibatnya, faktisitas sejarah sulit dicek kebenarannya. Contoh yang dikutip Sindhunata dari Berg adalah penulisan tentang Ken Angrok, sebagai leluhur Wisnuwardhana dalam buku Nagarakartagama. Ken Angrok atau Ranggah Rajasa adalah raja Singosari, yang memerintah dari tahun 1222-1227, disusul anaknya Anusanatha atau Nusapati pada tahun 1227-1248. Anehnya, kedua nama tokoh ini tak pernah disebut dalam prasasti-prasasti raja pertama Singosari yaitu “Jayawardhana”, baik dalam “Pararaton” maupun dalam “Nagarakartagama”, justru disebutkan sebagai cucu Angrok atau Rajasa. Meskipun demikian Mpu Prapanca, pengarang Nagarakrtagama itu, memasukkan Ken Angrok dalam penuturan sejarahnya. Asal usul Ken Angrok, yang sulit dibuktikan dari kenyataan itu, berkaitan dengan mitos Mpu Sindok, yang dianggap leluhur Erlangga, sehingga Ken Angrok mempunyai legitimasi mitis.

Berkaitan dengan studi sejarah kultural untuk mengamati konsep kekuasaan Jawa, maka konsep pembesaran wilayah mitis seperti itu juga diberlakukan bagi geografi kerajaan Majapahit dan bagi penulisan babad di zaman Mataram. Secara aktual, Majapahit barangkali hanya meliputi Jawa, Bali dan Madura. Memang sulitlah kita membuktikan adanya “kewilayahan” kerajaan Majapahit. Tokoh-tokoh sejarah, seperti Jayabaya dan Wisnu­wardhana, atau Senapati dan Sultan Agung ditujukan semata-mata untuk memberi keagungan dan kebesarannya karena watak dan kualitas mitologis tokoh-tokohnya. Pengagung-agungan kekuasaan ala Jawa dalam perkembangannya berimplikasi pada pro­ses penihilan dimensi-dimensi budaya lokal di seluruh wilayah kebudayaan Indonesia.

Di daerah-daerah, orang lebih mengenal dimensi-dimensi budaya Jawa: Tokoh-tokoh Jawa, pahlawan Jawa, penguasa Jawa, dan bahkan mengadopsi nama-nama desa yang berbau Jawani, misalnya Desa Suka Mulya, Suka Karya, Setia Budi di Kalimantan Barat, mengingatkan kita pada nama-nama desa atau daerah Sido Mulya, Suka Karya, dan Setya Budhi. Jelaslah, bahwa nama-nama baru itu sangat asing bagi bahasa dan adat mereka. Studi yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta 1996 tentang dampak Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa terhadap Masyarakat Adat, yang dilakukan di daerah luar Jawa: Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menemukan beberapa bentuk kerugian dan ekses penerapan sistem pemerintahan desa baru dan sama sekali asing me­lalui Program Regrouping atau desanisasi tersebut yakni: (1) telah merusak sistem kekerabatan, (2) memutuskan hubungan-hubungan sosial ekonomi antara masyarakat adat dengan tanah asalnya, dan (3) menghilangkan sistem politik lokal yang mengatur wilayah kesatuan masyarakat adatnya. Kemandirian politik masyarakat adat dalam memilih pim­pinan lokal dan mengatur rumah tangganya telah “dikebiri” oleh sistem baru tersebut. Sementara itu, peranan kepala desa hasil sistem pemerintahan desa baru tidak lebih seba­gai kepanjangan tangan dari kekuasaan pemerintah pusat (Laporan Observasi ELSAM 1996 hlm. 70). Dengan demikian, dimensi-dimensi budaya lokal mengalami proses mar­ginalisasi dan kooptasi kepemimpinan dan “pemerintahan” dari system pemerintahan yang sentralistik.

Baik era-Sukarno maupun era-Suharto, model pengagungan kekuasaan dan orientasi kejayaan Jawa masa lalu telah dipraktekkan di dalam rezimnya masing-masing. Akibatnya, gerakan-gerakan ketidakpuasan (sering disebut sebagai gerakan separatisme) selalu ada di dalam kedua rezim tersebut.

C.2 Nasionalisme mitis

Dalam perjuangan kemerdekaan, Soekarno sangat obsesif akan zaman kekemasan Majapahit. Hal ini tampak dalam de propaganda-vergadering PNI di Batavia, Soekarno menegaskan tidaklah benar, bahwa kedatangan orang-orang Eropa telah memperbaiki peradaban dan ekonomi Indonesa. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, Indonesia di zaman Majapahit telah menapaki tangga peradaban yang tinggi. Sindhunata juga menga­takan bahwa Soeharto pun sangat obsesif pada kekuatan dan kegagahan Mataram, lebih-lebih zaman Sultan Agung dengan konsolidasi tentaranya. Jadi, Soekarno mengkaitkan diri dan visinya dengan zaman keemasan Majapahit. Dan seperti Sultan Agung meng­kaitkan dirinya dengan Senopati, sedangkan Soeharto mengkaitkan dirinya dengan zaman kegagahan Mataram. Hal ini tampak, dalam penulisan historiografi peristiwa Serangan Umum 1 Maret, yang bersumberkan pada subyektivitas Orde Baru dengan mengetengahkan kehe­batan Soeharto secara berlebihan. Menurut Sindhu, pengagung-agungan tokoh Soeharto hampir meniadakan peran tokoh-tokoh lainnya. Sehingga nasionalisme yang ada adalah nasionalisme mitis.

C.3 Negara kekuasaan

Di dalam paham orang Jawa, negara tidak ditentukan oleh periferalnya tetapi oleh pusatnya. Pada masa rezim Soeharto, kesatuan nasional4 itu tidak boleh diganggugugat Sehingga Pancasila pun mesti ditafsirkan secara monolitik. Maka, untuk memelihara ke­satuan itu diciptakanlah kategori-kategori, yakni SARA. SARA harus tunduk kepada ke­satuan tadi. Bagi Sindhunata, konsep negara integral yang bersumber dari kesatuan mitis Jawa dan kejawen telah menjadi sumber dari totaliterianisme. Prinsip-prinsip keselarasan dan kerukunan diterapkan untuk mencegah gangguan-gangguan dan konflik-konflik ter­buka

Kekuasaan, dalam paham Jawa merupakan ungkapan energi ilahi yang tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos ini. serperti segala kekuatan yang menyatakan diri dalam alam.

Oleh karena itu, menurut Magnis Suseno (1996:99) kekua­saan bukanlah suatu gejala khas sosial yang berbeda dari kekuatan-kekuatan alam, melainkan ungkapan kekuatan kosmis yang dapat kita bayangkan sebagai semacam fluidum (zat cair dan gas) yang mengalir memenuhi seluruh kosmos. Oleh karena itu, ti­daklah heran apabila kekuasaan (politik, atau apa saja) dianggap sebagai ungkapan kak­sekte’n. Dengan demikian, orang Jawa memandang kekuasaan berdasarkan hakikatnya yang bersifat homogen, bersi­fat satu dan sama saja di mana pun ia menampakkan diri. Paham demikian berarti bahwa pemusatan kekuasaan di satu tempat dengan sendirinya berarti penciutan terhadap kekua­saan di tempat-tempat lain dan harus memenuhi kewajibannya untuk mendukung kekua­saan yang tunggal yang agung, sakti dan kharismatik itu demi keharmonisan dan ke­selarasan kosmos ini. Impliksai lebih lanjut dari anggapan dan fenomena semacam ini adalah munculnya apa yang sering dianggapa sebagai “Jawanisasi”.

D. Proses Jawanisasi

Dalam konteks politik nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa alam pikiran Jawa menjadi sangat dominan. Hal ini tampak begitu nyata dalam era kepemimpinan mantan Presiden Soeharto selama kurang lebih tiga puluh dua tahun, dimana kebudayaan Jawa ketika itu menjadi pola bagi seluruh rangkaian kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam aspek politik, kebudayaan, ekonomi, pendidikan dan berbagai aspek kehidupan lainnya, misalnya :

D.1 Jawanisasi melalui aspek bahasa

Dari aspek-aspek yang menunjukkan adanya domi­nasi Jawa, kelihatan bahwa dominasi yang dibangun melalui kosa kata bahasa Jawa jauh lebih kentara. Pengaruh jawanisasi yang demikian kuat kemudian me­nim­bulkan apa yang disebut-sebut Magnis-Suseno seba­gai “jawanisasi tatakrama komunikasi nasional”5.

Memang benar dan sangat terasa bahwa tatakrama politik selama Orde Baru tampak lebih bersifat hie­rar­kis/struktural ketimbangh kultural. Di kantor-kantor, misalnya, dalam sapaan-sapaan resmi lebih digunakan sebutan ‘Bapak’ dan ‘Ibu’ daripada ‘saudara’ atau ‘saudari’. Semangat ber-‘tepa slira’ dan sejumlah semangat lain yang terdapat dalam butir-butir penjabaran “Pancasila” yang di’indoktrinasi’kan terus menerus dalam setiap ke­sempatan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamal­an Pancasila (P4), secara implisit telah menjadikan Pancasila selain sebagai dasar negara tetapi juga menjadi tatakrama politik.

Masih mengenai era Orde Baru, Sindhunata mengatakan bahwa politik nasional selama masa ini sungguh diwarnai oleh feodalisme dan kepatuhan abdi dalem. Soeharto tampaknya hanya mempunyai satu referensi, yakni peradaban priyayi yang feodal. Ungkapan-ungkapan Jawa sekian sering dikutipnya karena dinggap sebagai kebijaksanaan tertinggi, meskipun sebenarnya tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi dan negara hukum.

Kalau dicermati dengan sungguh-sungguh, maka sebenarnya jawanisasi merupakan sikap arogan atau yang dalam antropologi dikenal sebagai sikap “etnosentris”, sebuah sikap yang mengganggap budaya lain sebagai yang kurang bermutu dan kurang sempurna, sehingga kebudayaan yang lebih unggul boleh menjadi penentu bagi budaya lain. Jawanisasi juga secara jelas melanggar apa yang selama ini di­perangi oleh pemerintah di bawah payung program penghapusan SARA (suku, agama, ras dan antar­-golongan), sebab secara jelas memperlihatkan sikap meng­anggap remeh suku dan ras lain. Penempatan orang-orang asal Jawa di lingkungan sipil maupun mi­liter (termasuk POLRI), mulai dari pusat kekuasaan sampai dengan tingkat distrik dan desa di seantero wilayah Indonesia, antara lain merupakan contoh me­ngenai upaya membangun birokrasi Jawa yang berakar kuat.

Selain itu, meskipun sudah ada kesepakatan bersama bahwa bahasa yang resmi dalam komunikasi antar warga masyarakat Indonesia, adalah bahasa Indonesia, namun kenyataan berbicara lain. Nama-nama lembaga dan usaha (seperti Yayasan Bhakti Wiratama, Jasa Raharja), perkum­pulan (seperti Ibu-ibu Dharma Pertiwi, Karang Taruna, Kelompencapir), desa (seperti Sidorejo) atau kampung (seperti Karangsari atau Jetis) dan gedung-gedung (seperti Sasana Waras, Griya Taman Asri) di luar Jawa tidak jarang meng­gunakan kosa kata bahasa Jawa. Ada pula semboyan-semboyan yang selalu diulang-ulang atau terpampang di mana-mana dan dihafal oleh anak-anak sekolah di luar Jawa, seperti Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, Gemah ripah loh jinawi, Tata tentram karta raharja, dan lain sebagainya.

Banyak pula kegiatan yang berskala nasional yang menggunakan bahasa Jawa untuk menggerakkan partisipasi masyarakat, meskipun kebanyakan dari kegiatan ini di luar Jawa gagal mencapai hasil yang maksimal karena masyarakat maupun aparat luar Jawa kurang mengerti dengan baik dan benar arti kata yang digunakan; seperti tampak dalam program adhipura (kebersihan atau keindahan kota), kemanunggalan ABRI dengan rakyat, dan sebagainya.

Mengenai hal ini, Ajip Rosidi mengatakan bahwa telah terjadi feodalisasi terhadap bahasa Indonesia akibat campur tangan dari pihak kekuasaan. Dalam kacamata Ajip Rosidi, bahasa-bahasa lain di tahan air (selain bahasa Jawa), tidak mengenal tingkat-tingkat kehalusan bahasa. Maka sulit dibayangkan dan -- sebenarnya tidak dapat dibenarkan -- bahwa kerinduan bangsa Indonesia akan suasana demokratis justru dikacaukan oleh penggunaan bahasa yang mengenal tingkatan-tingkatan disertai sikap badan yang membungkuk-bungkuk.6

Karena itu, penggunaan kosa kata bahasa Jawa dalam forum-forum resmi oleh pembicara, entah dosen, penceramah, pemakalah, pemberi kata sambutan, umpan balik dari peserta atau pendengar, dan lain-lain, selain melecehkan upaya dan kerja keras bangsa agar masyarakat Indonesia mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga menunjukkan sikap tidak peduli terhadap lawan bicara atau pendengar yang ada di dalam forum tersebut. Dan agar bahasa Indonesia dapat memposisikan diri sebagai bahasa demokratis, maka Indonesia perlu memerdekakan diri dari ‘feodalisme’ (Jawa) itu. Bahasa Indonesia harus bisa diterima dan dirasakan sebagai suatu bahasa demokratis, yang dapat menampung dan menyuarakan suara siapa saja yang ingin menjalankan haknya sebagai warga negara. Bahasa Indonesia juga tidak boleh menjadi bahasa kekuasaan, apalagi kekuasaan satu golongan saja.

D.2 Jawanisasi melalui sikap

Selain aspek bahasa, Jawanisasi melalui sikap hidup juga dominan dalam masa Orde Baru. Bukan suatu rahasia bahwa masyarakat Indonesia dididik untuk memiliki sikap ksatria: mengatakan dan mengakui salah jikalau salah; benar jikalau benar. Akan tetapi, ketika pembantu-pembantu presiden jelas-jelas bersalah dan kesalahan itu diketahui oleh publik, tak satupun dari para pembantunya yang dengan rendah hati mengakuinya dan meminta maaf atau bahkan mengundurkan diri. Pengunduran diri dianggap tidak memiliki alasan yang kuat, karena perbuatan itu sama artinya dengan sikap tidak ksatria. Bahkan para pembantu yang khilaf itu -- terkesan dan memang kenyataannya demikian -- dilindungi. Atau bahkan tidak jarang sang menteri balik menantang publik: “Ayo, buktikan kalau saya salah” (Bernas, 7/12/1999, hal. 4). Ini juga menjadi penyebab tidak adanya ‘budaya mundur’ di kalangan pejabat-pejabat sipil maupun militer yang nyata-nyata bersalah dan kesalahannya sudah menjadi rahasia umum. Kenyataan ini pada gilirannya melumpuhkan kekuatan dan supremasi hukum di tanah air.

Dalam konteks pengembangan dan pembangunan pariwisata maka hal-hal yang sekian sering di-iklan-kan umumnya mengedepankan ciri, image dan cara berpikir orang “Indonesia Dalam”7 -- dalam gaya bahasa parsprototo -- bahwa masyarakat Indonesia senantiasa mengutamakan dua aspek yakni pertama, sekelompok nilai yang berkenaan dengan tatakrama peng­hor­mat­an dan kedua, nilai-nilai yang berkaitan dengan ter­peliharanya ‘penampilan sosial yang harmonis’. Nilai-nilai ini yang sering ditunjuk-tunjukkan sebagai aspek yang mem­bedakan orang Indonesia dengan orang luar negeri, meskipun dalam kenyataan, -- kehidupan berlalu lintas di kota Yogyakarta, misalnya – tidak seindah yang dipromosikan itu.

D.3 Jawanisasi Melalui Media Massa

Proses ini berlangsung cukup lama di luar kesadaran masyarakat non-Jawa melalui media TV, Radio, dan koran-koran yang berafiliasi dengan pemerintah, maupun dari media swasta. Misalnya program-program pembangunan, kesenian, ekonomi dan berbagai sajian acara atau berita lainnya lebih banyak didominasi oleh Jawa, sehingga bagi pemirsa, pembaca, dan pendengar lebih banyak mengetahui informasi atau berita tentanga berbagai hal yang bernuansa Jawa ketimbang daerahnya sendiri. Dan ini menandakan bahwa proses Jawanisasi berlangsung melalui proses difusi, yaitu bersebarnya kebudayaan Jawa di berbagai pelosok kepulauan Indonesia, disamping melalui kebijakan dan birokrasi pemerintah pusat (Jakarta), juga melalui sarana media massa dan manusia (contohnya arus migrasi dan transmigrasi).

D.4 Jawanisasi Melalui Birokrasi Pemerintahan

Proses ini, memang terkait langsung dengan sistem kekuasaan yang sentralistik di Jawa. Sehingga persoalan birokrasi dan kebijaksanaan pemerintahan daerah selalu diproses di pusat (Jakarta). Akibatnya pendistribusian pegawai atau pejabat ke daerah, terutama pada bidang-bidang yang strategis lebih banyak dinikmati orang-orang Jakarta (Jawa). Misalnya Gubernur, dan kepala-kepala bagian lainnya dari berbagai departemen yang ada. Demikian pula dalam bidang kemiliteran tidak jarang perwira-perwira Jawa menempati posisi yang strategis.

Permasalahan selanjutnya yang penting untuk dilihat dari proses Jawanisasi dalam kaitannya dengan fenomena perkembangan politik kita dewasa ini adalah “bagaimana realitas dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia (terutama masyarakat non-Jawa) dari proses Jawanisasi tersebut ?”

Seperti dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa fenomena perkembangan politik kita dewasa ini lebih mengarah ke proses dis-integrasi bangsa sebagai suatu bentuk kristalisasi dari krisis ekonomi dan konflik yang berkepanjangan, serta munculnya gerakan-gerakan nasionalisme baru yang lebih bersifat lokal atau etnis untuk mendirikan negara sendiri. Gambaran fenomena ini merupakan suatu wujud dari protes dan perlawanan dominasi kekuasaan pusat yang dalam hal ini diidentikkan dengan Jakarta atau Jawa yang berlangsung cukup lama. Lalu bagaimana dengan reaksi Jakarta dengan fenomena ini ?. Upaya yang dilakukan adalah dengan menawarkan sistem pemerintahan yang bersifat otonomi seluas-luasnya. Namun, reaksi yang muncul adalah lebih pada keinginan federal (terutama Kaltim) atau sekalian lepas dari negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) (terutama Tim-Tim dan Kemungkinan Besar Aceh)

E. Kesimpulan

Ketika muncul gerakan-gerakan nasional dari kalangan mahasiswa Indonesia saat kolonialisme Belanda, hal ini merupakan tanda dari adanya ketidakpuasan, sekaligus kebencian bangsa Indonesia terhadap kolonialisme itu sendiri. Apa yang terjadi selanjutnya adalah muncul pula gerakan-gerakan yang bersifat etnis, misalnya munculnya “Jong Java”, Jong Sumatera”, Jong Celebes” Jong Ambon, dan beberapa lagi yang lain. Akan tetapi hal ini dapat dipersatukan dalam bentuk nasionalisme Indonesia, yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928”.

Gambaran di atas, dapat dianalogikan dengan fenomena perkembangan politik kita sekarang, dimana nasionalisme yang bersifat etnis muncul karena merasa sudah lama berada dalam kungkungan dan dominasi Jawa. Dan gejolak ini hanya dapat dirasakan langsung oleh orang-orang di luar Jawa. Aceh misalnya, secara terang-terangan menganggap Jawa adalah kolonialisme, sehingga berdampak bagi kebencian yang mendalam. Namun kita tinggal berharap, jika tawaran otonomi seluas-luasnya dan federal tidak dapat terwujud karena penolakan daerah yang sedang bergolak, semoga muncul kesadaran baru untuk me-revitalisasi “Sumpah Pemuda” tersebut, bukan perang.

F. Daftar Pustaka



Balandier, Georges.1996. Antropologi Politik. Jakarta: PT. Graffindo Persada.

Geertz, Clifford. 1994. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: PT. Kanisius.

1983 Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Kartodirdjo, Sartono,1998 Kesukuan dan Masyarakat Adab (Ethnicity and Civil Society) dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional (Uchlasul Amal dan Armaidy Armawi Penyunting), 1998.

Yogyakarta; Gadjah Mada University Press.

Mulder, Niels. 1996. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional.

Yogyakarta: UGM Press.

Magnis-Suseno, Franz.1996. Etika Jawa:Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Onghokham, 1985 Persepsi Kebudayaan Cendekiawan Indonesia dalam Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Alfian Editor),

1985. Jakarta: Gramedia.

Suryadi AG, Linus, 1993, Regol Megal Megol Fenomena Kosmogon
Jawa, Yogyakarta : Andi Offset.

Safa’at, Rachmad. 1996. “Masyarakat Adat yang Tersingkirkan dan
Terpinggirkan” dalam Laporan Observasi tentang Dampak
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
terhadap Masyarakat Adat di Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara

Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Jakarta: EL­SAM

Sindhunata, 1999 “De-Jawanisasi Politik Indonesia”, dalam harian
Kompas, 22/7/1999 hlm. 4-5.

Stange, Paul 1998. Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta: LkiS.

Verdery, Katherine.1994.“Ethnicity, Nationalism,and State-Making Ethnic
Groups and Boundaries: Past and Future” dalam Hans Vermeulen
dan Cora Govers, (eds.). The Anthropology of Ethnicity: Beyond

Ethnic and Boundaries. Amsterdam: Het Spinhuis Publishers, hal
:35-58.



Catatan Kaki

[1] Penulis adalah Dosen Fisip Unmul dan Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Antropologi, Universitas Gadjahh Mada, Yogyakarta.

2 Franz Magnis Suseno pernah menulis bahwa terhadap penguasa-penguasanya, orang Jawa memang secara konsekuen tidak memberikan penilaian moral. Apa yang dilakukan oleh seorang penguasa selalu dan dengan sendirinya betul: sebagai orang yang penuh kesaktian ia tidak pernah dapat berlaku salah (seorang penguasa hanya berlaku salah apabila ia memboroskan potensi-potensi kosmisnya karena pam­rihnya yang buta). Selanjutnya, periksa Franz Magnis Susseno, Eti­ka Jawa Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijakan Hidup Jawa. Ja­kar­ta: Gramedia,1996, hlm. 184-185.

3 Tentang konsep rasa sangat jelas diuraikan oleh Paul Stange (1998) dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Tim LkiS ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa.

4 Sejak dari Rezim Sukarno, motto nasional adalah “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam konteks ini secara eksplisit dipahami oleh pengertian mistik bahwa “kesatuan” terletak dalam wilayah yang melampaui bentuk, sebagaimana paralel dengan perkataan “semua agama menuju pada tujuan yang sama”. Menurut Paul Stange (1998) bahwa baik dalam pernyataan Sukarno dan Suharto atau pun dalam kritik-kritik terhadap mereka, disugestikan bahwa landasan kekuasaan terdapat pada “wahyu, restu kosmis” yang memberkati, baik keabsahan maupun otoritas yang mengalir secara spiritual. Karenanya bersifat sacral.

5 Dalam tatakrama peradaban feodal, seorang hamba, rakyat biasa atau pembantu raja, tidak dapat seenaknya menggunakan bahasa akan tetapi diharuskan menggunakan yang halus (Jawa, misalnya: dalem, dahar, rawuh, tindak disertai sikap badan membungkuk atau unggah-ungguh).



6 Sikap membungkuk ini merupakan suatu bentuk struktur social. Ia bersofat abstrak di dalam kepala setiap orang dan berfungsi secara otomatis. Orang (terutama orang Jawa) akan berbicara membungkuk dengan menggunakan bahasa kromo dan kepada orang yang dianggapnya lebih tinggi (baik segi usia, status social, dan berdasarkan stratifikasi social. Tidak tepat berbicara dengan seseorang dengan sambil membungkuk dengan menggunakan bahasa ngoko.

7 istilah Indonesia dalam sebenarnya merupakan istilah yang diambil dari istilah Geertz ketika mengklasifikasikan posisi pulau-pulau yang ada di busur luar Indonesia (luar Jawa) dengan pulau-pulau yang ada di busur dalam Indonesia (pulau Jawa). Pulau-pulau inilah (pulau Jawa) yang disebut sebagai Indonesia Dalam. Lihat tulisan Geertz “Involusi Pertanian” (1983) hal:12.

No comments: