Dari Modernisme ke Postmodernisme
oleh Willyem Onggo Wijaya
Pendahuluan
Pada tanggal 7-8 April 1994, Wheaton Theology Conference digelar dengan tema yang segera menarik perhatian, yakni “Christian Apologetics in the Postmodern World: Strategies for the Local Church.” Sesuai temanya, konferensi ini berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana gereja menghadapi sebuah “budaya baru” yang dikenal dengan sebutan postmodern.[1] Beragam strategi dirasa perlu untuk dikembangkan oleh gereja guna menghadapi “gerakan” baru yang mulai mempengaruhi zaman ini. Namun demikian, pembicaraan mengenai postmodern ini sesungguhnya belum menjadi hal yang dianggap penting, setidaknya bagi masyarakat Indonesia.
Dengan perkembangan teknologi yang sedemikian canggih, masyarakat saat ini masih merasa berada di era modern. Bahkan, mungkin sebagian besar orang berpikir bahwa era modern adalah era terakhir sampai nanti kehidupan di bumi berakhir. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hidup bergulir, dunia berputar, dan perkembangan teruslah menjadi proses yang tidak berujung. Saat ini, disadari atau tidak, masa modern telah bergerak lebih jauh memasuki era baru yang ditandai dengan perubahan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Berbicara mengenai pergeseran masa dari modern ke postmodern sesungguhnya memang lebih tepat merupakan pembicaraan mengenai pergeseran filsafat hidup modernisme ke postmodernisme. Modernisme dianggap dalam keadaan sekarat meskipun belum sepenuhnya kehilangan kekuatan, dan sedang dalam proses digantikan oleh postmodernisme.[2] Penulis akan memaparkan mengenai pergeseran modernisme ke postmodernisme, perbedaan antara keduanya, dan pada bagian akhir penulis akan memaparkan implikasi pergeseran modernisme ke postmodernisme pada kekristenan saat ini.
Pergeseran Era dari Pramodern ke Postmodern
Dari Pramodern ke Modern
Sebelum kehidupan modern bermula, pemikiran masa pramodern[3] selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan, dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia dan semua kreativitas artistik terletak pada persoalan pertemuan (encounter) dengan Allah. Persoalan manusiawi dalam era ini tidak bersifat independen dalam diskusi mengenai filsafat dan keagamaan. Karena penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek ketuhanan ini, tidak heran jika kemudian kehidupan manusia dianggap hanya sebagai suatu keberadaan yang duniawi, fana, dan keadaan sementara di tengah perjalanan menuju pada keberadaan yang nyata dalam kekekalan dengan Allah.
Bermula dari Renaisans dan humanisme yang berhasil membuat perubahan radikal, tema yang mulanya berpusat pada Tuhan berbelok menjadi berpusat pada manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi perhatian utama manusia. Dengan demikian, Renaisans bermakna sebagai sebuah kelahiran kembali keunikan Yunani dan Roma klasik, juga kelahiran kembali perhatian orang terhadap pengajaran prakekristenan yang menjadikan individu sebagai pusat perhatian. Humanisme berkembang dengan menemukan pokok perhatian dalam dirinya sendiri.
Antropologi humanis pada bagian yang paling dasar mendapati bahwa seorang pribadi memiliki kemampuan untuk belajar dan dapat diajar. Pengetahuan adalah segalanya; pengetahuan adalah yang paling diperlukan. Pendidikan menjadi tujuan utama yang harus diterima oleh setiap pribadi. Karena setiap pribadi dapat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, maka humanisme modern sangat bersifat optimistis. Filsafat egosentris ini secara kritis dikembangkan oleh Rene Descartes yang mencari kejelasan mutlak dalam konsep “keraguan.” Descartes bukanlah seorang peragu tanpa prinsip yang jelas, yang berusaha menghancurkan kemutlakan-kemutlakan kebenaran. Ia sungguh-sungguh menjadi seorang skeptis yang serius mencari kebenaran melalui metodenya sendiri berdasarkan observasi empiris atau deduksi rasional. Pada akhirnya, kejelasan yang diperoleh oleh Descartes hanya ada dalam dirinya sendiri sebagai kebenaran yang tidak dapat disangkali: Cogito, ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada). Pendekatan Alasan (Reasoning) Descartes ini serupa dengan karakteristik pemikiran modern yang kemudian berkembang menjadi antroposentris. Perumusan dari manusia yang berpikir dan dunia yang mekanis membuka jalan bagi ledakan pengetahuan di bawah panji-panji Program Pencerahan (Enlightment Project, istilah Jurgen Habermas).[4]
Dalam masa reformasi, Luther pun secara langsung menentang pandangan antropologi humanisme ini dalam tulisannya, De servo arbitrio. Dalam tulisan melawan Erasmus ini, Luther mewaspadai keadaan keterhilangan manusia (dari hadapan Tuhan) dan kebergantungan kita kepada karya keselamatan dari Tuhan sebagai kontras atas keangkuhan Erasmus yang menganggap bahwa adalah mungkin untuk mengubah seseorang menjadi pribadi yang baik.[5]
Berangkat dari sini, dari masa pencerahan sampai abad modern, banyak pakar sudah meramalkan bahwa suatu saat agama pasti akan mati. Namun, ramalan ini ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Abad ke-20 dibuka dengan debat teologis antara kelompok Modernis dan kelompok Fundamentalis. Pemikiran modernis mulai masuk dan menguasai mayoritas gereja dan seminari. Tidak heran jika kemudian mereka berusaha membuang segala hal yang berbau supranatural dari Alkitab. Standar pada rasio dan ilmu pengetahuan telah menyusup masuk ke dalam kekristenan melalui teologi liberal yang berkembang seiring dengan modernisme. Mukjizat, wahyu ilahi, dan Allah yang tidak kelihatan disingkirkan dari iman kekristenan. Prinsip penafsiran Historis-Kritis menjadi prinsip utama dalam penafsiran Alkitab.[6] Dengan demikian, Alkitab pun tidak lagi dianggap berotoritas ilahi.
Di dunia yang demikian, cukup sulit bagi kekristenan untuk bertahan melawan segala perlawanan rasional atas kekristenan yang sangat menekankan iman yang bersifat abstrak. Tidak heran jika kemudian di dunia modern pula kekristenan banyak dipengaruhi oleh peranakan-peranakan dari pemikiran modern, seperti Gerakan Zaman Baru.
Dari Modernisme ke Postmodernisme
Tantangan modernisme yang sedemikian menekan kekristenan belumlah usai ketika gereja kemudian harus berhadapan dengan filsafat baru, yakni postmodernisme. Berbeda dengan filsafat modern yang berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan universal. Posisi kekristenan menjadi lebih sulit karena sesungguhnya pengaruh modern belum sepenuhnya lepas dan postmodernisme telah mulai menancapkan akar-akarnya semakin dalam. Kekristenan seakan dipaksa berdiri dengan berpijak pada dua perahu yang segera akan bersilang arah. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai implikasi permasalahan ini bagi kekristenan, kita perlu mengetahui lebih jelas mengenai filsafat postmodernisme ini.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad ke-15 sampai 18, dan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal 20, memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress, dan liberty.[7] Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Tampaknya mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan bermodalkan pengetahuan berhasil terwujud. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.
Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini, teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan pekerjaan manusia. Seharusnya, semua orang lebih memiliki waktu luang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknologi instan yang ada saat ini justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras agar mendapatkan hasil yang maksimal dari efektivitas yang diciptakan. Ironis.
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernisme inilah postmodern muncul dan berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat serangan dan kritik sejak Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum benar-benar diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran baru dalam filsafat.[8] Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan awal yang menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara universal. Dalam hal ini, dekonstruksi menganggap bahwa hal itu tidak benar. Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing orang. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal tertentu. Makna tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi pribadi yang bersangkutan. Karena itu, postmodernisme tidak mengakui adanya satu kebenaran dan modernisme dianggap sebagai suatu kebodohan. Tidak ada makna tunggal dalam dunia, tidak ada titik pusat dari realitas secara keseluruhan.
Dalam dunia postmodern, manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu baik. Untuk menghindari mitos Pencerahan, postmodernisme menggantikan optimisme dengan pesimisme.[9] Harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di masa depan pun dianggap kebohongan. Tidak heran jika banyak dikatakan bahwa era postmodern dimulai setelah proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi lambang arsitektur modern diledakkan dengan sengaja oleh para penghuninya. Bangunan yang berusaha menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para penghuni rumah-susun itu dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan penghuninya secara utuh. Charles Jencks, seorang arsitektur postmodern mengatakan bahwa peristiwa peledakan Pruitt-Igoe ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme.[10]
Walaupun ada cukup banyak pengaruh baru yang dimunculkan oleh postmodernisme dalam berbagai aspek kehidupan, sangat penting diperhatikan bahwa gerakan baru ini bukanlah anti terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh era modern. Yang menjadi titik perlawanan postmodern terhadap modernsime adalah cara pandang (worldview) dan filsafat modernis yang dianggap gagal. Yang dilakukan kaum postmodernis pada intinya adalah pembongkaran cara pandang dan asumsi-asumsi dasar di balik segala cita-cita modern, yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya berbagai bencana.[11] Karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa postmodern lebih menunjuk pada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang mendominasi masyarakat kini.
Perbedaan Modern Dengan Postmodern
Dari pembahasan di atas, kita telah melihat bagaimana pergeseran era itu tampaknya berjalan perlahan tapi pasti. Pergeseran modernisme ke postmodernisme memang bukanlah sebuah revolusi yang tiba-tiba, tetapi lebih merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu. Ketidakpuasan terhadap hasil era modern tidak terlalu menonjol sampai munculnya ancaman bagi umat manusia yang jelas diketahui bersama, misalnya perang nuklir. Sejak itulah modernitas dianggap lebih menghasilkan kecemasan daripada kesejahteraan. Dengan demikian, modernisme jelas bukanlah sebuah idealisme yang dapat diterima secara utuh. Pemikiran pun bergeser ke arah yang dianggap lebih baik, dan di sinilah postmodernisme mengambil peran utamanya.
Secara terperinci, mustahil bagi kita untuk mendefinisikan postmodernisme secara utuh. Hal ini karena adanya ketidaksepahaman pula mengenai modernitas yang digantikan oleh postmodernis.[12] Kenyataannya, kata “postmodern” sendiri sulit untuk dimengerti secara tepat. Kata “modern” sendiri berarti “terbaru, barusan, mutakhir”; sedangkan kata “post” (pasca) berarti “sesudah.” Jadi secara harfiah sesungguhnya pengertian postmodern mengandung makna pengingkaran, maksudnya “sesuatu” itu bukan modern lagi. Jadilah kemudian postmodernisme mengaburkan pengertian modernisme.[13]
Postmodernisme secara umum dapat berarti sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Hal ini kemudian membuat jalan bagi pluralisme dan keragaman pemikiran. Pada intinya, postmodern, sebagaimana berulang kali ditekankan oleh Grenz, merupakan reaksi menentang totalisasi Pencerahan. Pada saat modernisme berada pada titik “krisis identitas”[14] ketika berhadapan dengan banyak masalah, postmodern seakan memberikan sebuah sudut pandang yang lebih realistis. Masyarakat yang sudah lelah dan putus asa pun segera berpaling untuk mendapatkan “rekreasi” dari tekanan dan kefrustrasian yang ditimbulkan oleh modernitas. Dari sini, kita dapat segera menyimpulkan bahwa memang modernisme dan postmodernisme menawarkan perbedaan yang berarti.
Ketika membicarakan kedua filsafat ini secara berdampingan, sering kali banyak orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan titik temu yang tepat. Perbedaan antara kedua era ini sulit dirumuskan karena seperti yang telah dikemukakan di atas, memang definisi atau pengertian keduanya masih terlalu kabur untuk dirumuskan. Namun, perbedaan umum antara modernisme dan postmodernisme dapat disimpulkan dalam kontras sebagai berikut.[15]
Modernisme Postmodernisme
Purpose (Tujuan)
Play (Permainan)
Design (Rencana) Chance (Kesempatan)
Hierarchy (Hierarki) Anarchy (Anarki)
Centring (Berpusat) Dispersal (Tersebar)
Selection (Seleksi) Combination (Kombinasi)
Perhatikan bagaimana kata-kata yang menggambarkan modernisme memiliki nuansa yang kuat berkenaan dengan kemampuan (ability) subjek pemikir untuk menganalisa, menyusun, mengontrol, dan menguasai. Sedangkan, yang berada di bawah kategori posmodernisme juga memberikan indikasi kekuatan yang sama tetapi berkenaan dengan ketidakmampuan (inability) dari subjek pemikir untuk menguasai atau mengontrol, sehingga mereka harus meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya dalam keberagaman.[16] Dalam hal ini, implikasi perbedaan kedua pemikiran ini sangat terasa dalam aspek religius.
Implikasi Pergeseran Modernisme ke Postmodernisme Pada Kekristenan
Tanpa nilai absolut yang menjadi satu standar acuan tertentu dalam segala hal, postmodernisme memberikan kebebasan yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah dunia. Kebebasan yang seperti ini mau tidak mau jelas telah membuka jalan bagi relativisme dan pluralisme. Pluralisme dalam aspek keagamaan telah menciptakan sebuah “warna” baru lagi bagi posisi kekristenan dalam dunia. Jika di era modern kekristenan mendapat tekanan yang hebat dari kaum rasionalis Pencerahan, sebaliknya dalam era postmodern, kita mendapatkan “pengakuan.” Namun pengakuan yang diberikan ini pun memiliki nada tuntutan agar kekristenan pun dapat mengakui “kebenaran” yang lain. Demikianlah kekristenan mendapat tekanan untuk dapat pula menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, dari kelompok Kristen sendiri muncul tiga pendekatan yang berbeda. Ada yang berusaha mengakomodasi filsafat postmodern ke dalam iman Kristen, yang jelas mengarah pada penerimaan pluralisme agama (contoh, David Tracy); ada yang mencari jalan tengah dengan metode sintesis (contoh, George Lindbeck dan Stanley Grenz); dan ada pula yang secara ekstrem menolak postmodernisme (contoh, Carl Henry).[17]
Bagian Teologi Kristen yang paling segera harus mengalami penyesuaian adalah apologetika—usaha untuk mempertahankan dan memberitakan klaim kebenaran bagi dunia.[18] Secara apologetik, kekristenan harus dapat memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa kebenaran kekristenan harus ditanggapi dengan serius di tengah adanya begitu banyak alternatif. Di dunia postmodern, tidak seorang pun dapat mengklaim memiliki kebenaran yang paling benar. Semua kebenaran masing-masing pribadi adalah kebenaran yang sah. Tidak seorang pun memiliki hak untuk memaksakan kebenarannya pada orang lain. Tidak ada standar lagi untuk menentukan benar atau salah; satu-satunya standar adalah diri sendiri. Di sinilah tantangan terberat bagi kekristenan untuk tetap berdiri teguh dan mengerjakan pemberitaan Injil sebagaimana yang Tuhan Yesus perintahkan.
Kekristenan di Tengah Postmodernisme
Douglas Groothuis mengatakan bahwa kondisi sosial yang diciptakan postmodernisme mempengaruhi semua orang, baik modernis, orang Kristen maupun postmodernis. Ia juga menyatakan bahwa kesaksian kekristenan tentang kebenaran Kristus dan Injil-Nya dalam masa postmodern ini berarti menjadi tahu bagaimana kenyataan postmodern secara budaya.[19] Hal ini tidak berarti kita menyerah pada filsafat mereka, tetapi kebudayaan atau cara berpikir merekalah yang harus kita manfaatkan.
Dalam hal ini, sebagai orang Kristen, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika kita hidup dalam masa postmodernisme.
Kesempatan untuk memberitakan Injil secara luas. Walaupun sepertinya kekristenan berada dalam tekanan untuk harus mengakui kesamaan dan kesejajaran dengan agama lain, sesungguhnya kita justru dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk unjuk gigi. Jika dulu kita ditolak mentah-mentah oleh modernis rasionalis, pengakuan yang diberikan oleh filsafat postmodern bagi kekristenan merupakan kesempatan emas bagi kita untuk memberitakan kabar keselamatan dalam Kristus kepada banyak orang. Dalam hal ini pluralisme agama yang terbentuk menjadi celah bagi kita untuk memaparkan kebenaran Kristen kepada umat beragama lain. Misalnya, pelaksanaan simposium keagamaan Muslim-Kristen akan menjadi celah untuk memasukkan kebenaran iman Kristen pada pikiran mereka yang berpandangan lain. Tidak apa-apa jika kita ditolak, tetapi paling tidak pemikiran Kristen tersebut telah kita sampaikan untuk mereka mengerti.
Kesempatan untuk menjangkau mereka yang kecewa terhadap modernisme. Idealisme modern telah gagal menjamin kenyamanan dan kesejahteraan umat manusia. Banyak orang yang telah menaruh harapan pada ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan masalah mereka, telah merasa putus asa. Inilah waktunya bagi kekristenan untuk memberikan kepada orang-orang demikian itu jaminan yang sempurna dan kekal dalam janji Tuhan, yakni bahwa hanya Tuhan, Dialah satu-satunya yang menjanjikan kebahagiaan yang sejati.
Kekristenan dapat menawarkan kebenaran yang absolut bagi kerancuan yang ditimbulkan postmodernisme. Sesungguhnya tidak seorang pun yang dapat hidup tanpa standar kebenaran yang diterima secara universal. Kebebasan yang ditawarkan postmodernisme tampaknya hanyalah sebuah konsep yang dimunculkan sebagai “obat penenang” bagi banyak orang yang kecewa dan frustrasi terhadap mimpi kebahagiaan modernis. Kenyataannya, kebebasan memegang kebenaran pun jelas membuka lebih banyak celah bagi perselisihan. Apakah kebenaran yang sejati menghasilkan kontradiksi? Tentu saja tidak seharusnya demikian. Kebenaran seperti apa yang menghasilkan kontradiksi? Siapa yang bersedia hidup dengan kebenaran yang menghasilkan perang? Dari pergumulan inilah, kekristenan dapat menawarkan kebenaran yang mutlak dalam Kristus Yesus.
Dari ketiga masukan di atas jelaslah bahwa sebenarnya kekristenan justru mendapatkan kesempatan yang baik untuk membuat perbedaan. Pokok penting yang harus diperhatikan kaum Kristen adalah back to the Bible (kembali pada Alkitab) dan berdiri kokoh dalam iman. Keteguhan umat Kristen yang tinggal tetap di dalam iman dan yang menolak pengaruh postmodernisme akan membuat banyak orang berpikir dan tertarik untuk mengenal kekristenan. Sebaliknya, jika kekristenan terpengaruh postmodern dan mengadopsinya ke dalam gereja, kekristenan akan menjadikan dirinya sendiri sama dengan kebenaran yang lain dan semakin tidak diperhatikan.
Penutup
Di tengah pergeseran era modernisme ke postmodernisme ini, kekristenan memang seakan dipaksa berdiri di antara dua perahu. Namun, gereja harus tetap memiliki iman yang teguh. Keyakinan dan keteguhan inilah yang tidak ada dalam filsafat modernisme maupun postmodernisme. Dan inilah, yang kita dapat tawarkan bagi dunia. Inilah yang harus tetap menjadi perbedaan kekristenan di tengah dunia ini. Dalam hal ini, gereja Tuhan perlu terus berdiri dan bersandar kepada Roh Kudus untuk dapat bertahan dalam imannya. Gereja Tuhan tidak boleh lengah. Tawaran kebebasan yang disediakan oleh Postmodernisme dapat menjadi sebuah pencobaan dan godaan yang besar bagi gereja untuk kemudian jatuh. Hal ini tentu tidak boleh terjadi. Karena itu, untuk menjawab tantangan zaman ini, gereja Tuhan dan kekristenan harus membuat perbedaan.
Catatan Kaki
1. Timothy R. Philips and Dennis L. Okholm, eds. Christian Apologetics in the
Postmodern World (Downers Grove: InterVarsity, 1995), 11.
2. Kalvin Surya, “Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya bagi
Kekristenan,” dalam [http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html],
1998.
3. Penulis menyadari banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pembagian
periode antara pramodern, modern, dan postmodern. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa terdapat ketidaksepahaman mengenai kapan bermula dan
berakhirnya masing-masing era. Dalam tulisan ini penulis setuju dengan
pendapat Hille. Secara sederhana, yang dimaksud dengan pramodern di sini
berarti masa abad-abad permulaan sampai abad pertengahan (Rolf Hille,
“From Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn of the
Century,” Evangelical Review of Theology 24/2 [2000], 117-118).
4. Stanley Grenz, A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: Andi, 2001), 10.
5. Hille, “From Modernity,” 118.
6. Gene Edward Veith, “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran”
disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A Christian Guide to
Contemporary Thought and Culture
[http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/spiritual.html].
7. Surya, “Mengenal Postmodern.”
8. Grenz, A Primer ,13.
9. Ibid. 16.
10. Charles Jencks, The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed.
(London: Academy Editions, 1984), 9 [sebagaimana dikutip dalam ibid.
25].
11. Surya, “Mengenal Postmodern.”
12. Alister McGrath, A Passion for Truth: The Intellectual Coherence of
Evangelical (Downers Grove: InterVarsity, 1996), 184.
13. Harianto GP, “Postmodernisme dan Konsep Kekristenan,” Jurnal Pelita
Zaman 15/1 (2001), 41.
14. Istilah “krisis identitas” ini digunakan oleh Hille untuk menggambarkan
keadaan “setengah-matinya” modernisme dalam “Transition from
Modernity to Post-Modernity: A Theological Evaluation,” Evangelical Review
of Theology 25/2 (2001).
15. Ihab Hassan, The Dismemberment of Orpheus: Toward a Postmodern
Literature (New York: Oxford University Press, 1982), 267-268
[sebagaimana dikutip McAllister, A Passion, 185].
16. Ibid.
17. Henry Efferin, “Pascamodernisme dan Keyakinan Injili: Suatu Sorotan dari
Segi Metodologi,” Jurnal Pelita Zaman 14/1 (1999), 4-7. (kembali ke isi)
Ibid. 188.
18. Douglas Groothuis, Truth Decay: Defending Christianity Against the
Challenging of Postmodernism (Downers Grove: InterVarsity, 2000), 59.
DAFTAR PUSTAKA
Efferin, Henry. “Pascamodernisme dan Keyakinan Injili: Suatu Sorotan dari Segi Metodologi,” Jurnal Pelita Zaman 14/1 (1999).
Harianto GP. “Postmodernisme dan Konsep Kekristenan,” Jurnal Pelita Zaman 15/1 (2001).
Grenz, Stanley. A Primer on Postmodernism. Yogyakarta: Andi, 2001.
Groothius, Douglas. Truth Decay: Defending Christianity Against the Challenging of Postmodernism. Downers Grove: InterVarsity, 2000.
McGrath, Alister. A Passion for Truth: The Intellectual Coherence of Evangelical. Downers Grove: InterVarsity, 1996.
Hille, Rolf. “From Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology 24/2 (2000).
--------------, “Transition from Modernity to Post-Modernity: A Theological Evaluation,” Evangelical Review of Theology 25/2 (2001).
Philips, Timothy R. dan Dennis L. Okholm, eds. Christian Apologetics in the Postmodern World. Downers Grove: InterVarsity, 1995.
Surya, Kalvin. “Mengenal Postmodernisme dan Pengaruhnya bagi Kekristenan,” dalam [http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html] 1998.
Veith, Gene Edward. “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran” disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture [http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/ spiritual.html]
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment