Tuesday, March 31, 2009

ISLAM, KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL

ISLAM, KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
STUDI TERHADAP PARADIGMA KONFLIK DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES MODERNISASI: PERSPEKTIF AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Muhammad Yazid


Islam: Konflik Dan Realitas Sosial

Tulisan ini hendak membahas masalah yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan, didiskusikan dan diperdebatkan oleh lapisan masyarakat, mulai dari kelompok yang tidak dapat membaca dan menulis, mereka yang duduk di bangku pendidikan, sampai mereka, para birokrat, yang memegang kekuasaan (pemerintah). Masalah tersebut, yakni, terjadinya konflik yang berkepanjangan di hampir seluruh wilayah nusantara, baik yang mengarah pada persoalan kriminitas, politik sampai hal-hal yang berbau SARA.

Hal tersebut sebagai indikasi lahirnya benih-benih disintegrasi di bumi pertiwi ini jika tidak segera direspon secara memadai. Persoalan ini dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat terkait dengan perjalanan bangsa menuju kehidupan yang lebih maju (modern) demi menjawab tantangan era globalisasi yang tidak lama lagi akan memasuki millenium ketiga, yang ditandai dengan perdagangan bebas. Dengan latar belakang konflik, tulisan ini diharapkan dapat menjadi koleksi pengetahuan politik dan kepekaan masyarakat dalam menghadapi problematika yang sedang atau tengah dihadapi, sehingga akan mampu mewujudkan perubahan sosial ke arah yang lebih mapan.

Tulisan ini akan diawali oleh pertanyaan seputar apakah konflik itu penting bagi kehidupan manusia? Kalu jiwa manusia dan kehidupannya tidak diwarnai dengan konflik, apakah masing-masing akan kehilangan unsur yang dianggap fundamental? Apakah konflik dianggap penyakit yang yang menimpa diri manusia dan masyarakat? Apakah ia dianggap tingkah laku yang berbahaya layaknya kuman penyakit yang menimpa badan dan merusaknya, lalu membuat binasa?

Dalam pada ini, penulis yakin bahwa konflik tetap merupakan hakekat. Ia adalah ada sebagai tabiat alam, bukan pada diri manusia belaka.

Lalu, bagaimana pula dengan kehidupan dunia manusia? Konflik adalah salah satu unsur pembawaan dan keberadaannya sangat urgen sekali dalam kerangka peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kehidupan tidak dapat berjalan dengan tegak tanpa ada konflik. Ia sangat penting bagi manusia yang memiliki struktur tubuh yang terdiri dari akal, roh dan raga, yang masing-masing memiliki tuntutan serta keinginan yang beraneka ragam. Keinginan manusia tidak terbatas; manusia menuntut dibebaskan dari berbagai penyakit, malapetaka dan kekuatan alam agar ia dapat hidup. Mereka pun menuntut kehormatan-kehormatan lain bagi kehidupan, yang pada akhirnya justeru menghadapkan mereka pada realitas yang sangat pelik dan kompleks; Satu sisi, di hadapannya telah hadir keburukan-keburukan yang sudah menjadi hakekat alam, namun di sisi lain juga ada kebaikan-kebaikan yang bakal menghadapi keburukan itu, sehingga mereka dapat bertahan hidup sekaligus menguasainya. Tapi persoalannya, apakah mungkin manusia mengenyahkan keburukan dari kehidupan praktis? Lihat saja komunisme, yang mengaku bahwa mereka telah menyediakan sarana prasarana penghasilan demi menghindari timbulnya konflik, akan tetapi harapan mereka tak pernah terwujud selain dari usaha untuk memiliki sarana penghasilan. Di mana-mana orang komunis dituduh hendak menguasai (mendominasi) kekuasaan meskipun ia telah dididik dengan doktrin komunisme.

Oleh karena itu, Allah membekali nilai-nilai moral pada setiap makhluk dalam kepentingan-kepentingannya sendiri. Selagi konflik masih dibutuhkan oleh manusia, maka mereka pun dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk berkonflik, baik dalam fisik, roh maupun akalnya, dan sekaligus kemampuan untuk mencari solusinya.

Adanya kesamaan dan pertentangan untuk melahirkan sebuah perubahan sosial diantara manusia adalah sebuah keniscayaan. Hal itu selamanya tidak akan bisa dielakkan, sehingga yang perlu bagi manusia adalah bagaimana cara mereka memadukan dan mencari solusi agar konflik tersebut tidak justru menimbulkan kehancuran (kerusakan), namun sebaliknya dapat membantu manusia mewujudkan keseimbangan dan tumbuhnya pola introspeksi diri dalam sebuah komunitas masyarakat.

Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik terjadinya konflik. Dalam Islam, konflik bukanlah sebagai tujuan; ia sebagai sarana untuk memadukan antara berbagai hal yang saling bertentangan untuk membebaskan kehidupan manusia dari kepentingan individual dan dari kejelekan-kejelekan, sehingga secara berimbang mereka dapat dibawa menuju je jalan yang terang. Dalam al-Qur'an, Allah berfirman, yang artinya: "Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini."

Dari uraian di atas, maka dapat disebutkan secara sederhana bahwa timbulnya gejala konflik dalam rangka meningkatkan taraf hidup, baik dalam skala makro maupun mikro, adalah sebuah keharusan. Selain itu, etika (akhlak) dalam mewujudkan cita-cita tersebut harus selalu diperhatikan dengan penuh antisipasi, karena dengan bekal ini pergolakan apapun dengan dorak bagaimanapun akan dapat dikendalikan dengan baik, dan dengan sendirinya akan dapat medatangkan kondisi yang lebih baik (maslahah).

Kalau benar anggapan bahwa perubahan sosial mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya sebuah konflik, maka pertanyaannya adalah bagaimana corak (sifat) konflik yang dapat melahirkan sebuah perubahan sosial yang dapat menjamin kehidupan baru secara lebih baik?

Dalam membahas terjadinya perubahan dalam kaitannya dengan sebuah konflik, tulisan ini akan menggunakan kacamata Islam. Dalam kaitannya dengan kehidupan negara kita, dapat diambil sebuah kasus yang pernah terjadi pada pertengahan tahun 1997 (dan saat ini kita belum mempunyai solusi dan prediksi kapan ini akan berakhir) tentang gambaran perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk. Kondisi seperti ini akhirnya berkembang dengan merebaknya isu-isu yang disertai dengan banyaknya gugatan, hujatan dan tuntutan seluruh rakyat kepada pemerintah yang diklaim sebagai biang keladi timbulnya krisis tersebut. Hal ini karena pemerintah dianggap telah jauh melenceng dari rel yang telah direncanakan dalan membuat suatu kebijakan.

Seiring dengan berlanjutnya krisis tersebut, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan yang dianggap mampu menjadi salah satu alternatiff yang dapat menetralisir gejolak diatas, dengan melahirkan kembali konsep --lama-- pembangunan ekonomi "kerakyatan". Kebijakan ini pada gilirannya diharapkan dapat merubah watak, budaya dan integritas bangsa dalam rangka menuju sebuah kehidupan yang modern. Akan tetapi, ide untuk mewujudkan modemisasi ditengah heterogenitas budaya --bila tetap dengan pola memaksakan kehendak tersebut-- sudah barang tentu akan menyebabkan timbulnya konflik yang tidak akan dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan sistem sosial dan sistem budaya setiap masyarakat yang sedang "berkembang" merupakan suatu ajang (medan) pertempuran yang abadi, di mana kekuatan modernitas dan tradisi bertemu. Pada akhirnya, konflik ini akan melahirkan ketegangan-ketegangan, ketidak mufakatan dan ketidak seimbangan diantara individu atau kelompok yang semula bersatu, mufakat dan seimbang (equilibrium).

Sebenarnya, untuk menciptakan modernisasi tidaklah dapat dipisahkan dari konflik yang bermula dari kritik. Hanya saja, yang diajarkan oleh syari'at Islam adalah konflik yang masih dalam taraf pelaksanan al-akhdzu bi akhaffi dlararain (mengambil dampak yang lebih kecil diantara dua aspek negatif), karena modernisasi adalah alternatiff yang terbaik untuk meningkatkan taraf kesejahteraan (kemaslahatan) kehidupan manusia. Namun pada sisi yang lain, keinginan tersebut akan berbenturan dengan kendala-kebdala yang ada, baik yang berhubungan dengan orang-orang (kelompok anti modernisasi) maupun dengan aspek geografis. Ini adalah justru pilihan yang sangat sulit. Satu sisi kita harus mampu mengimbangi dan mengikuti perkembangan zaman --dalam rangka membentuk pembangunan yang kuat dan kokoh-- yang telah jauh masuk ke dalam tataran modernisasi, sedangkan pada sisi yang lain kita tengah memperbaiki persoalan intern (dalam negeri) yang belum kunjung usai. Dalam kondisi demikian, maka perlu melihat kembali pada kajian yang terkandung dalam syari'at Islam.

Islam memandang bahwa persoalan di atas sebenarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk merealisasikan konsep amar ma'ruf nahi mungkar, yang disebut oleh Imam Abu Hamid Al Ghazali sebagai kutub terbesar agama (Islam). Ironisnya, kewajiban tersebut dalam prakteknya justru dilupakan, bahkan dihapuskan.

Membahas masalah modernisasi tidak hanya memcerminkan suatu evaluasi sejarah biasa, tapi merupakan dekonstruksi terhadap sejarah sebelumnya. Karena itu, seluruh aspek filosofisnya, baik yang berhubungan dengan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya menawarkan konsep hidup dan paradigma yang berbeda secara diametral dengan sebelumnya. Dengan demikian, akan terjadi perbedaan mendasar dalam memandang alam sebagai wacana kosmologis hidup manusia, dan memandang manusia itu sendiri. Terhadap tiga realitas tersebut, perspektif pemikiran modern tidak lagi menempatkannya dalam kerangka relasi yang mistis ontologis, akan tetapi sudah mengarah pada hubungan positifistik dan fungsional. Satu hal penting yang terjadi dalam pemaknaan manusia terhadap realitas hidupnya, yakni tidak lagi bersandar pada postulasi-postulasi agama. Walau demikian, implikasi historis modernisasi memperlihatkan suatu paradoks karena tidak berhasil mempertautkan seluruh aspek sosio-kultural manusia dalam sebuah paradigma. Realita ini menyebabkan timbulnya konflik, sejalan dengan perkembangan modernisasi yang kian mengglobal. Bahkan proses modernisasi itu sendiri merombak suatu konsensus bahwa agama adalah sumber imajinasi bagi lahirnya suatu kreatifitas, dengan dalih "baru"nya, yakni modernisasi dimaksudkan sebagai upaya dekontruksi terhadap dominasi agama yang dianggap membelenggu kemerdekaan manusia.

Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Karena diciptakan, maka alam bersifat teologis, sempurna teratur dan bermakna. Sebagai anugerah, alam merupakan rahmat yang tak mengandung cela. Tujuan penciptaan alam adalah agar memungkinkan manusia melakukan amal saleh dan mencari kebahagiaan lahir batin. Ini berbeda dengan dokrin kristen bahwa keselamatan hanya dapat dicapai melalui proses desakralisasi alam, yaitu takluknya alam oleh kekuatan manusia, sehingga proses penaklukan alam dipandang sebagai suatu yang suci, yang membebaskan manusia dari kemerosotan.

Doktrin di atas justru dapat dipandang sebagai cacat ontologis filsafat kristiani, karena, menurut Lynn White yang dikutip oleh Parvez Mansoop, telah mendorong timbulnya etika eksploitatif terhadap alam. Dari etika demikian, kemudian mendorong timbulnya sains fisika berikut sains kealaman lainnya serta membentuk dunia modern yang sekuler.

Oleh karena itu --kemudian -- Islam memperkenallan sebuah terminologi yang dikenal dengan sebutan terminologi khalifah Allah fi al-ardl yang dalam al-Qur'an Allah dengan tegas menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran dari milleu kosmis yang menjadi jembatan fungsiolaisasi pesaan-pesan ilahi dalam dataran kehidupan. Pengertian ini menunjuk pada amanah yang telah dan harus dipikul manusia atas peranannya yang harus dimainkan dalam kehidupam di atas bumi. Akan tetapi pada sisi yang lain, predikat tersebut tidak harus menghapuskan hakekat manusia, yang notabenenya sebagai hamba Allah yang harus mengabdi dan menyembah-Nya. Manusia dengan sendirinya tidak akan dapat membentuk pribadinya menjadi wasit atas dirinya sendiri, dalam arti bahwa ia tidak mungkin menjadi pusat penentu dari seluruh nilai-nilai etika, melainkan tetap harus terikat moralitas yang tinggi dari Tuhannya. Ini yang mendasari konsep Islam, sehingga memanfaatkan alam semesta dengan tetap memegang etika trasendental-religius menjadi tujuan utama manusia yang harus dicapai.

Pada akhirnya, konsep semacam ini akan memberikan harapan bahwa jika Islam dikaji dan digali filosofinya sungguh-sungguh akan memberikan konsep alternatif, yang memiliki tradisi etis di dalam sains, baik ontologi, epistimologi maupun aksiologisnya sehingga mampu menjadi antisipasi konseptual alternatif bagi krisis ekologi (dalam konteks modernisasi) dewasa ini. Konsep ini akan lebih kentara bila dikaitkan dengan teori modernisasinya Niel J. Smelser dengan konsepnya Difrensiasi Struktural. Dalam konsep yang disebut terakhir ini tampak hilangnya fungsi agama bagi kehidupan modern. Agama dalam masyarakat modern tidak lagi sebagai sumber terpenting kesadaran makna (sense of meaning) dan sumber legitimasi kehidupan masyarakat. Agama kemudian hanya menjadi sandaran kehidupan kerohanian (spiritual) yang cakupannya begitu sempit, hanya menyentuh kehidupan personal manusia. Fenomena ini semakin parah dengan munculnya sekularisasi kultural yang mencerabut fungsi historis agama. Agama mengalami personalisasi, sehingga hanya dipandang sebagai persoalan pribadi, bukan lagi sebagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dalam tataran demikian, agama akan menghadapi tantangan berat ketika harus menjadi sumber kesadaran makna (sense of meaning) dalam percaturan epistemologi peradaban modern, sementara kehidupan modern menunjukkan keadaan sebaliknya.

Relevansi pernyataan ini berkaitan dengan munculnya berbagai kritik kaum cendekiawan terhadap perkembangan modernisasi yang menghasilkan realitas antagonistik dan paradoksal. Kritik mendasar dan paradigmatis yang muncul dan berhamburan dari berbagai disiplin ilmu yang tidak lagi menemukan kepuasannya terhadap modernisme mendorong untuk membuat perspektif baru sebagai landasan proses modernisasi yang lebih manusiawi, yang pada akhirnya akan menghasilkan pembangunan yang sejalan dengan kaidah-kaidah (tuntunan) Islam. Untuk dijadikan sebagai perimbangan, berikut ini kumpulan firman Allah dalam al- Qur'an yang memberikan pemahaman tentang konsep atau ciri-ciri manusia modern. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mengakui akan ke-Esaan Allah (lihat [49]:10)
2. Menggalang persaudaraan atau ukhuwah (lihat [59]:9)
3. Mengedepankan persamaan atau musawah (lihat [49]:13)
4. Mengikat tali persatuan (lihat [3]:103)
5. Memegang konsep saling menolong atau ta`awun (lihat [5]:2)
6. Memperjuangkan keadilan atau `adalah (lihat [5]:8)
7. Mengambil tindakan musyawarah (lihat [3]:159)
8. Menjalankan tanggung jawab sosial atau takaful al-ijtima` (lihat [3]:104,110)
9. Menegakkan ummat atau keharmonisan atau ummatan wasathan (lihat [2]:143)
10. Membudayakan toleransi atau tasamuh (lihat [109]:1 - 6 )
11. Mensosialisasikan kebebasan atau hurriyah (lihat [2]:256)
12. Mempertahankan teguh pendirian atau istiqamah (lihat [41]:30)
13. Menegakkan dan membela kebenaran atau jihad (lihat [5]:35)
14. Mengembangkan pola pikir atau ijtihad (lihat [2]:219)

Konflik: Fenomena Perubahan Sosial

Kehidupan masyarakat adalah sebuah persoalan yang cukup kompleks. Fenomena sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali melahirkan perbedaan dan bahkan perselisihan dalam hal persepsi dan interprestasi. Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sosial.

Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dan dipikirkan diluar masyarakat. Individu-individu tidak akan dapat bertahan hidup dalam keterpencilannya sama sekali. Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan ketergantungan, yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerja sama, dan hal itu pada hakekatnya akan ajeg, berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yanga beraneka ragam, baik dari segi struktur, politik maupun sosialnya. Ini adalah sebuah keniscayaan, karena sejak kehadirannya mereka telah dianugerahi gelar sebagai mahkluk sosial (zoon politicon).

Dalam kerangka premis diatas, berbagai usaha telah dilakukan, bahkan ada sebagian yang terkesan berlebihan dalam mengkaji dan mengadakan penelitian sosial. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan waktu, silih bergantinya siang dan malam, sampai saat ini belum selesai perjalanan menemukan sebuah teori kehidupan sosial yang mapan dan jitu, kendati telah banyak teori yang kita pelajari. Kondisi ini lahir dikarenakan pandangan-pandangan (teori) yang dilahirkan oleh para ilmuwan dalam kaitan ilmu sosial cenderung memandang realitas sosial sesuai dengan interpretasi yang mereka berikan.

Disadari sepenuhnya bahwa secara psikologis setiap ilmuwan mempunyai kemauan yang tinggi untuk dapat melahirkan sebuah teori yang handal, mantap dan ajeg. Tapi, hal ini justeru sering berbenturan dengan moral etik intelektual, karena pada dasarnya teori lahir sejalan dengan perkembangan; tidak ada satu teori pun yang ajeg. Maka, dengan sendirinya setiap individu mempunyai perasaan yang tidak berlawanan dalam hal keharusan untuk merombak atau memperbaiki sebuah teori, baik teori yang klasik maupun yang kontemporer, melalui prosedur dan jalan evolusi. Dalam kaitan ini, maka keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kondisi geografis. Hal ini, kiranya, mengilhami para ilmuwan untuk selalu mencoba mempelajari dan mengoreksi (menguji) kemapanan sebuah teori.

Dalam perspektif kelanjutannya, tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang sketsa penilaian dan perkembangan teori konflik. Uraian tulisan diilhami oleh anggapan dan persepsi yang ditangkap dan diberikan oleh masyarakat bahwa pesan yang dibawa oleh konstruksi "konflik" tidak berlaku lagi kecuali dalam arti (pemahaman) yang negatif. Asumsi ini yang perlu kita kaji, karena bagaimanapun fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, tidak dapat dipisahkan dari konflik, baik dalam komunitas kecil maupun yang tak terbatas.

Paradigma tersebut sudah seharusnya direkonstruksi guna memperbaiki image yang berkembang dimasyarakat. Sebab, secara naluriah, manusia diciptakan cenderung mengarahkan kehendaknya terhadap konsep kesesuaian paham (consensus). Sementara pada sisi yang lain, berbaurnya berbagai watak dan keinginan dengan sendirinya akan mengakibatkan terbukanya peluang konflik. Ini adalah sebuah keniscyaan yang tak dapat ditampik dalam membentuk sebuah perubahan menuju kemajuan.

Dalam konteks ini, perlu diketengahkan pengertian konflik. Menurut Lewis Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaanya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkannya, tapi juga memojokkan, merugikan bahkan menghancurkan lawan mereka, baik diantara individu, individu dengan kelompok ataupun antar kelompok.

Menurut Ralf Dahrendorf, tiap-tiap masyarakat memperlihatkan perbantahan (dissensus) dan konflik di segala bidang; konflik sosial ada dimana-mana, tidak semua orang sepaham dan sesuara dan tidak semua orang pula setuju. Selalu ada pihak pro dan kontra, hal mana kentara dari banyak perselisihan yang sering diilhami atau dirasa sebagai ancaman terhadap kesatuan masyarakat atau kelompok.

Berangkat dari paparan di atas, pengertian ini memberikan pemahaman bahwa gejala konflik nampaknya tidak dapat terhindarkan. Inilah yang kemudian menimbulkan gambaran masyarakat akan nilai negatif dari adanya konflik. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa kesan negatif yang sejak semula dilekatkan pada "konflik" harus direkonstruksi, karena sedari kelahirannya, konflik membedakan diri dengan tegas dari perasaan yang bersifat subyektif, seperti emosi (amarah), benci, memfitnah (adu domba), antipati, balas dendam dan sebagainya.

Konflik lahir karena dilatar belakangi oleh gejala makin meluasnya dogma teori struktural-fungsional, yang menurut sebagian pandangan tokoh dianggap sudah tidak lagi sejalan dengan perubahan dan perkembangan masa. Jika demikian, maka konstruksi teori tidak akan membantu kita untuk memahami secara proporsional dan menerangkan sebuah even (peritiwa). Fenomena ini melahirkan manusia-manusia (generasi) yang tak mempunyai bekal improvisasi. Oleh karena itu, konflik yang timbul dalam suatu kondisi akan dapat membangunkan manusia dari tidur panjang dan membawa mereka pada iklim perubahan kondisi secara lebih baik serta pada akhirnya mendorong lahirnaya dinamisasi masyarakat. Realita ini akan kentara bila suatu saat kita dihadapkan pada terpendamnya persoalan warga yang berkaitan dengan atasan (penguasa). Mereka tidak berani untuk mengangkat persoalan yang selama ini dianggap krusial. Bila hal ini berkelanjutan tanpa dibarengi solusi (stabilitas), maka tidak mungkin tidak akan mengakibatkan munculnya kondisi yang tidak kondusif dalam sebuah komunitas.

Selain itu, Ralf Dahrendorf menyatakan, kita semua tidak akan memahami dan memikirkan masyarakat kalau kita tidak menyadari dialektika, stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan motivasi serta konsensus dan paksaan.

Semua insan, secara naluriah, mempunyai keinginan-keinginan yang berlainan, tetapi secara keseluruhan, pada hakekatnya, mempunyai tujuan yang sama, yaitu merealisasikan makna hidup yang berusaha untuk selalu survival dalam sebuah komunitas. Namun dalam berinteraksi dan kontak sosial, mereka tidak akan dapat mencegah adanya benturan-benturan. Hal ini dikarenakan masing-masing individu memiliki kemampuan yang relatuif berbeda dalam mengaktualisasikan potensinya. Pada sisi lain, problematika yang berkembang di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan status sosial ekononi, sering menyulut munculnya persoalan sosial.

Dalam perkembangannya, masalah di atas akan bertambah pelik dan krusial manakala dikaitkan dengan institusi sosial yang ada dan berkembang di masyarakat, baik yangf menyangkut otoritas maupun keinginan yang tersebar. Padahal, semua persoalan yang ada, baik yang disepakati (konsensus), pertentangan (konflik), integrasi dan disintegrasi maupun merdeka (berdaulat) dan terkekang adalah sunnatullah, yang tidak dapat dipisahkan dan ditiadakan. Dengan demikian, maka adanya gejolak konflik adalah sebuah keniscayaan.

Dalam sejarah perkembangan teori konflik, nama Rolf Dahrendorf mungkin akan tenggelam bila dibandingkan dengan Karl Marx, yang mengenalkan teori konflik kelas. Teori ini menunjuk pada pertentangan antara kelas industriawan yang mengontrol alat-alat produksi dengan kelas proletariat yang diandaikan sebagai hanya berhak melahirkan keturunan. Pertentangan dikarenakan kelompok yang disebut terakhir ingin mendapatkan imbalan (gaji) yang cukup.

Pedoman yang ditampilkan oleh Karl Marx jauh lebih terbatas bila dibandingkan dengan teori konflik yang digulirkan oleh R. Dahrendorf, karena ia tidak hanya membatasi kajiannya pada pertentangan kelas yang lebih banyak bercorak kolektivitas holistis dan organistis, melainkan segala aspek sosial yang terkait dengan ortoritas yang lebih bercorak individualistis, baik yang berkaitan dengan struktural, politik maupun sosial.

Untuk menunjang statemen tentang adanya peran saling mengisi diantara teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik, dapat dilihat dalam pernyataan berikut.

Teori struktural-fungsional menekankan pada keteraturan (orde) dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan yang berkembang di masyarakat, sehingga teori ini menggunakan konsep tentang fungsi, disfungsi dan keseimbangan (equilibrium). Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial (social system) yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan (struktur) dalam sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional tidak ada, maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Ekstrimisme teori ini adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam semua tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dalam arti demikian, maka teori ini cenderung memusatkan kajiannya pada fungsi dari suatu fakta sosial (social fact) terhadap fakta sosial yang lain.

Dari ulasan diatas, jelas bahwa teori struktural-fungsional berpandangan terhadap segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat serba fungsional, baik yang dinilai positif maupun negatif. Misalkan kasus kemiskinan, adalah gejala sosial dalam suatu sistem sosial yang fungsional bagi si kaya, karena dengan si miskin mereka dapat memanfaatkan tenaganya. Dalam kajian demikian, maka teori struktural-fungsional telah dituding mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial. Bahkan dalam pandangan yang radikal, teori ini dinilai secara ideologis sebagai kaum konservatif.

Sebutan ini terasa dipicu oleh anggapan bahwa golongan ini adalah sosiolog yang berusaha untuk mempertahankan status quo, bahkan lebih dari itu, mereka adalah agen teoritis dari status quo. Hal ini karena mereka sangat berkeinginan dan berkepentingan untuk mempertahankan serta melestarikan semua fasilitas dan semua kenikmatan yang berkaitan dengan posisi mereka. Padahal dalam kasus tersebut, ada pihak-pihak yang dirinya merasa tertekan, terkekang oleh status quo, sehingga menginginkan adanya perubahan dan bahkan bisa jadi perombakan (reformasi). Oleh karena itu, golongan itu akan mengobarkan oposisi.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa teori struktural-fungsional mempunyai premis sebagai berikut:

1. Masyarakat adalah suatu sistem yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Keseluruhan sistem yang utuh menentukan bagian-bagian. Artinya, bagian yang satu tidak dipahami secara parsial dan terpisah kecuali dengan mempertahankan hubungan dengan sistem keseluruhan yang lebih luas, dimana bagian-bagian menjadi unsurnya, seperti nilai kultural, pranata hukum, pola organisasi keluarga, pranata politik dan organisasi ekonomi-teknologi.
2. Bagian-bagian harus dipahami dalam kaitannya dengan fungsinya terhadap keseimbangan sistem keseluruhan, sehingga bagian-bagian tersebut menunjukkan gejala saling tergantung dan saling mendukung untuk memelihara keutuhan sistem.
3. Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap, berintegrasi satu sama lain dengan baik. Orang lebih banyak bekerja sama dari pada menentang, biar pun telah terjadi pergantian dari pemerintah yang lama ke yang baru.
4. Tiap-tiap masyarakat mempunyai fungsi dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kelestarian sistem. Hal ini karena dilatar belakangi oleh suatu kesesuaian paham (consensus) diantara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.

Sedangkan dalam hal kerangka bangunan yang dijadikan sebagai pijakan, teori konflik berbeda dari teori fungsional-struktural. Kalau teori fungsional-struktural memandang masyarakat berada dalam kondisi keseimbangan (equilibrium), maka teori konflik justru sebaliknya, memandang masyarakat senantiasa berada dalam proses dinamis dan bergerak menuju proses perubahan yang ditandai oleh adanya unsur pertentangan (disconsensus). Teori konflik melihat bahwa setiap elemen sangat berpotensi membuka peluang disentegrasi sosial. Adanya ketenteraman dalam masyarakat hanya disebabkan oleh adanya faktor tekanan atau pemaksaan dari golongan yang berkuasa.

Oleh karena itu, konsep konflik mengajarkan teori keseimbangan diantara wewenang dan posisi. Tesis dari konsep ini adalah bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang terjadi secara tidak merata, karena dengan adanya wewenang, menunjukkan adanya berbagai posisi yang berbeda dalam masyarakat. Bergulatnya dua unsur inilah yang potensial membuka kran konflik, sehingga dengan sendirinya peran utama dari kajian konflik, antara lain, adalah untuk mengidentifikasi berbagai peranan, baik yang menyangkut wewenang maupun posisi masyarakat.

Dengan demikian, maka masyarakat dalam kajian teori konflik terbagi menjadi dua, yaitu kelompok masyarakat yang dikatagorikan sebagai penguasa dan kelompok masyarakat yang dikatagorikan sebagai yang dikuasai, atau dengan meminjam istilah George Ritzer adalah kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interes group).

Melihat konsepsi tersebut, pada dasarnya teori konflik memandang masyarakat dengan asumsi berikut:

1. Tiap-tiap masyarakat mengalami proses di segala bidang; perubahan sosial terdapat dimana-mana; manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapai oleh para pendahuluannya.
2. Tiap-tiap masyarakat memperlihatkan perbantahan (disconsensus) dan konflik di segala bidang. Tidaka semua orang sepaham dan sesuara, sehingga selalu ada pihak pro dan kontra.
3. Tiap-tiap unsur dalam masyarakat menyumbang terhadap terjadinya disentergrasi dan perubahan. Setidak-tidaknya, ada kemungkinan bagi kelompok potensi untuk menjadi aktor yang mencerai beraikan. Hal ini dikarenakan adanya paksaan yang dikenakan pada segelintir anggota atas anggota yang lain.

Berangkat dari paparan diatas, nampak sisi validitas statemen bahawa kedua teori tersebut di atas saling mengisi. Hal ini disebabkan sejarah tidak pernah mencatat bahwa pihak-pihak yang mempertahankan status quo dengan teori keseimbangan (equilibrium) akan dapat berkembang dan terkoreksi tanpa adanya konflik dari pihak yang beroposisi. Jadi, biar pun berseberangan dan terkesan saling menjatuhkan, namun keduanya saling menjadikan satu sama lain wahana untuk mengevaluasi dalam menetukan kebijakan-kebijakan yang menjadi dasar pijakan keputusannya.

Sebagai jawaban dan sekaligus penegasan dari uraian diatas, perlu disadari bahwa pada hakekatnya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan lemah (dhaif). Maka, dengan sendirinya ia selalu membutuhkan uluran tangan sesamanya, dan itu adalah sebuah keniscayaan, karena dengan bekal itu, ia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Permasalahannya adalah menetapnya persepsi masyarakat yang memandang subyektif (su'u al-dhan) terhadap gejala konflik.

Dari beberapa ayat Allah, jelas bahwa terjadinya pro dan kontra dalam kehidupan manusia adalah sebuah tatanan yang merupakan sunnatullah, ketentuan yang manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan untuk menghindari dan mengelakkan. Dengan demikian, maka persepsi yang selama ini terkesan miring terhadap keberadaan konflik harus disingkirkan. Sehingga --ajaran-- konflik akan memberikan motivasi untuk senantiasa berhati-hati (ihthiyathi) dalam menentukan sikap dan memutuskan pilihan.

Kesimpulan

Dari paparan uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang maju (modern), maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan alternatif proses konflik yang diharapkan dapat mengubah watak dan pola pikir masyarakat dalam menggapai dan merealisasikan tujuan pembangunan dan pengembangan (peningkatan) taraf hidup.
2. Dalam merealisasikan maksud tersebut, tidak seharusnya melalaikan konsep yang telah diajarkan oleh agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangnan (kosmos) yang tetap memegang etika transendental-religius disamping moral kesusilaan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Karena, predikat khalifah Allah fi al-ardl adalah amanah yang dibebankan oleh Allah untuk melestarikan bumi sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, yang pada akhirnya diharapkan dapat melahirkan sebuah kondisi (tatanan) yang lebih baik.
3. Untuk merealisasikan keinginan terwujudnya negara modern (maju) yang akan mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir maupun batin, maka mengaplikasikan ajaran agama adalah sebuah keharusan yang tak dapat diganggu gugat, disamping harus mampu melahirkan manusia-manusia yang bercirikan dengan watak (tabiat) dan sifat yang sesuai dengan syari'at Islam (sebagaimana yang telah tegas disebut dalam al-Qur'an).
4. Pada dasarnya, manusia selalu membutuhkan bantuan dan uluran tangan orang lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, mereka senantiasa mengadakan interaksi sosial, sehingga akan terwujud sebuah hubungan timbal balik. Interaksi ini suatu ketika akan menimbulkan benturan-benturan, yang tidak menutup kemungkinan justeru menjadi konflik.
5. Teori struktural-fungsional yang merupakan embrio dari teori konflik, kendati dianggap mempunyai pandangan yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya keduanya saling mengisi. Artinya, bahwa kondisi yang dimaksud dalam teori struktural-fungsional akan dimonitor dan dikoreksi oleh teori konflik dan begitu juga sebaliknya, sehingga dalam merespon masalah sosial keduanya saling memberi dan menerima.
6. Dalam pandangan agama, persangkaan buruk (su'u al-dlan) terhadap suatu masalah adalah dilarang (karena termasuk kategori dosa besar). Oleh karena itu, penilaian subyektif yang banyak mendominasi asumsi-asumsi kebanyakan masyarakat terhadap teori konflik harus direkonstruksi, sehingga dapat menghasilkan sebuah analisis yang obyektif. @

No comments: