>Jumat, 1 Maret 2002
Mengembalikan Kredibilitas Agama-agama
Oleh Masdar Hilmy
KREDIBILITAS agama-agama sedang dipertaruhkan (at stake). Agama tiba-tiba menjadi tidak populer dalam melahirkan resolusi konflik horizontal yang justru ditimbulkan akibat gesekan antaragama. Tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang makin menunjukkan gejala tidak sehat seolah tidak mampu diredam agama. Adakah ini isyarat agama mulai tidak mendapat tempat dalam percaturan kehidupan publik? Tentu saja pertanyaan ini akan menjadi pembenar bagi munculnya hipotesis berikutnya: harmoni peradaban manusia bisa diciptakan zonder agama. Pemikiran semacam inilah yang pernah dilontarkan Karl Marx di tengah krisis kehidupan publik akibat anomali dan penyimpangan yang dilakukan otoritas agama saat itu.
Tampaknya, penampilan agama dalam wilayah publik sedang mengalami episode antiklimaks atau titik nadir di tengah disfungsionalnya peran agama dalam proses penyelesaian berbagai persoalan kemanusiaan. Ia sudah menjadi sebuah ironi: agama yang diturunkan Tuhan untuk menciptakan ketertiban (karena secara harfiah agama berarti a+gama = tidak kacau) dalam kehidupan umat manusia, justru menjadi triggering factor bagi lahirnya kekacauan itu sendiri. Mungkin inilah saatnya untuk merenungkan kembali pemikiran bahwa agama telah mati (di tataran publik), meski dalam kehidupan private, ia masih hidup.
Runtuhnya kredibilitas agama dengan demikian harus dipulihkan, jika tidak ingin menyaksikan agama menjadi pionir terjadinya bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat lagi. Raison d'etre diturunkannya agama yang konon untuk menciptakan ketertiban, perdamaian, dan keharmonisan peradaban umat manusia, harus digali kembali dari sumber-sumber agama yang otentik agar bisa dijadikan pijakan moral bagi kehidupan keberagamaan yang lebih sehat dan manusiawi.
***
HAL pertama yang harus dilakukan dalam mengembalikan kredibilitas agama adalah revitalisasi pemahaman atau cara pandang pemeluk agama terhadap kitab sucinya (the sacred texts). Memang, agama adalah God-made reality, namun pemahaman terhadapnya adalah socially constructed. Dengan demikian konflik antaragama bukan given dari Tuhan, namun hasil rekayasa para pemeluknya demi memenuhi tuntutan truth claim atas ajaran masing-masing.
Pemahaman terhadap teks-teks suci dalam tradisi agama-agama mengikuti pola sentrifugal (menjauhi sentral pusaran) dan sentripetal (mendekatkan pada sentral pusaran) yang saling berganti. Ketika dinamika sentrifugal lebih dominan dalam pemahaman keagamaan, maka yang terjadi adalah anomali dan deviasi. Dalam kondisi ini, kehidupan keagamaan makin menjauh dari semangat teks kitab suci. Jika ini yang terjadi, maka yang dibutuhkan adalah upaya mengembalikan pemahaman keagamaan yang sudah melenceng ke track yang dikehendaki teks suci. Sebab dalam konstruksi teoritis Geertz, kitab suci adalah model atau cermin bagi (model for) kehidupan agama masyarakat, sementara itu kehidupan keagamaan merupakan refleksi dari penerapan pemahaman terhadap kitab suci tersebut (model of) (Geertz, The Interpretation of Cultures, 1973).
Dalam konteks tradisi Islam, pemahaman terminologi "kafir" dalam Al Quran barangkali bisa dicontohkan sebagai pemahaman yang cenderung menunjukkan gejala gerakan sentrifugal. Dalam terminologi agama-agama, kata "kafir" (yang disepadankan dengan istilah nonbelievers) dihadapkan vis a vis kata "muslim" (believers). Namun dalam perjalanan sejarahnya, penggunaan kedua kata ini telah mengalami deviasi sedemikian jauh dengan munculnya gejala pengeksklusifan Islam dari agama-agama di luar dirinya. Pemahamannya sederhana: kafir dimaknai sebagai mereka yang tidak beragama Islam, karena itu harus dicurigai dan-kalau perlu-diperangi. Titik.
Di masa-masa awal kehidupan Nabi, kata ini masih dikonotasikan kepada dua komunitas besar agama: agama ardhi atau buatan manusia (man-made religions) dan agama samawi atau agama yang diwahyukan dari "langit" (God-made religions). Agama-agama yang masuk kategori pertama telah dihancurkan Nabi karena akan menimbulkan perbuatan syirik atau mempersamakan Tuhan (kapital) dengan tuhan-tuhan buatan manusia. Sementara itu, komunitas beragama yang kedua (Yahudi dan Nasrani) tetap dibiarkan Nabi dalam sebuah sistem kehidupan beragama yang saling menghormati antara satu sama lain.
Memang, pergerakan sentrifugal pemahaman atas teks suci pada tingkat tertentu amat diperlukan, demi menjaga relevansi pesan-pesan agama dengan semangat zaman. Namun bila yang terjadi adalah deviasi dan reduksi, maka ia bisa merusak tatanan kehidupan agama itu sendiri. Dalam tingkatan ini, diperlukan upaya penyeimbangan pemahaman melalui gerakan sentripetal dalam bentuk perujukan kembali kepada semangat teks suci dimaksud.
***
HAL kedua, pentradisian dialog agama atau antariman (interfaith dialogue) yang dilakukan bukan saja melalui pendekatan struktural dan kultural, tetapi juga pendekatan akademis. Selama ini, upaya dialog agama hanya ditekankan pada pendekatan struktural-yang melahirkan paradigma Trilogi kerukunan beragama versi Orde Baru dan kultural-yang telah melahirkan budaya Pella Gandong di kalangan masyarakat Maluku (atau Deklarasi Malino?) yang cenderung artifisial. Namun, yang kita saksikan adalah pendekatan struktural dan kultural ternyata belum mampu menopang kehidupan keberagamaan yang pluralistik, inklusif, dan toleran. Keduanya memang berhasil di tingkat kulit luar, terbukti berantakan dalam menghadapi gempuran-gempuran konflik agama yang bertubi-tubi.
Dialog melalui pendekatan akademis berusaha melihat agama-agama bukan dalam perspektif mencari kelemahan-kelemahan, terlebih menjatuhkan martabat agama tertentu. Namun, urgensi pendekatan ini ditujukan untuk mencari pesan-pesan kemanusiaan yang terkandung dalam agama-agama (dalam bahasa Nurcholish Madjid disebut sebagai common platform atau kalimah sawa). Harus diakui, pemahaman keagamaan yang benar masih menjadi fenomena elitis di kalangan intelektual dan akademisi, belum mengakar ke masyarakat awam. Untuk itu, diseminasi dialog agama secara akademis melalui jalur-jalur formal seperti sekolah dan madrasah sudah saatnya dilaksanakan.
Tahap-tahap dialog agama bisa dilakukan melalui model yang pernah yang diusulkan Wilfred Cantwell Smitth berikut: jika dulu kajian agama mengikuti paradigma a "we" talking about a "they", maka tahap selanjutnya adalah "we" talk to "you". Jika dialog semacam ini bisa berjalan secara mutual, maka dialog dilanjutkan dengan paradigma "we" talk with "you". Dalam tataran ini, kulminasi prestasi dialog diukur dengan paradigma "we all" are talking with each other about "us". (Wilfred C Smith, Comparative Religion: Whither -and Why?, 1976).
***
DEKONSTRUKSI pemahaman keagamaan dan dialog agama pada prinsipnya menempatkan agama pada derajat yang selurus dan sebanding dengan prinsip dasar pengembangan nilai-nilai kemanusiaan sejati (true humanity). True humanity dapat dipahami sebagai more radical way of being human, yang tercermin dalam solidaritas kemanusiaan yang melewati batas-batas primordialisme agama-agama.
Menurut Hans Kung, solidaritas kemanusiaan merupakan wujud tertinggi semangat agama-agama, yang di dalamnya mengajarkan orang untuk: (1) tidak hanya meninggalkan perang atas nama agama dan menjalankan kehidupan yang toleran, namun juga mengganti perasaan egoisme kolektif dengan philanthropy, solidaritas cinta antarsesama; (2) tidak menambah beban utang sejarah agama-agama, namun meringankannya dengan saling memberi maaf dan mulai membuka lembaran baru kehidupan umat beragama yang lebih baik; (3) tidak sekadar menghapus eksistensi lembaga dan konstitusi agama (yang sering memisahkan umat manusia), namun merelatifkan mereka sesuai prinsip dasar kemanusiaan yang mulia, dan; (4) membuka rekonsiliasi terus-menerus antarumat beragama. Intinya, standardisasi kesalehan pemeluk agama diukur pada sisi kemanusiaannya; makin manusiawi seseorang, ia makin saleh. Bagi Kung, true humanity is the prerequisite for true religion, dan true religion is the perfecting of true humanity (Hans Kung, Theology for the Third Millenium: An Ecumenical View, 1988).
Dalam formulasi yang hampir sama, Islam memberi tempat yang tinggi pada kebebasan manusia memeluk agama masing-masing. Bahkan, heterogenitas umat manusia sudah disabdakan Allah dalam Al Quran (QS 2: 213). Kepada semua umat manusia telah didatangkan Allah Utusan-Nya, guna mengajari mereka jalan hidup yang benar (QS 16: 36). Karena itu, ada kesatuan asasi antara semua agama yang benar, dan umat semua Nabi itu adalah umat yang tunggal (QS 21: 92 dan 23: 52). Atas dasar ketentuan teks suci ini, menyeret agama-agama ke dalam pusaran konflik horizontal pada dasarnya makin menjauhkan agama-agama dari realitas teksnya.
* Drs Masdar Hilmy MA, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment