Puasa Bukan Sekadar Selebrasi Ibadah
Oleh Zaenal Abidin EP
Memasuki bulan puasa tahun ini (1424 Hijriah) tak ubahnya seperti menjalani puasa tahun sebelumnya. Merebak di mana-mana, umat Islam sibuk menyambut datangnya bulan suci dan menjalankan ibadah yang menjadi rukun Islam keempat itu.
Hampir di setiap masjid dan mushala disemarakkan berbagai kegiatan keagamaan. Tadarus Al Quran dan Shalat Tarawih tak lepas diselenggarakan setiap malam, dihiasi dengan ceramah sang dai. Tampilan fisik juga dipercantik. Warna cat yang kusam diganti yang baru. Lampu warna-warni dipajang di depan mengelilingi pintu dan seterusnya.
GAIRAH "kesadaran ilahiyyah"" umat Islam merambat naik, seperti mencapai titik kulminasinya sebagai hamba Tuhan. Mendadak banyak sosok kian alim dan rajin ke tempat ibadah. Sesuatu yang tidak hanya jarang dijumpai, tetapi juga jarang terjadi di luar bulan Ramadhan. Ramadhan seperti titian untuk mencapai garis tepi sehingga tak ayal harus dibuat banyak perbedaan dengan bulan sebelumnya dengan asumsi lebih baik.
Perubahan juga melanda di sektor kehidupan lain yang tidak ada kaitannya secara praksis atau langsung dengan hal-hal berbau agama (nonreligius). Mari kita perhatikan perubahan apa yang terjadi di mal-mal, di sekolah, di kantor, dan di tempat lain di bulan Ramadhan ini. Tentu berbeda dengan bulan sebelumnya. Beragam cara dilakukan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Seperti pada waktu puasa sebelumnya, di tingkat elite politik, ketegangan, polemik, dan kontestasi atau rivalitas antarkubu yang sebelumnya bertikai juga seperti tidak kelihatan atau menurun tensinya. Simak kiprah politisi dan elite pemerintahan. Laksana ada hukum konvensional yang harus ditaati bersama bahwa memasuki bulan puasa, semua kegiatan yang berbau ketegangan dan persaingan harus dikurangi. Kira-kira, "tunggulah barang sebulan, setelah itu kita bersaing lagi", yang bergaung di benak mereka. Lantas, para politisi dan elite pemerintahan sibuk menggelar dan terlibat acara religius di berbagai arena.
Puncak perubahan paling mencolok ketimbang yang lain dan paling radikal menjalar serta menghinggap di sektor saluran hiburan, terutama televisi. Semua stasiun televisi melakukan perubahan sajian. Stasiun televisi sebagai produk kapitalisme global senantiasa dituntut bebenah agar tidak kalah dalam menjaring kue iklan yang jumlahnya tidak seberapa. Para artis sinetron (selebriti) berganti busana. Baju muslim bertengger di tubuh mereka, seakan bermetamorfosis menjadi hamba-hamba religius yang menganjurkan segala kebaikan kepada pemirsa.
Itulah gambaran singkat betapa bulan Ramadhan kini menjadi gejala selebrasi bagi sebagian kalangan. Ramadhan juga menjadi ajang mengeruk keuntungan dengan menjual berbagai paket ibadah. Hakikat dan makna Ramadhan kian bergeser menjadi hamparan pesta yang dilabeli simbol religius di sana-sini. Semua itu menuju satu arah; selebrasi ibadah.
PATUT dicermati, pelaksanaan ibadah puasa kian terjebak lingkaran formal ritualistik. Puasa hanya sebatas dimaknai sebagai paket ibadah yang harus dijalani berdasar produk fiqh yang telah baku. Puasa dimaknai sebatas ibadah; menahan makan, minum, dan bersebadan di siang hari. Selain itu, ibadah yang bersifat sunah dianjurkan dijalankan untuk mengisi kemuliaan utamanya di malam hari.
Padahal, mengutip George Antonio (1965) dalam Muslim Civilization, ibadah tidak semestinya jika hanya disikapi secara formal ritualistik. Bagian terpenting dalam ibadah adalah pada sejauh mana manusia mampu mengimplementasi pesan yang ada dalam tindakan ibadah ke dalam kehidupan sosial praksis. Dalam konteks ini perlu kesesuaian antara rutinitas amal ibadah seseorang dengan kesalehan dalam perbuatan keseharian.
Karena itu, amat sayang jika ibadah puasa tidak dapat dikaitkan dengan problem sosial seperti yang mendera bangsa akibat krisis berkepanjangan. Momentum puasa seharusnya menjadi titik awal dan pendorong perombakan total guna memberesi aneka penyakit yang diidap bangsa ini. Puasa selayaknya menjadi spirit pembebasan terkait praktik ketidakadilan dewasa ini. Berbagai penyakit sosial seperti korupsi, suap, dan kolusi yang kian subur seharusnya menjadi isu utama untuk segera dilenyapkan. Demikian pula, bagaimana puasa menjangkau penderitaan kaum perempuan yang menjadi TKW di luar negeri dan kelompok marjinal yang tersia-siakan akibat kebijakan pemerintah, seperti penggusuran, hak-hak sipil warga minoritas, dan sebagainya.
Sebab, pada sektor ini sebenarnya peran agama dipertaruhkan. Agama dipertanyakan fungsinya sebagai penggerak perubahan sosial. Ritual-ritual keagamaan tidak menemukan tempatnya jika hanya melulu berorientasi formal ritualistik. Praktik keagamaan juga kian hambar jika hanya terkungkung selebrasi ibadah. Pada titik ini, makna ibadah tidak lebih dari sekadar rutinitas yang mekanistik tanpa menyentuh substansi persoalan mengapa ibadah itu diwajibkan.
Meminjam teori Max Weber (1958), agamalah yang sebenarnya mempunyai andil dalam melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Dalam sejarahnya, agama dengan kekuatan pembebas yang dimilikinya mampu melakukan pembebasan dari jerat ketertindasan yang menimpa manusia. Etik keagamaan serta nilai yang dikandungnya menjadi palu godam perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih baik. Nilai etis agama yang antiketidakadilan dan kecurangan menemukan élan vital-nya bila berhadapan dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat.
Dalam hubungan inilah signifikansi kehadiran ibadah puasa mampu menjadi semacam eleksir dari penyakit sosial yang menimpa masyarakat.
TANPA mengaitkan ibadah puasa dengan masalah keduniawian, sejatinya puasa hanya sebatas menahan haus dan lapar. Puasa tidak berarti apa-apa jika hanya dimaknai ritual. Puasa seharusnya menjadi momentum perubahan sosial untuk capaian kehidupan duniawi yang lebih adil dan beradab.
Sayang jika puasa hanya sekadar dijadikan ritual tahunan untuk menyucikan dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Jika menyitir hadis, "Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan sungguh-sungguh, maka diampunilah semua dosa yang telah diperbuat maupun yang akan datang" (HR Ahmad) semestinya tidak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja, apalagi untuk mengafirmasi perbuatan dosa selanjutnya. Sebab, perbuatan dosa yang dilakukan seseorang itu sebenarnya hanya lebih menguntungkan dirinya sendiri dan menyengsarakan orang lain.
Akhirnya, puasa harus dilepaskan dari sifat formal ritualistiknya dan bukan sekadar selebrasi ibadah belaka. Ia harus ditarik sebagai momentum bersama guna menyadari akar penyebab keterpurukan bangsa ini. Nasib bangsa yang sudah di "bibir jurang" ini harus segera diselamatkan melalui kesadaran kolektif, terutama melalui momentum puasa ini.
Zaenal Abidin EP Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Aktif di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Generasi Muda Antar-Iman (Gemari)
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment