Kebhinnekaan "Nama" Tuhan
Mochamad Ali
kompas/danu kusworo
LANGKAH spektakuler yang ditempuh Presiden Megawati Soekarnoputri patut diacungi jempol. Bagaimana tidak? Tanggal 25 Juni 2002, Presiden membuka Konferensi Agama se-Asia (Asian Conference on Religion and Peace) di Yogyakarta. Konferensi itu dihadiri 364 peserta dari latar keagamaan beragam; Islam, Katolik, Kristen, Zoroaster, Sikh, Tao, Hindu, Buddha, Shinto, dan lainnya.
Dalam amanatnya, Presiden mengingatkan agar semua penganut agama lebih mengedepankan dialog dan rekonsiliasi dalam menghadapi setiap konflik yang terjadi. Imbauan presiden kali ini amat tepat. Apalagi kasus-kasus konflik yang mengemuka di skala nasional maupun internasional sering dipicu akibat pandangan picik dan sempit serta sikap eksklusif kaum agamawan yang belum tercerahkan pemikirannya.
Saat ini, dialog yang mengedepankan ketulusan nurani dan keterbukaan amat penting, dan merupakan pintu gerbang untuk saling memahami satu sama lain yang ujung-ujungnya untuk memperbesar toleransi sosial. Dengan mewujudkan dialogue of religions demi religious literacy di era millennium ketiga sekaligus menggencet alur pemikiran yang mengedepankan clash of religions. Pada saat sama, tesis yang pernah dilontarkan Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) lambat laun akan terberangus dan tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Aksara dan bahasa langit
Aksara dan bahasa Kitab Suci memang beragam, tetapi mengklaim berasal dari "Yang Ilahi". Menurut kaum Hindu, Kitab Suci Veda berbahasa Sansekerta dan aksara Devanagari dinapaskan Tuhan. Berdasarkan etimologi, Devanagari; Dev (heavenly) Nagari (script of the city). Kitab Suci Grand Saheb berbahasa Panjabi bagi kaum Sikh ditulis dengan aksara Gurmukhi; Gur (master) Mukhi (script) yakni tulisan Angad, Guru kedua kaum Sikh. Begitu pula kaum Yahudi.
Menurut catatan Targum Askhenazim yang dikompilasi oleh Rabi Akiva, sefer Beresyit 11:1,6 dinyatakan, "va yehi kol ha-arets safa ekhat u-devarim akhadim vayomer YHWH hen `am ekhad ve-safa atat lekhulam, u-bara Elohim et ha-syamayim ve-et ha-arets hem ha-olam nivra bi- leson ha-qadesy Ivrit (Adapun seluruh Bumi satu bahasanya dan satu logatnya, dan Tuhan (YHWH) berfirman: Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Allah telah menciptakan langit dan bumi sebagai wujud alam semesta, maka diciptakanNyalah dengan bahasa suci-Nya bahasa Ibrani.
Klaim teologis serupa juga mentradisi di kalangan Muslim. Bahkan, konon ada hadis yang menyatakan, bahasa penduduk sorga adalah bahasa Arab. Awal abad ke-XX ada seorang pakar tafsir, Mirza Ghulam Ahmad dalam buku Minanul Ruhman 9:166 menjelaskan makna Al-Bagarah 2:214, "ananhu sharafa qalby ila takhqiqi al-lisanah waa'anu nazdry fi tanqid al-lughat al-mutafarriqah wa- `allimny anna al- `arbayyata ummuha (Sesungguhnya Dia telah memberikan inspirasi ke dalam hati saya tentang hakikat bahasa-bahasa, dan Dia telah memberikan pertolongan pemikiranku dalam menilai berbagai bahasa, dan Dia telah mengajarkan kepada saya bahwa bahasa Arab itu induknya bahasa-bahasa).
Jika aksara dan bahasa dimaknai sebagai ekspresi Tuhan menyatakan wahyu-Nya bukanlah masalah, tetapi jika dimaknai berasal dari Tuhan yang berbeda-beda justru terjebak pada politeisme terselubung yang tidak rasional. Bukankah Qul Huwa Allahu Ahad (Arab), Aham Eka Brahman (Sanskrit), Yahweh Eloheinu Yahweh Ekhad (Hebrew) menyatakan Tuhan itu satu? Bahkan Musa pernah bertanya kepada Tuhan (Exodus 6:1) Mah shmo? (Apa nama-Mu), bukan bertanya Mi shmo? (siapa nama-Mu). Pertanyaan Mah menunjuk pada hakikat (makna) dari nama itu, bukan sekadar menunjukkan nama, tetapi mengacu pada kuasa di balik yang di-Nama-kan itu. Menggali makna/hakikat nama Tuhan lebih penting dibanding memperdebatkan nama "Tuhan". Yang ada hanyalah oneness of God, bukan unity of Gods.
Kebhinnekaan nama-Nya tidak memustahilkan agama-agama merajut kebersamaan. Mewujudkan dialogue of religions harus ada kesadaran yang inheren di antara sesama penganut agama yang berbeda untuk tidak menggunakan palu godam theological killing dan menilai "kebenaran" di luar dirinya berdasarkan frame of reference-nya. Dua "perangkat keras" ini sering digunakan untuk meniadakan eksistensi pihak lain yang tidak sepaham dengannya, sehingga konflik teologis itu mencuat ke permukaan yang akhirnya merembet ke konflik sosial. Semestinya bukanlah mengingkari bahkan "membunuh" eksistensi pihak lain, tetapi justru terus ditumbuhkembangkan adalah co-existence di antara pihak.
"Unity in diversity"
Claim of salvation and truth harus berputar haluan menuju claim of peace and co-existence. Bukankah semua agama mengajarkan konsep perdamaian di Bumi? Konsep brilyan agama-agama tentu "bahasanya" berbeda karena dilahirkan dari kebudayaan yang berbeda, serta mengekspresikannya dengan cara berbeda pula, tetapi bermuara pada pesan seragam, yakni kedamaian. Dalam agama Hindu mengenal kata Shanti, Budha mengenal kata Sadhu, Tao dan Konghuchu mengenal kata Sancai, Yahudi mengenal kata Shalom, Kristen mengenal kata Shlama, dan dalam ajaran Islam mengenal Salam. Semuanya bercita-cita mewujudkan kata-kata sakti "damai".
Inilah inti agama-agama yang harus ditebarkan di mana pun. Refleksi itu utopia bila hanya berhenti pada level dialog kata dan bukan dialog makna kata. Selama ini yang terjadi malah sebaliknya. Perang kata ditargetkan untuk menumbangkan kata-sakti agama lain yang tidak mau tahu makna apa di balik kata-sakti yang diperangi itu. Kebutaan makna inilah yang harus dicelikkan dalam forum-forum pertemuan antar-agama. Maka, mengagendakan pokok-pokok pikiran amatlah penting. Paling tidak harus segera dipahami ulang untuk mendewasakan dialog keagamaan yang melahirkan perdamaian di Bumi.
Damai di Bumi
Di surga Aden para malaikat menghaturkan salam kepada orang-orang beriman (Q.s. Al-Ra'd 13:23-24). Di alam langit, suasana salam benar-benar telah menggema. Apakah gema salam di alam langit bisa dihadirkan di Bumi? Al Quran mengajarkan agar salam dapat tercipta di Bumi. Maka, salam harus disampaikan kepada sesama mukmin dan non-muslim (Q.s Al-Nur 24:27-29; Maryam 19:47; 28:55). Membabarkan salam secara praksis, kaum Muslimin harus mampu menghadirkan spirit ritual haji (Q.s.Al-Baqarah 2:197). Di luar batas (temporal) maupun geografis Makkah-Madinah.
Inilah hakikat voice of pilgrims (suara ziarah) yang dipertinggi nilainya-hogere op trekking-guna mengejawantahkan "Jay Jagad-perdamaian/kemuliaan di seluruh Bumi". Sebaliknya, pengingkaran salam justru akan membubarkan salam itu sendiri. Ketika salam di Bumi dimanipulasi maknanya sesuai kepentingan doktrin-doktrin sempit dan politis, maka suasana damai di Jannat 'Aden (bahasa Arab) berubah menjadi Jnana (Sanskrit: pengetahuan) Edan (bahasa Jawa) yang terjadi di zaman Kaliyuga.
Yesus Kristus dalam Injilnya juga mengajarkan doa dalam bahasa Aramaic (Matius 6:10) Te-ethe malkuthokh (Datanglah kerajaan-Mu) Nehwe seb-yonokh (Jadilah kehendak-Mu) Aikano d-bashmayo of-bar'o (Seperti di surga begitu pula di Bumi). Mungkinkah kerajaan Allah di surga yang penuh "damai" itu bisa berinkarnasi di Bumi?
Tatkala ditanya tentang bagaimanakah sejatinya ungkapan bahasa Ibrani shalom 'aleikhem? ( Arab: assalamu 'alaikum) seorang Rabbi Yahudi menjelaskan kepada talmid-nya di Beth ha-Midrasy tentang shalom yang terkait erat dengan syemayim. Ia menjelaskan, kunci shalom ada pada kata bashmayo atau syemayim.
Dalam bahasa Ibrani, kata syemayim terpadu dari kata esy yang berarti api dan mayim yang berarti air. Air tidak menghilangkan api, begitu pula api tidak melenyapkan air. Keduanya berada pada posisi masing-masing. Melalui kata syemayim, api (esy) dan air (mayim) yang esensinya berbeda, didamaikan, tidak terlebur satu sama lain dan tidak saling meniadakan. Jadi kunci penghadiran syalom di bumi adalah bagaimana kita saling menciptakan ruang dialog (ketulusan) bagi yang lain, tidak saling memaksa, membunuh, atau menghilangkan eksistensi pihak lain.
Mochamad Ali Dosen Philology and Semitic Studies Fakultas Sastra Universitas Airlangga
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment