Sikap Kita Terhadap Tradisi
Oleh Mohammad Khatami
Warisan budaya suatu bangsa adalah dasar pembentuk identitas sosio-kultural bangsa itu. Karena itu, sungguh naif memandang hasil "kerajinan" nenek moyang itu dengan penuh cemooh, apalagi sarkastis.
Sepanjang sejarah, tradisi selalu memposisikan dirinya sebagai cermin dinamika peradaban umat manusia. Dan saya kira pandangan Aristoteles tentang perlunya melestarikan tradisi sebagai bagian "surviving for a new live" patut kita jadikan acuan. Usaha memasung tradisi berarti menavigasi jatidiri historis sebuah bangsa. Tradisi lebih kuat dan mengakar untuk dapat dikubur, walau seluruh tokoh politik dan ahli pikir bersatu-padu melakukannya. Bangsa yang tercabut dari akar tradisinya ibarat sebuah "kerumunan" yang tak punya kesadaran dan keinginan jelas.
Semua orang mafhum perubahan adalah obsesi seluruh komunitas bumi ini. Perubahan hanya akan berlangsung jika satu bangsa dapat menjiwai kepribadian nasionalnya yang notabene hasil bentukan tradisi semata. Memang, berpaut secara berlebihan terhadap tradisi dapat menghambat perubahan dan pembaruan. Karena itu, harus dihindari sebisa mungkin. Dan proses semacam itu akan berhasil jiwa diawali dengan apa yang disebut pematangan diri.
Contoh paling jelas adalah sejarah renaisans dan era reformasi gereja. Kebangkitan Barat bermula ketika para pemikir sekuler masa itu sadar akan kedalaman nilai intelektual dan estetika peradaban Yunani dan Romawi kuno, yang selama "abad kegelapan" dipandang dengan sebelah mata. Hal yang sama juga dilakukan kalangan agamawan masa "reformasi". Mereka ramai-ramai hengkang ke apa yang mereka sebut "esensi" Kristen, yang dalam kurun waktu cukup lama mengalami distorsi. Tapi sayangnya, kisah panjang kebangkitan Eropa--dengan sokongan kaum borjuis--harus berakhir dengan kemenangan kaum sekuler plus ateis terhadap kaum religius.
Kasus Eropa itu layak jadi bahan renungan buat kita yang sedang giat menggalang segala energi untuk suatu perubahan: meraih kemajuan tak berarti mengorbankan tradisi.
Meskipun demikian, ini tak lantas bermakna bahwa kita harus menyerah seratus persen di hadapan tradisi. Toh, tradisi juga produk manusia yang mau tak mau harus berhadapan dengan "takdir" perubahan. Ritme perubahannya pun bervariasi. Terkadang lambat, dan sekali-sekali melesat bak roket.
Yang jelas adalah, kita harus berubah. Hanya yang penting untuk dicatat, bagaimana kita menyikapi perubahan. Dan sejauhmana keinginan untuk berubah itu tumbuh dengan bebas dalam diri kita tanpa harus ada paksaan dari kondisi eksternal. Tradisi pasti berubah, kendati sampai sekarang masih cukup solid mempertahankan eksistensinya. Yang jadi tanda tanya, perlukah usaha itu dilakukan?
Memang, masyarakat kita sudah saatnya berubah. Tapi, bentuk perubahan manakah yang ideal? Sulit disepakati. Corak modernisasi ala Barat hanya salah satu saja yang tersedia. Barat berhasil menemukan pola perubahannya setelah proses panjang dan berliku-liku. Ada rasionalisasi, juga imajinasi. Ada intrik, konflik, kompetisi dan kebenaran. Semua itu terakumulasi--di samping motivasi kuat untuk kembali "bermesraan" dengan tradisi--hingga mampu mempersembahkan sebuah model pembaruan.
Kendati demikian, makin hari titik lemah peradaban Barat makin transparan saja. Bahkan, tak sedikit begawan-begawan modernisme mulai yakin akan usangnya tesis universalitas budaya Barat serta validitasnya dalam mencarikan solusi final seluruh persoalan umat manusia.
Kenyataan ini mendorong kita untuk tidak serta-merta mengadopsi standar yang mereka patok untuk menuju perubahan. Dan pada waktu yang sama, menolak anggapan bahwa tradisi adalah barang suci yang tak mungkin terjamah.
Kita sekarang berhadapan dengan dua entitas berbeda: tradisi yang kepalang mengakar dan budaya Barat yang telanjur menjalar ke mana-mana.
Lantas, apa yang harus kita perbuat? Sebelum saya jawab pertanyaan ini, izinkan saya terlebih dahulu berimajinasi mengungkap realitas. Kadang-kadang rasio kita mentok dan takluk untuk bisa menebak apa di balik misteri jagad raya. Di sinilah daya khayal itu mulai beraksi.
Persoalannya begini, tugas terpenting kita saat ini adalah merumuskan model yang pas untuk zaman kita. Menurut saya, itu bisa terlaksana dengan sempurna kalau kita melirik masa depan. Dan gambaran yang sehat tentang masa depan hanya bisa terbentuk jika gabungan kognisi, emosi, dan pengetahuan kita dapat menyelami masa lalu, tanpa harus basah kuyup. Ini memang sangat pelik. Tapi harus bisa diatasi.
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, saya melihat ada dua hal yang bisa disimpulkan di sini. Pertama, kita harus berpandangan kritis terhadap warisan budaya yang tertumpuk sekian lama dalam relung terdalam kesadaran bangsa kita. Kedua, perlakuan yang sama juga harus kita berikan kepada pola hidup ala Barat.
Dari sini, sebuah formula baru kehidupan harus segera kita wujudkan. Dasarnya adalah bersikap kritis dan seimbang terhadap tradisi maupun modernisasi.
Penulis adalah seorang mullah dan sekaligus intelektual yang cukup terbuka dan moderat. Pada era 1980-an, ia sempat menjabat menteri kebudayaan. Dan ketika artikel ini ditulis untuk harian berbahasa Arab al-Hayat, ia merupakan kandidat terkuat presiden Iran. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 25 Thn. II, 9 Juni 1997/4 Safar 1418 H.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment