Membangun Agama Kerakyatan
Hatim Gazali, Pemerhati keagamaan dan sosial-kemasyarakatan
AGAMA lahir ke muka bumi bukan hanya untuk disakralkan, melainkan juga sebagai media kritik dan sarana transformasi sosial. Pemikir Islam, seperti Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, Abed al-Jabiri dan sebagainya mengandaikan agama sebagai ruang kritik dan tidak pernah bebas nilai (free value).
Agama secara normatif menyuguhkan doktrin yang membebaskan, sebagai sarana transendensi diri dan petunjuk (hudan li al-nass) bagi segenap alam. Namun, tujuan mulia ini jarang hadir di tengah-tengah realitas sosial-kemasyarakatan. Alih-alih menjadi way of life, agama sering kali justru menjadi salah satu hambatan teologis untuk membangun persaudaraan secara universal (ukhuwah basyariyah), membangun peradaban, dan membebaskan kaum yang tertindas. Aksi teror dan kekerasan yang belakangan marak acap bergandengan dengan semangat agama, sehingga terorisme sering kali diidentikkan dengan fundamentalisme agama. Tentu saja, anggapan seperti ini tidak proporsional dan sangat kontraproduktif.
Namun, belakangan ini, agama sering kali digugat, dikritik, dituding, dan dihujat. Ungkapan Marx, agama sebagai candu masyarakat adalah salah satu contoh gugatan terhadap agama. Lalu, mungkinkah dan adakah yang salah dalam agama? Bagaimana mungkin, Tuhan Yang Mahakuasa tidak pernah salah menurunkan sebuah agama yang tidak sesuai dan relevan dengan agama?
Berkaitan dengan itu, penting kiranya untuk membedakan antara agama (al-din) dan pemikiran keagamaan (al-fikr al-diniyah). Agama bersifat universal, absolut, sementara pemikiran (ke)agama(an) bersifat ijtihad, dhanny, relatif, nisbi, dan particular. Karena itulah, menuduh, menyalahkan, atau mengkritik agama adalah kurang arif. Namun, yang perlu direkonstruksi dan ditafsir ulang adalah pemikiran keagamaan. Sebab, pemikiran keagamaan muncul dan hasil dari dialektika antara teks agama dan teks sosial, atau antara yang absulot dan yang relatif.
Karena itulah, pemikiran keagamaan yang tidak signifikan dan relevan harus didekonstruksi menjadi sebuah pemikiran keagamaan yang baru sesuai dengan semangat agama yang membebaskan (al-taharrur), berkemanusiaan (humanity). Akibatnya, segala pemikiran keagamaan harus tunduk dan didasarkan pada semangat dan nilai-nilai agama yang universal.
Sebuah pemikiran tidak akan lepas dan senantiasa terikat dengan konteks sosial-budaya di sekitarnya. Pemikiran muncul dari rahim sejarahnya (gestalt) dan memiliki epistime tersendiri. Begitu pula dengan (pemikiran) agama. Hukum-hukum fikih, ajaran-ajaran tasawuf, akidah adalah hasil konklusi dari realitas sosial dengan subjektivitas penafsiran seseorang. Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali--misalnya--tentu memiliki target-tagret politis, sosial tertentu. Ia muncul tidak semata-mata karena upaya mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila allah), tetapi ia juga dikonstruksi oleh pelbagai varian eksternal. Bahkan, dalam analisis Michel Foucault, ada relasi kuasa dengan pengetahuan. Lebih jauh, Foucault melalui L'archeologie du Savoir (Archeology of Knowladge) mengatakan bahwa sejarah selama ini adalah sejarah yang terdistorsi; bukan sejarah bahasa dan makna, tetapi sejarah relasi kuasa.
Karena itulah, tidak ada pemikiran agama yang otentik. Dengan nada kritis, Adonis (1978) menulis ''Apakah keotentikan itu? Bagaimana kita mendefinisikan sesuatu yang otentik? Bagaimana hubungannya dengan masa lalu, sekarang, dan akan datang, bagaimana menafsirkannya? Mengapa bangsa Arab harus mengalami kemunduran dan stagnasi yang begitu pahit? Apakah masalahnya cuma disintegrasi politik atau pengaruh asing? Bagaimana kita menafsirkan dan memahami hubungan antara bangsa, agama, dan politik?''
****
Jika demikian adalah tugas kita semua untuk mengubah keberpihakan agama dari yang elitis, penguasa kepada kaum tertindas, miskin, dan telantar. Sebab, jika agama dibiarkan menjadi alat bagi penguasa, fungsi dan tujuan agama untuk membebaskan manusia dari ketertindasannya akan hilang. Di tangan penguasa, agama akan dijadikan alat legitimasi untuk menindas dan mendistorsi teks agama menjadi sebuah teks yang 'tunduk' terhadapnya. Dalam posisi inilah, benar ungkapan Nietzsche (1844-1900 M) tentang kematian Tuhan, Karl Max tentang Tuhan telah mati, Jeal Paul Sartre (1905-1980) dengan L'esistence de L'homme exclet L'existence de dio
(eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan).
Jika demikian, maka membangun agama kerakyatan menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-ditawar. Ada dua asumsi atau pengertian tentang agama kerakyatan. Pertama, agama kerakyatan adalah agama yang berpihak kepada rakyat. Manusia secara umum (awam) harus menjadi perhatian dan fokus bagi agama. Sebab, ia turun tidak hanya bagi kalangan elite semata, tetapi juga bagi manusia secara umum. Hal ini penting sebagai upaya meminimalisasi adanya 'pencomotan' (teks) agama oleh kalangan elite baik oleh negara ataupun elite agama.
Melalui agama kerakyatan inilah, kita berseru dan berteriak untuk membela rakyat dan menolak segala bentuk politisasi agama. Agama tidak hanya ditempatkan pada ibadah-ibadah di masjid, tetapi juga mensyaratkan adanya ibadah sosial. Kemiskinan, pengangguran, penggusuran, eksploitasi, kekerasan terhadap anak Adam harus ditolak sebagai upaya membangun kehidupan yang harmonis.
Kedua, agama kerakyatan adalah sebuah formulasi agama yang berada dalam pemahaman kaum awam. Pengertian yang kedua ini berusaha untuk mengurangi adanya dominasi pemahaman (agama) elite terhadap umatnya. Di Indonesia, sebuah pemahaman yang keluar dari mindset elite agamawan, akan diklaim sebagai penyimpangan. Akibatnya, tidak ada independensi pemahaman di tingkat manusia. Semua pemahaman agama diserahkan kepada kaum elite (kiai, pastur dan sebagainya). Padahal, semua orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang agama yang dipeluknya sesuai dengan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif-psikologis.
Hal inilah yang menyebabkan mandulnya kreativitas manusia beragama dalam menentukan pilihan dan pemahaman terhadap agamanya. Ijtihad dan keberanian berpikir bebas seakan menjadi ancaman bagi kaum elite agama. Apa pun hasil pemahaman dan ijtihad manusia adalah absah sebab ia dilahirkan dalam lokus dan tempus tertentu, sehingga problem yang dihadapi masing-masing individu pun berbeda.
Pada kedua pemahaman itulah, agama kerakyatan disandarkan sebagai upaya menghadirkan agama secara proporsional dan fungsional di tengah realitas sosial. Dan, kepada kaum tertindaslah agama harus berpihak di atas prinsip kemanusiaan. Wallahu A'lam.***
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment