Air Dikuasai Asing, Aroma Uang Merebak
SEKITAR dua puluh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dua puluh orang pemerintah menghabiskan miliaran rupiah menginap di hotel mewah untuk menuntaskan Undang-Undang Sumber daya Air (RUU SDA). Ditambah lagi biaya studi banding ke Jepang dan Thailand 'mempelajari' soal pengelolaan air. Sponsornya Bank Dunia.
RUU yang terkait pada kehidupan semua masyarakat Indonesia itu terdiri dari 18 bab dan 96 pasal, dan diajukan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil). Namun, tidak berjalan mulus. Protes datang dari kalangan pemerhati lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pangkal masalah, berkaitan dengan Pasal yang mengatur air sebagai sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Soal pembahasan RUU itu sudah hampir rampung meskipun masih menyisakan beberapa persoalan. Tersiar kabar rapat Badan Musyawarah (Bamus} DPR yang akan menyempurnakan isi RUU dipercepat. Semula RUU ini akan diajukan ke Bamus pada 19 Desember 2003, tetapi dipercepat jadi 16 Desember.
Entah kenapa harus dikebut dan harus rapat di Hotel Imperial, Lippo Karawaci, Tangerang, dari 9 sampai 15 September 2003 oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi IV DPR RI. Apakah di DPR sudah tidak nyaman untuk bekerja? Segudang pertanyaan bisa diajukan, termasuk yang beraroma uang.
Dalam penelusuran, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2003 tercantum pengeluaran di sektor pertanian sebesar Rp34,1 miliar. Menurut sumber Media di Bappenas sebagian dana tersebut digunakan untuk memuluskan proses pengajuan RUU SDA. Cepatnya proses kesepakatan RUU SDA yang dicapai anggota dewan menimbulkan kecurigaan. Masih menurut sumber yang sama, dikatakan Panja DPR menerima insentif sebesar Rp8-10 miliar dari Depkimpraswil. Namun, hal ini dibantah oleh anggota dewan (Media, 8/12).
Sumber Media mengatakan dana sebesar Rp8 miliar itu diduga sebagian digunakan untuk menyusun RUU SDA di Hotel Imperial, yang bertarif sekitar Rp500 ribu semalam. Selain itu wakil dari pemerintah masih memperoleh uang saku masing-masing sebesar Rp200 ribu per hari. Sedangkan untuk anggota dewan, kata Sumber itu, kemungkinan lebih besar lagi.
Biaya lain dikeluarkan untuk rapat kerja di Bidakara dan studi banding ke Jepang dan Thailand. Menurut sumber itu masing-masing anggota DPR masih menerima tambahan sekitar 25 juta per orang. Hal ini semakin menguatkan dugaan adanya aroma uang di balik perancangan UU ini.
Pasal yang mengatur perdagangan air terdapat pada Pasal 6, 7, 8, dan 9. Pasal 9 ayat 1 menyatakan, ''Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya.
Direktur Eksekutif Indonesian Forum on Globalization (Infog) Nila Ardhianie mengatakan pasal-pasal tersebut memberikan peluang bagi swasta untuk menguasai air dan mengakibatkan masyarakat yang tidak mampu bakal kesulitan memperoleh air bersih di masa-masa mendatang.
Kekhawatiran yang sama juga diungkapkan oleh Dosen Fakultas Teknik UGM Budi Wignyosukarto. "Bagaimana kalau ternyata kebutuhan masyarakat dikalahkan oleh swasta sebagai pemilik modal? Mereka lebih kuat daripada petani,'' katanya.
Pertentangan antara yang pro dan kontra dengan RUU SDA semakin meruncing seiring dengan adanya kabar RUU SDA merupakan titipan dari Bank Dunia. Latar belakang aroma tidak sedap itu muncul ketika bangsa ini terpuruk akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang menerpa pada tahun 1997. Akibat terdesak untuk menutupi defisit Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah Indonesia mengajukan pinjaman cepat kepada Bank Dunia. Bank Dunia menyetujui permohonan pemerintah Indonesia melalui penyaluran bantuan program senilai US$300 juta yang dicairkan dalam tiga tahap dengan sejumlah syarat.
Masa jatuh tempo utang itu selama 40 tahun yang 10 tahun pertama pemerintah Indonesia wajib melunasi bunga pinjaman. Sedangkan 30 tahun berikutnya, pemerintah Indonesia diwajibkan melunasi pokok utang dan bunga.
Salah satu persyaratan yang diajukan lembaga donor itu adalah perubahan struktural dalam sektor air (structural adjustment loan) atau lebih dikenal dengan watsal, yang merupakan embrio lahirnya RUU kontroversial itu.
Persyaratan itu tertuang dalam surat bernomor 2565/MK/4/1999 tanggal 21 April 1999 yang ditandatangani oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Boediono kepada Presiden Bank Dunia, James D. Wolfensohn. Surat itu merupakan jawaban pemerintah RI atas persyaratan yang diminta lembaga donor tersebut.
Kalimat pertama berbunyi, ''Surat kebijakan sektor ini diajukan guna menunjang usulan pemerintah kepada Bank Dunia dalam rangka pinjaman untuk Penyesuaian kebijakan sektor Pengairan di Sektor Air (Water Resources Sector Adjustment Loan/watsal)....''
Dalam matriks reformasi kebijakan SDA dan irigasi itu disebutkan tentang perubahan UU No 11/1974 dan revisi PP pendukung mencakup berbagai hal tentang peraturan pemerintah (PP). Matriks reformasi ini menjadi landasan lahirnya RUU SDA sebagai syarat pencairan pinjaman tahap ketiga sebesar US$150 juta.
Namun begitu, dalam RUU SDA disebutkan pelaksanaan konstruksi dan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi dilakukan oleh pemerintah/Depkimpraswil (Pasal 76 ayat 3), padahal lembaga donor menginginkan peran petani seluas-luasnya dalam pengaturan irigasi.
Seperti dikatakan oleh Kepala Sub-Direktorat Irigasi Bappenas, Budhi Santoso kemungkinan besar pinjaman tahap ketiga dari Bank Dunia sebesar US$150 juta tidak akan dicairkan karena perbedaan itu. (LG\T-2)
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment