Tuesday, April 14, 2009

Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial

Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial

Sulfikar Amir

"Yet we must? exhaust the resources of the concept of the experience before attaining and in order to attain, by deconstruction, its ultimate foundation. It is the only way to escape ?empiricism? and the ?naïve? critique of experience at the same time."

- Jacques Derrida, Of Grammatology

***

FEBRUARI 1661. Hawa musim dingin masih menyelimuti Kota London. The Royal Society yang baru berusia satu tahun sedang menerima kunjungan Duta Besar Kerajaan Denmark. Pertemuan dengan tamu agung ini bukanlah pertemuan biasa. Ada satu peristiwa menarik. Robert Boyle, salah satu pendiri organisasi ilmuwan bergengsi ini, mendemonstrasikan sebuah pompa udara hasil kerja selama beberapa tahun bersama Robert Hooke di Oxford. Machina Boyleana itu terdiri dari sebuah bola kaca yang berisi udara yang disambungkan pada sebuah pompa di bagian bawah. Ketika pompa itu ditarik, bola kaca tersebut menjadi ruang hampa udara. Para tamu yang hadir terkesima. Mereka menjadi saksi kemenangan Boyle atas tesis Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa udara tidak akan meninggalkan bola kaca. Melalui pompa udara ini, Boyle dapat membuktikan bahwa volume dari sebuah tabung berbanding terbalik dengan tekanan yang ada di dalamnya. Hukum Boyle lahir dari pompa ini.

POMPA udara Boyle adalah mesin yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu pengetahuan. Bagi Boyle, fakta ilmiah hanya dapat lahir dari eksperimen yang dilakukan secara empiris. Di sinilah tonggak awal sains modern dimulai. Eksperimen menjadi bagian signifikan dalam epistemologi sains. Eksperimen adalah ruang di mana fakta ilmiah "ditemukan". Dalam sains, fakta ilmiah bersifat self-explanatory, dalam arti dia menjelaskan dirinya sendiri. Saintis "hanyalah" pengamat yang menjadi modest witness atau saksi jujur bagaimana fakta tersebut dimunculkan melalui suatu konfigurasi teknis material. Klaim obyektivisme menuntut saintis untuk berada di wilayah yang terpisah dari fakta yang diamatinya.

Apakah suatu obyek pengetahuan bersifat self-explanatory? Di manakah sebenarnya posisi ontologis manusia dalam proses produksi pengetahuan dalam sains? Sejauh manakah klaim atas obyektivitas sains dapat dijadikan pegangan? Apakah sains merupakan suatu ruang vakum yang lepas sama sekali dari segala bentuk imajinasi manusia? Pertanyaan-pertanyaan besar inilah yang menjadi landasan dan motivasi bagi studi sains kontemporer dalam memahami relasi antara manusia dan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya.

Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor sosial.

Generasi awal

Berkembangnya sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx. Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam mengamati fenomena alam adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam studi sains antara lain pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem produksi. Bagi Marx, sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang dilakukan Marx dalam memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk melakukan perubahan fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung penggunaan sains bagi tujuan-tujuan politik kaum proletar.

Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber. Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Mertonian vs Kuhnian

Munculnya sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi sosiokultural tertentu.

Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri atas empat nilai fundamental yang membentuk etos sains.

Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme (bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam.

Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian, pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari representasi ideologi sains itu sendiri.

Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang dilakukan Merton selama beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, paradigma Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian.

Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi dengan tujuan perubahan institusional.

Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena mengacu pada revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui sirkulasi kaum elite.

Genre konstruktivisme

Jika Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pasca-Mertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of science. Sosiologi sains baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu, sosiologi sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology of scientific knowledge).

Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para sarjana studi sains.

Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang menyerupai konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing).

Strong Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti bentukan sosial.

Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour. Latour adalah salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara masyarakat (konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog sains memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga pada benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute.

Hasil studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya dalam laboratorium yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.

Andrew Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru. Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan, quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem yang tertutup (closed system).

Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain pihak, pemilihan teori sebagai raison d?etre suatu eksperimen tergantung dari penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori, dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen.

Kerangka konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik intelektual antara para saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme, dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan metode dan cara pandang dalam sains. Sebagai contoh adalah Strong Programme yang secara epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life, kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai "pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan Latour sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains adalah media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.

Sains dan budaya

Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih dari satu dekade terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi melalui proses pemaknaan dan praktik budaya.

Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.

Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam (uniformly organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem budaya. Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi isi dari sistem pengetahuan.

Catatan Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi kultural dan intelektual antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam sains dengan membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode penelitian primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith mengamati satu hal yang menarik. Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini "menghalangi" primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi, perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka amati. Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis, sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang sejenis.

Studi komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui model organisasi sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang melandasi sistem organisasi riset Amerika. Adapun di Jepang, nilai-nilai komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran, organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses pengambilan keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan nilai budaya ini mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi Traweek menunjukkan bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi ilmiah.

Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem budaya, Karen Knorr-Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu fisika partikel dan biologi molekuler. Knorr-Cetina mengamati bagaimana fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua budaya pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui (machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut. Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan strategi sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam proses produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara waktu dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda antara praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi silang disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah menyatu seperti yang diklaim kaum positivis.

Sains dan studi sains

Konsep dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari pemahaman sains sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana kita bisa memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam perspektif ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid, dan berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang yang tumbuh di atas tanah sosial.

Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains berdampak pada demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal. Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan masyarakat kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa menafikan apa yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit. Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam justru melawan hakikat manusia sebagai makhluk multikultural.

Lalu, apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.

Selama beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan relasinya dengan masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana studi sains dalam episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.

Sulfikar Amir Mahasiswa Program Doktor Departemen Studi Sains dan Teknologi, Rensselaer Polytechnic Institute

Monday, April 6, 2009

Melacak Akar Konflik Antar Perguruan Silat di Karisidenan Madiun

Melacak Akar Konflik Antar Perguruan Silat di Karisidenan Madiun


Kasus perkelahian antar perguruan silat yang dimotori oleh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Setia Hati Winongo atau disebut STK (Sedulur Tunggal Kecer) di Karesidenan Madiun akhir-akhir ini sangat marak dan melibatkan masa pendukung secara massif dan di sertai dengan pengerusakan serta jatuhnya korban jiwa.

Konflik yang berpangkal dari perbedaan penafsiran dan klaim kebenaran tentang ideoligi keSHan merambat hampir seluruh Karisedenan Madiun. Hadirnya konflik tersebut juga menimbulkan keresahan dan ketidaknyaman berbagai lapisan masyarakat. Arkeologi Kekerasan SH Terate VS SH Winongo Perkelahian secara turun temurun antar SH Terate dan SH Winongo tidak lepas dari setting sejarah yang melatarbelakangi.

Kedua perguruan tersebut awalnya merupakan satu perguruan yaitu Setia Hati (diawali berdirinya Sedulur Tunggal Kecer) yang berdiri di kampung Tambak Gringsing Surabaya, oleh Ki Ngabei Soero Diwiryo dari Madiun pada tahun 1903. Pada tahun tersebut Ki Ngabei belum menamakan perguruannya dengan nama Setia Hati, namun masih bernama “Joyo Gendilo Cipto Mulyo” dengan hanya memiliki 8 orang siswa. Didahului oleh 2 orang saudara, yaitu Noto/Gunadi (adik kandung KI Ngabei sendiri) dan kenevel Belanda. Organisasi silat tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat sekitar tahun 1917, yang mana Joyo Gendilo Cipto Mulyo mealkukan demonstarsi silat secara terbuka di alun–alun Madiun dan menjadikannya sebgai perguruan yang popular di kalangan masyarakat karena gerakan yang unik penuh seni dan bertenaga.

Pada tahun 1917 Joyo Gendilo Cipto Mulyo bergati nama dengan Setia Hati. Pendiri perguruan tersebut meninggal pada tanggal 10 November 1944 dalam usia 75 tahun, dengan meninggalkan wasiat supaya rumah dan pekarangannya diwakafkan kepada Setia Hati dan selama bu Ngabei Soero Diwiryo masih hidup tetap menetap di rumah tersebut dengan menikmati pensiun dari perguruan tersebut.

Ki Ngabei dimakamkan di Desa Winongo Madiun dengan batu nisan garnit dengan dikelilingi bunga melati. Dan oleh berbagai kalangan makam Ki Ngabei dijadikan pusat dari perguruan Setia Hati. Dan pada Tahun 1922 Murid Ki Ngabei Soero Diwiryo mendirikan Setia Hati Teratai sebagai respon untuk mengembangkan Pencak silat dengan ideologi ke SH an.

Pertentangan ideologi memulai memuncak ketika pendiri SH meninggal yang mana konflik tersebut di motori oleh dua murid kesayangan Ki Ngabei Soero Diwiryo yang mengakibatkan pecahnya SH dan terbagi dalam 2 wilayah teritorial yaitu SH Winongo yang tetap berpusat di Desa Winongo dan SH Terate di Desa Pilangbangau Madiun.

Konflik kedua murid merambat sampai akar rumput sampai sekarang yang di penuhi rasa kebencian satu sama lain. Belum lagi konflik di perparah kepentingan politik dan perebutan basis ekonomi. Basis pendukung antar kedua perguruan di bedakan oleh perbedaan kelas juga. SH Winongo berkembang dalam alan perkotaan dan basis pendukungnya adalah para bangsawan atau priyayi sedangkan SH Teratai berkembang di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Perpecahan kedua perguruan tadi juga terletak dalam strategi pengembangan ideologi yang satu bersifat ekslusif sedangkan Hardjo Utomo ingin membangun SH yang lebih bisa diterima masyarakat bawah guna melestarikan perguruan.

Melihat dari latar belakang tersebut, konflik yang tejadi adalah konflik identitas yang mana kedua perguruan tersebut saling mengklaim kebenaran pembawa nilai ideoligi SH yang orisinil dan menganggap dirinya yang paling baik dan benar. Klaim kebenaran terus menerus di reproduksi sehingga membentuk praktek–praktek diskursif yang saling meyalahkan satu sama lain.

Konflik yang digerakkan oleh klaim kebenaran pemegang otoritas tunggal ideologi ke SH an juga di dukung olehkultur agraris masyarakat setempat yang dalam kehidupan sehari-hari tidak mempunyai kegiatan selain bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari –hari. Tumbuh suburnya perguruan silat di karesidenan Madiun juga di topang oleh idelogi pencak silat yang di olah kebatinan kejawen yang sangat familiar dalam kehidupan sehari–hari.

Implikasinya, kelompok silat menjadi suatu yang itegral dalam kehidupan masyarakat dan masyarakat juga ikut melestarikan konflik di sebabkan tingkat partisipasinya dalam kelompok silat sangat tinggi. Hadirnya kelompok silat dalam masyrakat agraris adalah sebuah media sosial untuk melepaskan rutinitas sehari–hari dan sebagai pelepas tekanan kemiskinan yang sering di derita masyarakat petani.

Partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kelompok silat dan di barengi sentimen ideologis yang kuat dan cenderung emosional dalam bertindak seringkali dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan yaitu oleh para politisi lokal untuk mendukung parpol yang dipimpimnya. Fenomena tersebut bisa dilihat oleh Mantan Bupati Ponorogo Markum, yang pada tahun 1998 lalu bergabung menjadi anggota kehormatan SH Terate. Kelompok silat yang jumlahnya ribuan sangat potensial untuk mendukung kepentingan parpol tertentu.

Hadirnya nuansa politisasi dalam sebuah organisasi silat yang menambah rantai konflik semakin panjang dan sangat sulit untuk diselesaikan. Pertarungan eksistensi antara SH Winongo dan SH Terate juga ber imbas pada perekutan anggota sebanyak–banyaknya. Dalam memperebutkan anggota juga sebagai perebutan basis ekonomi. Hasil Penelitian yang di lakukan oleh E. Probo dia mengambil contoh SH Terate (2002 :6 makalah diskusi), untuk satu kali pelantikan setiap bulan Sura [bulan pertama dalam kalender Jawa], Terate melakukan pelantikan sejumlah 1000-2000 anggota baru.

Jika satu anggota membayar Rp. 700 ribu rupiah, maka uang yang akan masuk ke organisasi dalam satu tahun adalah Rp 700 juta hingga Rp. 1,4 milyar rupiah !!! Jumlah yang fantastis. Ini menarik sekali, sebuah organisasi silat dengan jumlah anggota 35.000 orang dan pemasukan Rp. 700 juta hingga Rp. 1,4 milyar rupiah per tahun. Maka bila salah satu perguruan silat menguasai satu daerah maka dengan sekuat tenaga akan mempertahankan, karena di situlah eksitensi sebuah perguruan silat dipertaruhkan. Selain itu mereka juga tidak mau kehilangan basis ekonominya.

Penutup

Konflik Identitas antara SH Winongo dan SH Teratai yang dimulai dengan klaim kebenaran tentang pemegang teguh ajaran ke SH an sekarang mulai merebak pada perebutan basis ekonomi serta di manfaatkanya kelompok silat sebagai penyokong parpol tertentu. Di lain sisi, masyrakat pun ikut melestarikan adanya konflik tersebut.

Untuk menghindari adanya konflik ideologis yang berkepanjanngan, perlu di lakukan tindakan yang tegas oleh aparat kepolisian. Pemerintah daerah setempat juga harus menciptakan media sosial yang lain yang dapat membuat masyarakat keluar dari rutinitas sehari-hari dan terlepas dari berbagai tekanan sosial ekonomi yang selalu menghantui. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mempunyai program pembangunan yang berorentasi pada kesejahteraan rakyat.karena kita ketahui hadirnya konflik tersebut tidak lepas dari budaya kemiskinan masyarakat setempat.

* Ditulis oleh kerabat Nashirul Umam, ketika masih menjadi mahasiswa Fisip Unair dan aktivis CESPOD (Centre for Ekonomic, Social and Policy Development)

Sunday, April 5, 2009

Global Crisis

Bursa Dunia Antisipasi Ekonomi AS
Jasso Winarto: Pengamat Pasar Modal; Direktur Eksekutif PT Sigma Research Institute Inc

PARA investor global saat ini tengah memfokuskan diri pada proses pemulihan ekonomi AS dan dampaknya bagi kinerja bursa dunia. Tahun ini bukan saja tahun pemulihan bagi ekonomi AS, melainkan juga tahun 'keberuntungan' bagi investor global. Meski dunia dilanda teror dan perang serta resesi, indeks Dow Jones mampu menanjak hingga 18,17% ketika Kamis lalu ditutup pada titik 9856,97. Para investor memiliki pijakan kuat untuk membeli saham-saham unggulan pada kurs yang lebih tinggi. Fundamental ekonomi AS berhasil menguat dalam enam bulan terakhir ini.

AS dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi sampai 7,2% di kuartal ketiga tahun ini di tengah ancaman defisit neraca anggaran dan neraca perdagangan yang membengkak menjadi faktor utama maraknya bursa saham di Wall Street. Pada kuartal pertama 2003 para investor masih pesimistis, meski Alan Greenspan bos The Fed- mempertahankan suku bunga pada tingkat 1% atau terendah sejak 45 tahun terakhir. Dow Jones masih merosot 349,5 poin atau 4,2% pada periode itu. Tetapi begitu Bush menyerbu Irak, indeks Dow Jones justru membaik, sehingga sampai kuartal kedua harga saham industri utama di Wall Street mampu naik 12,43%. Kenaikan tadi terus berjalan hingga kuartal ketiga dan awal kuartal keempat.

Pertumbuhan Wall Steet kuartalan tadi mengindikasikan, sebagian besar pelaku pasar merasa optimis recovery ekonomi AS telah terjadi. Seperti diketahui, GDP atau produk domestik kotor AS mengalami lonjakan 7,2% pada kuartal ketiga tahun ini. Ini adalah pertumbuhan terkuat selama 19 tahun terakhir. Konsensus pasar menunjuk pada angka 6,1% untuk pertumbuhan GDP kuartal ketiga.

Menurut Gina Martin, pengamat ekonomi dari Wachovia, ada indikasi bahwa konsumen AS mengurangi pengeluaran. Mereka memangkas pengeluaran sebesar 0,3% di September saat pendapatan konsumen merosot 1,0% meski sudah dipotong pajak. Pengeluaran konsumen berarti penting bagi AS karena mencakup 2/3 aktivitas ekonomi AS. Saat pemotongan pajak berkurang perannya sebagai penggerak ekonomi, lapangan kerja akan menjadi faktor penting bagi outlook ekonomi. Akan sangat sulit melihat pertumbuhan pendapatan personal tanpa ada kenaikan lapangan kerja. Oleh sebab itu, adanya pemangkasan pajak membantu menggerakkan ekonomi AS di kuartal ketiga, tetapi kini waktunya bagi pertumbuhan lapangan kerja untuk mengambil alih tanggung jawabnya.

Data lain memang membuktikan bahwa sektor bisnis AS telah mempekerjakan tambahan 57.000 tenaga kerja pada September, mengakhiri gelombang PHK yang berlangsung 7 bulan sebelumnya. Namun, jumlah PHK sejak 2001 masih 2,7 juta dan tingkat pengangguran bertahan di 6,1%. Untuk itu, AS memerlukan pertumbuhan lapangan kerja lebih besar agar upah meningkat lebih cepat sehingga para konsumen tidak harus bergantung pada refinancing dan pajak.

Asia diserbu

Keyakinan bahwa membaiknya ekonomi AS akan menarik Asia dari krisis membuat investor global menyerbu bursa Asia, sehingga bursa di Asia pun ikut membubung. Data ekonomi terbaru menunjukkan, perbaikan ekonomi AS akan segera diikuti Jepang yang juga mengalami pertumbuhan 2,5% dan Eropa 2,0% dalam beberapa kuartal mendatang. Sementara ekonomi Hong Kong pertumbuhannya hanya 2,4% tahun ini dan 3,5% tahun depan, Taiwan 2,0% (2003) dan 3,4% (2004), sedangkan Korsel 3,0% (2003) dan 4,0% (2004). Thailand akan mengalami pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara dengan PDB diperkirakan naik 6,0% tahun ini dan juga tahun depan. Malaysia dengan 4,3% pada 2003 dan 4,8% untuk 2004. Untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan pada tingkat 4,0% tahun ini dan 4,5% tahun depan, sedangkan Filipina tahun ini 3,5% dan tahun depan 4,2%. Singapura diperkirakan mencatat pertumbuhan PDB 1,0% tahun ini dan 4,3% pada 2004.

Optimisme pasar akan bangkitnya ekonomi dunia membawa animo kuat bagi investor untuk kembali menanamkan investasinya di beberapa bursa kawasan, sehingga dalam transaksi sepanjang 2003 ini sebagian besar kinerja bursa Asia-Pasifik mengalami kenaikan. Seperti bursa Thailand, misalnya, yang naik 87,3% menjadi 667,54, diikuti Indonesia melonjak 48,9% menjadi 632,811, Singapura 41,5% menjadi 1763,13. Bursa di Tokyo tahun ini sudah naik 23% menjadi 10552,3 dan Hong Kong melonjak 30,4% menjadi 12150,09.

Catatan akhir

Secara umum pasar masih optimis akan pemulihan ekonomi AS yang kian membaik dengan pertumbuhan kuat di kuartal III. Namun diperlukan peningkatan lapangan kerja yang signifikan untuk mempertahankan keberlanjutan pemulihan ekonomi AS selanjutnya.

Menkeu AS, John Snow sendiri mengakui bahwa mayoritas kekuatan ekonomi AS yang terbentuk di kuartal ketiga sepertinya akan berlanjut. Dengan kata lain, pertumbuhan bukanlah kesan sesaat, melainkan ada kekuatan riil di balik tren pertumbuhan. Kendati ada indikasi awal perbaikan lapangan kerja, pasar tenaga kerja tampak membutuhkan waktu lebih lama untuk merespons peningkatan aktivitas ekonomi.

Dengan harapan perekonomian AS dan Asia kian membaik tentunya akan kembali membawa dorongan positif bagi kinerja bursa dunia, termasuk indeks bursa saham Jakarta. Untuk indeks bursa saham Jakarta, kami perkirakan masih akan melanjutkan reli hingga akhir tahun ini. Adanya IPO saham BRI pada 10 November nanti dan Perusahaan Gas Negara (PGN) pada Desember nanti diharapkan ada dana asing masuk dari bursa yang sudah relatif tinggi tersebut ke Bursa Efek Jakarta.

Selain itu, penurunan tingkat suku bunga SBI satu bulan 2 basis poin kemarin menjadi 8,46% juga berpeluang akan memberikan sentimen positif kepada transaksi di bursa pekan depan. Apalagi, kurs rupiah terhadap dolar AS masih relatif stabil dengan kecenderungan menguat di kisaran Rp8.450-8.500 per dolar AS. Di samping itu, bagi perusahaan yang membukukan kinerja keuangan kuartal III cukup bagus, sahamnya pun akan menjadi buruan pelaku bursa.***

Bencana Itu Tak Pernah Menjadi Pelajaran

Bencana Itu Tak Pernah Menjadi Pelajaran

Adalah munafik bila seseorang berkata kasihan, tapi tak berbuat apa pun.

- Karl Heinz Pickle, seorang tokoh dunia

KETIKA banjir bandang meluluhlantakkan kawasan wisata Sungai Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, serta menewaskan 113 warga tak berdosa (sekitar 100 lainnya hilang), bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Merunut pada serangkaian bencana alam sebelumnya, pihak-pihak berkompeten di republik ini nyaris tidak berbuat apa pun untuk mencegah agar peristiwa semacam itu tidak terulang. Musibah alam selalu dianggap takdir dari Tuhan. Kalaupun dilakukan analisis, hasilnya mudah ditebak, curah hujan sangat tinggi!

APAKAH bangsa ini tergolong bangsa munafik seperti ungkapan tokoh besar dunia itu? Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya. Serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana itu.

Contohnya banjir bandang di kawasan wisata Pacet, Jawa Timur, atau di Garut, Jawa Barat, tahun lalu yang menewaskan puluhan warga sekitar. Hingga kini tidak ada upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu.

Demikian pula terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser yang sudah lama dirusak secara tersistem maupun tak tersistem oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bupati Langkat Syamsul Arifin meyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). "Berdasarkan pemantauan terakhir di daerah kami, perambahan di Leuser sekarang ini sudah mencapai 42.000 hektar. Kami sudah sampaikan hal itu kepada instansi terkait karena kondisi ini memerlukan penanganan yang sangat serius dan tepat sasaran," kata Syamsul.

Akibat pencurian kayu/penebangan liar yang juga melibatkan pengawas hutan maupun aparat keamanan, lanjutnya, masyarakat di Kabupaten Langkat menanggung risiko yang sangat mahal. Bencana alam ini telah membuat daerah wisata alam yang sangat terkenal dengan orangutannya itu terancam tutup.

Penebangan liar dan perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser hingga kini terus berlangsung baik di kawasan Sumatera Utara maupun Aceh. Terbukti, jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar.

Dari berbagai keterangan maupun hasil penjajakan di lapangan, kondisi yang amat memprihatinkan ini bisa terjadi karena berbagai hal. Di antaranya keterlibatan oknum-oknum instansi kehutanan, aparat keamanan, bahkan oknum-oknum lembaga legislatif di samping masyarakat sendiri. Eforia reformasi juga ikut mendorong makin maraknya aksi-aksi penebangan liar.

Sebagian masyarakat yang sama sekali tidak mengerti dan memahami fungsi hutan menganggap hutan boleh dirambah dan diambil kayunya karena anugerah Tuhan. Akan tetapi, aksi-aksi perambahan yang dilakukan masyarakat bukan semata karena ketidaktahuan akan pentingnya fungsi hutan. Cukong-cukong kayu atau pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) nakal diduga berdiri di belakang aksi masyarakat tersebut.

KAWASAN Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia yang sangat berguna untuk kelangsungan hidup manusia sehingga wajib diamankan dan dilestarikan. Khusus bagi masyarakat Sumatera Utara, mereka terkait langsung karena di kawasan itu terdapat hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air dan menahan banjir di daerah hilir, seperti Kota Medan dan kawasan Deli Serdang. Hutan Leuser merupakan hutan hujan tropis terlengkap di dunia yang mampu menyuplai air secara kontinu, baik untuk irigasi, pertanian, industri, maupun kebutuhan hidup lainnya.

Hutan Leuser menyediakan tempat-tempat resapan air seperti hutan gambut dan rawa-rawa. Di hutan primer Leuser tersedia Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air (DTA). DTA yang disuplai dari jasa ekologi Leuser hidrologi adalah DTA Jambo Aye, DTA Tamiang, DTA Wampu, DTA Krueng Tripa, dan DTA Alas.

Lebatnya kanopi vegetasi hutan Leuser (kayu-kayu) tidak hanya berfungsi mengurangi terpaan arus angin yang berembus dari daratan Asia atau dari benua Australia. Ia juga mampu menampung air presipitasi (lapisan endapan), menahannya mulai dari permukaan daun, ranting, cabang dan batang sampai ke akar-akar kayu, air dibawa ke seluruh lapisan tanah dan sebagian ditahan oleh material pelapukan (humus) untuk disimpan sebagai cadangan. Apabila melebihi kapasitas daya simpan, air akan dialirkan, dan air itulah yang disuplai untuk kebutuhan hidup penduduk di bawahnya.

Namun penebangan yang terus-menerus (legal dan ilegal) berdampak terhadap hilangnya sumber air, yang didasari prinsip siklus resapan air, di mana sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutan Leuser tidak lagi berfungsi sebagai resapan air hujan. Dengan demikian, air tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas.

Sementara itu, resapan air pada bagian bawah tidak terjadi. Dan ketika turun hujan lebat Minggu (2/11) malam, arusnya bercampur lumpur meluncur dengan dahsyat melalui Sungai Bohorok menghancurkan permukiman dan kawasan wisata, karena tidak ada lagi pohon-pohon penyangga penahan air hujan.

Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di semua tipe hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit.

Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terang-terangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Kedua adalah pencurian kayu secara besar-besaran yang sering dibekingi oleh aparat penegak hukum (tentara, polisi, dan pejabat kehutanan). Kategori ini mencakup kegiatan penebangan yang tidak terkendali di dalam dan di luar areal konsesi. Perusakan Leuser juga bisa terjadi oleh proyek pemerintah sendiri, seperti pembangunan jalan Ladia Galaska.

Karena itu, seperti ditegaskan Kepala Badan Planologi Kehutanan Boen M Purnama, Departemen Kehutanan (Dephut) menolak proyek ini karena terkait dengan upaya mempertahankan keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser yang kini sudah banyak dirambah penebang liar. "Upaya mempertahankan kawasan hutan yang masih ada terpaksa dilakukan karena tekanan terhadap sektor ini sekarang sangat besar," katanya beberapa waktu lalu.

Usulan pembangunan jaringan jalan ini dan proyek jalan yang berhubungan lainnya memotong ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser. Bahkan, menurut catatan Dephut, proyek ini melintasi hutan lindung yang memiliki kemiringan lebih dari 40 persen serta kawasan konservasi lain.

Sedikitnya terdapat sembilan lokasi jalan yang berada di titik rawan kelestarian yang akan dilintasi megaproyek ini, dan hanya tiga lokasi yang memenuhi prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

KERUSAKAN hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan di republik ini. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi ini. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.

Parahnya kondisi hutan diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan, hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta hektar. Seluas 59,62 juta hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan, yakni di dalam hutan lindung (10,52 huta hektar), hutan konservasi (4,69 juta hektar) dan hutan produksi (44,42 juta hektar).

Laju kerusakan hutan periode 1985- 1997 tercatat 1,6 juta hektar/tahun, sedangkan periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta hektar/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode 2000-2003 karena aktivitas penebangan liar, penyelundupan kayu, dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang tak terkendali. Melihat fakta ini, ada yang memprediksikan, hutan di Sumatera akan habis pada tahun 2005.

Kerusakan sumber daya hutan dan lahan telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti turunnya mutu lingkungan hidup, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversitas dan pendapatan negara. Contoh terakhir musibah di kawasan wisata Bohorok, Kabupaten Langkat.

Walaupun kerusakannya demikian hebat, hingga kini belum ada tanda-tanda hutan di republik ini diperbaiki. Malah tahun 2003-2004 cenderung menjadi tahun transisi yang penuh ancaman terhadap upaya perbaikan pengelolaan hutan. Indikatornya, antara lain, masih lebarnya gap dan pertentangan kebijakan kehutanan pusat dan daerah dalam praktik operasional pengelolaan hutan.

Indikator lain adalah belum terfokusnya program kehutanan nasional yang mengakar di daerah dan tidak dilaksanakannya secara memadai kewenangan perlindungan hutan (khususnya penataan batas), pengendalian penebangan liar dan kebakaran hutan di daerah. Hasil hutan kayu masih merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya hutan, belum mantapnya organisasi dan personel kehutanan di pusat dan daerah. Hasil Pemilu 2004 juga berpotensi mengubah kembali arah program kehutanan jangka panjang.

Rimbawan praktisi dari Universitas Gadjah Mada, Transtoto Handadhari, menggambarkan, meskipun di tingkat pusat terus disibukkan dengan penyusunan berbagai aturan pelestarian hutan, sebaliknya komitmen pelestarian hutan di lapangan semakin kabur bahkan terkesan ambivalen. Akibat kekuatan pasar kayu bulat, praktik tebangan liar terus marak. Malah ekspor log (kayu bulat) yang sudah dilarang kabarnya terus berlangsung.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2002 terdapat realisasi ekspor kayu bulat 55.109 kubik senilai 11,20 juta dollar AS. Sampai April 2003, ekspor yang sama tercatat 2.767 meter kubik senilai 881.000 dollar AS. Padahal, sejak 8 Oktober 2001, ekspor log dan bahan baku serpih dihentikan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 292/MPP/Kep/10/2001.

Larangan ekspor log semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, khususnya dalam Pasal 76 yang menyatakan ekspor log dan bahan baku serpih dilarang. Memang sebelumnya terjadi kesepakatan antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membuka ekspor log. Namun, kebijakan itu mendorong makin merebaknya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan alam terancam dan lingkungan hidup rusak.

Karena itu, Departemen Kehutanan meminta penegak hukum mengusut adanya ekspor log tahun 2002-2003 karena melanggar aturan. Aksi ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan tindak pidana penyelundupan karena membuka kesempatan terjadinya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu.

SEMENTARA itu, otonomi daerah, salah satu agenda reformasi, ternyata memiliki peran besar terhadap merosotnya kualitas dan kuantitas hutan. Pemberian desentralisasi kewenangan yang besar tanpa rambu-rambu yang dipatuhi telah menyebabkan dirusaknya sumber daya hutan secara sadar, menggunakan payung legal, massal, dan serentak dalam waktu yang sangat pendek.

Pemerintah daerah berlomba menerbitkan berbagai peraturan daerah (perda) di bidang kehutanan, di saat pemerintah pusat kedodoran menyusun aturan-aturan untuk dipedomani daerah. Keputusan menteri pun tidak mudah dilaksanakan daerah yang notabene juga memiliki rimbawan praktik yang selayaknya juga memahami keinginan pelestarian hutan.

Ekses otonomi daerah lainnya memunculkan berbagai pungutan daerah terhadap produksi kayu bulat di luar dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan yang telah menjadi kewajiban pengusaha kayu. "Tambahan berbagai pungutan yang jumlahnya cukup memberatkan pengusaha kayu bulat itu justru menyebabkan eskalasi penebangan kayu liar," ungkap Transtoto.

Pungli terus marak dan terang-terangan dengan tarif semakin tinggi, yang menyebabkan angka prakiraan kayu liar rata-rata mencapai 60-70 persen dari kayu yang masuk pasar/industri. Kalau tebangan tanpa izin terus terjadi, maka pengelolaan hutan lestari tidak akan pernah ada dan tidak akan ada satu pengusaha kayu pun yang akan mampu memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari yang dipersyaratkan menghadapi perdagangan bebas AFTA mulai tahun ini.

Karena itu, legislatif dan pemerintah perlu secepatnya menyusun ulang atau menyempurnakan aturan UU maupun PP dan perda bagi pemberdayaan masing-masing jenjang institusi pemerintahan pusat-daerah yang saling mengikat dan terikat dalam upaya pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan.

Selama ini daerah kabupaten/kota berpendapat keluarnya PP No 34/2002 dimaksudkan untuk resentralisasi pengelolaan hutan, tanpa menyadari makna bahwa sebenarnya diperlukan suatu pengendalian sentralistis terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk pendayagunaan sumber daya hutan dan ekosistem lingkungan. Ini dilupakan para penggagas percepatan otonomi daerah yang tidak pernah memahami esensi fungsi kesatuan pengelolaan lingkungan. Ironisnya, keputusan menteri yang layak dijadikan pedoman dasar pengelolaan hutan hanya digunakan oleh pemerintah daerah bila dianggap menguntungkan.

Saatnya tahun 2003-2004 ini dijadikan jangka benah (recovery period) hutan alam dan pembangunan hutan tanaman secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hutan alam terutama hasil kayu harus dihemat, dengan dukungan program pokok berupa gerakan pembangunan hutan tanaman di dalam dan di luar kawasan hutan negara, perlindungan sumber daya hutan, serta penelitian kehutanan yang efektif.

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang rencananya digulirkan pemerintah awal Desember mendatang akan ikut menjadi penentu perbaikan sumber daya hutan dan lingkungan. Standar dan kriteria pengelolaan hutan yang disusun pemerintah pusat perlu segera dilengkapi aturan detail, dilengkapi sanksi pelanggaran yang mengikat sebagaimana Forest Practices Codes di negara-negara maju. Termasuk sanksi pelanggaran bagi aparat pusat/daerah. (dmu)

MENDERITA KARENA KEBERATAN NAMA

MENDERITA KARENA KEBERATAN NAMA
Ada anggapan, nama yang "berat" bisa mendatangkan sial. Penyandangnya sakit-sakitan atau hidupnya sering dilanda derita. Pendapat lain mengatakan, "nama yang buruk" akan mempengaruhi aktivitas pribadi dan sosial pemilik nama itu. Bagaimana duduk perkara yang sebenarnya?

Tak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan pujangga Inggris terkenal William Shakespeare, what is a name, Kamus Besar Bahasa Indonesia hanya menjelaskan bahwa nama adalah kata untuk membedakan atau menyebut sesuatu atau memanggil seseorang. Tapi, ada yang berpendapat bahwa sebuah nama, terutama nama seseorang, memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar sebutan. Ada pula yang menyebutkan, nama adalah kekuatan "jiwa" dari benda itu sendiri. Selain menjadi indentitas sepanjang hidup, nama konon menyimpan kekuatan misterius.

Sebutlah misalnya, Indah Suprapti Basuki. Sebuah nama yang bagus dan mengandung makna yang baik. Indah (cantik, elok), Prapti (datang),dan Basuki (sehat). Selalu cantik dan sehat, itulah harapannya. Namun apa yang terjadi? Hingga usia 17 tahun si pemilik nama justru sering sakit-sakitan, keluar masuk rumah sakit, bahkan sempat nyaris meninggal. Berbagai upaya pengobatan seolah-olah sia-sia. Akhirnya, meski terkesan mengada-ada, orang tua Indah lalu menempuh cara lain. Yakni mengganti nama sesuai tradisi Jawa dengan ditandai selamatan bubur merah-putih. Lantas, Indah Suprapti Basuki berganti nama menjadi Iin Suprapti. "Syukurlah, dengan nama baru Iin Suprapti, saya sekarang tidak lagi sakit-sakitan," tuturnya.

Penyanyi senior Titiek Puspa kepada Intisari pernah mengaku mengalami nasib serupa. Semasa kecilnya ia sempat sakit-sakitan, sehingga orang tuanya merasa perlu mengganti namanya. Tiga kali malah. Dari Sudarwati diganti Kadarwati, sampai kemudian diubah menjadi Sumarti.

Tidak cocok dan berat nama
Menurut Iin SP, supranaturalis yang tinggal di Bekasi, tradisi Jawa mengenal dua istilah yang disebut kabotan jeneng ("keberatan nama") dan "tidak cocok nama".

"Keberatan nama", di sini bukan dalam arti karena deretan nama yang panjang, tapi lebih pada makna yang dianggap terlalu tinggi atau muluk. Misal, Bagus Sarwa Prakosa merupakan nama bermakna tinggi, artinya "tampan dan selalu kuat". Demikian pula nama-nama Indah Cahyaning Wulan (sinar bulan yang elok), Sekar Langit Cahyaning Wulan (sinar bulan bunganya langit) memiliki makna yang baik dan mendalam.

Nama-nama seperti itu bisa dianggap "berat" bagi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak kuat menyandangnya. Tapi, bisa jadi nama-nama serupa akan terasa biasa-biasa saja ketika disandang orang lain. "Keberatan nama" tidak secara otomatis berlaku bagi orang lain. "Kasus kabotan jeneng lebih dikarenakan tidak sinkronnya makna nama tersebut dengan aura pemiliknya," kata Iin SP.

Sedangkan untuk istilah "tidak cocok nama", jelas Iin SP, lebih berdasar pada hasil perhitungan unsur mistis kultur Jawa. Dikatakan cocok kalau dalam perhitungannya jatuh pada unsur "Sri", "Lungguh", atau "Gedhong". Sebaliknya, dianggap "tidak cocok nama" bila hasil perhitungan Jawa jatuh pada unsur "Lara" atau "Pati". (Baca boks: Perhitungan Nama Ala Jawa).

Dalam kasus nama Bagus Sarwa Prakosa misalnya, yang mengandung arti baik, yakni "tampan dan selalu kuat", berdasarkan perhitungan neptu Jawa kebetulan juga masuk kategori baik karena jatuh pada unsur "Sri" yang berarti kemakmuran. Namun bukan berarti nama yang dianggap baik (cocok) menurut perhitungan Jawa akan selalu baik (kuat) disandang oleh seseorang.

"Kalau seseorang kuat menyandang nama itu diyakini hidupnya akan serba makmur. Sebaliknya, kalau si empunya nama ternyata malahan sakit-sakitan, berarti ia tak kuat atau keberatan menyandang nama tersebut," tutur Iin SP.

"Keberatan nama" dan "tidak cocok nama", katanya, sama-sama memberikan dampak yang kurang baik terhadap diri pemiliknya. Biasanya disertai dengan beberapa kondisi yang tidak menyenangkan, seperti sering sakit-sakitan, sakit tak sembuh-sembuh, atau kerap tertimpa sial dalam hidupnya, dsb.

Kalau seseorang mengalami hal-hal demikian, artinya orang tersebut tidak cocok atau keberatan (tidak kuat) menyandang nama itu. Kalau sudah demikian, tradisi berganti nama perlu dilaksanakan.

Konotasi negatif dan umur pendek
Yang unik, urusan makna sebuah nama ini bukan monopoli budaya Timur saja. Dalam tradisi Barat yang dikenal rasional pun juga ada keyakinan bahwa sebuah nama memiliki konotasi positif atau negatif. Berdasarkan penelitian di California, seperti ditulis The Sunday Times, 29 Maret 1998, disebutkan bahwa pria dengan inisial nama yang berkonotasi negatif tidak berumur lebih panjang dibandingkan dengan pria yang memiliki inisial nama berkonotasi positif.

Penelitian terhadap sertifikat kematian orang di California antara tahun 1969 dan 1995 menunjukkan, pria yang inisial namanya memiliki konotasi negatif, seperti DIE, RAT, BUM, dan ASS, rata-rata meninggal pada usia 2,8 tahun lebih muda daripada kelompok kontrol (nama-nama dengan inisial tanpa arti). Sebaliknya, pria berinisial nama positif, seperti ACE, WOW, JOY, usia harapan hidupnya rata-rata 4,48 tahun lebih panjang.

Berdasarkan pengamatan di Amerika, dalam Gunnar Pettersson: Names Never Hurt You, menunjukkan bahwa orang yang memiliki nama keluarga, seperti Small, Short, atau Little, kemungkinan lebih menderita perasaan rendah diri ketimbang nama-nama lain. Hal senada dikatakan Alison B. Martin dalam Emerging Names in Bay County, FL, di Internet. "A bad name", tulis dia, akan memberikan suatu perasaan rendah diri sepanjang hidup bagi pemilik nama itu.

Hasil penelitian psikolog Albert Mehrabian, Ph.D., seperti tertuang dalam tulisan Selecting Attractive and Beneficial Baby and Adult Names, menunjukkan bahwa makna nama yang tidak menyenangkan atau kurang menarik cenderung merugikan atau mengalangi aktivitas pribadi, sosial, dan aktivitas kerja mereka.

Memilih nama untuk anak
Tak jarang, nama menjadi cerminan dari harapan orang tua terhadap anak. Makanya, dalam memilihkan nama untuk anak, orang tua biasanya akan mempertimbangkan beberapa faktor.

Di masyarakat Barat banyak orang tua memilih nama anaknya dari nama tokoh yang disukai atau dikagumi. Misal, nama bintang film, politisi, teman semasa kecil, dsb. Dengan harapan si anak akan "mewarisi" kualitas yang dimiliki tokoh yang dikagumi itu. Sedangkan pasangan Jody Wobser dan Jim, seperti ditulis Alison, memberikan nama bagi enam anak mereka dengan inisial "J" (Jake, Jaclin, John, Joe, Jayme, dan Jared). Masing-masing diambil dari nama bintang film yang digabung dengan nama sahabat dekat pasangan itu. Selain memberikan nama yang individualistis, mereka juga mempertimbangkan definisi, makna, dan konotasi nama itu. Keluarga ini merasa, definisi dan makna nama memberikan kepribadian dan karakter kepada yang bersangkutan.

Perihal memilih sebuah nama, Iin SP menyarankan, sebaiknya dihitung dulu berdasarkan perhitungan neptu Jawa. Calon-calon nama yang akan dipakai dihitung berdasarkan perhitungan neptuJawa. Selain harus memenuhi kategori cocok (unsur "Sri", "Lungguh", "Gedhong"), sekiranya perlu memilih nama yang akan kuat disandang oleh anak itu. "Pilihlah nama yang tidak terlalu muluk-muluk, sak madya (yang biasa) saja. Nama yang 'berat' atau muluk, bisa jadi anak tidak kuat menyandangnya, akibatnya malahan sakit-sakitan," tuturnya.

Misal, calon nama yang ingin diberikan adalah Hendi Susanto. Menurut perhitungan Jawa, nilai nama itu adalah 10 {Hen(ha = 1) + di (da = 1) + Su (sa = 3) + san (sa = 3) + to (ta = 2) = 10}, berarti jatuh pada unsur "Pati". Unsur ini, dalam perhitungan Jawa, menunjukkan konotasi arti yang negatif, yakni berumur pendek. Maka dari itu perlu diupayakan agar jatuh pada unsur yang mempunyai arti positif ("Sri", "Lungguh", atau "Gedhong"). Misal, namanya diubah sedikit menjadi Hendi Susantho, sehingga nilainya menjadi 12 {Hen (ha = 1) + di(da = 1) + Su (sa = 3) + san (sa = 3) + tho (tha = 4) = 12}, dan jatuh pada unsur "Lungguh". "Mudah-mudahan kelak anak itu akan punya kedudukan yang baik," kata Iin SP.

Contoh lain, Nindita. Nama ini kelihatan keren, tapi memiliki makna yang tidak bagus, yakni tercela. Berdasarkan perhitungan neptu Jawa, Nindita memiliki angka 5 {Nin (na = 2) + di (da = 1) + ta (ta = 2) = 5}, dan jatuh pada unsur "Pati". Jadi, selain punya makna kurang baik, nama itu pun tidak cocok. Si pemilik nama itu diyakini akan berumur pendek. Tapi akan lain kalau pada nama itu disisipi huruf "h", sehingga menjadi Ninditha. Nilai nama itu pun menjadi 7 {Nin (na = 2) + di (da = 1) + tha (tha = 4) = 7}, dan jatuh pada unsur "Lungguh". "Dengan sedikit mengubah nama itu, mudah-mudahan bisa mengubah nasib pemilik nama yang bersangkutan," ujar Iin SP.

Penggantian atau pengubahan nama, tutur Iin SP, tidak harus secara total. Artinya, bisa hanya dengan menyisipkan, menambahkan, atau mengurangi satu huruf, boleh di depan maupun belakang nama itu. Pergantian nama itu pun tidak harus sekaligus mengubah akte lahir. "Yang penting niat batinnya ingin berganti nama. Kemudian dalam pergaulan keseharian menggunakan nama baru itu. Sementara untuk urusan resmi tetap bisa menggunakan nama sesuai akte lahir," ujarnya.

Perihal perhitungan nama, kata Iin, tidak hanya berlaku untuk pemberian nama diri seseorang, tetapi juga bisa untuk nama toko, perusahaan, atau yang lainnya. "Kalau sebuah nama jatuh pada unsur 'Sri', toko atau perusahaan itu bisa laris dan maju," katanya.

Terlepas dari keterangan di atas, persoalan nama memang sepenuhnya terpulang kepada pendapat pribadi Anda masing-masing. Mau percaya, tidak ada yang melarang. Tidak percaya, ya, monggo. Kalau penasaran ingin mengetahui makna nama Anda, silakan mencoba menghitung sendiri. (Rye/Yan)

Boks: Perhitungan Ala Jawa

Kembali ke edisi baru

Refleksi Kebudayaan

Buah Refleksi Kebudayaan Itu Bernama "Bentara"

DUNIA saat ini tengah ditandai oleh apa yang sering disebut sebagai "dunia konsumerisme". Pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Kehidupan manusia di dunia yang transparan ini harus mempunyai visi yang tepat tentang kecenderungan hidup (the inclination of life) dengan kesadaran positif dan kritis akan adanya kompleksitas struktur permasalahan yang menggejala di sekitar kita.

Seiring dengan itu, kini makin tinggi gejala konsumerisme yang ditandai dengan maraknya dunia industri, menawarkan berbagai macam produk baru untuk kita konsumsi tanpa batas. Dengan menggunakan media televisi, koran, majalah, dan radio untuk mengepung khalayak dalam konsumerisme, itu semua malah berujung pada suatu konsumerisme tak bernalar (mindless consumerism). Dalam kecenderungan itulah dipertaruhkan, misalnya, sehatnya kesadaran dan pola pikir kita.

Konsumerisme ini lebih-lebih lagi harus menjadi keinsafan umum dalam suatu masyarakat modern yang ditandai oleh jaringan komunikasi dan informasi. Dikatakan demikian karena yang diunggulkan oleh era konsumerisme yaitu apa yang sering disebut sebagai "imagologi" di mana realitas (ekonomi) mengalahkan ideologi (etika), dan realitas dikalahkan oleh image (citra-estetika). Sejalan dengan itu, misalnya, pencitraan kecantikan yang dimunculkan oleh produsen kosmetik dengan citra Kaukasia-nya, bahwa wanita bisa dikatakan cantik ialah bila ia berwajah putih, berambut lurus, dan langsing. Maka, terjadilah apa yang oleh Jean Boudilard disebut planed narcisism (narsisme terencana). Inilah masa di mana komoditas barang digeser oleh komoditas budaya. Teknologi informasi dan industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal. Produksi bukan lagi dicipta untuk nilai guna, tapi demi nilai tukar. Komunikasi media (audio, video, visual; koran dan majalah) menjadi jantung perdagangan dengan advertising sebagai ujung tombaknya.

Dialah yang menurut Herry Priyono-dalam pendahuluan buku ini-disebut pasar kapitalis yang menerobos masuk ke hampir semua ranah kehidupan personal dan sosial kita (private and public sphere). Sampai pada urusan makan dan minum kita, suka dan duka kita, juga berada dalam radius kinerja pasar kapitalis itu. Hlm xix.

BEGITU pula ranah media massa, terutama surat kabar harian dan mingguan, semenjak bergulirnya arus reformasi, di mana kebebasan berpendapat menjadi suatu keniscayaan. Media massa kita semakin ditengarai dengan kecenderungan untuk selalu menyodorkan informasi yang bersifat voyeuristik, yang berisi penggerusan kapasitas berpikir sehingga berakibat pada proses pendangkalan kebudayaan. Dan juga bersifat klise, yaitu mengulas apa yang selalu dan sering diulas, tak ada refleksi di sana, sekadar berhenti pada informasi faktual, aktual, bahkan sensasional.

Dalam konteks media massa voyeuristik (voyeuristic journalism) yang dipenuhi dengan gosip selebritis sebagai obyek beritanya, dengan tampilan cover genit, tentunya kehadiran "Bentara" sebagai suplemen kebudayaan mempunyai tujuan lain, yaitu memberikan suguhan reflektif, mungkin juga sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran setan ketakberdayaan (disempowerment) pembaca di tengah kepungan klise massa yang menggejala sebagai akibat. Ia juga merupakan wujud dari konsistensi media massa sebagai pilar utama "pendidik" masyarakat (civic journalism).

Esai-esai Bentara, sebagaimana sebuah esai lainnya yang menekankan pada unsur daya tarik yang dialogis dan mengutamakan keindahan serta dihalalkannya kebebasan dan subyektivitas, esai selalu dibicarakan sebagai apa yang oleh Ignas Kleden disebut suatu jenis kesusastraan (genus litterarium), yang mempunyai arti penting untuk perkembangan dan pertumbuhan bahasa. Kekuatan sebuah esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Ia juga tidak berpretensi mengajukan suatu pemikiran yang kokoh dan ketat, melainkan menyajikan suatu obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, seperti juga puisi, mulai ditulis kembali ketika sastrawan berhenti menulis novel, ilmuwan berhenti menulis buku teks, dan para filosof berhenti menulis traktat.

Ada diferensiasi antara filsafat, ilmu, dan esai. Kalau filsafat memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang pikiran, kalau ilmu memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang kenyataan empiris, maka esai memperlakukan ide sebagai ekspresi spontanitas subyektif melalui pikiran. Dengan demikian, filsafat bersifat mempertanyakan dan menguji ide berdasarkan rasionalitas, ilmu bersifat menjelaskan dan menguji ide berdasarkan obyektivitas, sementara esai melukiskan dan menguji ide berdasarkan orisinalitas.

BUKU yang diedit oleh JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, masing-masing sebagai wartawan dan editor Bentara (Kompas) ini, sedianya pernah terbit setiap Jumat awal bulan sejak tahun pertama (2000) sampai memasuki tahun ketiga (2002). Sebagai lembar kebudayaan, ia berisi informasi yang memikat dan jenial dalam jagat penulisan untuk ukuran media massa harian.

Tidak sekadar kompilasi tulisan seperti halnya buku-buku yang banyak beredar dalam belantara perbukuan Indonesia saat ini, buku ini mempunyai susunan sistematika yang kompleks dan multidisiplin, terdiri dari empat bagian. Bagian pertama mengedepankan refleksi pemikiran dan tokoh nasional dan pemikir dunia, salah satunya yaitu analisa psikologis terhadap kepribadian mantan presiden Soeharto. Bagian kedua memusatkan perhatian pada bidang seni rupa, sastra, film, dan cultural studies. Bagian ketiga menekankan pada ilmu fisika, kosmologi, juga tentang dimungkinkannya penerapan Ekonofisika sebagai disiplin ilmu baru untuk bersaing di pasar saham. Sedangkan bagian keempat dari buku ini menitikberatkan pada agama dan masyarakat, salah satunya mengenai pasang surutnya hubungan agama dan negara dalam lintasan sejarah dan kemungkinannya di masa depan.

Akhirnya buku, atau lebih tepat kumpulan esai-esai ini sangat bermanfaat untuk memperluas horizon dan memberi inspirasi bagi para peminat masalah-masalah kebudayaan, agama, seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, untuk dapat menetaskan benih-benih kesadaran kritis di tengah belantara dan kepungan klise massa demi membuka koridor bagi diskusi-diskusi yang lebih cerdas, memikat, dan produktif. Ia juga bisa dijadikan forum bagi kebutuhan reflektif supaya proses hermeneutika ganda (double heurmeneutic) masih tetap berlangsung di tengah kecenderungan pengebawahan sebuah refleksi. Bagi yang masih belum lengkap dokumentasi atau kliping "Bentara"-nya karena satu dan lain hal, bisa didapatkan dengan hadirnya buku ini.

Tasyriq Hifzhillah Mahasiswa Aqidah dan Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Million Unique Visitors To Anthropology.net

Million Unique Visitors To Anthropology.net!
Jump to Comments

Anthropology.net has gone platinum. With the help of guest bloggers and regular contributors, I have hosted 1,000,000 unique visitors since March of 2007. For a highly specialized niche site with no advertisement campaign I consider this milestone a success.

But, I’m going to bid blogging adieu because I have been accepted to medical school. Once I start, I imagine my studies will be like drinking from a fire hydrant and I won’t have much time to keep up with anthropology news and blogging. This is extremely hard to do, as Anthropology.net has been my baby for the last 4 years. Since the average posts takes several hours to compose, and my primary role as a medical student is to be a study bot, I am going to have to shift focus.

So what does that mean to you guys? Obviously, I won’t be posting, commenting, and moderating. I’m going to miss the discussions I’ve had with the readers and keeping up to date. I still will keep the domain and the site live just in case I ever do decide to return. I do want to extend an invitation to new guest bloggers and contributors, if you wanna pick up anthropology blogging, I’ll be more than happy to host you. Just contact me. Anyways, thank you all for such an awesome ride. I hope to be back once my clerkships start… but that won’t be for at least two more years.

Poverty and the purchased public sphere

Poverty and the purchased public sphere

Irsyad Zamjani , JAKARTA | Sat, 04/04/2009 11:30 AM | Opinion

During the campaign period of the 2009 election, poverty issues are among the most prominent issues. All political parties proclaim themselves as truly antipoverty parties. The issue has been repeatedly raised within a number of political advertisements in the mass media, on posters, or at mass meetings.

Debates have taken place among politicians regarding the large number of the country’s poor and the policies the government have imposed to eradicate poverty. However, there is a paradox. Among those vicious political disputes, our poor people are not merely materially lacking, but they have also lost their democratic participation. Broadly speaking, they have been undergoing a “deficit of citizenship”.

The modern democracy requires, among other things, an institution called the public sphere, within which the everyday participation of all citizens is accommodated. In the public sphere problems are raised, discussed, and if possible are then solved. The public sphere manifests in institutions ranging from the more formal, such as public seminars, the mass media, up to the more informal, such as bar and coffee shops. In a country that claims itself as democratic, a central question has to be posed: has every citizen had equal opportunity to access the public sphere?

The answer is “No!” Only the haves could access the public sphere. They are those who are involved in intellectual forums of public discussions and seminars. They are able to observe government performance through newspaper reports and, if they wish, write opinion letters. In their leisure time, they attend experts’ and politician’s debates on television, pick up the phone to voice their opinions, or casually pose critiques through text messages on their cell phones.

Among those very democratic situations above, where are the poor? Rather than buying televisions or subscribing to newspapers, they even have trouble affording a meal. Instead of picking up the phone or typing a text message, to earn some cash they have to sweat all day long.

Indeed, they do not have the power to tell their troubles to politicians they have elected. Democracy, for them, is only a five-yearly ritual. Democracy is the matter of “time”, not of “space.” It is just like Christmas, it doesn’t happen every day.

In his seminal work, the Structural Transformation of the Public Sphere (1989), Germany philosopher Jurgen Habermas has taken into account the way the public sphere transforms. In its emergence in the dusk of the 18th century, it was the bourgeois’ tool to demolish feudalism and then establish more democratic nation-states. It gave a great contribution to the advancement of liberal capitalism.

However, the 20th century saw the development of organized capitalism. In contrast to liberal, free and equal competition, organized capitalism has a tendency to monopolize markets.

Organized capitalism rather creates human needs than fulfils them. The public sphere is monopolized as well. Previously, the public sphere was the field of open public debate. Now, the public sphere has become a meadow to manufacture public opinion through the polling system. Everyone who has power and money can intrude and control public aspirations.

Bourgeoisies buy the public sphere and thus provide the dishes on the democratic menus within. Politicians and intellectuals, who are fond of popularity, embellish the mass media with their eccentric grooming. They fluently dispute, contest opinions and compete for influence and sympathy. The media debates are no more than spectacles, controlled by the mechanism of the visual media market called ratings.

When the public sphere is purchased or monopolized, democracy becomes the property of the haves. They constitute the first class citizens. The poor are no more than the second or maybe third class citizens, needed only when democratic festivities begin. The poor will be useful for democracy only when they transform to be a mass. The masses are more suitable to make merry and cheer at the five-yearly parades than to be involved in the day-to-day politics. If the masses celebrate their democracy every time and every where, the result is anarchy.

The historical clock is turned back. Citizenship becomes a luxury. For the poor, citizenship is in deficit. Nominally, they are citizens, but, substantially, they have lost the most crucial element of citizenship within a modern democratic state; i.e. participation.

They are passive people rather than active citizens. Their voices never heard during the formulation of policies determining their own fate. Besides facing the external burdens, the poor also have to deal with their own internal troubles. By themselves, they are a very vulnerable and dependent community.

Affirmative policies need to be imposed not only for those who have been discriminated against culturally, but also for those who are deprived economically. An affirmative perspective should be considered by political parties, if they are serious about being pro-poor parties.


The writer is a sociologist and researcher at the Center of Asian Studies (CENAS), Jakarta.

Wednesday, April 1, 2009

KONFLIK IDEOLOGI

KONFLIK IDEOLOGI
Oleh : Dr. Darsono P, SE, SF, MA, MM.

Ideologi sebagai keyakinan yang diperjuangkan,
penganutnya rela berkorban demi perjuangan
ideologinya. Oleh sebab itu ideologi tidak pernah mati
sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Di dunia
dewasa ini hanya ada dua idologi yaitu kapitalisme dan
sosialisme. Dua ideologi itu konflik antagonis
sepanjang masa. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan
ilmu sosial yang makin berkembang maju dan melahirkan
berbagai paradigma baru.

Kapitalisme
Kapitalisme adalah suatu ideologi yang mengagungkan
kapital milik perorangan atau milik sekelompok kecil
masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan
manusia. Kepemilikan kapital perorangan atau
kepemilikan kapital oleh sekelompok kecil masyarakat
adalah dewa di atas segala dewa, artinya semua yang
ada di dunia ini harus dijadikan kapital perorangan
atau kelompok kecil orang untuk memperoleh keuntungan
melalui sistem kerja upahan, di mana kaum pekerja
(buruh) sebagai produsen diperas, ditindas, dan
dihisap oleh kaum kapitalis.
Bapak ideologi kapitalisme adalah Adam Smith dengan
teorinya The Wealth of Nations yaitu kemakmuran
bangsa-bansa akan tercapai melalui ekonomi persaingan
bebas, artinya ekonomi yang bebas dari campur tangan
negara. Kemudian Ideologi kapitalisme diperbaharui dan
dikembangkan oleh Keynes dengan teorinya Campur
Tangan Negara dalam Ekonomi khususnya dalam
menciptakan kesempatan kerja, menetapkan tingkat suku
bunga, tabungan, dan investasi, W.W. Rostow dengan
teorinya The Five Stage Scheme, Harrod-Domar dengan
teorinya Tabungan dan Investasi, Mc Clelland dengan
teorinya The Need for Achievement, Reagan dan Tacher
dengan teorinya Neo-Liberalisme atau Globalisasi Pasar
Bebas atau teori Kedalualatan Pasar Bebas. Pelaksanaan
teori-teori tersebut di atas didukung oleh IMF
(international Monetary Fund), World Bank, dan para
konglomerat internasional.

Sosialisme
Sosialisme ialah suatu ideologi yang mengagungkan
kapital milik bersama seluruh masyarakat atau milik
negara sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia.
Kepemilikan bersama kapital atau kepemilikan kapital
oleh negara adalah dewa di atas segala dewa, artinya
semua yang ada di dunia ini harus dijadikan kapital
bersama seluruh masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui sistem kerja sama, hasilnya
untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama, dan distribusi
hasil kerja berdasar prestasi kerja yang telah
diberikan.
Ideologi sosialisme hakikatnya adalah menelanjangi
keserakahan kapitalisme. Bapak ideologi sosialisme
adalah Karl Marx dengan teorinya Materialisme
Dialektika dan Materialisme Historis, dan Das Kapital.
Kemudian ideologi sosialisme dikembangkan oleh
Althusser dengan teorinya Strukturalisme, Antonio
Gramsci dengan teorinya Hegemoni, Samir Amin dan Adre
Gunder Frank dengan teorinya Ketergantungan, Max
Hokreimer, Hebert Marcuse, Theodor W. Adorno dengan
teori Kritisnya yang ingin membebaskan manusia dari
belenggu penindasan dan penghisapan, tetapi anti
dogmatisme yang artinya Marxisme tidak boleh dijadikan
dogma (keyakinan membuta).

Post Modernisme dan Post Marxisme
Kedua ideologi ini lahir karena kontradiksi antara
kapitalisme dan sosialisme yang makin menajam. Mereka
mencari jalan keluar, pemikir kapitalis mencari jalan
keluar berupa Post Modernisme sedangkan pemikir
sosialis mencari jalan keluar berupa Post Marxisme.
Kedua ideologi ini hakikatnya adalah revisionisme,
mengaburkan paham kapitalisme dan sosialisme.

Post Modernisme
Post Modernisme ialah ideologi tentang hak untuk
berbeda (The Right of Different) yang menolak
penyelamatan manusia dari penghisapan manusia atas
manusia yang dikumandangkan oleh ideologi sosialisme,
dan menolak hegemoni dan dominasi kapital terhadap
kehidupan manusia. Hakikatnya post modernisme menolak
ideologi kanan (kapitalisme) dan ideologi kiri
(sosialisme). Menurut George Ritzer (jurnal The
American Sosilogist No 10, 1975 yang dikutip oleh
Widodo Dwi Putro, Kompas, 23 September 2002), konfik
kanan-kiri yang menang adalah kanan (kapitalisme)
karena kapitalisme mempunyai kekuatan kapital dan
kekuasaan politik. Kemenangan kapitalisme atas
sosialisme dewasa ini (akhir abad 20) dikukuhkan oleh
tesis Francis Fukuyama dalam The End of History and
The Last Man, yang menjelaskan bahwa evolusi terakhir
ideologi manusia adalah demokrasi liberal karena
diterima diseluruh dunia dan menerima kapitalisme
sebagai cara produksi yang paling efektif, produktif,
dan efisien. Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa
dewasa ini kekuasaan tertinggi manusia adalah
Konsumerisme karena ideologi inilah yang paling
otoriter pada kehidupan manusia, dan ideologi ini
disebut The Late Capitalisme (kapitalisme akhir).
Kesadaran manusia tidak lagi dipersatukan oleh
ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi oleh
konsumerisme dan daya tarik gaya hidup; manusia tidak
peduli pada ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi
tertarik pada gaya hidup.

Post Marxisme
Post Marxisme adalah ideologi kaum intelektual bekas
kaum Marxist yang ingin memperbaiki nasib rakyat
jelata melalui program pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintahan bourjuis. Post-Marxisme berlawanan
dengan Marxisme yaitu ideologi kaum buruh yang ingin
memperbaiki nasibnya melalui suatu revolusi sosial.
Dua ideologi itu memiliki sejarah yang berbeda.
Ideologi Marxisme, lahir dari kesadaran kaum buruh
untuk mengubah nasibnya dari penindasan dan
penghisapan kaum kapitalis melalui revolusi sosial.
Marxisme merupakan sejata idiil kaum buruh, dan buruh
menjadi senjata materiil Marxisme. Di atas kemenangan
revolusi sosial itu didirikan pemerintahan Demokrasi
Rakyat kemudian berkembang menjadi Diktatur
Proletariat yang mempunyai tugas utama memperbaiki
nasib kaum buruh dan kaum miskin lainnya. Sedangkan
ideologi Post-Marxisme, lahir dari bekas kaum Marxist
yang mengkritik beberapa point teori Marx antara lain
teori revolusi dan teori Negara Diktatur Proletariat.
Di samping itu post marxisme lahir dari kekosongan
posisi sosial pada saat perjuangan kelas pekerja (kaum
kiri) mengalami kemunduran, dan lahir dari pengaruh
kaum Neo-Liberalisme dengan tesis globalisme, di mana
kesejahteraan sosial harus diatur oleh ?Kedaulatan
Pasar Bebas?. Dalam tesis globalisme, kapital, ilmu,
teknologi, dan tenaga ahli adalah bebas mengarungi
samudera dan bebas menjelajah ke pelosok penjuru dunia
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Analisis
Konflik ideologi antara kapitalisme dan sosialisme
merupakan keharusan sejarah. Karena kapitalisme ingin
mempertahankan pemilikan perorangan atas alat-alat
produksi dan ingin mempertahankan penghisapan manusia
atas manusia melalui sistem kerja upahan di mana
besarnya upah ditentukan oleh pemilik kapital.
Sedangkan sosialisme ingin membebaskan manusia dari
belenggu rantai penghisapan manusia atas manusia dan
bangsa atas bangsa melalui revolusi di mana alat-alat
produksi harus menjadi milik bersama seluruh
masyarakat, digunakan bersama, dan hasilnya untuk
memenuhi kepentingan hidup bersama di bawah pengaturan
negara.
Dalam kapitalisme, negara adalah pelayan kaum
kapitalis. Negara harus membuat undang-undang untuk
melindungi kepemilikikan kapital kaum kapitalis. Di
samping itu negara harus melaksanakan kebijakan
politik yang melindungi dan menguntungkan kaum
kapitalis. Sedangkan sosialisme, negara adalah pelayan
rakyat. Negara harus membuat undang-undang untuk
melindungi kepemilikan bersama seluruh masyarakat atas
alat-alat produksi. Di samping itu negara harus
melaksanakan kebijakan politik yang melindungi dan
menguntungkan kaum pekerja (buruh).
Tentang lahirnya paham baru post modernisme dan post
marxisme yang dewasa ini sedang diminati oleh banyak
pemikir, itu hakikatnya adalah revisionisme yang akan
mengaburkan kesrakahan kapitalisme dan tesis revolusi
sosial menuju sosialisme. Post modernisme dan post
marxisme hanya ?kembang pemikiran? yang sedang mekar
tanpa didasari oleh kekuatan basis (sistem ekonomi).
Oleh sebab itu kembang pemikiran tersebut akan segera
layu dan berguguran.
Seperti tulisan Fukuyama, yang menjelaskan bahwa
kapitalisme akhir adalah hegemoninya dan dominasinya
konsumerisme, ia hanya melihat permukaan gejala sosial
saja, ia tidak melihat hakikat dari gejala sosial
tersebut. Demikian juga tentang post Marxisme,
paradigma itu hanya sebagai ?hiburan kaum intelektual
kiri? saja yang tidak sabar menunggu datangnya
revolusi sosial. Oleh sebab itu dengan lahirnya post
marxisme, bukan berarti Marxisme sudah mati. Post
Marxisme itu hanya aliran segelintir pemikir kiri yang
menyimpang dari Marxisme dan dapat dipastikan tidak
akan didengar oleh kaum pekerja (buruh), apalagi
dijadikan senjata morilnya. Kaum pekerja (buruh) di
mana pun selama masih ada kapitalisme tetap akan
menggunakan Marxisme sebagai senjata morilnya (senjata
perjuangannya).
Post modernisme hakikatnya adalah paradigma ?pemikir
bingung?, karena landasan berpikirnya adalah pikiran
itu sendiri, bukan kondisi riil kehidupan sosial. Oleh
sebab itu paradigma post modernisme dapat dipastikan
cenderung ke idealisme (pikiran yang melahirkan
kondisi obyektif, bukan kondisi obyektif yang
melahirkan pikiran). Baik post marxisme maupun post
modernisme hanya sebagai buah pikiran berdasar
pikiran, bukan buah pikiran berdasar kondisi obyektif
kehidupan sosial, akhirnya keduanya akan ditelan dan
hilang oleh sejarah perkembangan masyarakat, karena
hakikatnya sejarah adalah sejarah konflik kepentingan
kehidupan riil (kehidupan ekonomi) antara golongan
penguasa dengan golongan yang dikuasai, kemudian
berkembang menjadi konflik ideologi.

Jakarta, 23 September 2002.

Dr. Darsono P, SE, SF, MA, MM.

Membangun Nalar

Membangun Nalar yang Tak Retak

Adi Armin

Di manakah kenistaan peruntungan/ Jiwa yang damba jadi pemenang/ Ketulusan hati adalah keabadian/ Kejujuran insan yang tidak lazim/ Awalnya adalah keyakinan/ Inspirasi gairah/ Dewi jualah yang menjulurkan lambaian.

KUTIPAN puisi du Bellay ini sarat dengan renungan kuat pemikiran platonisme. Muatan itu bukan saja karena du Bellay mengusung panji-panji kaum neoplatonian dalam kelompok tujuh bintang (La Pleiade), kelompok yang merangkum tujuh sastrawan besar di zaman Raja Henri II (1519-1559), dan yang lainnya adalah Ronsard, Remy Belleau, Jodelle, Baif, Pontus, Peletier du Mans, namun lebih-lebih sedimen poetik du Bellay sendiri bersumber dari pengalaman batin dan nalar asli yang berorientasi sublim dan suci. Proses kreatifnya bersentuhan dengan metafisika yang justru disangsikan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, khususnya pada zaman surplusisme dewasa ini. La Pleiade, pengujung Abad Pertengahan, sengaja mengaktualkan kembali konstelasi sastra Yunani klasik yang berfokus pada tujuh sastrawan terkemuka masa Ptoleme Philadelphe, di antaranya Lycophrone, Homere dan Dionysiades sebagai bukti penegasan semangat renaissance yang mereka miliki, yaitu kembalinya kejayaan pemikiran Yunani dan keunggulan teknik konstruksi bangsa Romawi.

SEBAGAIMANA diketahui, Plato telah mengembangkan pemikiran umum yang membedakan pengetahuan opini yang mengandalkan penampilan realitas (doxa) dengan pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian (epistème). Pada perkembangannya, pemisahan kedua pengetahuan tersebut memberikan indikasi kuat bahwa penelitian rasional yang merupakan kelanjutan penelitian penampilan realitas (doxa) telah memihak pada "perangkat keras" atau kekakuan obyek formal pengetahuan yang kemudian memiliki akses bergelombang pada politik dan kekuasaan, sementara pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian tidak demikian.

Syair bening Las! Ou est maintenant yang mengabadikan ruang-ruang kedalaman dan keabadian sejajar dengan tawaran mistisisme puisi Corespondeences dari Charles Baudelaire, yang walaupun berada jauh di luar pengaruh Yunani klasik, berhasil mengoleksi metafora dan simbol-simbol memukau lewat kesatupaduan indera sebagai modalitas penalaran. Kita simak: Alam laksana kuil dengan tiang-tiang hidup/ Melepaskan suara galau/ Manusia lewat di sana melalui hutan simbol/ Menyapa dengan pandangan hangat/ Laksana gema di kejauhan yang bersahutan/ Luas bagai kelam dan cahaya/ Wewangian laksana harum bayi/

Pengaktifan total modalitas pengamatan secara simultan yang disajikan Baudelaire dapat dimaknai suatu kemungkinan pengaktifan seluruh fakultas penalaran manusia dalam menyapa realitas fenomenal yang memiliki harmoni satu sama lain. Manusia sebagai makhluk hidup yang secara "tragis" terlempar ke bumi dibekali perangkat sidik untuk memudahkan dirinya beradaptasi dengan beragam rupa tantangan natural. Bahkan, bukan hanya mampu beradaptasi, dengan kemampuan indera rohani dan jasmani, manusia sering kali memenangkan pertarungan itu berkat sukses kultural yang semakin sophisticated, yang dimilikinya, jauh melibas hadangan alam. Mercusuar pencakar langit tahan gempa didirikan, samudera ditembus, angkasa luar diacak, jarak dibonsai, waktu dikonstruksi.

Namun, penalaran jasmani tidak selalu menang dalam observasi realitas. Semakin maksimal penalaran jasmani bekerja, disadari semakin ada bagian realitas yang mengelak, dan menyingkir dari observasi. Selalu ada bagian realitas yang tidak habis diverifikasi. Semakin horizon didekati, semakin mundur menyingkir horizon tersebut. Alih-alih realitas, bahkan Aku-nya manusia yang menalar pun ikut-ikutan mengelak dan tergelincir keluar dari penalaran, seru JWM Verhaar. Lihat bagaimana sibuknya fenomenologi Husserl mencari syarat-syarat transendental bagi ego dalam kerangka transendental intersubyektif. Atau, usaha Merleau-Ponty untuk menyenangkan dirinya sendiri bahwa tubuh cukup utuh pada dirinya untuk mengarah pada Dunia Hidup (lebenswelt), sehingga transendensi tidak perlu dilakukan, padahal saat mendefinisikan manusia, Ponty terjebak dalam istilahnya sendiri, yaitu manusia adalah le corps dan le sujet di mana salah satunya pasti mengelak. Bahkan, Aku-nya Wittgenstein, satu-satunya struktur yang tidak masuk dalam struktur logis. Aku-nya manusia menjadi batas dunia, suatu tindakan mengelak yang gamblang. Puncak pernyataan penalaran yang mengelak dapat ditemukan dalam rumusan pertanyaan gaya Ryle, yang bertanya: bagaimana aku mengetahui bahwa aku mengetahui sesuatu, bagaimana aku menyadari bahwa aku menyadari sesuatu. Sebuah tindakan penalaran yang mengelak yang tidak habis-habisnya.

Dari dadaran realitas dan penalaran yang memiliki kelaziman mengelak ini, masih sanggupkah dinyatakan bahwa realitas dan penalaran sepenuhnya hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih berhak. Tidakkah ingin dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu mengelak tersebut terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus terus-menerus dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara yang sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam nomena yang gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang beroperasi secara lahir, sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal budi yang bersifat batin. Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia mustahil bertentangan, apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan pengertian nalar, yaitu berupa pertimbangan baik-buruk secara akal budi atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir, suatu jangkauan pikir atau kekuatan pikir.

Dari pengertian tersebut, kita tentu menyangkal pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada proses berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang mempropagandakan hasil penalaran hanya berkisar proses penyimpulan yang dibangun dari proposisi anteseden dan premis sesuai teks-teks logika. Sama halnya keberatan akan diajukan pada anggapan penalaran hanya terdiri dari induksi, deduksi, abduksi, sebagai hal niscaya secara kategoris.

Nalar lincah dan supel dalam Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara", Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para Penyair, Donny Gahral Adian ("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira hanya persoalan operasional teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama halnya penekanan dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran yang memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah "puisi".

Penalaran utuh tidak menghasilkan benturan, sebab proses penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia yang melibatkan pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis terjadi karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek atau dari sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa nalar asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan adalah kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk selamanya, dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak, dan saat mana ia harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan. Nalar lincah dan supel yang dibarengi ketundukan dan kepatuhan. Ungkapan penolakan terhadap nalar asli justru mengingkari sifat-sifat lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar sendiri, sebab ia terjerumus dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran, sok kuasa yang justru dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang, semacam neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi.

Pemujaan Husain terhadap nalar asli seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti dituduhkan bukan hal yang disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki pengalaman tersendiri sebelum menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami (kata dialami, harus digarisbawahi) akan memberikan kesadaran sekaligus pengetahuan untuk kemudian memilih mana yang sesuai. Toh, pemikiran-pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan. Secara ontologis masa depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu saat usia alam semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman dengan kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan habis tereksploitasi, karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah direngkuh habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang adalah masa anak cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi ikut, pengikut dan penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada Sidharta Gautama, Gandi, Confusius dapat diterima. Kebaruan yang ditemukan dan akan ditemukan tidak lain adalah kebaruan semu semata yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya. Pandangan dimensi waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ Roussseau.

Kita tidak perlu kecil hati dengan cap mitis yang dikenakan Bagus Takwin pada pemikiran demikian, karena pemikiran mitis di mana manusia dalam keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar mengambil jarak pengamatan berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat manusia sanggup mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis (Kompas, 28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan ketidaksabaran melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak ternyata bagian dari kita.

Keutuhan nalar, mungkinkah?

Operasi nalar yang tidak terpecah, di samping pemikiran para "Nabi" di atas, sebetulnya dapat ditemukan dalam alur pemikiran Descartes, bapak Rasionalisme, khususnya yang termuat dalam karya berjudul Meditations. Karya ini dapat disebut masterpiece dan menduduki tempat terhormat dibanding karya-karyanya yang lain.

Meditations pertama kali ditulis dalam bahasa Latin, tahun 1641, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Le duc de Luynes beberapa waktu kemudian. Menurut Descartes, tujuan pembuatan karya ini adalah ikhtiar pencarian kebenaran abadi sama seperti pustaka-pustaka lain dari Descartes, semisal Les Principes. Namun, pengembaraan penelusuran misteri kebenaran dalam Meditations diteruskan pada level lebih tinggi, yaitu tataran metafisika yang menyuguhkan kedalaman. Dalam upaya penyusunan kerangka dan isi Meditations, Descartes bertutur: "Dalam filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus, hal yang terbaik, tersolid, yang akan mengantarnya pada Aturan Jelas dan Tepat, yang akan melingkupi segenap manusia dalam hubungannnya dengan alam semesta."

Semangat Descartes terbukti dalam kaitan dengan proses kreatif Meditations. Pada sebuah diskusi seru, tepatnya November 1627, Descartes pernah berjanji kepada Cardinal Berulle, yang menantangnya melakukan reformasi filsafat. Baru empat belas tahun kemudian tantangan itu terjawab dengan munculnya Meditations. Kita telusuri sejenak sketsa penalaran Descartes dalam Meditations untuk sampai pada skema fisik dan metafisik penalaran Cartesien yang seutuhnya.

Dari ragu menuju keraguan. Seharusnya ditegaskan bahwa keraguan Descartes bukan keraguan yang dapat diasimilasi dengan keraguan skeptis dan pesimis, melainkan usaha metodis pencarian kepastian, termasuk hal tetap dan ajeg dalam ilmu pengetahuan. Jenis ragu pertama adalah keraguan terhadap gagasan-gagasan, keyakinan yang diterima dogmatis, serta prasangka-prasangka penuh kontradiksi dan paradoks. Terhadap ini, Descartes memperlawankannya dengan keraguan metodis. Oposisi yang sama berlaku juga terhadap pernyataan yang didukung argumen kabur, ilusif dan penuh khayalan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan keragu-raguan. Lebih dari itu, setumpuk argumen yang bersumber dari bakat genetik dan inteligensia cerdas yang dapat menyungkup kebenaran-kebenaran matematik dianggap dapat memancing keraguan, yang di dalam Meditation diistilahkan sebagai keraguan hiperbolik.

Keraguan adalah tindakan penalaran (cogito). Descartes berkeyakinan bahwa pikiran lebih mudah diketahui ketimbang kompleksitas kerja aspek fisiologis tubuh manusia. Pikiran lebih mudah dikenal ketimbang benda material serta jiwa psikis. Sementara pikiran dan penalaran hanya dapat berfungsi secara maksimal dengan hadirnya keraguan. Keraguan adalah suatu kepastian penalaran. Tindakan menalar secara utuh adalah keadaan yang menunjukkan kehadiran pikiran dan nonpikiran, seperti halnya tindakan yang memakai sarana-sarana fisik. Menalar adalah situasi yang berkaitan dengan momen waktu.

Keberadaan Tuhan merupakan bukti ontologis format Cartesian. Bagian ini sangat menarik dan mengandung perdebatan karena menyangkut studi logis yang dapat diterima rasio soal pandangan yang dapat dipercaya untuk menjawab pertanyaan: dalam hal dan sumber apa ide berhubungan dengan realitas? Sejak Abad Pertengahan sampai sekarang persoalan ini merupakan lahan sangat subur yang menuai kritik dalam perjalanan sejarah filsafat, karena setelahnya menandakan patahan lebar terhadap periodisasi pemikiran, misalnya Kant dengan model empat kategori imperatifnya memaklumatkan metafisika tidak secuil pun memberi ide dalam pengetahuan realitas. Untuk menyiasati masalah, Descartes menukar substansi realitas material dengan keberadaan "suatu keluasan" yang bertumpu pada sumbu gerak kesempurnaan yang bertingkat secara hierarkis. Maka, saat pertimbangan mengenai realitas dilakukan harus diartikan sebagai pertimbangan langsung terhadap nilai yang bersifat mobil secara gradual. Pernyataan "saya berpikir" tidak dapat diartikan sebagai berpikir obyek lazim, tetapi pertama-tama harus ditujukan untuk memastikan isi (content). Isi yang tidak terperangkap pada keraguan dan hanya berhubungan dengan dirinya sendiri yang berakhir pada puncak yang disebut "idée innée", (ide bawaan yang tidak didahului pengalaman), yaitu, kecuali berupa ide sempurna yang dapat ada. Dari sini Descartes memastikan kehadiran kesempurnaan yang lain, yaitu bukti ontologis kehadiran Tuhan sebagai esensi dalam eksistensinya, di mana dengan hasil perenungan, nalar asli atau ide bawaan seirama dengan denyut alam semesta.

Cogito, Ergo Sum adalah proses penalaran tanpa obyek normal (intransitif). Pola berpikir demikian berbeda dengan pola berpikir sementara kalangan dalam model-model ilmu pengetahuan. Model berpikir ilmu pengetahuan selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan tidak mencakup realitas yang mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana subyek sekaligus menjadi obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja secara simultan, emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik Descartes telah menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak dapat diatasi atas dua substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak seluruhnya benar.

Pada tatanan metafisik, Descartes mengakhiri usahanya di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi "Cogito, ergo sum" bukan hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan juga berkaitan dengan kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua substansi, yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato dan mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan kategori Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan keutamaan yang belakangan diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes. Metafisika baginya adalah tempat di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara bersamaan, ia memberikan tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada gilirannya, menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak ada pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang penyatuan keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti pada tiga postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia luar yang tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu keserbamungkinan teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas yang merupakan bukti eksistensi sesuatu yang diragukan.

Bukti lain ontologi Tuhan melalui kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat dalam dimensi waktu, berapa detik, menit, semestinya ada penyebab yang bukan hanya mencipta, tetapi juga menjaga ciptaannya di luar tebasan waktu. Descartes menunjuk harmoni hukum-hukum universal alam semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis itu, keteraturan alam mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu sendiri.

Pengetahuan keberadaan Tuhan memungkinkan pengetahuan tentang jiwa. Teori benda telah cukup memadai, sementara penghayatan dan keinginan untuk bebas menyadarkan kita tentang tingkat pengetahuan. Kebebasan yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan mendukung kejelasan yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi sempurna keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta. Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari ide-ide yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-prinsip geometri.

Nalar manusia yang menyejarah

Corak pemikiran di belahan dunia berkembang disebut secara sinis sebagai "katak di bawah tempurung", (François Dortier, 2000), sebab pemikirannya tidak mandiri, malu-malu, kerdil, tidak percaya diri, condong mengadopsi pemikiran luar tanpa kritik. Pemikiran ahistoris yang lepas dari warna dan corak kehidupan sosial masyarakat, sementara pemikiran yang diadopsi meloncat loncat tergantung ketersediaan informasi.

Dalam kepustakaan epistemologi dicitrakan betapa besar peran pengalaman, memori, kesaksian, curiosity dalam menyumbang penalaran untuk pembentukan pengetahuan. Pada setiap pertemuan, Donny dan Bagus Takwin, mungkin mengisyaratkan mewakili sayap kaum Nietzschien yang menebar pesimisme terhadap keyakinan tradisional dan gelisah laksana filsuf sinis Yunani, Diogène, yang membawa obor menyala di bawah terik matahari kota, di tengah kerumunan orang, sambil menyeru: "Saya mencari Manusia", padahal, kenyataannya di sekitar kita tidak sedramatis itu. Nihilisme Nietzschien, misalnya, tanpa jauh-jauh dapat ditemukan tingkat personifikasinya pada medan laga Kurusetra dalam kisah Mahabaratha. Kisah yang melumpuhkan segala jenis nilai normatif yang diakui dan disanjung tata kehidupan manusia sehari-hari.

Dalam kisah agung tersebut dimuat paradoksi, ironi yang diramu secara destruksi masif, sehingga dibutuhkan pembangunan bumi baru, tatanan dan keteraturan baru ala Nietzsche. Tubuh Bhisma terbaring di atas kasur panah murid kesayangannya, Arjuna, demi membela Hastinapura yang justru diperintah keluarganya yang despotik dan nepotis. Sang cendekia sejati Yama Widura mengingkari sumpah sejatinya atas nama pengabdian kepada Destarasta.

Panglima Karna protes pada penetapan Dewa, menyangkal keimanannya pada Langit, karena nasibnya, terlahir akibat keisengan Dewa Surya, dihanyutkan demi kehormatan ibundanya yang dikenalinya justru saat pagelaran perang dahsyat mulai. Ia harus memerangi adik-adiknya, Pandawa, demi kesetiakawanan kepada tokoh jahat Duryudana. Karna membangkang pada Langit yang dianggapnya tidak adil. Bukankah itu pemutarbalikan norma yang dirontokkan Nietzsche, menantang Hari Pembalasan, dosa dan kiamat, sehingga ia berujar urgensi pencarian iman dan keyakinan baru. Siapa Kresna yang memanjangkan tak henti-henti selendang Drupadi agar tidak terbuka auratnya? Yang menjadi duta perdamaian ke Hastinapura? Yang menjadi kusir kereta perang Arjuna, sehingga ia menang terhadap Karna? Yang merancang pembunuhan Bhisma? Yang membantu Bima mematahkan paha Duryudana dalam duel maut? Bukankah ia tokoh "Manusia Super" dalam filsafat Nietzsche.

Saat kita tidak mampu mengambil jarak dari kungkungan arus pemikiran luar, sekali lagi saat itu mistisisme kembali mengungkung kita. Model penalaran (paradigma, metodologi) negeri kita akan semakin layu, jika tidak berpijak pada realitasnya, yaitu bangsa plural yang berkeyakinan sejak masa nenek moyangnya. Kematian pemikiran akan terjadi jika ahli pikirnya lupa memijak tanahnya, alpa menjunjung langitnya demi menuju misi universalnya, dan ilmuwan sosial tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya.

Konsepsi pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang pernah menjadi jargon pembangunan di masa Orba urgen dikaji lagi, diperdalam dan diperluas, sebab motif kemanusiaan universal dapat menjadi modal utama untuk mengatasi pluralisme di antara kita. Kita adalah saudara, manusia sama yang terlempar tanpa diberi hak memilih ke muka bumi, terlepas dari berbagai keberagaman kita. Jika sumber-sumber kebaikan dan kebijaksanaan formal, seperti agama dan kepercayaan, termasuk ideologi belum lagi ampuh melaksanakan terapi bagi multi krisis umat manusia, maka yang harus didiagnosa menurut hemat saya adalah mengoreksi kembali asumsi-asumsi dasar dalam beragama dan berkeyakinan serta berideologi.

Di luar itu, untuk menjadikan esok yang penuh semangat, hasrat dalam kedamaian, mari menalar hal-hal yang "enteng-enteng" saja dan merefleksi syair-syair cinta, kasih sayang, niscaya kebahagiaan yang didasari keutuhan manusia akan membangkitkan gairah hidup yang kuat seribu tahun lagi.

Kita simak sepenggal puisi cinta dari Donny: Ada bulan yang ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/ Semua begitu Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah terungkap.

Juga puisi jernih dan syahdu dari Bagus Takwin: Sempat kuintip maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/ Pepohonan diam/ dan sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/ mengusap bumi yang sudah/ pulang?/ ?Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang patuh/ Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan serangga?/ ?Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/ semua gemuruh lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam dan aku/ dalam takjub kami termangu.

Adi Armin Magister Filsafat, Dosen Filsafat pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar