Tuesday, March 31, 2009

KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS (2/2)

KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS (2/2)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an,
manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15),
tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72),
banyak membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah,
gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untuk
bersusah payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterima
kasih (100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan hari
akhirat (19:66).

Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori
pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan:
kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatan
mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan
dengan kategori ayat-ayat ketiga.

Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian
manusia dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus.
Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati
tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula basyar
berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air
(25:54). Ini mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa proses
penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik
basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76),
manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi
(bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur
material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur
basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung
dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi
hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia
mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata Abbas
Mahmud al-'Aqqad (1974, 7:381).

Al-Nas. Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada
manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling
banyak disebut al-Qur'an (240 kali, lihat 'Abd al-Baqi,
al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalah
singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah
al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang
memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas
menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.

Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial
dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan
ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan
memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia
yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8),
yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya
memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang
dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi
kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,
petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah
dengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjual
pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian
orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan
Allah.

Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat
menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas
rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut
al-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21;
28,68; 30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur
(40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1),
fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir
(17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18).
Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan
sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88;
4:46; 4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran
(18:22; 7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13;
7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat dari azab Allah
(11:116), yang tidak diperdayakan syetan (4:83). Surat 6116
menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yang
ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah.

Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah
hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga
manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'an
dengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35;
39:27; dan sebagainya).

WELTANSCHAUUNG QUR'ANI TENTANG MANUSIA

Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai
makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada
hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis
manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia
sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.

Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang
dilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu,
manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam
semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusia
sebagai insan dan al-Nas bertalian dengan unsur hembusan
Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan
kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia
menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat
rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar,
kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata
al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung
jawab.

Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif
sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah
memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia
tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit
kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam
yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan
rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi
janjinya itu.

Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang
membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan iman
dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut 'amal
shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu dan iman
adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Inilah hakikat kemanusiaannya," tulis Mutahhari (tt.: 17).
Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.

Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit sekali orang yang dapat
mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang yang
beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi
orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang
disebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu" (QS.
58:11). Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia berhasil
beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan
iman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan kehidupan dan
kematian untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang paling
baik amalnya (QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang
ada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk menguji mereka,
siapa diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). Bila
Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup
ini medan untuk membuktikan 'amal shalih.

CATATAN

1. Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam
kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin
ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu
prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia
menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia
mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia
merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11)

2. Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study
of the key-terms of language with a view to arriving
eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or
world-view of the people who use that language as tool not
only of speaking and thinking, but, more important still, of
conceptualizing and interpreting the world that surround them
(Izutsu, 1964:11)

3. Lihat al-Baqi, al-Mu'jam.

4. Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam
Al-Baqi, Mu'jam.

5. Dr Muhammad Mahmud Hijazi (1968,30:65) menjelaskan ayat
ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuk
meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga
sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta
tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti
memenuhi kehendak manusia."

6. Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara,
pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan
ilmu. Lihat al-Syaukani (1964, 5:131), al-Thabathabai (TT,
19:95)

7. Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the
Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap
surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan
manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama
(Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi
yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah
dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan
pelajaran dari masa lalu. Biazar (1366) banyak memberikan
contoh-contoh yang menarik.

8. Tentang perjanjian manusia di alam dzarrah ini, terjadi
banyak ikhtilaf di kalangan mufassir. Uraian berbagai pendapat
tersebut beserta kritiknya disajikan lengkap oleh Subhani
(1400:75 106).

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abd al Baqi, Muhammad Fuad, Tanpa tahun, Al-Mu'jam al Mufahras
Li al-Alfazh al Qur'an al-Karim, Beirut: Dar el-fikr.

Al-'Aqqad Abbas Mahmud, 1974, "Al-lnsan fil Qur'an" dalam
Al-A'mal al-Kamilah, jilid 7, Beirut: Dar al-Kutub al-Lubuani.

Al-Faruqi, Ismail, 1404, "Nazhriyat al-lnsan fi 'l- Qur'an,"
al-Tawhid, no 9, tahun 2.

Ali, Yusuf 1977, The Holy al-Qur'an American Trust
Publication.

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 1964, Fath al-Qadir Kairo:
Mustafa Al-Babi al-Halbi.

Al-Thabathabai, Muhamad Hussein, Al-Mizan fi 'l-Tafsir
al-Qur'an, Qum: Al-Hauza al-Ilmiyah.

Al-Thabrasi, Abu Ali Al-Fadhl, 1937. Majma' al-Bayan, Sida:
A1-Irfan

Bakker, Dirk. 1966, Man in The Qur'an, Amsterdam: Drukkerrij
Holland NV:

Biazard, Ahd al Karim, 1356. The Covenant in The Koran,
Penerbit tidak diketahui.

Boisard, Marcel A, 1978, L'humanisme de L'Islam, Paris: Albin
Michel.

Hijazi, Muhammad Mahmud, 1968, Al-Tafsir al-Wadhih Kairo:
A1-Istiqdal al-Kubra.

Izutsu, Toshihiko. 1964, God and Man in The Koran, Tokyo Keio
Institute of Cultural and Linguistic Studies.

------, 1966, Ethico Religious Concepts in the Qur'an,
Montreal: McGill University Press.

Leahy, Louis, 1986, Manusia: Sebuah Misteri, Jakarta:
Gramedia.

Mutahhari, Murtadha, Tanpa tahun, Al-Insan wa 'l-Iman Teheran:
Muassasah al-Bi'tsah.

------, 1986. Manusia dan Agama, Bandung: Mizan.

Othman, Ali Issa, 1960, The Concept of Man in Islam in the
writings of Al Ghazali, Kairo: Dar al-Maaref

Qardhawi, Yusuf. 1973. Al-Iman wa 'l-Hayat, Maktabah Wahbah.

------, 1977. Al-Khashaish al-Amimah li 'l-Islam. Maktabah
Wahbah

Rahman, Fazlur, 1965, The Qur'anic Concept of God, the
universe, and Man. Islamic Studies, March 1967, VI: 1.

------, 1980. Major Themes of the Qur'an. Chicago: Bibliotheca
Islamica

Subhani, Ja'far, 1400. Ma'alim al-Tawhid fi 'l-Qur'an
al-Karim. Qum: Antara lain Khayyam.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 750717

No comments: