Tuesday, March 31, 2009

Menuju Nalar Objektif

Menuju Nalar Objektif

Oleh: Mohammed 'Abed al-Jabiri


Pemikiran Barat abad ke-20 dicirikan oleh pergeseran tajam status nalar dan sains. Pada saat orang-orang seakan tak henti "mendewakan" sains, dan siap mempertaruhkan segalanya demi kemajuan iptek, tak jarang kita jumpai usaha-usaha "mengebiri" peran nalar.

Kecenderungan saintisme yang mulai menjamur di penghujung abad ke-19 ini seakan menandai awal dimaklumkannya perang melawan nalar. Para filsuf berlomba menciptakan senjata ampuh untuk menghabisi musuh yang diyakini sebagai dalang kemunduran bangsa Eropa itu. Nietzsche, misalnya, mengumbar kritik-kritik pedas terhadap moralitas dan metafisika yang berujung pada "penghancuran nalar". Begitu pula Henry Bergson, filsuf "spiritual" Perancis itu. Dengan konsep intuisinya, Bergson seakan hendak menonaktifkan fungsi akal dari tugas epistemologinya.

Tapi pukulan paling telak datang dari kubu "positivisme logis". Prinsip verifikasi indrawi telah mereka gunakan untuk melucuti nalar dari status epistemologinya.

Hanya saja, yang masih menjadi tanda tanya, nalar manakah yang disepakati untuk "diberangus" itu? Jawabannya segera kita peroleh dari satu aliran filsafat yang baru belakangan banyak diminati, yakni Frankfurt School. Aliran ini lahir di Jerman pada dasawarsa 1940-an. Pendirinya adalah Marx Horkheimer dan Theodor Adorno. Titik tolak ajaran mereka adalah kritik terhadap yang mereka sebut "nalar instrumental" yang sudah kepalang dominan, dan sekaligus menghidupkan kembali apa yang disebut "nalar normatif atau objektif".

Menurut Horkheimer, nalar instrumental adalah potensi berpikir abstrak yang ada pada setiap manusia. Nalar ini sangat subjektif dan hanya mengabdi pada metode kerjanya tanpa pernah sedikit pun menaruh perhatian terhadap baik-buruknya objek pengetahuan. Karena itulah ia disebut "instrumental", karena statusnya yang hanya sebagai alat.

Nalar yang telah menghantarkan Barat menuju puncak kemajuan iptek ini telah hadir sebagai pengganti jenis nalar lain, yang selama berabad-abad menjadi primadona. Sejak zaman filsuf Yunani, nalar digambarkan sebagai sistem relasi antara objek-objek di alam raya. Sistem ini memiliki independensi yang terlepas dari individu sang pemikir.

Nilai rasional dan moralitas suatu tindakan selalu diukur dengan sistem itu. Baik adalah jika hal itu dianggap baik oleh umum. Dan bukan menurut sekelompok orang. Keteraturan alam raya dan segala peristiwa yang dikandungnya berjalan sesuai hukum kausalitas, hal yang sangat dipahami rasionalitas.

Karena rasionalitas adalah kesepakatan ide dengan realitas, maka tak ayal jika rasionalitas tindakan manusia selalu ditentukan oleh harmonisasi struktur holistik seluruh kosmik. Karena itu, dalam nalar objektif, yang menjadi fokus bukannya alat, tetapi tujuan.

Tapi, menerima nalar objektif tak berarti menolak keberadaan nalar instrumental. Bagi Horkheimer, nalar instrumental harus dilihat sebagai cerminan keterbatasan sistem nalar holistik yang darinya lahir nilai dan aturan manusia.

Karena itulah Horkheimer mengajukan dua pengertian objektivitas nalar. Pertama, sebuah nalar dianggap objektif, karena ia merupakan bagian nalar kosmik yang telah mewujudkan rasionalitas di jagat raya berupa keteraturan, kausalitas, dan lain-lain. Kedua, ia dianggap objektif karena tugas pokoknya menciptakan keselarasan antara ide dan tindakan manusia.

Menurut Horkheimer, krisis yang sedang melanda nalar dewasa ini bersumber pada dua hal. Pertama, ketidakmampuan nalar untuk menangkap hakikat rasionalitas nalar objektif. Dan kedua nalar yang menganggap hakikat itu hanya sebuah ilusi belaka. Dampak yang ditimbulkan dua sumber ini cukup mengerikan. Yakni, nalar telah berubah menjadi wadah formal tanpa muatan. Ia tak lagi mampu menentukan baik-buruknya suatu tindakan, karena realitas sudah kehilangan nilai rasional pada dirinya sendiri.

Akhirnya, walaupun konsepsi Horkheimer dan kawan-kawan ini muncul di tengah ingar-bingar Perang Dunia II, konsepsi itu tampak masih berlaku hingga sekarang. Terutama ketika akhir-akhir ini bermunculan sejumlah kecenderungan untuk menghidupkan kembali sosok nalar objektif sebagai usaha untuk menyegarkan fungsi etika, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam.


Penulis adalah pemikir garda depan Arab asal Maroko. Karya-karyanya dikenal sangat kental berkecenderungan epistemologis. Buku Naqd al-'Aql al-'Arabi (Kritik Nalar Arab) adalah magnum opus-nya yang dinilai banyak pengamat pemikiran Arab sebagai babak baru dalam studi epistemologi Arab (baca: Islam). Artikel ini salah satu model tulisan Jabiri tentang epistemologi, pernah dimuat harian berbahasa Arab Assharq al-Awsat, edisi 20 Januari 1997, dan diambil dari majalah Ummat, No. 19 Thn. II, 17 Maret 1997/8 Zulkaidah 1417 H.

No comments: