Kebangkitan Intelektual Kaum Muda NU
Ahmad Gaus AF
MUKTAMAR Pemikiran Islam yang diselenggarakan atas prakarsa kaum muda NU, 3-5 Oktober, merupakan fenomena menarik, dilihat dari sudut pandang gerakan kultural Islam. Menarik, karena ia "menyimpang" dari arus utama perpolitikan nasional yang hampir seluruhnya berkonsentrasi ke Pemilu 2004, tak terkecuali entitas politik NU sendiri yang diwakili PKB. Muktamar ini mengingatkan perlunya agenda lain di tubuh umat Islam selain keriuhan berpolitik.
MUKTAMAR ini mengisyaratkan, gerakan kultural Islam ternyata masih hidup; bahwa tidak segenap energi umat dikooptasi partai politik, dan dialokasi untuk kepentingan meraih kekuasaan. Tetapi, lebih penting dari itu adalah, ini merupakan muktamar pemikiran, bukan sembarang muktamar, dan diprakarsai anak-anak muda NU. Ada apa gerangan dengan pemikiran Islam, dan mengapa kaum muda NU?
DIBANDING dengan kaum muda Islam lain, anak-anak muda NU boleh jadi merupakan komunitas paling agresif di belantara wacana pemikiran Islam di Tanah Air. Lebih-lebih dalam lima tahun terakhir. Tatkala ruang kebebasan publik terbuka lebar, berbagai pemikiran mereka usung dari yang paling kiri (marxis) sampai yang paling kanan (liberal). Hal ini mengindikasikan keragaman sikap dan sudut pandang di kalangan mereka sendiri, sesuatu yang tidak mengherankan karena sumber informasi, afiliasi metodologis, dan bahan bacaan yang mereka akses juga beragam, terbentang dari lembaran-lembaran kitab kuning (berbahasa Arab) yang lusuh sampai buku-buku filsafat paling mutakhir.
Pengamat Islam dari Belanda, Martin van Bruinessen (1994), pernah memuji kaum muda NU sebagai anak-anak yang paling dinamis dalam perdebatan intelektual. Ini berbeda dengan anak-anak Islam modernis yang lebih dipengaruhi kaum fundamentalis seperti Sayyid Qutb dan Abu Ala Maududi. Pandangan yang lebih optimistik tentang kaum muda NU dikemukakan Nurcholish Madjid. Menurut dia, anak-anak NU yang mulai sekolah pada 1970-an, yang jumlahnya cukup banyak itu, akan menjadi sarjana pada 1990-an. Di situ Nurcholish berharap akan terjadi keseimbangan baru Islam Indonesia khususnya antara NU dan Muhammadiyah.
Harapan Nurcholish Madjid itu kini mungkin sudah terwujud. Dalam berbagai forum ia sering memuji anak-anak NU. Fenomena yang muncul dari prakarsa muktamar pemikiran Islam ini bahkan lebih dari sekadar "keseimbangan baru antara (kaum muda) NU dan Muhammadiyah", tetapi bisa dikategorikan sebagai suatu awal dari kebangkitan intelektual yang sudah lama ditunggu-tunggu.
Salah satu ciri penting kebangkitan intelektual di kalangan kaum muda NU ialah berlangsung secara serempak sebagai sebuah gerakan. Artinya, tidak individual, tetapi merujuk suatu gerakan yang dikerjakan bersama dalam berbagai enclave yang tersebar di sejumlah wilayah, terutama Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Hal ini bisa dimengerti karena mereka bukan pemikir murni tetapi aktivis yang mengaitkan tiap pemikirannya dengan kondisi sosial di mana mereka berpijak. Mereka sadar, pengetahuan tidak bebas dari relasi kuasa. Karena itu, harus ada keberpihakan dan keterlibatan dengan masyarakat. Maka ciri penting lain dari pemikiran mereka adalah populisme. Teologi atau tafsir, misalnya, tidak dipilih yang coraknya elitis dan teosentris tetapi yang bercorak membumi dan antroposentris. Program tafsir emansipatoris yang dimotori Zuhairi Misrawi, alumnus al-Azhar, Mesir, dan kawan-kawan di P3M adalah contoh nyata atas kasus itu.
Begitu juga di lapangan fikih yang selama ini menjadi otoritas para fuqaha di NU. Berbeda dengan kecenderungan fikih klasik yang "serba Allah", halal-haram, neraka-surga, fikih yang dikembangkan kalangan muda NU seperti Syafiq Hasyim, Rumadi, Abdul Muqsit Ghazali, dan kawan-kawan adalah fikih kemanusiaan yang menyahuti problema sosial yang sedang in seperti fikih kesetaraan jender dan fikih demokrasi. Di sayap lain bahkan ada fikih pemberdayaan nelayan, petani, buruh, dan lain-lain. Di kancah diskursus sosial, isu-isu seperti civil society dan HAM tak luput dari perhatian kaum muda NU. Tema-tema semacam itu mungkin tak terbayangkan oleh para kiai sepuh mereka di pondok pesantren yang masih asik dengan tradisi kitab kuning.
BOLEH jadi yang kini sedang berlangsung di tubuh NU adalah dialektika antara kitab kuning dengan kitab putih (baca: sumber-sumber kontemporer). Keunikan kaum muda NU adalah mampu mengawinkan keduanya secara kreatif, sehingga melahirkan sintesa pemikiran yang berakar pada tradisi sekaligus memiliki pijakan pada situasi kekinian. Dalam konteks ini, bahasa Arab menjadi kunci untuk membuka pintu pengetahuan yang terserak dalam kitab-kitab klasik maupun buku-buku kontemporer berbahasa Arab yang memuat pikiran-pikiran progresif dan liberal dari orang-orang semacam Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Jamal Banna, Milad Hanna, Shalah Jursi, dan lain-lain.
Penguasaan bahasa Arab yang baik merupakan ciri lain dari gejala kebangkitan intelektual anak-anak muda ini. Kemampuan berbahasa Arab, bukan saja karena mereka rata-rata alumnus pesantren tetapi banyak di antara mereka yang juga menimba ilmu di sekolah-sekolah bereputasi internasional di Timur-Tengah terutama Mesir. Mereka memberi contoh, mampu berbahasa Arab merupakan kebanggaan sekaligus kelebihan untuk memahami Islam secara lebih baik (bandingkan dengan kebanyakan anak-anak Islam modernis yang nyaris "menyesal" pernah belajar bahasa Arab karena dianggap bahasanya para TKW/I [tenaga kerja wanita/Indonesia,] sehingga tidak dianggap penting).
Nurcholish Madjid pernah mengilustrasikan, di perpustakaan NU banyak kitab tetapi tidak ada katalog, sehingga sulit diakses; kebalikan dengan di Muhammadiyah yang punya banyak katalog tetapi tidak punya kitab, sehingga tidak bisa membaca. Kini, oleh anak-anak muda NU, katalog atau metodologi atau kunci untuk membuka kitab-kitab di perpustakaan itu sudah ditemukan. Bisa dipastikan Nurcholish adalah orang yang paling berbahagia dengan adanya muktamar pemikiran Islam yang diprakarsai anak-anak muda NU ini.
CIRI penting lain dari fenomena kebangkitan intelektual muda NU adalah penegasan identitas diri yang tampak menonjol. Nyaris semua unsur yang bukan merupakan identitas ke-NU-an dipangkas. Atribut-atribut yang biasa melekat pada kelompok yang biasa disebut Islam modernis, misalnya, akan mereka tolak. Tidak heran bila dalam banyak hal mereka sibuk membentengi diri dengan semacam ideologi ke-NU-an. Akibatnya, kesan reaksioner tidak bisa ditutupi, misalnya saat mereka harus menyahuti isu-isu dari neomodernisme Islam, wacana Islam liberal, isu masyarakat madani, dan lain-lain.
Produksi wacana yang lahir dalam rangka kritisisme dan upaya membentengi diri dari wacana dan pemikiran yang lahir di luar NU, ikut mengukuhkan jatidiri mereka sebagai anak NU yang berbeda dengan kelompok lain. Di tangan segelitir aktivis NU, sikap kritisisme itu terkesan kebablasan sehingga kritik yang mereka lontarkan terhadap Nurcholish Madjid, misalnya, justru sering keluar dari substansi pemikiran yang ingin digugat. Malah tak jarang terjerembab pada hal-hal yang bersifat pribadi, tokoh yang akrab disapa Cak Nur itu. Namun demikian, arus besar di kalangan NU muda memperlihatkan kesanggupan berdialog secara positif dan kreatif dengan berbagai kalangan. Mereka akan banyak belajar pada Masdar F Mas?udi dan Ulil Abshar Abdalla yang lebih dulu tampil di pentas wacana.
Ciri lain, saya kira yang terpenting adalah kuatnya visi kebangsaan yang mengemuka dalam hampir semua produksi isu dan wacana keislaman dari anak-anak muda ini. Dengan referensi kuat dari para pemikir liberal seperti Ali Abd Raziq, Al-Naim, hingga Gus Dur dan Cak Nur, mereka tegas menolak formalisasi syariat Islam. Sementara itu gagasan "Pribumisasi Islam" yang diderivasi dari pikiran Gus Dur mempertegas posisi mereka yang lebih condong kepada tradisi lokal ketimbang budaya Islam Arab yang belum tentu cocok dengan situasi kultural Indonesia.
Namun, sementara menggeluti pemikiran Islam, bukan berarti mereka emoh atau alergi dengan pergaulan masa kini. Saya sendiri bertemu dengan anak-anak yang dulu disebut "kaum sarungan" itu bukan hanya di forum-forum diskusi atau seminar, tetapi juga di kafe, kolam renang, meja bilyar, dan di antara gemerlap lampu diskotik.
Tampak sekali mereka tidak berusaha untuk menjadi puritan, sebagaimana gejala aktivis Islam kota. Bahkan, satu di antara mereka pernah menjadi anak malam yang lalu menuliskan petualangannya dalam buku yang sangat bombastis, Jakarta Undercover: Sex and the City.
Saya kira Islam di Indonesia kelak akan amat ditentukan oleh kaum yang kini memakai jins dan ber-HP, bukan saja karena mereka mau hadir dalam berbagai denyut nadi kehidupan masyarakat, tetapi mereka kreatif dan inovatif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran yang memihak umat. Lebih dari itu, secara sosiologis kehadiran mereka sebagai resultan dari booming sarjana tidak bisa dibendung.
Muktamar pemikiran Islam di NU sekarang ini amat penting untuk mengagendakan perjuangan umat di luar jalur politik praktis. Juga, penting untuk memelihara ruh gerakan Islam kultural yang akhir-akhir ini nyaris terseret arus besar kekuasaan.
Ahmad Gaus AF Pengamat Pemikiran Islam dari Yayasan Paramadina, Jakarta
Search :
Berita Lainnya :
·
TAJUK RENCANA
·
REDAKSI YTH
·
Netralitas TNI dalam Pemilu 2004
·
Menatap Masa Depan, Belajar dari Masa Lalu
·
Renungan Hari TNI
·
Kebangkitan Intelektual Kaum Muda NU
·
POJOK
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment