Tuesday, March 31, 2009

Hair Splitting Politics

Menyambut MLB PKB di Yogyakarta
"Hair Splitting Politics"

Oleh Ulil Abshar-Abdalla
TAK usah diingkari, sebagian energi yang menghidupi partai-partai politik yang ada kini berasal dari kultur aliran yang sudah berkembang lama. Tentu telah terjadi perkembangan baru yang signifikan dalam perilaku politik generasi belakangan yang tidak semata-mata "didikte" sentimen aliran lama. Lapisan konstituen baru yang sudah tercerabut dari pola aliran lama telah muncul, dan prilaku politik yang didasari pertimbangan-pertimbangan empiris dan rasional mulai terlihat. Tetapi jelas ini adalah lapisan tipis yang kurang begitu berarti ketimbang lapisan lain yang lebih tebal, di mana ciri-ciri aliranisme masih cukup kuat. Maka, kita bisa melihat, partai-partai Islam yang ada kini, langsung atau tidak, berkait dengan pola aliran lama yang pernah dikemukakan Geertz beberapa puluh tahun lalu.

Yang menjadi masalah kini, mengapa sentimen aliran lama tidak lagi memadai untuk menjadi "semen" pengikat, meski dalam retorika elite-elite partai Islam yang ada, sentimen itu masih terus dicoba digunakan? Mengapa kultur kesantrian yang berkembang dalam NU tak cukup kuat mencegah munculnya "fragmentasi kepartaian" dalam ormas itu? Mengapa harus ada empat partai yang lahir dari "perut" NU, dan dari satu partai membelah diri ke dalam dua partai? Mengapa tidak satu partai saja? Mengapa PKB yang merupakan wakil paling kuat sentimen kesantrian, tidak cukup memadai untuk mencegah fragmentasi dalam dirinya? Mengapa harus ada PKB versi Alwi Shihab dan Matori Abdul Jalil? Mengapa Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, harus menyerah dan gagal mendamaikan dua kubu yang hendak menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB) dalam waktu hampir bersamaan? Mengapa seperti ada gejala "politik pembelahan rambut", hair splitting politics? Maksudnya: gejala politik di mana suatu kekuatan sosial dan politik terus mengalami fragmetasi dalam tubuhnya sendiri, sehingga mengalami kelumpuhan. Jangan lupa, gejala ini juga ada pada partai-partai Islam lain, seperti PBB dan PPP, misalnya.

Untuk sementara dapat dikatakan, meski pola aliran lama masih mencirikan perilaku politik konstituen santri, namun harus diakui, sentimen aliran juga mulai menampakkan gejala kepudaran, atau sekurangnya mulai kehilangan kekuatannya sebagai daya pengikat para elitenya. Meski Matori Abdul Jalil pernah menjadi "santri taat" KH Abdurrahman Wahid dan kiai-kiai sepuh lain, faktanya tetap memperlihatkan, hubungan "santri-kiai" yang menjadi dasar penting kultur kesantrian NU tidak bisa mendesak Matori Abdul Jalil maupun Alwi Shihab untuk rujuk. Dalam hal ini, kita bisa mengajukan suatu pertanyaan: apakah gejala dalam PKB ini merupakan contoh lain yang sudah umum di mana-mana, di mana "tradisi" yang menjadi dasar pengelolaan kehidupan bersama selama ini sudah kehilangan daya untuk mengikat para penyokongnya? Apakah ada paralelisme antara kasus PKB dengan, misalnya, ketidakmampuan tradisi pela untuk menjadi dasar rekonsiliasi di Maluku? Bila ya, kemana dasar-dasar rekonsiliasi atau islah yang baru ditemukan? Adakah alteratif lain bagi tradisi yang selama ini dianggap efektif itu?

Agaknya ada sejumlah perkembangan dalam tubuh NU yang luput dari pandangan banyak orang, baik dalam tubuh ormas itu sendiri atau orang-orang di luarnya. Harus diakui, sejak satu dekade terakhir ini, telah terjadi "ledakan" signifikan kaum terdidik dalam NU. Jumlah kalangan elite yang memperoleh pendidikan tinggi kian banyak. Data pasti statistik mengenai hal ini sulit diperoleh, tetapi berdasar pengamatan atas dinamik yang berlangsung dalam tubuh ormas, selama ini terlihat mencolok, lapisan "elite" terdidik kian menunjukkan lonjakan jumlah berarti. Terlihat maraknya NGO-NGO yang dikelola tenaga-tenaga yang langsung atau tidak berkaitan dengan kultur santri NU. Sejumlah lembaga baru juga muncul dan menjadi semacam out let bagi elite terdidik yang makin banyak jumlahnya.

Melonjaknya elite terdidik tidak saja merupakan "berkah" bagi NU, tetapi juga menyebabkan timbulnya sejumlah masalah dan PR bagi ormas itu. Elite terdidik adalah lapisan sosial yang paling sadar akan pentingnya "ruang sosial", tempat mereka dapat menemukan peran yang sesuai. Pertambahan jumlah elite terdidik mengandaikan pula perlunya pemekaran "ruang sosial". Jika perbandingan itu tidak imbang-jumlah elite tidak diimbangi mekarnya ruang sosial yang sepadan-maka yang terjadi adalah meningginya dinamik, bahkan konflik, dalam ruang itu. Ini lumrah terjadi. Pada titik tertentu akan dicapai suatu "titik ledak" di mana ruang sosial dengan segala tradisi yang menyangganya tidak lagi mampu memikul beban "suhu" yang kian memanas. Di situlah kita menyaksikan peristiwa semacam yang ada di Maluku. Apakah kita bisa mengatakan, dalam NU gejala semacam itu telah terjadi? Saya khawatir, NU sudah mendekati gejala itu.

***

SAAT ini kita melihat wajah-wajah politisi baru yang lahir dari NU. Tidak semuanya dapat dikatakan sebagai politisi yang baik menurut standar yang kita miliki kini (adakah standar itu?). Tetapi satu hal pasti, jumlah kaum terdidik yang "antre" masuk jalur partai bertambah banyak. Wajah-wajah politisi NU yang kita saksikan kini jelas hanya a tip of iceberg. Di belakang mereka, berderet sejumlah kandidat lain yang banyak jumlahnya. Satu gejala yang cukup menggembirakan, sebagian besar wajah-wajah baru itu adalah lapisan politisi dengan kombinasi sosialisasi yang kian beragam, sekurangnya tidak melulu politisi yang mengalami sosialisasi dalam lembaga pendidikan pesantren. Sebagian besar dari mereka adalah sarjana S1 (beberapa di antaranya sudah S2 dan S3) dengan latar disiplin keilmuan yang kian majemuk. Tentu, pendidikan S1 tidak dengan sendirinya menjamin seseorang akan menjadi politisi yang baik. Tetapi, harus tetap dicatat, latar pendidikan yang makin heterogen tentu akan mempengaruhi corak dinamik dalam tubuh NU dan seberapa besar ruang sosial yang dibutuhkan untuk mewadahi dinamik itu.

Dalam observasi yang harus saya akui kurang mendalam, dapat dikatakan, ada semecam "neraca yang timpang" antara pertambahan jumlah elite terdidik dalam NU dengan ruang sosial yang mewadahinya. Gejala ini lalu menimbulkan dua gejala lain yang saling berkaitan. Pertama adalah munculnya kelompok-kelompok yang ingin saya sebut sebagai "NU pinggiran" yang terlihat dalam gejala maraknya sejumlah lembaga-lembaga nirlaba dan NGO yang dikelola anak-anak NU. Kelompok-kelompok ini mengembangkan tradisi kesantrian yang makin beragam, serta orientasi intelektual yang kritis terhadap tradisi kesantrian yang berkembang dalam induknya sendiri. Kedua, munculnya gejala politik "pembelahan rambut" (hair splitting politics) yang terlihat dalam fragmentasi kepartaian di tubuh NU. Kedua gejala ini mengindikasikan, ruang sosial yang tersedia dalam NU tidak mekar dan berkembang sesuai pertambahan jumlah elite yang ada. Pola yang kelihatan menonjol adalah proliferasi kaum elite terdidik itu tidak diserap secara gradual "ke dalam", te-tapi justru "meledak" dan membuncah keluar dari tubuh NU itu sendiri. Karisma para kiai sepuh yang menjadi andalan selama ini untuk penyelesaian sejumlah masalah sudah tidak cukup ampuh lagi untuk menahan gejala ini.

Dalam hubungan ini harus disebut Abdurrahman Wahid sebagai figur amat dominan. Paradoks yang terjadi dalam tubuh NU adalah munculnya gejala saling berlawanan. Saat gejala pertambahan elite terdidik itu terjadi begitu cepat, justru gejala lain berlangsung, yaitu memusatnya otoritas "politik" ke dalam figur yang kaya nuansa. Secara ideal dapat dikatakan, mestinya, gejala pertambahan kaum elite dalam NU disertai makin mantapnya prosedur ke-lembagaan yang sistemik guna menjamin tersebarnya otoritas secara adil dalam tubuh NU, bukan malah memusat pada satu tokoh. Sudah tentu karisma seorang tokoh berpengaruh hingga tingkat tertentu guna menyelesaikan problem pertikaian wewenang dan otoritas dalam organisasi. Namun, di seberang "batas" itu, karisma juga bisa lumpuh dan tidak bermakna apa-apa. Di sinilah kita melihat paradoks, bahwa seorang politisi Matori yang pernah menangis sesenggukan di lutut Gus Dur pada acara istigotsah di Jakarta, tiba-tiba menjadi "malin kundang" yang tidak mudah tunduk oleh tradisi "penghormatan" yang menjadi pegangan pokok NU. Situasi ideal itu tidak terjadi, bahkan sebaliknya.

Saya khawatir jika suatu perubahan gradual dalam tubuh NU tidak terjadi, dalam keadaan mana organisasi bisa berjalan dengan wajar dan wewenang bisa dibagi-bagi secara adil dan merata, maka akan muncul gejala "matori" lain yang makin banyak jumlahnya. Dengan kata lain, politik pembelahan rambut akan terus bergerak lebih jauh, dan NU akan mengalami kelumpuhan dari dalam, sekurangnya kelumpuhan pada segi artikulasi politik kepartaiannya.

***

JIKA pertikaian dalam tubuh PKB mau ditarik ke dalam cakupan masalah yang lebih luas lagi, maka pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana masa depan platform politik yang berkenaan dengan pelembagaan, yang oleh Robert Heffner disebut "civil Islam"? Saat gejala radikalisme Islam marak di mana-mana, justru pilar kepartaian yang menyangga pandangan-pandangan keislaman yang mendukung kultur sipil yang demokratis seperti PKB, mengalami "kelumpuhan" karena gejala hair splitting politics dalam dirinya. Kecenderungan semacam ini membuat kita waswas: bagaimana arah perkembangan politik Islam di masa datang. Apakah akan pelan-pelan bergerak menuju, atau menjauhi, "civil Islam" yang menjadi salah satu basis penting konsolidasi demokrasi di Indonesia?

Ada dua pilar penting dalam usaha memantapkan Islam sipil di Indonesia. Pertama, organisasi-organisasi sukarela yang dikelola masyarakat. Biasanya kelompok-kelompok ini bergerak pada wilayah "penyadaran" dan perluasan basis sosial wacana Islam yang moderat, sipil, dan inklusif. Kedua, partai yang mempunyai kekuatan untuk membentuk lembaga-lembaga politik yang akan menyokong kultur sipil yang sudah dibangun pada level akar rumput oleh kelompok pertama. Dua pilar ini bekerja secara tandem dan saling mengandaikan. Jika salah satu mengalami kelumpuhan, maka radikalisme Islam pasti akan menjadi alternatif utama di masa datang; dan ini jelas merupakan kabar buruk bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Sebagian orang akan mengatakan, "cuaca" tidak begitu jelek, sebab kita mempunyai PDI-P, partai nasionalis-sekuler yang lebih cenderung kepada pandangan-pandangan keislaman moderat. Tetapi, tetap harus dikatakan, kaitan antara PDI-P dengan ide-ide Islam yang mo-derat bukan sesuatu yang sifatnya "intrinsik". Betapapun PDI-P lebih cenderung didikte oleh-katakan saja-political exigencies, ketimbang oleh kepentingan yang sifatnya "tidak politis" untuk mendukung ide-ide Islam yang pluralistik. Pecahnya koalisi PDI-P dan PKB menunjukkan dengan terang hal itu.

Kemampuan elite-elite politik dalam PKB untuk menuntaskan sejumlah masalah dalam tubuh partai itu merupakan kabar yang ditunggu banyak orang. Semoga pada ujungnya, kita mendengar kabar yang baik.

* Ulil Abshar-Abdalla, Ketua Lakpesdam NU, Jakarta.

No comments: