iqro: Mencari Pemikiran Alternatif yang Hilang dalam Sebuah Teks
AKHIR-akhir ini pemikiran Islam Timur Tengah semakin memperlihatkan geliatnya. Hal ini ditandai dengan maraknya buku terjemahan karya ilmuwan dan pemikir Semenanjung Arab yang menghiasi rak-rak toko buku di Tanah Air, pun membludak sampai pada pedagang kaki lima.
Ini tentu menggembirakan karena menambah semarak wacana keislaman di Tanah Air tercinta ini. Membanjirnya pemikiran Islam karya asli pemikir daratan Arab itu tidak terlepas dari jasa para mahasiswa atau alumni universitas Timur Tengah asal Indonesia yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran genial para pemikir 'Tanah Asli' Islam.
Hasan Hanafi, Mahmud Muhammad Thaha, Muhmmad Abed Al Jabiri, Ali Harb, termasuk di dalamnya Muhammed Arkoun, meskipun ia berdiam di Prancis jasanya cukup besar terhadap dunia pemikiran Islam. Tentu saja masing-masing cendekia itu menampilkan dan menghasilkan karya dengan ciri khas pemikirannya masing-masing.
Buku yang sekarang ada di hadapan pembaca adalah salah satu buah karya pemikir asal Lebanon Ali Harb yang berjudul Hermeneutika Kebenaran dan diterbitkan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKis), Yogyakarta. Mungkin LKis-lah yang paling getol memublikasikan percikan-percikan pemikiran Islam asal Timur Tengah dibanding penerbit lain di Indonesia.
Pada intinya gagasan pemikiran mereka tidak terlepas dari upaya gugatan (dekonstruksi dan rekonstruksi) atas kemapanan penafsiran terhadap Alquran dan hadis oleh mufasir Islam klasik.
Sebab, saat ini bisa disebut makna dari 'pembaruan' telah mengalami pergeseran. Jika dahulu 'pembaruan' berarti 'pemurnian' atau kembali ke Alquran-hadis sebagai teks zhahir dan menolak kitab-kitab lama, maka pembaruan seperti ini mengarah pada citra Islam eksklusif, karena Islam dianggap tunggal.
Sementara itu makna 'pembaruan' yang dilakukan saat ini cenderung mengarah pada penghancuran (dekonstruksi) dari 'pembaruan' yang menghasilakan Islam yang tunggal. Dalam pembaruan model terkini menggeser dari zhahir teks ke ide dasar teks dengan memanfaatkan tradisi-tradisi yang ada untuk menemukan Islam yang terbuka, kritis, dan universal. Islam yang tidak tunduk pada sejarah, namun Islam yang menciptakan sejarah.
o0o
Kebenaran sering kali terkubur dalam level-level wacana dan strukturnya atau oleh pembacaan dalam keterdiaman pembicaraan. Di situlah pentingnya strategi tiga dimensi (istiratijiyyah mutsallatsah) dalam membaca teks, yaitu pembacaan yang melibatkan tafsir, takwil, dan dekonstruksi secara bersamaan.
Menafsirkan ulang atau mencari pemahaman baru yang lain menunjukkan dinamika dalam berpikir. Pada sisi lain, membaca kembali sesuatu yang dianggap sudah mapan merupakan watak asasi Islam. Yakni, tidak mengenal kata selesai dalam satu persoalan kemanusiaan. Harus ada upaya memperbarui dan memberi penafsiran alternatif lain. Dengan demikian, pembacaan kembali, mencari pemahaman, atau mencari penafsirkan dari suatu teks, misalnya, dalam tradisi pemikiran Islam disebut ijtihad.
Mengutip definisi pujangga muslim terbesar Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa ijtihad adalah prinsip gerak dalam Islam. Tanpa ijtihad tidak ada perubahan dalam aspek apa pun.
Hanya dengan ijtihadlah umat Islam bisa menemukan kembali makna asasinya sebagai umat terbaik. Makanya, Islam sholih li kulli zaman wa makan hanya bisa dipertahankan jika ada pembacaan kembali, penafsiran ulang, dan mencari alternatif lain dari satu teks sucinya (Alquran-hadis).
Melupakan ijthad berarti umat Islam siap berada dan menuju era keterpurukan seperti tujuh abad yang silam. Terlepas dari benar dan salah hasilnya, ijtihad memiliki posisi tersendiri dalam ajaran Islam.
Semangat inilah yang harus dipelihara, dipertahankan, bahkan ditingkatkan oleh siapa pun yang mengaku umat Muhammad saw. Tanpa semangat ijtihad, Islam hanya tinggal sejarah, bukan menyejarah.
Cita-cita membuat Islam menyejarah inilah yang menjadi obsesi pengarang buku ini. Melalui metode hermeneutika (takwil) yang dibumbui khazanah Prancis, dicoba menemukan Islam yang generik.
Lewat proyeknya 'Teks dan Kebenaran' (An-Nashsh wa al-Haqiqah), Ali Harb memahami teks sebagai simbol. Apa pun yang bernama simbol tidak bisa mengabstraksikan realitas secara sempurna.
Dari sinilah kemudian Ali Harb menyimpulkan, 'kebenaran' adalah 'kebenaran minimal'. Tidak ada 'kebenaran maksimal' dalam setiap pemahaman terhadap teks (termasuk wahyu Tuhan). Sebab, yang namanya 'kebenaran' berbeda dengan (al-haqiqah) berbeda dengan 'Yang Benar' (al-Haqq) sebagai esensi, 'Yang Mutlak' dan 'Yang Gaib'.
Inilah kata kunci (key word) untuk memahami pemikiran dan ide dasar Ali Harb. Dalam konteks pemahaman atas 'yang benar' itulah, setiap pemahaman, termasuk yang zhahir sekalipun, tetap menggunakan rasionalitas yang bersembunyi di balik justifikasi teks.
Dengan dasar inilah, Ali Harb memaknai ulang 'kebenaran' yang terkandung dalam beragam terminologi atau teks yang dianggap mapan. Makanya, Ali Harb mencoba mengupas ulang mulai arti tasawuf, Islam, negara, masyarakat, nalar, peradaban, manusia, kebiadaban, sampai pada modernitas. Dudi Sabil Iskandar/P-6.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment