Tuesday, March 31, 2009

Membangun Inklusivisme

>Jumat, 9 November 2001

Membangun Inklusivisme dalam Beragama
Oleh Zuly Qodir


AGAMA ternyata bak pedang bermata dua. Di satu sisi teduh-agama menyerukan supaya manusia hidup berdamai, rukun sentosa, menjunjung nilai-nilai universal keadilan dan kebenaran- tetapi pada sisi lain bisa dibilang sangar-agama tak jarang menjadi semacam trigger terhadap munculnya kekerasan. Menghadapi kenyataan demikian itu, para aktivis rekonsiliasi atau perdamaian menjadi sulit melangkah.

Banyaknya kekerasan dipicu sentimen agama, seakan membenarkan, agama memang pendukung perilaku kekerasan, self fulfilling prophecy atas kekerasan berbau agama. Akibat yang diderita para pemeluk agama adalah mereka hidup dalam ruang yang serba sempit tertekan, karena agama yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung dan pengayom, malah berlaku kasar, terkesan jadi bengis.

Standar ganda yang diterapkan para pemeluk itu menganggap, agamanya yang paling sempurna dan paling benar, sementara agama lain tidak sempurna, karena itu salah dan sesat.

Dengan menempatkan standar ganda semacam ini-yang kemudian terkonstruksi pada masing-masing penganut agama-terjadi saling mengklaim, kebenaran hanya ada dalam agamanya; agama orang lain tidak mengajarkan kebenaran. Karena tidak ada kebenaran maka tidak ada pula keselamatan. Berpijak pada truth claim ini, maka pemahaman keagamaan mengarah pada segregasi-segregasi antarumat beragama.

Semua itu akan terjadi saat pemahaman atas agama atau keberagamaan masyarakat merupakan keberagamaan yang parochial, sehingga yang terbangun adalah sentimen-sentimen negatif atas agama lain. Namun, mungkin akan tereliminir sentimen-sentimen keagamaan dan kekerasan atas nama agama, saat cara keberagamaan masyarakat beranjak pada cara keberagamaan yang lebih toleran. Artinya apresiatif terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam agama-agama itu.

Sikap toleran dan apresiatif inilah yang merupakan kata kunci pada inklusivisme beragama. Perbedaan dalam agama dipahami sebagai sesuatu yang bukan taken for granted sebagai sunnatullah, tetapi menjadi kesadaran pluralisme pada masing-masing penganut agama.

Pluralitas agama karena itu mengandaikan sebuah kenyataan yang tidak saja wajar adanya, tetapi sebuah keniscayaan yang harus dihargai, dihormati, bahkan dijadikan semacam pijakan bersama guna menumbuhkan kedewasaan dalam beragama. Pluralitas agama tidak digerakkan untuk menuju kehidupan yang penuh disharmoni, pertikaian, ataupun perkelahian fisik antaragama.

Pluralitas agama, karena itu, sudah seharusnya menjadi modal dasar dan elan vital membangun sebuah peradaban masyarakat religius yang mendahulukan kompromi-kompromi dan dialog. Karena, di sinilah sebetulnya kekuatan utama agama-agama yang mengemban misi profetiknya. Bukan agama yang dikemas dengan kalimat-kalimat yang magis dan sacral, untuk saling menghancurkan dan menakut-nakuti sesama pemeluk agama, dengan alasan hanya karena berbeda.

***

KITA semua percaya, setiap agama mengajarkan prinsip-prinsip universal tentang keadilan, kejujuran, pembelaan terhadap yang tertindas, dan kaum minoritas. Agama mengajarkan agar manusia saling mengasihi, saling menyayangi dan mencintai.

Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan yang ada dalam cara atau tata cara, metode, atau jalan menuju Tuhan, bukan penghalang bagi terwujudnya dialog dan kerja sama antaragama; karena sesungguhnya perbedaan itu hanya penampilan, yang hakikatnya sama-sama menghadap Tuhan, mengabdikan diri pada Sang Khalik dengan pelbagai ungkapan dan ekspresinya.

Selama ini kita sering melihat sesama penganut agama saling bertikai. Itu terjadi karena perbedaan-perbedaan dalam hal-hal yang bersifat artificial performance, tetapi dianggap sebagai hal-hal yang esensial. Penampilan lahiriah diartikan sebagai dimensi paling mutlak dari ajaran agama. Padahal, itu hanyalah "jalan menuju Tuhan", yang bisa berarti polyinterpretable. Banyak jalan menuju Tuhan.

Berhubung memungkinkan adanya banyak interpretasi tentang agama, maka memutlakkan salah satu model interpretasi menjadi titik awal kekacauan, kejanggalan, bahkan pertikaian bernuansa agama.

Oleh karena itu, jika terjadi pemaksaan-pemaksaan terhadap orang untuk beragama karena anggapan "perekrutan" sebanyak-banyaknya umat masuk salah satu agama dianggap model "dakwah" atau "misi" paling penting dan paling baik, hal ini akan menimbulkan hegemoni dan ekspansionisme yang dilakukan atas nama agama. Padahal, sebenarnya hal seperti itu amat jelas dilarang agama-agama. Agama tidak pernah menolerir perlakuan hegemonic, ekspansionis, karena yang akan terjadi di belakangnya adalah perlakuan diskriminatif atas pemeluk agama yang berbeda.

Untuk menuju ke arah agama yang menghargai perbedaan (baca: pluralitas), tidak ada lain kecuali dibutuhkan cara baru dalam beragama. Salah satu yang dapat ditawarkan adalah bagaimana antarpemeluk agama bisa saling menghormati perbedaan sebagai hal yang asasi, dan sikap itu menjadi basis pertemuan agama-agama. Sikap itulah sikap inklusif, realis.

Jadi, perbedaan tidak berarti harus disharmoni. Perbedaan dikelola untuk menuju harmoni yang sebenarnya. Perbedaan yang dikelola akan menjadi berkah bagi seluruh umat manusia, karena Tuhan sendiri menyatakan, perbedaan itu bukan sekadar berkah bagi seluruh umat manusia tetapi juga berkah bagi alam semesta ini.

Bagaimana agar masyarakat religius tidak terjebak dalam sikap standar ganda dan "toleransi yang malas"? Dalam beragama, dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan dari masing-masing pemeluk agama untuk bersama-sama membicarakan masalah-masalah serius seperti kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, diskriminasi mayoritas-minoritas, hak-hak perempuan, buruh, petani, nelayan, dan demokrasi. Pendeknya, agama dikemas bukan saja pada aras teosentris, namun lebih pada aras antroposentris

Logika yang dibangun di sini adalah agama-agama diajak merespons masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Bila agama-agama diarahkan merespons masalah-masalah ini, maka titik temu agama-agama benar-benar terwujud. Umat beragama tidak lagi akan disibukkan oleh urusan bagaimana "mempertobatkan" orang lain yang dianggapnya belum beriman dan kafir.

Masalah "mempertobatkan" orang lain yang disebabkan adanya klaim keselamatan tunggal dalam agama, memang menjadi masalah serius yang terjadi dalam paradigma dakwah atau misi yang harus segera dicarikan jalan keluar. Jika tidak segera di-clear-kan dikhawatirkan akan makin meruncingkan hubungan antaragama. Apalagi dakwah atau misi yang hanya menekankan kuantitas, bukan kualitas pemeluknya.

Oleh karena itu, dakwah atau misi sudah seharusnya sejak sekarang digerakkan arahnya pada proses pembentukan dan peningkatan kualitas keimanan seseorang, bukan lagi berorientasi pada jumlah jemaah. Dakwah atau misi digerakkan untuk lebih banyak memupuk solidaritas umat antaragama dan kerja sama.

Adanya paradigma keselamatan tunggal yang dikonstruksikan lewat dakwah/misi agama, mengakibatkan munculnya cara beragama berparadigma lama, yaitu paradigma "superior-inferior", yang di dalamnya mengandaikan adanya "persaingan". Paradigma ini tidak memberi ruang pada umat beragama untuk berdialog dan kerja sama.

Paradigma seperti ini harus segera dirombak, ke paradigma baru yang mengarah pada adanya ruang dialog dan kerja sama, sehingga dengan sendirinya mengandaikan adanya toleransi yang sesungguhnya.

Dari sana, masa depan agama-agama di negeri ini akan memberikan "ruang publik" bagi tumbuhnya harmoni dalam perbedaan.

Jika cara beragama masyarakat kita tidak diubah paradigmanya, maka omong kosong kalau mengatakan, harmoni yang esensial bisa dicapai. Dengan paradigma lama, yang akan terjadi (kalaupun ada) adalah lazy tolerance, sebuah toleransi dalam kepura-puraan.

***

BANYAK pengamat studi agama berusaha "memetakan dan mengurai" masalah-masalah krusial dalam diri agama-agama. Dari situ lalu dicari letak kesalahannya, serta beberapa alternatif pencarian titik temu sebagai proses penyelesaian. Masalah-masalah itu dikemukakan Hans Kung, John Hick, Asghar Ali Enginner, Mohammed Arkoun, Abdullah Ahmed An-Naim, dengan latar belakang beragam. Mereka berasal dari tradisi Kristen Protestan, Katolik, dan Islam. Bahkan, Karen Amstrong sebagai contoh, dengan amat radikal menelusuri sejarah Tuhan dari tiga agama Abraham (Ibrahim). Hasil penelusurannya adalah karya besar yang diberi judul The History of God, 1993, dan karya sampingannya seperti The Battle for God, 2000.

Oleh karena itu, dengan pelbagai gerakan intelektual yang telah dimulai, sebenarnya memberi pijakan bagi aktivis perdamaian (rekonsiliasi) antaragama untuk terus melakukan karya nyata di lapangan (masyarakat basis). Dengan memperbanyak karya nyata di tingkat basis (grass root), maka persoalan-persoalan antaragama yang biasanya terjadi karena pengaruh elite-elite agama tidak menular di masyarakat luas. Toleransi yang tumbuh nanti benar-benar berakar pada kesadaran atas solidaritas beragama sebagai umat manusia.

Klasifikasi atas masalah-masalah antaragama berkait dengan pluralisme, toleransi, dan inklusivisme beragama, menjadi agenda penting yang harus dicermati karena masyarakat kita ini majemuk.

Bagaimana pluralisme itu hadir dan bagaimana harus bersikap terhadapnya, amat penting dipikirkan. Bahkan, yang tidak kalah penting adalah masalah konflik yang biasanya berkait (atau dikait-kaitkan) dengan agama. Konflik dalam konteks sosial-politik yang merembet (atau dirembetkan) pada konflik agama, akan dipecahkan dengan cara bagaimana (baca: alternatif jalan keluarnya), serta bagaimana merakit masalah dialog antaragama pada tataran wacana dengan cita-cita perdamaian pada tataran konkret realitas masyarakat sebagaimana yang digagas oleh agama-agama.

Di sini agaknya NGO (nongovernmental organization) keagamaan yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Serikat Islam, Nahdlatul Wathan, KWI, PGI, Parishada Hindu, Walubi, dan lain-lain, bergandeng tangan merespons masalah-masalah kemanusiaan yang menjadi kebutuhan bersama yang mendesak dan perlu segera ditangani.

Antarsesama NGO keagamaan tidak lagi harus saling curiga atau under estimate gara-gara diselimuti semangat persaingan, tetapi justru harus saling percaya dan membantu.

Dengan begitu kehidupan baru dalam beragama akan tumbuh. Umat beragama tidak lagi terjerat dalam segregasi eksklusif-inklusif yang berpangkal sentimen-sentimen parokialisme. Untuk mempersempit ruang despotic agama-agama, agaknya membuka mata bagi terjalinnya dialog dan kerja sama antaragama-bahkan antar-elemen masyarakat untuk merespons banyak masalah kemanusiaan-harus menjadi pilihan utama.

* Zuly Qodir, peneliti di Institute for Inter-Faith Dialogue in Indonesia/Interfidei, Yogyakarta.

No comments: