Tuesday, March 31, 2009

Dasar Epistemologis Agama Kerakyatan

Dasar Epistemologis Agama Kerakyatan
Muhammad Ja'far, Pengamat sosial-keagamaan; Alumnus lembaga pendidikan Al Khairiyah, Bondowoso, Jatim

GAGASAN Saudara Hatim Gazali perihal kemendesakan dan keharusan untuk 'Membangun Agama Kerakyatan' (Media Indonesia, 5/12/2003), sangat menarik. Namun, tampaknya ada beberapa aspek yang luput dari tinjauan Saudara Hatim. Karena itu, tulisan ini, di samping mencoba untuk memberikan catatan kritis, juga ditujukan untuk memberikan dasar epistemologis gagasan tersebut.

Menarik untuk ditinjau kembali adalah dikotomi Saudara Hatim tentang agama sebagai sebuah nilai yang absolut-transenden dan pemikiran keagamaan yang cenderung bersifat relatif-imanen. Pertanyaannya, sejauh mana dikotomi tersebut dapat dipertanggungjawabkan keabsahan dan relevansinya?

Selama ini memang berkembang luas dan kuat, pemahaman tentang perbedaan antara agama sebagai sebuah nilai yang absolut, dan gerakan pemikiran keagamaan hasil rintisan rasio manusia yang relatif sifatnya. Yang pertama, biasanya diasumsikan sebagai seonggok konsep utuh yang diturunkan oleh Tuhan ke bumi sebagai pedoman dan konsumsi hidup umat manusia. Adapun yang kedua, pemikiran keagamaan, dibatasi hanya sebagai hasil pemahaman dan 'pembacaan' manusia atas konsep yang diamanatkan Tuhan tersebut.

Persoalannya, dapatkah kita membuktikan kebenaran dikotomi tersebut? Atau dengan kata lain, bagaimana kita dapat membedakan antara agama yang hanya sebagai sebuah pemikiran dan agama sebagai konsep utuh yang diturunkan Tuhan? Sejak dahulu hingga kini, dan sampai masa yang akan datang, semua hal yang berkaitan dengan agama, baik pada tataran kognitif maupun praksis, pada dasarnya merupakan hasil olah pikir manusia. Bahkan, pada tataran yang paling fundamental, gagasan tentang eksistensi Tuhan tak lain hasil observasi rasio manusia. Sebab, proses penerimaan wahyu oleh para nabi, yang diasumsikan sebagai cara lain mengetahui eksistensi Tuhan, pada dasarnya tidak akan pernah dapat diverifikasi secara ilmiah-faktual. Semua itu terbatas hanya pada tataran keyakinan semata.

Jadi, jika selama ini berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan, baik yang sekadar berbentuk pemikiran ataupun yang telah terinstitusionalisasi menjadi sebuah agama, selalu terjebak pada klaim-klaim kebenaran. Hal itu dikarenakan persoalan tersebut tidak pernah dapat dibuktikan tingkat kebenarannya. Semuanya hanya bersandar pada klaim semata. Sehingga, jika memang dapat dipisahkan antara agama sebagai sebuah konsep utuh dan yang merupakan hasil pemikiran manusia, sebagaimana yang dipretensikan Saudara Hatim, tentu klaim keabsolutan menjadi absah. Lebih dari itu, tentu kebenaran berbagai pemikiran keagamaan juga akan dapat diverifikasi tingkat kebenarannya.

Jadi, pada dasarnya semua gagasan tentang Tuhan khususnya, dan agama pada umumnya, tak lain merupakan hasil pemikiran manusia. Kita tidak pernah dapat membuktikan keberadaan dan kebenaran agama sebagai sebuah konsep utuh yang diturunkan Tuhan. Ini artinya bahwa dikotomi tentang agama dan pemikiran keagamaan, sebagaimana ditegaskan Saudara Hatim, sama sekali tidak berdasar. Karena, pada dasarnya, semua pemikiran keagamaan yang dicetuskan akal manusia, itulah agama itu sendiri. Demikian sebaliknya, agama tak lain merupakan hasil pemikiran akal manusia tentang eksistensi Tuhan yang sampai kapan pun tidak akan pernah dapat diverifikasi kebenarannya.

Penegasan tentang irelevansi dikotomi ini sangat penting. Terutama dalam kaitannya untuk menghindari klaim kebenaran oleh satu pihak atas pihak yang lain, tentang pemikiran keagamaan (agama)-nya. Di samping itu, dasar peruntuhan dikotomi antara agama dan pemikiran keagamaan, memberikan dasar epistemologis bagi gagasan tentang agama kerakyatan.

***

Bertolak dari sini, maka dapat dipastikan bahwa segala bentuk pemikiran keagamaan, atau agama, seharusnya diorientasikan bagi kemanusiaan. Karena, proses berpikir yang dilakukan oleh manusia selalu tentang dan untuk hidupnya. Namun ironisnya, yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Manusia seakan beragama untuk Tuhan, bukan untuk kemanusiaannya. Padahal, pada saat yang bersamaan diyakini dan ditegaskan bahwa sebagai sebuah entitas, Tuhan tidak pernah membutuhkan penghambaan dari manusia.

Jadi, gagasan tentang keharusan membangun agama kerakyatan, sebenarnya tak lain merupakan upaya untuk mengembalikan agama pada peran primordialnya. Dengan kata lain, pada orientasi kerakyatan itulah sebenarnya agama menemukan signifikansi perannya. Dan, jika sejarah membuktikan bagaimana agama digunakan untuk kepentingan kuasa dan dominasi elite, maka hal itu merupakan salah satu ekses lebih lanjut dari pola pemahaman yang salah tentang eksistensi dan orientasi dasar beragama. Politisasi agama sering kali mudah dilakukan oleh elite dan penguasa dengan cara memanfaatkan otoritas Tuhan di bumi. Dan, pemahaman serta keyakinan akan adanya otoritas absolut Tuhan di bumi ini, lahir dari pola pikir yang menempatkan agama bukan sebagai sebuah hasil kreativitas olah pikir rasio manusia.

Lebih lanjut, terkait dengan gagasan agama kerakyatan sebagaimana yang ditawarkan Saudara Hatim, yang harus dipahami bahwa agenda tersebut sudah harus dilakukan pada tataran praksis, bukan uraian konseptual semata. Dan, agenda ini memerlukan keterlibatan langsung para agamawan. Dasar asumsi lama bahwa para agamawan hanya bertugas dalam kapasitasnya sebagai 'penyuluh' agama dan penggiat teori serta hukum agama, harus kita buang jauh-jauh. Saat ini, yang dipentingkan adalah keterlibatan aktif dari para agamawan pada upaya praksis berbagai dasar konseptual agama yang berbasis kerakyatan.

Di sisi lain, dasar asumsi bahwa yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk berpikir tentang Tuhan dan melahirkan gagasan keagamaan hanyalah para agamawan serta para sarjana yang memiliki basis intelektual yang mumpuni tidak lagi dapat dipertahankan. Memang, berpikir tentang Tuhan secara khusus, dan agama secara umum, hendaknya disertai dengan argumentasi yang memadai dan kuat. Namun, menjadi lain persoalannya ketika hal itu dianggap hanya menjadi otoritas elite agama. Sebab, akan sangat rentan untuk dimanipulasi menjadi senjata dominasi, alat politis dan ajang pembodohan masyarakat awam. Lebih dari itu, bukankah Tuhan sendiri menegaskan bahwa eksistensi dirinya dapat diketahui melalui kekuatan akal? Ini artinya, setiap individu memiliki potensi rasio yang sama untuk menggapai gagasan tentang Tuhan.

Adapun perihal fenomena politisasi agama yang tak kunjung berakhir, sebagaimana yang juga disinggung Saudara Hatim, maka hal itu dapat disiasati dengan usaha mendewasakan pemahaman keagamaan masyarakat. Logikanya, jika penyebaran sebuah virus tidak dapat ditanggulangi, maka kita harus mencari obat kekebalannya. Demikian juga dengan fenomena politisasi agama. Jika tideland tersebut tidak dapat dicegah, maka langkah yang harus dilakukan tak lain adalah usaha untuk menanamkan kesadaran kepada para pemeluk agama untuk dapat memilah secara proporsional mana yang merupakan tindakan politisasi agama dan tidak. Sebab, pada dasarnya, politisasi agama selama ini sangat mudah dilakukan, dengan cara memanipulasi pemahaman dan kesadaran keberagamaan masyarakat yang rendah

No comments: