Kehidupan Kontemporer dalam Teologi yang Mandul
Oleh Abd A`la
KEKERASAN terjadi di mana-mana. Di tingkat internasional, terorisme mencengkeramkan kuku mautnya di setiap belahan Bumi. Amerika Serikat (AS) yang dianggap negara adidaya dengan kemampuan teknologi canggih, harus kecolongan dan menjadi bulan-bulanan "kecerdikan" kaum teroris. AS pun berang. Bersama sekutunya dari negara-negara maju yang "beradab", AS menyerang Afganistan yang dianggap telah melindungi gerakan terorisme. Rakyat Afganistan yang tidak berdusta mengerang, terhempas dalam penderitaan.
Di tingkat nasional (Indonesia), kekerasan terus merebak dan tidak mau berhenti. Ledakan bom misalnya, terjadi berulang kali dari saat ke saat. Gedung Atrium Senin di Ibu Kota, tiga kali menjadi sasaran. Begitu pula tawuran massa antarkampung dan sebagainya menjadi "tontonan" yang mudah didapat di berbagai tempat. Belum lagi unjuk rasa yang sering berujung kerusuhan, perusakan, dan kekerasan yang dilakukan para pengunjuk rasa, atau "oknum" polisi/militer yang awalnya hadir sebagai pengaman jalannya demonstrasi. Pada tataran lebih substantif-ideologis, Aceh terus bergolak. Dari bulan ke bulan, korban dari kalangan masyarakat terus berjatuhan.
Berbagai kekerasan hanya secuil contoh dari seabreg kekerasan yang ada di sekitar kita. Contoh ini diangkat hanya untuk menunjukkan betapa kekerasan telah melekat pada kehidupan umat manusia. Bahkan bagi sebagian orang atau kelompok, kekerasan sudah dijadikan semacam "budaya". Mereka "menyelesaikan" hampir semua persoalan yang dihadapi dengan cara kekerasan. Ironisnya, kebiadaban justru berlangsung di tengah-tengah kehidupan umat manusia yang sedang dalam perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kenyataan itu menunjukkan, betapa humanitarianisme serta agama sebagai sumber nilai tidak berperan nyata dalam mengantar umat manusia menuju kehidupan yang lebih sejahtera, tenang, dan penuh kedamaian. Agama lalu menjadi sekadar simbol yang penuh ritual-ritual formal yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan kehidupan nyata. Nilai-nilai yang ada di balik ibadah tidak disentuh secara serius untuk diaplikasi secara utuh dalam hidup keseharian umat. Tillich dengan telak menyindir kenyataan itu. Ia menyatakan (sebagaimana ditulis Henderson Jr), gereja (agama) telah kehilangan fungsi karena nilai-nilainya tidak mampu lagi menyentuh kehidupan nyata. Kata-kata orang saleh, khotbah dan doa diucapkan berulang kali tanpa makna sedikit pun, dan ungkapan para teolog tidak lagi memiliki hubungan dengan keinginan aktual masyarakat.
Fenemona seperti itu nyaris tidak banyak berbeda dalam dunia Islam. Khotbah Rasulullah (SAW) pada haji wada` (haji terakhir Nabi) tentang kesamaan umat manusia dan ketidakbolehan manusia melakukan kekerasan terhadap manusia yang lain, tidak pernah diwujudkan secara konkret dalam kehidupan umat Islam saat ini. Setiap tahun berjuta-juta umat Islam melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, namun kekerasan dan semacamnya terus terjadi, baik antarsesama Muslim maupun antara umat Islam dengan umat yang lain.
***
SALAH satu faktor ketidakmampuan agama dalam memberi landasan bagi penciptaan kehidupan yang damai dan sejahtera terletak pada mandulnya teologi dalam menangkap perkembangan realitas kehidupan. Teologi yang berkembang saat ini masih didominasi defensif teologia yang theistic-oriented dan amat kental dengan karakter eksklusif. Teologi semacam itu menitikiberatkan bahasannya pada upaya dan cara memperkokoh keimanan transenden semata, sehingga nilai-nilai imanen yang terkandung pada aspek akidah dan ibadah dibiarkan terbengkalai. Maka, keimanan yang dikembangkan dalam konstruk teologi itu tidak mampu menjadi world view yang berfungsi sebagai landasan etika-moral bagi kehidupan umat manusia.
Dalam kondisi seperti itu, seseorang atau sejumlah penganut agama bisa saja hidup dalam simbol-simbol yang penuh agama, tetapi sikap dan perilaku mereka sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai substantif agama. AS dapat saja mengklaim diri dengan semboyan In God We Trust. Begitu pula umat Islam Indonesia dapat mengklaim sebagai bangsa yang religius, sebagaimana kelompok Wahabi di Arab mengaku sebagai umat Islam dengan kepenganutan yang murni dan genuine. Namun, di tingkat praksis, mereka mungkin saja melakukan suatu tindakan yang bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan nilai dan ajaran agama mereka sendiri. Dari belahan dunia paling barat ke belahan paling timur, kekerasan, tindakan anarkis, pembunuhan, serta penindasan dalam beragam bentuk dan cara terus berlanjut. Semua itu dilakukan justru oleh orang, kelompok, atau bangsa yang mengaku diri sebagai manusia beragama. Hal itu terjadi karena teologi tak lebih dari sekadar intellectual exercise yang mementingkan aspek retorik semata. Akibatnya teologi tidak pernah membumi dalam kehidupan nyata yang dialami umat manusia.
Bahkan lebih jauh lagi, teologi defensif membuat para penganut agama terjebak dalam klaim kebenaran sepihak. Mereka menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar dan baik, sedangkan orang dan kelompok lain adalah salah, bid`ah, dan sesat. Pada saat yang sama, mereka melakukan kekerasan terhadap orang dan kelompok lain dengan menggunakan dalil-dalil agama. Agama yang sebenarnya diturunkan untuk menciptakan kesejukan, direduksi menjadi berwajah angker dan menyeramkan. Pada sisi itu, "agama" nyaris identik dengan alat legitimasi untuk melakukan kekerasan atau bahkan pembunuhan terhadap orang, kelompok agama, atau aliran lain.
Itulah realitas hidup kekinian. Agama memang tidak mati, namun nilai-nilainya kian menyusut menjadi sesuatu yang mati. Agama memetamorfosis sebagai boneka pajangan dalam sebuah etalase yang tidak pernah tersentuh dan tidak boleh dijamah tangan-tangan manusia.
***
BERANGKAT dari kenyataan itu, kita, umat manusia dewasa ini memerlukan suatu teologi kontekstual yang benar-benar membumi. Dalam perspektif Islam, sebagaimana dinyatakan Falur Rahman (1982: 155), teologi sebagai intellectual endeavor harus mampu memberi ungkapan yang koheren dan keyakinan terhadap (dan sesuai dengan) (keseluruhan) apa yang ada dalam Al Quran sehingga orang yang beriman atau yang cenderung beriman dapat menyetujuinya dengan pikiran dan hatinya, serta menjadikannya sebagai world view yang dibuat tempat berlabuh bagi mental dan spiritualnya. Alhasil, nilai-nilai monoteisme Al Quran misalnya, akan terkait erat dengan upaya pembebasan manusia dari ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan.
Dalam bahasa yang lain, teologi hendaknya mampu membaca tanda-tanda zaman. Artinya, seperti sudut pandang Dick Hartoko (w 2001) yang Kristiani, gereja tidak boleh terasing dari dunia. Untuk itu gereja perlu memperhatikan tanda-tanda zaman, yaitu fenomena-fenomena yang begitu umum dan acap kali terjadi sehingga dapat menjadi karakteristik untuk zaman sekarang dan menandakan kebutuhan dan harapan umat manusia pada zaman ini (lihat Sindhunata, 2001: 3). Dari itu, saat kekerasan menjadi fenomena, teologi hendaknya memiliki kepedulian tinggi untuk menyelesaikan persoalan itu dan akar-akar yang menimbulkannya.
Atas dasar itu, teologi dituntut menjadi upaya pemahaman umat manusia terhadap ajaran dasar agama masing-masing, dan menangkap nilai-nilainya yang substantif dengan mengaitkannya dengan konteks kekinian. Upaya itu dikembangkan sebagai landasan yang kokoh bagi keseluruhan sikap dan perilaku mereka. Dengan demikian, kita memerlukan suatu reformulasi dan pengembangan lebih jauh dari teologi yang berkembang saat ini. Sebagai prinsip dasar, teologi tentu harus dapat memberi keteduhan iman bagi pemeluknya. Namun, pada saat yang sama, teologi hendaknya mampu memberi gambaran tentang nilai-nilai kesamaan dan perbedaan pada tiap-tiap agama, sekaligus meletakkan kesamaan dan perbedaan itu sebagai landasan untuk melakukan kerja sama di antara semua penganut agama tanpa harus kehilangan identitas dan jati diri masing-masing. Pengembangan kerja sama itu diarahkan kepada pembebasan umat manusia dari segala nilai, sikap, dan perbuatan yang dehumanistik, serta menggantikannya dengan nilai-nilai yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakasih, adil, penuh rahmat, dan seumpamanya.
Pengembangan teologi itu meniscayakan rekonstruksi pendidikan agama di berbagai tingkat dan kebijakan implementasinya yang harus diletakkan pada tahapan-tahapan yang jelas serta orientasi ke depan yang akurat. Melalui rekonstruksi yang menyeluruh itu, teologi diharapkan dapat memberi keimanan yang kokoh pada umatnya, sekaligus kesejukan dan kedamaian kepada seluruh manusia. Pada gilirannya, manusia tidak lagi menjadi budak-budak sains dan teknologi, di mana tanpa pijakan etika-moral dan nilai agama yang substansial, hasil peradaban manusia justru akan menjadi bumerang yang akan mengantarkan mereka kepada jurang kehancuran. Misalnya saja, dengan kecanggihan teknologi atau atas nama agama, mereka akan saling membantai dan membunuh satu dengan yang lain.
* Abd A`la, pemerhati sosial-keagamaan, staf pengajar program pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, pengasuh Ponpes Annuqayah Latee, Sumenep.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment