Tuesday, March 31, 2009

Bercanda dengan Tuhan

Bercanda dengan Tuhan

Karlina Supelli

DALAM buku indah Rahasia Wajah Suci Ilahi, Annemarie Schimmel menulis bahwa para sufi mempunyai ungkapan kesayangan, yaitu "pelepasan kedua sandal". Seorang "pencari" melepas sandal sebagai lambang pelepasan semua yang bersifat duniawi untuk memasuki wilayah Tuhan yang Paling Suci. Begitu memulai perjalanan, ia dibimbing oleh cahaya batin yang kian terang, sementara ia membebaskan diri dari keterikatan dengan dunia. Ia, kata para sufi, menggosok cermin jiwanya sampai mengkilap.

SESUDAH masa pemurnian yang lama-dalam mistik Kristiani disebut via purgavita-si pencari mencapai via illuminativa, tempat ia diberkati cinta dan kearifan. Demikian tulis Schimmel dalam buku lain, Dimensi Mistik dalam Islam.

Dalam diskusi kecil (diselenggarakan Femina-Pesona, November 2002) terungkap bahwa gerbang pengalaman rohani terbuka melalui cara berlainan, pada tahap yang berbeda dalam kehidupan tiap orang. Kerinduan akan "yang maha lebih" bisa timbul ketika seseorang mendengarkan riak air danau. Bagi orang lain, kesedihan membuat hatinya-bak nyanyian Fiesco dalam Simon Boccanegra karya Giuseppe Verdi-seperti sumur air mata tak berdasar; hempasan oleh batas-batas kemanusiaannya sendiri membuat ia merindu bersapa dengan Sang Pengulur Tangan.

Banyak pengalaman kerohanian didahului dengan pengembaraan jiwa dari senyap ke senyap, melalui hening yang seolah tak hendak putus ketika jawaban tak kunjung datang. Orang menempuh berbagai jalan sebagai pengantar.

Dalam dua dasa warsa terakhir, sains muncul sebagai ruang baru pengembaraan spiritualitas. Temuan sains menakjubkan serentak menggelisahkan. Kehidupan yang selama ribuan tahun sedemikian keramat, kini dicacah hingga bagian terkecilnya; kosmos dijelajah sampai titik paling dini yang masih terjangkau.

Tak terhitung orang yang mencoba membongkar sekat-sekat yang memilah dunia kehidupan menurut kotak-kotak sains, filsafat, agama, seni, dan lainnya. Di tengah harapan hangat itu kita mendengar ucapan pemenang Nobel Fisika Steven Weinberg (The First Three Minutes) yang mungkin membuat tidak nyaman para "pencari" lewat sains, "the more the universe seems comprehensible, the more it seems pointless". Apakah sebagaimana ditafsirkan Gerard de Vaucouleurs, ucapan Weinberg bersifat nostalgia saja?

Nostalgia bagi sebuah pandangan dunia yang pernah memberi manusia kehangatan spiritual, ketika langit dan seluruh isinya tampil bagai kerajaan manusia yang bertakhta di pusat penciptaan.

Selamat tinggal filsafat dan teologi

Tak ada gambar lebih baik yang dapat merepresentasikan kisah perceraian sains dari semua unsur religius daripada lukisan Galileo berlutut di hadapan Inkuisitor Gereja Katolik, berjubah terdakwa, dengan satu tangan diletakkan di atas Injil untuk mengucapkan sumpah bahwa ia akan meninggalkan pendapat sesat, yang tak lain sistem heliosentris Copernicus.

Latar belakang peristiwa tahun 1633 itu banyak disalahpahami. Sekalipun berhubungan dengan masalah hakikat sains serta pesan-pesan keimanan, kasus Galileo berintikan tantangan epistemologis dan metodologis terhadap pemikiran para intelektual pada zamannya, lalu melebar ke teologi begitu berkait dengan penafsiran kitab suci.

Salah satu warisan abad tengah bagi kosmologi Eropa abad ke-16 adalah leburan fisika Aristoteles dengan astronomi Ptolemeus dalam sebuah kosmologi yang membentang di atas mistik neo-platonis dan teologi Kristiani. Aristoteles juga meletakkan dasar bagi keabadian langit dan kefanaan bumi.

Ketika Ptolemeus (abad ke-2) menulis bahwa semua pengetahuan tentang langit, kecuali matematika gerak benda langit, hanya mungkin diperoleh lewat persentuhan dengan yang ilahiah, maka pemilahan Aristoteles terhela ke ranah teologis. Ptolemeus juga menyingkirkan fisika yang ia nilai spekulatif dan tidak relevan bagi astronomi.

Ia menggugurkan keyakinan yang dibangun para filsuf Yunani klasik, yaitu nalar manusia mampu mengenali prinsip dasar penataan alam.

Kosmologi pun menghilang dari risalah-risalah astronomi, dan baru muncul lagi dalam karya Thomas Aquinas, Summa Theologiae (ditulis mulai tahun 1267). Di luar lapis-lapis kosmos yang berpusat di bumi, di luar kawasan terjauh bola langit hunian bintang-bintang, terletak surga. Seperempat abad kemudian, Dante (The Divine Comedy) menaruh neraka di pusat bumi.

Manusia sungguh menempati posisi khusus. Ia begitu dekat ke neraka, tetapi masih mungkin terselamatkan oleh kubah langit spiritual. Dalam kerangka kosmologi seperti itu, menggeser bumi dari pusat tata surya sama dengan memutus rantai hubungan-hubungan penciptaan.

Apalagi kemudian Galileo menyingkirkan kekekalan langit Aristotelian. The Starry Messenger (1610) berisi argumen keserupaan bulan dengan bumi, yang berarti benda langit bukan kesempurnaan abadi. Risalah pendek itu juga menunjukkan bahwa Sabuk Bimasakti, yaitu bentangan kabut bak selendang malam, tidak lain bintang yang jumlahnya tak terkira.

Galileo tidak membuktikan bahwa bintang-bintang tersebar menuju tak hingga sebagaimana dipopulerkan Thomas Digges (1576). Namun, kesimpulan bahwa kian lemah cahaya bintang kian jauh letaknya, meruntuhkan hierarki langit. Dalam langit Galileo, Tuhan menabur bintang tanpa aturan, tanpa pola. Bola terluar langit terbuang.

Terlempar ke manakah surga?

Belum usai kegelisahan yang ditimbulkan Galileo, terbit Letters on Sunspots (1613). Galileo mencatat, noktah-noktah hitam di permukaan matahari bergerak serta muncul-hilang secara teratur. Lagi-lagi ini bukti bagi langit yang fana dan berubah. Galileo menemukan landasan untuk penyatuan mekanika langit-bumi, namun itu berarti memupus harapan akan sebuah dunia sempurna naungan manusia.

Ketaksesuaian antara sains dan keyakinan tradisional yang mulai mencuat ke permukaan abad ke-17, tidak terletak dalam temuan-temuan sains, melainkan dalam konflik antara sikap senantiasa meragu dan sikap percaya atas sesuatu yang tampak terberi dan benar. Dengan menerapkan matematika secara konsisten ke fisika serta fisika ke astronomi, Galileo merangkai ketiganya menjadi untaian tak terpisahkan yang menyediakan cara baru untuk memahami alam.

Cara itu tidak mengizinkan otoritas di luar sains menjalankan fungsi metodologis. Maka, walaupun Injil berbicara tentang benda-benda langit, bagi Galileo, Injil tidak mengurusi hal-hal teknis astronomi. Rupanya ia terkesan dengan ucapan Kardinal Baronio, bahwa Kitab Suci merupakan a book about how one goes to Heaven-not how Heaven goes.

Manusia yang kehilangan keilahian dan kemanusiaan manusianya

Drama Galileo berakhir memilukan. Namun, panggung bagi sains untuk memulai sejarahnya tanpa kerja sama dengan filsafat dan arahan dari teologi sudah tersedia.

Kala Newton berhasil membingkai langit dan bumi dengan hukum-hukum yang dimengerti manusia, ia menyediakan sarana kepastian bagi umat manusia untuk menjelaskan alam, memprediksikan gejala masa depan, mengontrol lalu menguasainya. Newton bukan saja melahirkan fisika agung, tetapi juga landasan bagi filsafat mekanistik-deterministik.

Dalam genggaman manusia berpengetahuan, masa depan hanyalah persoalan kalkulasi ilmiah. Itu yang dikumandangkan Laplace akhir abad ke-19, "tak ada lagi yang tak pasti … masa depan, sebagaimana masa lampau terbentangkan di hadapannya". Manusia mengelana dalam kosmos dengan mengandaikan sains memberinya "Mata Tuhan" untuk menghasilkan pengetahuan lengkap.

Terlepas dari kesalehan mereka, Copernicus, Galileo, Kepler, dan Newton bersama-sama berhasil membuang langit religius dari peta kosmos. Mereka menanggalkan kualitas spiritual alam yang selama ribuan tahun menghadirkan makna kosmik bagi manusia, dan memutus hubungan pengetahuan dengan yang ilahiah.

Integrasi mistik antara kata dan benda pecah. Kebenaran tidak hanya tercantum dalam teks suci atau naskah kuno, melainkan dapat diperoleh dan diuji lewat alam.

Lewat The Origin of Species (1859), Darwin menyeret lebih jauh konsekuensi langkah sains, sampai-sampai lengkaplah alasan untuk memandang sains sebagai penghambar makna spiritual menurut pengertian apa pun. Setelah Newton menjelaskan tatanan material kosmos melalui teori gravitasi, Darwin menjelaskan evolusi biologis melalui mekanisme seleksi alam. Kedua teori itu menyediakan gelanggang tempat alam berproses.

Manusia tersingkir dari pusat kosmos sekaligus dari puncak penciptaan. Ia semata hewan amat sukses buah eksperimen alam, dengan nasib yang tak pasti. Bisa saja ia punah, sebagaimana berjenis-jenis spesies yang mendahuluinya.

Rasionalitas yang diagungkannya cuma hasil permainan acak prinsip kebetulan dan keniscayaan. Alam, bukan Tuhan yang merupakan sumber permutasi kehadiran manusia.

Dalam alam semesta yang deterministik dan di atas bumi yang ditata oleh kebetulan yang bisa menghasilkan apa saja, masih adakah ruang bagi mukjizat Tuhan, kekuatan doa dan kebebasan manusia?

Freud melanjutkan pergulatan memahami diri secara dramatik. Bukan alam lawan tarung abadi manusia, melainkan kodrat dirinya yang menciptakan sebuah kawasan tak sadar. Di belakang kesadaran rasional-satu-satunya elemen yang membedakan manusia dari alam-bersembunyi kekuatan ampuh nonrasional yang tak masuk sepenuhnya ke dalam analisis rasional: the unconscious.

Bukan hanya elemen keilahian manusia yang terguncang, kemanusiaan manusia sendiri dipertanyakan. Mungkin di sini tepat mengutip Nietzsche (The Birth of Tragedy), "as the circle of science grows larger it touches paradox at more places".

Manusia yang terbelah

Pemenang Nobel Fisika Richard Feynman pernah berujar, "Belajarlah dari sains bahwa engkau perlu menyangsikan para pakar … sains adalah keyakinan pada ketidaktahuan para pakar." Menjelang akhir abad ke-19, kesangsian itu menjelma dalam fisika yang melunakkan pandangan dunia mekanistik-deterministik.

Orang pun menyadari, sains tidak menjamin sepenuhnya pengetahuan yang obyektif, benar, dan nonkontekstual. Hanya saja, dunia kehidupan manusia (Barat) sudah kepalang terbelah.

Di satu sisi ada dunia obyektif berciri ilmiah serta batas bagi pengetahuan yang menyuguhkan kebenaran. Di sisi lain ada dunia subyektif wilayah ideal moral manusia yang tak mungkin mencapai taraf obyektivitas dan kebenaran, yang parameter dasarnya ditentukan oleh sains. Kehirauan estetik, daya kreatif imajinasi manusia, dan pengalaman religius-spiritual mendapat tempat, tetapi tidak mungkin membuat klaim ontologis dalam dunia obyektif.

Filsafat yang melandaskan diri pada gairah intelektual untuk memburu sains yang impersonal, membidani sebuah dunia yang tidak lagi mengenali manusia. Sebuah kosmos, kata Michael Polanyi, tempat kita tak lagi berada di dalamnya.

Sebuah kosmos yang menghambar dalam kumpulan definisi serta aturan ilmiah dan filosofis yang ditawarkan para pakar.

Memanggil-manggil kembali Tuhan

Tahun 1929 Edwin Hubble merumuskan hubungan sederhana antara kecepatan galaksi dan jaraknya. Hukum Hubble bukan hanya merupakan salah satu temuan terpenting astronomi abad ke-20, melainkan juga pembuka pintu paling awal-sejak insiden Galileo-bagi Tuhan untuk masuk kembali ke dalam tafsiran hasil-hasil sains. Sejak itu, hampir semua bidang sains mencoba atau dipaksa membuka ruang bagi Tuhan.

Georges Lemaître (1931) adalah orang pertama yang menghubungkan hukum Hubble dengan gerak muai alam semesta. Andai film kosmik berputar balik, maka Jakarta, London, Tokyo, bumi, matahari, bintang, kosmos, dan hiruk-pikuk kehidupan di dalamnya tampak saling mendekat, bertumbukan, dan teremas oleh tarikan gravitasi menjadi gumpalan kecil mampat panas tak hingga. Lemaître menyebutnya atom permulaan.

"Para astronom menemukan Tuhan," begitu tertera dalam beberapa surat kabar, kala model asal usul alam semesta yang lebih lengkap, Big Bang, menerima peneguhan observasional tahun 1965. Temuan radiasi sisa masa awal kosmos cepat sekali membangkitkan gairah orang untuk menunjuk ke Penciptaan menurut bahasa religius. "Jika engkau orang yang religius, engkau seperti menatap wajah Tuhan," kata George Smoot dalam konferensi pers tahun 1992 yang memperkuat temuan tahun 1965 itu.

Tak ada yang lebih menggetarkan sukma para agamawan, sekaligus mengusik benak ilmuwan, selain ada tanda bahwa kosmos mempunyai awal. Big Bang berintikan skenario mengenai kosmos yang mengembang dan mendingin, tetapi tidak memaparkan bagaimana dan mengapa proses itu bermula. Teori umum relativitas, yang sejauh ini dinilai memberikan gambaran paling lengkap mengenai kosmos, mengalami kegagalan di titik mula tak terdefinisi itu, singularitas, yang diramalkannya sendiri.

Singularitas yang mengangkat semangat agamawan ke tingkat euforia itu justru menjadi mimpi buruk bagi ilmuwan. Penelusuran menggairahkan ke masa lampau di bawah bimbingan daya nalar berakhir di kebuntuan pengetahuan.

Arthur Eddington berperan besar membuat karya Lemaître mendapat perhatian. Namun, saat Lemaître menyebut atom awal, Eddington mencibir. Gagasan "permulaan" bagi tata kosmos secara filosofis membuatnya mual.

Padahal, sekalipun padri, Lemaître tidak menyebut-nyebut Tuhan. Sementara, astronom agnostik seperti Robert Jastrow malah tergoda, "Para ilmuwan mendaki gunung-gunung ketidaktahuan; mereka hampir saja menundukkan puncaknya yang tertinggi; ketika mencapai undakan batu teratas, mereka disambut oleh serombongan teolog yang sudah duduk di sana selama berabad-abad."

Dan Tuhan, bisa dipanggil memenuhi kepentingan yang sama sekali berbeda.

Simaklah pertentangan menyangkut generation spontaneous. Bagi Félix-Archimède Pouchet, menolak ide bahwa mikroorganisme muncul spontan dari materi, sama dengan memihak para ateis dan pendukung Darwinisme. Bukankah Tuhan terus mencipta? Sebaliknya, untuk menggugurkan argumen Pouchet, Louis Pasteur bertanya, kalau materi punya daya sendiri untuk bangkit hidup, apa guna Sang Pencipta?

Pasteur mau menegaskan diri dan mengambil keuntungan dari posisi sebagai ilmuwan. Dalam rangkaian kuliah terbuka di Sorbonne (1864), ia menaruh Pouchet-seorang Katolik saleh penolak keras Darwinisme-di kubu materialisme ateis.

Secara anggun ia lalu "menyelamatkan" Pouchet. Ia menekankan, Pouchet, layaknya ia sendiri, hanya mengacu ke fakta, "… cukuplah puisi, cukuplah imajinasi dan solusi instingtif; ini saat bagi sains, metode sungguhan … agama, filsafat, atau ateisme, materialisme, serta spiritualisme tidak relevan … sebagai ilmuwan bisa saya katakan bahwa semua itu tidak penting. Permasalahannya adalah fakta…."

Dalam konteks Perancis masa itu, berbicara teori Darwin ataupun spontaneous generation berarti terlibat dalam masalah biologi, sosial, politik, pemerintahan, dan Tuhan. Pasteur menegaskan, eksperimen laboratorium memang satu-satunya hakim adil bagi perdebatan mereka. Pouchet setuju.

Seperti pendapat sejarawan sains Bruno Latour, Pasteur dengan cerdas membawa para sekutu yang tidak semestinya disertakan, yaitu antipati terhadap materialisme dan ateisme, ke lingkungan akademik Sorbonne.

Menggusur lagi Tuhan

Dalam Konferensi Vatikan tentang Kosmologi (1981) yang diselenggarakan para imam Jesuit, Stephen Hawking memperkenalkan gagasan yang menghapus singularitas. Ruang-waktu berhingga, tetapi tak ada penciptaan. Kosmos hadir dari fluktuasi kuantum.

Bagi Alan Guth, yang melahirkan model inflasi kosmos sehingga kondisi masa kini bebas dari situasi tahap amat dini, kosmos sepenuhnya "makan siang gratisan". Tak perlu apa pun di luar kosmos untuk membuatnya ada.

Di manakah kita mau menempatkan Tuhan? Dalam kalimat Hawking, masih tersisakah peran bagi Tuhan?

Epistemologi juga bisa menolak pemahaman realis atas Big Bang. Singularitas merupakan batas konseptual saja; cakrawala ketaklengkapan ruang-waktu sebagaimana dinyatakan lewat relativitas klasik nonkuantum. Upaya Hawking dan Guth, serta-yang lebih eksotik-Vilenkin untuk meniadakan atau menggusur singularitas tentu amat menggiurkan; walau itu berarti menyingkirkan lagi Tuhan yang sempat dipanggil.

Sekali lagi, Tuhan

Sungguh, Tuhan menjadi sekadar pengisi retakan ketidaktahuan manusia. Ia diabaikan lagi saat sains menawarkan kemungkinan jawaban.

Ketika prinsip antropik terangkat ke khazanah ilmiah populer tahun 1980-an, orang menemukan cara baru menggapai Tuhan.

"Lihatlah, sains menunjukkan kosmos terancang demi kelahiran manusia," begitu kira-kira pesan yang diyakini mau disampaikan oleh prinsip antropik. Prinsip itu mencoba menjelaskan banyak "kebetulan" mempesona hasil jalinan berbagai tetapan dasar (kecepatan cahaya, muatan elektron, tetapan gravitasi, dan lain-lain), baik di aras kosmologis maupun subatom. Ada tiga versi, namun pengheboh utama adalah versi kuat prinsip antropik: kosmos "harus" begitu rupa sehingga memungkinkan para pengamat hadir pada suatu tahap evolusinya.

Brandon Carter yang melahirkan prinsip antropik (1970) memang jenaka. Tanpa keterangan, ia memainkan diktum filsafat René Descartes cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada), menjadi cogito ergo mundus tali est (saya berpikir, maka alam semesta seperti ini). Interpretasi teleologis (telos = tujuan) dan teologis segera mengganduli prinsip itu.

Sementara, fungsi prinsip antropik sesungguhnya antara lain mengintegrasikan historisitas pengamat ke dalam penyelidikan kosmologi. Pengamat (sebut saja, kita) menaruh efek seleksi bagi model-model kosmologi. Kita, misalnya, tak mungkin ada dalam kosmos Dirac yang sedikit lebih tua daripada tata surya.

Prinsip antropik mau mengatakan, "untuk memahami kosmos, kembalilah ke faktisitas makhluk-makhluk berkesadaran yang mempertanyakan keberadaannya sendiri". Syarat apa yang diperlukan? Model alam semesta bagaimana yang menampung persyaratan itu?

Ketika informasi rinci bagi langkah deduktif amat terbatas sehingga hampir tak mungkin diterapkan dalam kosmologi, prinsip antropik menyediakan sarana pragmatik yang menunjuk ke harga-harga a priori tetapan dasar dengan merujuk ke kenyataan bahwa kita ada. Kosmologi dapat bekerja lebih efisien. Prinsip antropik tidak memberi penjelasan ontologis bagi pertanyaan, "mengapa alam semesta seperti ini?" Apalagi menunjuk tujuan dan rancangan yang mengagungkan antroposentrisme.

Sayang sekali. Tuhan yang kita panggil demi kenyamanan psikologis, yang koyak akibat takhta kosmik manusia sudah berkali-kali direnggut oleh sains, sebetulnya belum diperlukan.

Kawasan tak bertuan

Sains masa kini memuaskan bukan saja karena temuan-temuannya kian teruji secara empiris, tetapi juga banyak pertanyaan yang selama dua abad terpinggirkan akibat beban metafisika, kini dapat dirumuskan ulang.

Dari manakah kita datang? Ke manakah kita akan pergi? Mengapa semua ini demikian? Mengapa sintesis inti karbon di pusat bintang berlangsung di aras energi talunan hingga prosesnya amat efisien? Sementara pada tahap berikutnya aras itu tiada sehingga karbon yang terbentuk terselamatkan dari pengubahan menjadi oksigen.

Sains menjawab pertanyaan yang dulu terpagar dalam wilayah teologi. Rambu metodologis ketat, bagaimanapun, sering menimbulkan kekecewaan bagi kehausan arkaik dalam diri kita.

Saat mengetahui bahwa karbon adalah unsur dasar kehidupan, dan tanpa dua "kebetulan" di atas, kejerahan karbon dalam kosmos mungkin tak cukup untuk mendasari kehidupan, banyak orang tergoda menoleh lagi ke Tuhan.

Kebutuhan menghangati keterpukauan dengan spiritualitas membuat orang membiarkan saja ketertalaan kosmos yang merupakan konsekuensi interaksi amat halus, tepat, namun rentan dari berbagai tetapan dasar, tinggal dalam kategori "kebetulan". Betapapun penting bagi iman, dengan segala hormat, langkah itu tidak mencerahkan bahkan memberi agama landasan yang goyah.

Kedalaman emosi yang muncul saat mempelajari kosmos hanya terasakan, kata Einstein, oleh mereka yang mengerti tuntutan kejam sains terhadap para ilmuwan: pengabdian total demi sebuah kosmos yang dapat dipahami oleh manusia. Pun setelah melewati pergulatan keraguan-kepastian-keraguan yang menyakitkan, tetaplah kosmos terpahami bukan jaminan bagi terjangkaunya struktur yang ada dan mendahului kepemahaman itu sendiri. Yang saya maksud, kosmos dalam pengertian ontik yaitu Kosmos (K kapital).

Kosmos terpahami terikat ke konsep manusia. Refleksi epistemologis, misal bagi konsep singularitas di atas, menyentak karena menghentikan ketergesaan langkah sukacita yang mau menariknya ke realitas transenden. Benturan pada cakrawala epistemologi memang sudah lama menjadi pangkal tolak bagi pencarian pengalaman kerohanian.

Ketika cakrawala adalah ketegangan antara keberhinggaan daya pengetahuan manusia dan kehendak untuk melampauinya, tidak jarang orang terbawa oleh kegundahan mengenai yang tak berhingga. Bagi banyak ilmuwan, lewat perspektif bidangnya, inilah kawasan "tak bertuan." Ketika kakinya masih menapak di tanah keilmuan, ia seperti memasuki ruang-ruang pengalaman tak tertuturkan.

Apakah seperti ujaran para sufi, bahwa memasuki samudra spiritual, kata-kata hanya menjangkau pantainya saja?

Bercanda dengan Tuhan

Dalam sebuah wawancara, Weinberg mengatakan bahwa sains kian membawa orang ke sebuah kemahaluasan yang membuatnya menggigil dingin; untunglah manusia adalah pemain drama yang menghangatkan panggung kosmik tak berbelas kasih itu.

Weinberg mungkin lupa bahwa setting panggung berperan besar dalam keberhasilan sebuah drama. Sains bisa mengantar orang-meminjam kata-kata Franz Magnis Suseno pada peringatan 50 tahun astronomi di Indonesia-ke tepian dunia bermakna, tetapi tidak untuk masuk.

Mungkin itu yang coba saya tangkap dari kalimat astrofisikawan Freeman Dyson, "I do not feel like an alien in this universe." Sebuah drama memerlukan kesalingan antara para pemain dan panggungnya.

Sains, khusus kosmologi dan penalaran antropik, menyodorkan sebuah kosmos yang berevolusi dan mengevolusikan dunia kehidupan, namun yang tak mungkin menjelma andai semua unsurnya tidak berorkestrasi indah. Satu saja tetapan dasarnya berbeda, kita tak hadir di sini sekarang.

Selanjutnya, kosmos dan seluruh kepemahaman di dalamnya adalah antropometrik. Memanusia, melekat pada keberhinggaan manusia.

Sains, filsafat, maupun bidang kehidupan lainnya menyodorkan pesonanya sendiri-sendiri yang dapat merangsang orang meneruskan upaya memperluas cakrawala pembatas masing-masing bidang. Hanya saja, kejatuhan yang terlalu mudah pada glorifikasi temuan-temuan sementara yang berubah cepat karena kemajuan pemikiran manusia sendiri, membuat saya dengan sedih dan gulana memberi judul tulisan ini seperti di atas.

Akhirnya, kita hanya mampu bercanda dengan pemahaman manusiawi kita tentang Tuhan. Ia kita panggil, Ia kita singkirkan, Ia kita panggil, dan kita mengira sudah masuk ke spiritualitas sejati, tanpa pernah sungguh-sungguh menggosok cermin jiwa untuk memahami spiritualitas dalam pengertiannya yang paling sederhana, hidup ini kita hayati untuk apa?

There are more things in heaven and on earth, Horatio,

Than are dreamt of in your philosophy

(Hamlet, Shakespeare)

Jakarta, 27 Maret 2003

Karlina Supelli Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

* (Tulisan ini adalah ringkasan makalah yang disampaikan dalam Diskusi Sains, Filsafat dan Spiritualitas yang diselenggarakan oleh Penerbit Mizan bekerja sama dengan Bentara Budaya Jakarta, 19 Maret 2003. Keterbatasan tempat menyebabkan banyak rujukan yang tercantum dalam makalah tak dapat dimuat).

No comments: