Tuesday, March 31, 2009

Krisis Epistemologi Tantangan bagi Umat Beragama

Krisis Epistemologi Tantangan bagi Umat Beragama

AKHIR-akhir ini nama Al Qaeda dan Jemaah Islamiyah sedang berada di 'atas'. Namun, bukan dari segi positif, sebaliknya stempel teroris dari Amerika Serikat dan sekutunya menempel pada kedua organisasi Islam yang belum jelas bentuk dan mekanismenya. Keduanya dijustifikasi sebagai teroris. Karena itu, harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.

Al Qaeda dituding berada di belakang aksi penghancuran menara kembar WTC (World Trade Center) New York dan Pentagon. Sementara Jemaah Islamiyah dibidik AS karena diduga berada di balik pengeboman di sejumlah gereja dan tempat lain di Asia Tenggara.

Osama bin Laden, Hambali, Imam Samudra, Azahari, Dulmatin bahkan Saddam Husein masuk dalam kategori teroris. Mereka harus dilenyapkan bagaimanapun caranya, termasuk menginvasi Afghanistan dan Irak. Pun tidak peduli ratusan ribu manusia meregang nyawa.

Beberapa kalangan khawatir konflik AS dengan Islam fundamental sebagai pembenaran The Clash of Civilization seperti dituturkan Samuel P Huntington.

Tindakan Osama bin Laden dkk melawan hegemoni AS tentu saja sah dan memiliki alasan tersendiri, terutama berkaitan dengan keyakinan, tentang jihad. Bahwa cara yang terbaik saat ini untuk melawan AS adalah 'terorisme'.

Benar banyak pemikir Islam yang mendefinisikan jihad berbeda dengan Osama dan Imam Samudra, tetapi siapa yang bisa melarang seorang muslim mendefiniskan jihad menurut versinya sendiri?

Baik yang pro maupun kontra tentang suatu terminologi jihad, semuanya mengatasnamakan penafsiran terhadap Alquran-hadis. Bahwa metode yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan Alquran-hadis nabi. Yang dilarang Islam adalah mengklaim pendapatnya paling benar atau menjustifikasi orang lain salah.

Meski demikian, dalam penafsiran ada kaidah dan standar yang mau tidak mau mesti mengacu pada perilaku Nabi Muhammad saw. Dalam bahasa yang familiar, bagaimana menafsirkan Islam yang rahmatan lil-alamin.

o0o

Adalah Michael Baigent, seorang pemikir Barat yang mengemukakan, saat ini masyarakat Barat sedang mengalami krisis epistemologi. Yaitu, krisis yang membuat mereka tidak lagi memiliki kejelasan tentang pengetahuan dan makna hidup (the meaning of life). Ilmu pengetahuan yang menggempur dahsyat dogma agama mereka sejak masa-masa dini, introduksi rasionalisme Islam melalui filsafat Ibn Rusyd yang diteruskan dengan masa-masa kegelapan oleh agamanya yang kemudian disahkan oleh polemik-polemik kefalsafahan sampai saat ini, telah membuat agama di Eropa kehilangan banyak sekali kemampuannya untuk bertindak sebagai penjelas persoalan hidup dan memberi makna kepada hidup itu sendiri.

Inilah yang disebut oleh Robert Musil dengan kenisbian pandangan yang bertumpu pada kepanikan epistemologis. Di balik kemewahan hidup material yang dinikmati masyarakat Barat terselip rasa putus asa. Suatu ketakutan yang membuat kalut karena tidak memiliki kejelasan tentang makna hidup, dan ketidakpastian semua pengetahuan.

Kekacauan epistemologis ini, lanjut Baigent, disebabkan masyarakat Barat tidak memiliki agama yang mampu menopang atau mengakomodasi ilmu pengetahuan. Sebuah kondisi yang ada akibat kesulitan menjelaskan tentang hubungan organik ilmu pengetahuan itu, dengan keseluruhan sistem keimanan yang ada.

Akibatnya bisa ditebak, budaya dan peradaban tidak memiliki kontrol lagi. Bahkan, kebudayaan dan peradaban itu berdiri menjadi agama tersendiri.

Akibatnya, tambah Baigent, teknologi adalah bagaikan granat hidup di tangan kanak-kanak. Kesenjangan ini terus berlangsung sampai sekarang, jika tidak malah tumbuh semakin nyata. Masyarakat tidak berkembang cukup lebih matang, tetapi granat di tangannya telah berkembamng menjadi lebih berbahaya lagi. Ironis memang.

o0o

Dalam rekaman khazanah pemikiran Islam berkembang beragam aliran. Meski tidak menamakan dirinya sebagai golongan tertentu, dilihat dari corak pemikirannya kita mengenal mazhab radikal, modernis, dan liberal.

Semua corak itu muncul sebagai bentuk interpretasi terhadap doktrin agama. Dari waktu ke waktu, pembaruan pemikiran lewat ijtihad bergulir seiring dengan ragam tantangannya.

Pascakejatuhan Kota Bagdad yang menandakan keruntuhan peradaban Islam klasik, di kalangan umat Islam berkembang asumsi pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya, produksi intelektual menurun drastis. Padahal perkembangan intelektual adalah indikasi kecemerlangan sebuah peradaban.

Akibat kualitas intelektual umat Islam rendah, maka kajian terhadap Alquran-hadis tidak lagi dinamis. Sehingga semakin lama pemahaman umat terhadap Alquran jauh menurun. Pada sisi lain, kaum muslimin sangat tergantung pada pemahaman para pemuka agamanya ketimbang kreatif menemukan kebenaran sendiri lewat penalaran akal pikirannya. Di sinilah krisis epistemologi di kalangan umat Islam dimulai.

Jadi, sesungguhnya kondisi yang terjadi di dunia Barat dialami juga oleh umat Islam. Yang berbeda adalah penyebabnya. Jika di Barat krisis epistemologi disebabkan kemajuan ilmu dan teknologi, maka di dunia Islam krisis ini mewabah akibat ketidakmampuan beradaptasi dengan era global atau keterpurukan dalam dunia intelektual.

Di Barat, krisis epistemologi dikarenakan tidak ada institusi atau agama yang mampu menyinergikan temuan-temuan ilmiah dengan keimanan, maka di umat Islam bukan institusi atau agama yang tidak memiliki sistem untuk mendialogkan agama dan ilmu pengetahuan teknologi, tetapi kemampuan penganut agama (Islam) untuk menjadikan agamanya sebagai inspirasi atau aspirasi mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Krisis epistemologi dalam Islam disebabkan kaum muslimin mengalami kegagalan mem-breakdown kesempurnaan Alquran dalam kehidupannya. (Dudi Sabil Iskandar/dari berbagai sumber/R-3).

No comments: