MASYARAKAT NU "PASCA-FIQIH"
Oleh
Nuruddin Amin
TRADISI fiqih dalam kehidupan warga nahdliyyin, dijaga secara ketat
oleh generasi pendiri Nahdlatul Ulama (NU) hingga sekitar setengah
abad usia organisasi para ulama "tradisional" itu. Namun regenerasi
kepemimpinan tidak terelakkan pada pangkal dekade 80-an, sepeninggal
KH Bisri Sjamsuri - salah seorang trio pendiri di samping KH Hasyim
Asy'ari dan KH Wahab Hasbullah. Tak pelak lagi proses regenerasi dari
generasi pendiri ke generasi penerus membawa konsekuensi "regenerasi
pemikiran", yang ditunjukkan antara lain oleh pergeseran cukup penting
dalam memandang fiqih.
Meningkatnya anarki pemaknaan sosial dan politik di Indonesia, memaksa
pemikiran fiqih mengalami pergeseran: dari fiqih sebagai paradigma
"kebenaran ortodoksi" menjadi paradigma "pemaknaan sosial". Jika yang
pertama menundukkan realitas kepada kebenaran fiqih, maka yang kedua
menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam belantara politik
pemaknaan yang tengah berlangsung. Jika yang pertama memperlihatkan
watak "hitam-putih" dalam memandang realitas, maka yang kedua
menampakkan wataknya yang bernuansa.
Fiqih dihadirkan sebagai perangkat pemaknaan (hermeneutika) yang
mempunyai watak realitivitas sangat tinggi, karena ia harus
mengakomodasi pluralitas realitas (dengan demikian pluralitas
kebenaran). Pada level ini, fiqih harus melunakkan "kepastian
normatif" yang berdimensi keabadian dari hukum agama yang bertumpu
pada "rasionalitas Tuhan". Tahap ini pada gilirannya akan mengantarkan
warga nahdliyyin kepada kehidupan "pasca-fiqih". Realitas sosial pada
tahap ini, mendapatkan kembali kesempatannya melakukan bargaining
berhadapan dengan "kepastian normatif" doktrin fiqih.
***
TRIO pendiri NU, mulai memutar roda organisasi di bawah Rois Akbar KH
Hasyim Asy'ari (periode 1926-1946). Kiai Hasyim adalah seorang
eksponen pangkal yang memegang garis silsilah intelektual para ulama
(intelectual genealogy of the kiai - meminjam istilah Zamakhsyari
Dhofier), setelah KH Kholil Bangkalan, Madura. Ia banyak menimba ilmu
dari Mekah, pada saat dunia Islam di Timur Tengah menegakkan kembali
otoritas fiqih atas aspek-aspek lain dari kehidupan beragama Islam.
Otoritas fiqih ini lahir sebagai tradisi keilmuan baru, hasil dialog
intensif antara orientasi keagamaan lama dan tuntutan akan pemurnian
ajaran agama yang diajukan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab. Ilmu-ilmu
non-fiqih ditundukkan kepada metode berpikir keagamaan yang
berlandaskan pada fiqih dan peralatannya - ushul al-fiqih dan qawa'id
al-fiqhiyah. Muncullah generasi baru para ulama fiqih yang tangguh di
Mekah, beberapa di antaranya berasal dari kawasan Asia Tenggara. Kiai
Nawawi Banten, Kiai Ahmad Khatib Padang dan Kiai Mahfudz Termas
termasuk di antara mereka, yang turut membangun tradisi keilmuan fiqih
pada diri Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy'ari. (Abdurrahman
Wahid: 1989)
Corak pemikiran ini dikembangkan melalui Pesantren Tebuireng, yang
kemudian melahirkan" barisan peminat fiqih" seangkatan Kiai Bisri -
yang terakhir ini, Gus Dur menjuluki "pecinta fiqih sepanjang hayat".
Barisan mereka ini menjadi kiai-kiai pesantren yang hingga dekade
80-an merupakan pusat-pusat pendalaman ilmu-ilmu agama di Pulau Jawa.
Meskipun corak pemikiran Kiai Wahab agak kosmopolit selama periode
kepemimpinannya (1941-1971), namun corak fiqhiyah tetap lebih dominan.
Jenis keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah hukum agama di
lingkungan NU selama kepemimpinan trio pendiri, nyata-nyata meneguhkan
otoritas fiqih murni di bawah penjagaan Kiai Bisri (1972-1980).
Otoritas fiqih ini dijaga melalui tradisi pesantren yang manifestasi
modernnya diwujudkan secara nyata dalam struktur organisasi Nahdlatul
Ulama. Masyarakat pesantren, di mana pun, pada mulanya adalah
masyarakat fiqih. Fiqih yang merupakan derivasi praktikal dari ajaran
Al Quran dan hadits, adalah landasan normatif dalam berperilaku, baik
individual maupun masyarakat.
Inilah yang oleh Imam Syafi'i dibakukan menjadi ushul al-fiqh yang
kemudian melahirkan sejumlah kaidah fiqih. Dari sana dijabarkan
putusan-putusan bagi permasalahan kehidupan. Para penganut sistem
"hierarki yudisial" kemudian menyebutnya sebagai mazhab. Hierarki
yudisial dalam sistem bermazhab itu begitu mapan, karena ia berhimpit
dengan hierarki lain berupa "wewenang" atau seringkali "kekuasaan"
yudisial.
Memang demikianlah jamaknya, bahwa hierarki sebuah sistem harus
disertai hierarki wewenang, untuk menjaga keutuhan sistem dari
guncangan perkembangan zaman. Hierarki-hierarki itulah yang dijaga
secara berkesinambungan, seperti tercermin dalam tradisi pesantren dan
lembaga Syuriyah NU. Pada semua levelnya, lembaga Syuriyah mengemban
tugas menjaga keutuhan sistem dan ajaran (termasuk hierarkinya), dan
karena itu sering berhadapan dengan denyut nadi kehidupan umatnya.
***
DUNIA pemikiran fiqih itu kemudian melahirkan watak dan coraknya
sendiri (Masdar F. Mas'udi: 1992). Pertama, pemikiran fiqih bersifat
juz'iyah, kasuistik dan micro oriented. Pergumulan fiqih selalu
berawal dari kasus, untuk kemudian dicarikan status hukumnya melalui
qiyas (analogi) kepada kasus lain yang telah ditentukan hukumnya
dalam Al Quran, Hadits Nabi dan Atsar (ijma' sahabat Nabi).
Kedua, pemikiran fiqih yang berwatak kasuistik hanya berguna untuk
menangani persoalan secara pasca-kejadian. Ketika menghadapi krisis
sosial-politik yang akut, pemikiran fiqih macam ini sering terjebak
antara "menolak" dengan sikap fundamentalistik atau "menerima" dengan
sikap realistik.
Ketiga, watak kasuistik pemikiran fiqih, cenderung mengabaikan
penanganan masalah-masalah strategis yang membutuhkan pendekatan lebih
sistematis.
Keempat, pemikiran fiqih berangkat dari logika deduktif terhadap nash
Al Quran dan hadits. Aspek aksiologis tidak tertangkap, sehingga tidak
akan pernah ada pertanyaan: Untuk apa suatu hukum ditetapkan dan buat
kepentingan siapa?
Karakter fiqih klasik ini coba direfleksikan secara terus-menerus
sejak NU berada di bawah KH Ali Maksum, KH Ahmad Shiddiq, serta KH
Ilyas Ruchiyat dan KH Sahal Mahfudh, selama satu setengah dekade
terakhir. Refleksi generasi kedua pemimpin NU itu telah berhasil
meletakkan dasar-dasar paradigmatik "fiqih baru" yang lebih mampu
mengakomodasikan realitas sosial.
Kelahiran konsep Khittah Nahdliyyah pada Muktamar Situbondo 1984,
disusul konsep aktualisasi Mabadi' Khaira Ummah pada Muktamar Krapyak
1989 dan penegasan konsep al-Maslahat al-'Ammah sebagai basis
pengambilan keputusan fiqih pada Muktamar Cipasung 1994, tidak lain
merupakan wujud konkret ijtihad kolektif atas "kemandegan fiqih" dalam
mensikapi ketimpangan sosial, politik dan ekonomi.
Penyempurnaan paradigma "fiqih baru", menjadi tanggung jawab utama
bagi generasi ketiga NU - angkatan Abdurrahman Wahid - dan generasi
kemudian. Beberapa hal kiranya perlu diagendakan. Perta-ma, membongkar
literatur fiqih yang selama ini berkembang di pesantren secara
menyeluruh. Literatur fiqih yang sangat kental dengan corak ritual,
normatif, legitimatif terhadap kekuasaan dan status quo, serta
berorientasi elitis, seyogyanya dijelajahi kembali. Upaya ini membuka
kemungkinan bagi reinterpretasi doktrinal, untuk memberikan visi dan
orientasi "fiqih baru" kepada transformasi sosial dan pemberdayaan
rakyat.
Kedua, menciptakan tradisi-tradisi baru sebagai counter discourse atas
produk diskursus sosial yang berwatak afirmatif terhadap kekuasaan.
Prinsip-prinsip sosial Sunni yang diaktualisasikan secara
"moderat-pasif", konservatif dan afirmatif, perlu diimbangi dengan
kritisisme. Tradisi baru yang diperlukan adalah suatu populisme yang
non-konfrontatif, tetapi sekaligus non-kompromistik dan
non-oportunistik.
Agenda ganda itu mesti ditempuh untuk menuju kepada formasi masyarakat
NU "pasca-fiqih". Masyarakat "pasca-fiqih" bukan berarti menanggalkan
fiqih, tetapi masyarakat yang paling kurang mempunyai tiga
identifikasi: (1) Menjadikan "fiqih" sebagai perangkat pemaknaan
sosial, tidak semata-mata tatanan ritual yang normatif; (2) Menimbang
dinamika sosial sebagai basis penentuan hukum fiqih, sehingga fiqih
mampu menampung pluralitas kebenaran; (3) Menjadikan fiqih sebagai
basis legitimasi bagi penciptaan wacana alternatif atas ketimpangan
sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Obsesi menggapai masyarakat NU "pasca-fiqih" ini, mungkin menjadi "PR"
jangka panjang.
* Nuruddin Amin, Staf LKIS dan staf Ketua PW GP Ansor DI Yogyakarta.
_____________________________________________________
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment