Bulan Sabit dan Penggusuran
Oleh Herdi Sahrasad *
Ironis dan paradoksal bahwa seruan moral rohaniwan Franz Magnis Suseno agar penggusuran warga di kawasan Jakarta dihentikan tidak digubris penguasa. Akibatnya, tatkala suara azan magrib menyentuh "bulan sabit" di atas awan Jakarta, para elite, kelas menengah, dan umat Islam yang menjalankan ibadah puasa, disodori berita pedih pemandangan kaum duafa yang digusur dan dihinakan di kawasan ibu kota.
Barangkali malaikat pun bertanya, masih adakah di antara para elite dan kelas menengah muslim yang peduli dengan derita kaum miskin yang digusur dan diusir dari bantaran sungai, kawasan kumuh, dan hunian liar, yang sesungguhnya merupakan kaum duafa yang harus kita bela?
Barangkali nyaris tidak ada, kecuali sebatas melakukan aktivitas karitatif atau rasa iba. Iman tanpa praksis dan sekadar ritual sungguh-sungguh telah menjadi fakta Islam di mana-mana. Inilah gejala kemerosotan "komitmen sosial muslim" yang sering diartikulasikan oleh Bassam Tibi akibat derasnya modernisasi dan sekularisasi.
Jika para ulama, ustad, dan intelektual muslim hanya bisa bicara "siraman rohani" di layar kaca, jika para aktivis dan politisi Islam hanya mengurus "partai, power struggle atau vested interest-nya", jika para pejabat, birokrat, dan pengusaha santri hanya sibuk berprofesi sehari-hari sebagai business as usual dan tak peduli kaum duafa yang digusur ini, maka sesungguhnya, meminjam Ali Syariati, Islam "substansial" yang bersifat membebaskan dan mencerahkan terancam mengalami reifikasi dan marginalisasi.
Celakanya, mayoritas elite agama, ekonomi, politik, dan budaya di ibu kota tampak tak terusik, apalagi merasa berdosa, dengan derita wong cilik yang digusur oleh aparat secara tidak manusiawi.
Presiden Megawati, sekadar misal, yang mengklaim partainya sebagai pembela wong cilik, sudah cuek lantaran pusing memikirkan masalah bangsa, apa lagi mengurus kaum tergusur di ibu kota. Kalau bos partai saja begitu, apalagi politisinya. Para calon presiden seperti Amien Rais, Cak Nur, Wiranto, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Prabowo, Hamengkubuwono, dan capres lain, juga belum terdengar gagasan, pemikiran, dan terobosan sosialnya untuk memecahkan masalah kaum duafa yang dikejar-kejar dan digelandang aparat bawahan Gubernur Sutiyoso di bawah dingin malam bulan sabit dan terik matahari terbit pada bulan suci Ramadan ini.
Para penganut teori konspirasi akan menduga bahwa aksi penggusuran berkelanjutan aparat DKI Jakarta dimaksudkan untuk merusak, menggerus, dan membusukkan citra Megawati dan PDIP sebagai partai wong cilik. Bahkan, ada teori konspirasi yang menengarai bahwa penggusuran itu juga untuk membakar perlawanan dan kemarahan wong cilik maupun mahasiswa terhadap penguasa agar instabilitas marak dan militer punya alasan untuk memenuhi panggilan sejarah guna menyelamatkan bangsa, konstitusi, dan negara, sekalipun sebagai pahlawan kesiangan.
Namun, toh, penggusuran itu secara umum merusak-busukkan komitmen pemerintah dan kepemimpinan sipil era supremasi partai untuk memenuhi visi dan misi reformasi: menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Yang paradoks dan ironis, tatkala para koruptor tetap bebas, konglomerat hitam tak tersentuh hukum, dan para elite partai dan penguasa enak-enakan menikmati gepokan uang dari politik dagang sapi, gelontoran obligasi dan privatisasi, serta korupsi-kolusi. Penggusuran ini dengan keras dan tegas dilakukan di tengah mayoritas masyarakat yang diam, the silent mayority.
Walhasil, di kawasan ibu kota, dunia nestapa adalah dunia kaum duafa pada Ramadan yang mestinya kita saling mengasihi, menghormati, dan menegakkan amar makruf nahi mungkar. Semua itu seolah membenarkan sinyalemen bahwa di Indonesia pada era reformasi ini, agama Islam ternyata kehilangan vitalitas dan makna spiritualitasnya sebagai kekuatan emansipatif, liberatif, dan transformatif.
Islam yang emansipatif, liberatif, dan transformatif itu, seperti seruan Hassan Hanafi, Hassan Al Bana, dan Ali Syariati, seolah hanya hidup dalam seminar, pesantren, media massa, dan perkuliahan kampus. Di medan laga kehidupan nyata, Islam ritual yang hampa makna dan sekadar menjadi mode dan gaya hidup elite, tokoh dan kalangan muslim yang tak bervisi, ternyata yang justru makin meluas dan berkembang.
Akhirnya, semua ini seolah membenarkan sinyalemen bahwa kebangkitan Islam di Indonesia ternyata hanya ingar-bingar dalam muktamar, pawai politik, dan demonstrasi tanpa substansi spiritualitas dan vitalitas sebagai kekuatan emansipasi sosial dan pembebasan.
Kalau sudah demikian, seolah wajar jika para tokoh dan orang-orang yang mengklaim beriman, berakhlak Islam dianggap gagal mentransformasikan kaum dan dirinya untuk melakukan perubahan ke kehidupan yang lebih baik.
Dalam situasi carut-marut ini, bagi kaum miskin, cara paling mudah dan praktis dalam menghadapi kenyataan hidup yang pahit dan tertindas di tengah lorong derita tiada ujung adalah melampiaskan kekerasan, apakah itu dalam bentuk radikalisme, terorisme, atau anarkisme. Akibatnya, wajah Islam yang sangar dan radikal acap muncul dan merusak citra kaum muslim di mana-mana.
Penyebabnya bermacam-macam, mulai soal ketidakadilan sampai ketidakmanusiaan, dari keterbelakangan sampai ketergantungan. Saya kira, di sinilah duduk perkara mengapa golongan Islam moderat sering mengaku kalah balapan dalam mengatasi radikalisme yang disebarluaskan muslim radikal di kalangan umat karena mayoritas Islam moderat ternyata masih penganut Islam ritual yang relatif miskin kesalehan sosial.
Karena itu, meminjam Montaner (2000), bangsa kita membutuhkan para figur tercerahkan, -meski mungkin hanya ada segelintir orang- yang secara etik-moral berani bekerja keras mengubah nilai-nilai, mindset, sikap, tabiat, dan tradisi kaum Islam ritual yang kerdil itu agar amar makruf nahi mungkar sungguh-sungguh diwujudkan untuk melakukan perubahan.
* Herdi Sahrasad, mantan visiting fellow Monash University Australia dan Indiana University AS, peneliti independen, dan aktivis Prodemokrasi (Prodem), kini research associate LSPEU Indonesia.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment