Beragama dalam Era Transisi
Mun'im A Sirry
Dok kompas/agus susanto
DALAM bukunya Militant Islam yang terbit pada tahun revolusi Iran 1979, wartawan kawakan GH Jansen memprediksikan, "revolusi Islam" berikutnya akan terjadi di Indonesia. Lebih lanjut Jansen memperkirakan, revolusi Indonesia berbeda dengan Iran: tidak ada pertumpahan darah, bukan penggulingan pemerintahan, namun revolusi damai. "... religious and ethnic-cultural tolerance as is the case in Indonesia, can serve as a model. Such a model is not only an example for the Islamic civilization but also for peace between civilizations in general," tulis Jansen.
Rupanya Jansen terkesima dengan cara beragama bangsa Indonesia yang toleran, ramah, pluralis, dan mengedepankan kesetaraan. Banyak hal tipikal Indonesia dicatat Jansen. Misalnya, jaminan persamaan perlakuan terhadap agama-agama. Di Jakarta, menara gereja Katedral tidak lebih tinggi dari menara masjid Istiqlal. Di Turki, dengan watak sekulernya, menara gereja jauh lebih menjulang tinggi dibanding menara masjid. Biasanya, masjid-masjid terletak agak tersembunyi di pinggiran jalan.
Juga, tidak seperti rumusan fikih yang menempatkan umat agama lain sebagai dzimmi, komunitas kelas dua, minoritas yang dilindungi. Karena itu, mereka tidak ada dalam level sama dengan kaum Muslim. Di Indonesia, non-Muslim bukan dzimmi, tetapi warga negara dengan hak-hak dan kewajiban sama. Sampai batas tertentu, Indonesia dianggap berhasil mengembangkan tradisi beragama berdasar kearifan budaya lokal yang bisa menjadi model bagi peradaban Islam dalam transisi menuju abad ke-21.
Kekhasan Islam Indonesia juga pernah dikemukakan mantan Menteri Agama Mukti Ali. Saat menghadiri "Konferensi Pertama tentang Peradaban Islam", November 1979, di Kairo, Mesir, Mukti Ali diprotes keras kalangan ulama konservatif Azhar karena menyebut adat-istiadat sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam Indonesia. Menjawab provokasi bahwa boleh jadi adat istiadat Indonesia tidak Islami dan dia harus menentukan apakah dirinya Muslim atau Indonesia, ia berkata tegas: "Saya adalah Muslim Indonesia".
Agama kebenaran vs agama identitas
Jawaban Guru Besar perbandingan agama itu menarik dicermati. Di satu sisi, pernyataan itu memperlihatkan betapa Islam Indonesia amat adaptatif di tengah masyarakat multi-religius. Di sisi lain, Islam mampu berinteraksi dengan budaya-budaya lokal sehingga menghasilkan sintesis kreatif berupa Islam Indonesia yang toleran, humanis, dan non-diskriminatif.
Kedua sisi itu sebenarnya merupakan inner dynamic Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi sekalian alam). Dan itu pula yang menjadi titik konvergensi agama-agama. Sebab, semua agama mengajarkan kebenaran as such, yakni kebenaran yang dibuktikan bukan dengan menyesatkan yang lain, tetapi kebenaran yang mampu berinteraksi dengan kebenaran lain.
Untuk membuktikan kebenaran suatu keyakinan, tentu tidak harus dengan mengatakan bahwa keyakinan orang lain salah dan sesat. Pola pandang dominatif bukan saja gagal dalam mengemban misi agama, tetapi juga menyimpang dari tujuan luhur agama-agama untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan harmonis. Para Nabi tidak bermaksud membentuk agama identitas (religion of identity), tetapi agama kebenaran (religion of thruth).
Sikap beragama yang terakhir ini senantiasa mendorong kita mencari kebenaran dari mana pun asalnya dan dalam konteks apa pun. Umat beragama selalu dalam posisi mencari dan tidak memonopoli kebenaran. Sebab, manakala mereka merasa telah menggenggam kebenaran, maka saat itu pula mereka mengalami krisis identitas.
Barangkali ada baiknya kita simak kesaksian Dr Abdolkarim Soroush, intelektual Iran paling berpengaruh saat ini. Menurut Soroush, perlu dibedakan antara Islam identitas dan Islam kebenaran. Yang pertama merupakan kedok identitas kultural dan respon terhadap apa yang disebut "krisis identitas". Islam yang disebut terakhir merupakan gudang kebenaran yang mengarahkan umat manusia menuju keselamatan dunia dan akhirat (Reason, Freedom, and Democracy in Islam, 2000: 23).
Beragama secara kritis
Dalam era transisi dari orde otoritarian, bukan hanya persoalan politik dan ekonomi yang mengalami guncangan, gugatan, dan pertanyaan, juga masalah keagamaan. Hal-hal yang sebelumnya dianggap telah mapan, kini mulai dipertanyakan baik menyangkut otentisitas maupun relevansinya. Atau, jangan-jangan dalam beragama, kita senantiasa ada dalam transisi dari eksklusivisme menuju inklusivisme, dari absolutisme menuju relativisme, atau (pinjam istilah Bergson) dari static religion menuju dynamic religion.
Kini kita hidup dalam zaman di mana semua sistem keyakinan diuji kritis. Tidak ada sistem pemikiran atau keyakinan yang tidak terbuka untuk diuji. Tentu saja agama tetap penting, juga tidak tertutup. Keterbukaan (openness) lebih diterima di zaman kita ini. Akal dan keimanan, seperti pada abad 19, tidak diperlakukan sebagai dua kutub bertentangan. Akal dan keimanan tetap berperan penting dalam kehidupan manusia. Persoalannya bukan mana lebih penting, akal atau keimanan, karena keduanya sama-sama penting.
Agama dan keyakinan keagamaan secara umum termasuk kategori keimanan. Sebagai sistem keimanan, agama kerap dipersepsikan sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Benarkah keseluruhan keyakinan dan praktik keagamaan tidak dapat dievaluasi secara kritis? Dari mana keyakinan dan praktik keagamaan itu berasal?
Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab secara meyakinkan. Sebab, banyak praktik keagamaan yang dianggap sebagai fundamental agama, padahal sebenarnya produk budaya tertentu. Jadi, beragama secara kritis dapat memilah dan memilih mana agama as such dan mana agama warisan historis, agama sebagaimana dipahami dan diamalkan pemeluknya yang dipengaruhi ruang dan waktu. Perlu diingat, tidak ada agama yang bisa menghindari pengaruh-pengaruh sosiologis.
Para teolog Muslim sendiri telah menyadari hal itu. Mereka membuat suatu aturan mengenai adah, yakni tradisi dan kebiasaan suatu masyarakat tertentu. Formulasi syari'at yang dirumuskan pada periode awal Islam, jelas dipengaruhi tradisi Arab. Nah, dapatkah kita mengklaim tradisi Arab sebagai bagian Islam yang tak bisa berubah? Jika ya, bagaimana dengan tradisi daerah-daerah lain? Atau, dapatkah kita mengistimewakan tradisi Arab? Saya kira, sulit mempertahankan posisi itu. Itu sebabnya, ulama Indonesia dapat mengembangkan etos lokal.
Kini kita dihadapkan pada isu-isu baru yang harus dijawab dengan visi modern. Masalah transplantasi organ, ibu pengganti, bayi tabung, euthanasia, kloning, dan lain-lain yang membutuhkan pemikiran kritis. Para fukaha (ahli fikih) tradisional cenderung mengharamkan semua itu. Ketika kasus kloning mulai mengemuka menyusul keberhasilan kloning domba Dolly, para fukaha Arab Saudi mengeluarkan fatwa mengecam keras bukan hanya sebagai tindakan amoral tetapi juga intervensi dalam domain Tuhan. Terlepas dari persoalan teknologi, isu-isu itu melibatkan masalah etika dan moralitas, sesuatu yang tak dipertimbangkan fukaha konservatif.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan kini adalah de-feodalisasi Islam dan restorasi spirit progresifnya. Hal itu bisa dimulai dengan menghilangkan paradoks-paradoks yang sementara ini membelenggunya. Islam memang mengalami modernisasi begitu cepat, namun masih mempertahankan identitas feodalnya, menolak perubahan. Perkembangan bidang ekonomi dan teknologi harus diimbangi dekonstruksi watak teologi primordialnya, sehingga memunculkan corak keberagamaan rasional dan pluralis.
* Mun'im A Sirry Peneliti pada Yayasan Wakaf Paramadina, alumnus pascasarjana International Islamic University, Pakist
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment