Religious Literacy" dan Tantangan Pluralisme Agama
Oleh Aloys Budi Purnomo
KITA hidup dalam pluralisme agama. Suka atau tidak, realitas pluralistik menjadi wahana dan wacana bagi kehidupan keberagamaan kita. Belajar dari Agama Islam, realitas pluralistik ini, secara relevatif dinyatakan dalam Al Quran, "Kami telah menciptakan kamu semua dari satu pria dan satu wanita, dan menjadikan kamu pelbagai bangsa dan suku, supaya kamu saling mengenal." Realitas yang sama juga ditegaskan Al Quran, "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (Al Kafirun, Ayat 6). Secara hermeneutik, perwahyuan ayat suci Al Quran itu bukan saja menunjukkan realitas pluralistik, tetapi juga memberi perspektif bagi pengenalan unsur-unsur pluralisme.
Satu tantangan terpenting dari kehidupan pluralisme agama untuk saling mengenal satu terhadap yang lain adalah mengembangkan religious literacy. Yang dimaksud religious literacy adalah sikap terbuka terhadap dan mengenal nilai-nilai dalam agama lain. Singkatnya, religious literacy adalah sikap "melek agama lain". Dengan "melek agama lain", orang bisa sungguh saling mengenal, saling menghormati dan menghargai, saling bergandengan, saling mengembangkan dan memperkaya kehidupan dalam sebuah persaudaraan sejati antarumat beragama, apa pun agamanya.
***
PENGEMBANGAN sikap religious literacy dapat diparalelkan dengan jagat pendidikan kita. Dalam jagat pendidikan di segala penjuru Tanah Air, kita berusaha memberantas buta aksara. Kita mengajak masyarakat melek aksara, sehingga mereka mampu menulis dan membaca. Kiranya, selain mendobrak situasi masyarakat yang buta aksara, kita pun ditantang untuk mengembangkan sikap religious literacy sebagai bentuk pembongkaran atas situasi masyarakat yang "buta agama lain".
Benar dan tepat, pendidikan bermutu mengantar manusia untuk beragama secara terbuka pula. Maka dalam menyelenggarakan pendidikan hendaknya anak-anak Indonesia dapat menjadi "melek agama lain" (religious literacy), karena bila pelajaran baca tulis di sekolah dapat menyelamatkan bangsa dari buta huruf, pendidikan agama dapat mengantar bangsa kita untuk tidak menjadi "buta agama lain", sehingga cenderung menjadi tertutup-fanatik, serta mudah dipecah-pecah, diadu-domba dan saling dipertentangkan (Dokpen KWI, Spektrum XXVIII No 4, 2000: 101).
Saya bersyukur, tahun 1996 berkesempatan mengikuti Islamic Studies bersama Bapak Haji Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam rangka studi Magister Teologi Kontekstual di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, saya boleh mengembangkan religious literacy. Dan sebagai pastor Katolik, saya menjadi "melek agama Islam". Paling tidak, saya bisa mengerti dan memahami pilar-pilar agama Islam sebagai living traditions yang memperkaya hidup saya; sehingga saya tidak "kikuk" berjumpa dengan kaum Muslim.
Kini, mata batin saya menjadi lebih jernih memandang dan memahami Islam sebagai penyerahan dan pasrah-diri kepada Allah dalam ketulusan dan kesungguhan. Dengan demikian, saya menjadi semakin Katolik, dalam perjumpaan dengan saudara-saudari Muslim yang semakin Islam. Pada dataran itu, lantas kita bisa menjadi sama-sama beriman kepada Allah Yang Esa dalam keunikan masing-masing yang saling memperkaya. Kedalaman iman, baik sebagai Muslim maupun sebagai orang Katolik, lantas menumbuhkan perasaan yang sama dalam berhadapan dengan kompleksitas dunia dan berbagai masalah yang membelenggunya. Sebagaimana direnungkan oleh Mahmoud M Ayoub, bila masing-masing umat beragama miliki religious literacy, kaum Muslim dan Katolik (juga agama-agama lain) dapat berkata, We are together as strangers in faith, in a world that is dominated by materialism, and by disunity and faith (Mahmoud M Ayoub, Harmony: Lived, Experienced, Needed, Focus Vol 20, No 1, 2000:33).
***
SIKAP "melek agama lain" pada gilirannya diharapkan dapat membuat setiap umat beragama semakin sadar akan identitas keagamaan dan keimanannya dalam semangat keterbukaan, penghargaan, dan penghormatan agama serta iman orang lain. Dalam konteks hidup bernegara dan berbangsa di Indonesia, sikap "melek agama lain" akan membuat setiap penganut agama dapat menghayati dan mengalami isi undang-undang negara kita yang menyatakan bahwa di negeri ini, orang memiliki kebebasan beragama. Bebas beragama berarti bebas, baik dalam memiliki termasuk pindah dari satu agama ke agama lain sesuai dengan kebenaran dan keyakinan yang ditemukannya.
Sikap "melek agama lain" juga membuat kita dibebaskan dari sikap dan tingkah laku curiga penuh prasangka di antara umat beragama. Para pemimpin agama pun lantas dapat berkhotbah dalam kesejukan dan keselarasan yang tidak menyerang dan menjelek-jelekkan agama lain. Para elite politik terbebaskan dari kecenderungan membuat agama sebagai alat politik demi kepentingan sesaat yang tidak adil. Umat beragama terbebaskan dari pandangan yang sempit, fanatisme eksklusif-kaku mengenai hidup berbangsa dan bernegara. Masyarakat pun terbebaskan dari penciptaan konflik yang memecah belah dan disintegrasi yang sewaktu-waktu dapat mengancam bangsa dan negeri tercinta ini.
Itulah implementasi praktis sikap "melek agama lain". Puncak dari sikap "melek agama lain" adalah inklusivitas dalam perspektif pluralistik terhadap agama-agama: "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku!" Kalau semua umat beragama bisa menghayati sikap ini secara tepat-benar, niscaya, tidak akan ada lagi sikap saling bermusuhan, saling membenci, saling menjelek-jelekkan, saling curiga dan sengketa; tidak ada lagi segala bentuk fitnah yang saling merugikan tata hidup bersama.
Dalam paradigma holistik, religious literacy akan memberi ruang bagi terciptanya suatu dialog dan kerja sama antarumat beragama. Dalam dialog dan kerja sama antarumat beragama itu, setiap umat beriman dapat secara jujur dan terbuka menawarkan kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kedamaian satu terhadap yang lain, bukan untuk saling merekrut dan mempengaruhi; melainkan untuk memperdalam penghayatan iman dan agamanya sendiri demi kesejehateraan dan persaudaraan sejati. Berkat religious literacy, antarumat beragama dapat hidup dalam simbiosis mutualis sekaligus menghimpun sinergi untuk memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian.
Pada gilirannya nanti, ketika religious literacy terjadi, antarumat beragama akan semakin menyadari kebenaran ungkapan yang ditegaskan oleh Raimundo Pannikar (1987), To be religious today is to be intrareligious. Religiusitas umat beragama sungguh ditentukan oleh kemampuannya mengembangkan sikap "melek agama lain". Tentu saja, kalau orang "melek agama lain" tidak berarti lantas menjadi pluralis indeferentis, bersikap seolah-olah semua agama sama saja, tidak! Sebaliknya, antarumat beragama akan semakin yakin pada kebenaran iman dan agamanya, dan rela untuk saling memperkaya dan bersikap toleran. Ketika antarumat beragama mampu bersikap saling toleran satu terhadap yang lain, di sanalah religious literacy mewujud sebagai gerbang menuju pengenalan, penerimaan, dan pencerahan bagi umat manusia perindu damai.
* Aloys Budi Purnomo, Pr, Rohaniwan, Rektor Seminari Tinggi St Petrus, Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment