Tuesday, March 31, 2009

Indonesia Negara Sekuler

Indonesia Negara Sekuler?

Oleh Muhamad Ali

WACANA hubungan negara dan agama belum selesai. Masih dipersoalkan apakah Indonesia negara sekuler, negara agama, atau negara apa? Banyak orang menganggap Indonesia sebagai negara sekuler. Misalnya, Manning Nash mengatakan Malaysia dan Indonesia adalah Islamic nations but secular states (Fundamentalism Observed, 1991). Charles D Smith menulis Indonesian state is officially secular yet sponsors seculer and religious educational systems and maintains secular and religious (shariah) courts (Secularism, 1995). Mun'im A Sirry, juga menyebut Indonesia sebagai negara sekuler (Islam, Sekulerisme, dan Negara, Kompas, 13/2/2002).

Mereka terjebak dalam dikotomi negara agama-negara sekuler. Padahal, dikotomi ini menafikan kompleksitas dan dinamika hubungan agama dan negara yang khas Indonesia. Dikotomi sekuler-religius adalah unsur ideologis dalam wacana modernitas Barat. Itu berfungsi tidak hanya dalam persepsi Barat terhadap non-Barat, tetapi juga dalam cara Barat memahami dirinya sendiri.

Negara sekuler?

Di Indonesia yang memiliki tradisi historis tersendiri, konsep negara sekuler sulit diterapkan. Kalau kita mengikuti definisi Donald Eugene Smith (1963), the seculer state is a state that guarantees individual and corporate freedom of religion, deals with the individual as a citizen irrespective of his religion, is not constitutionally connected to a particular religion, nor seeks either to promote or interfere with religion, maka Indonesia sulit disebut negara sekuler karena terlalu banyak anomali dan deviasi dari definisi itu.

Dari segi freedom of religion, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya. Namun, Ayat 1 yang berbunyi 'negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa' tidak sesuai prinsip negara sekuler.

Dari segi citizenship dalam pengertian, agama sepenuhnya tidak relevan dalam mendefinisikan kewarganegaraan dan bahwa hak dan kewajiban warga negara tidak dipengaruhi agama yang dianut, Indonesia masih melakukan banyak diskriminasi atas dasar agama.

Begitu pula dari segi separation of state and religion dalam pengertian, agama dan negara berfungsi di wilayah yang berbeda dan bahwa negara tidak berfungsi mengembangkan, meregulasi, mengarahkan atau mencampuri agama, Indonesia juga tidak memenuhi prinsip ini, karena sejak dulu hingga kini ada relasi interdependence antara negara dan agama. Negara mengembangkan agama - membangun tempat-tempat ibadah, menyumbangkan dana kepada clergy, sementara agama memberi, mendukung, dan membantu negara. Agama memberikan legitimasi pada negara dan sebaliknya (mutual legitimatization).

Dalam negara sekuler, tidak ada departemen agama dan semua agama tersubordinasi di bawah negara. Agama dan lembaga-lembaga agama bersifat otonom. "A free church in a free state", kata Cavour. Di Indonesia, ada departemen agama yang mengatur administrasi agama.

Lebih dari itu, hingga kini the completely secular state does not exist, kata Donald Smith. Konsep negara sekuler yang ideal tidak tercapai di negara mana pun, termasuk AS, Inggris, dan sebagainya. Di AS, sejak lama dana negara juga digunakan untuk mendukung badan-badan keagamaan yang menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan meski amat terbatas seperti transportasi bus, makan siang gratis, buku-buku untuk siswa. Belakangan, Presiden AS George W Bush bahkan mengajak lembaga-lembaga agama mendapatkan dana dari pemerintah.

AS juga malas memisahkan negara dan agama secara komplet dan menyeluruh. Presiden-presiden dan gubernur-gubernur negara bagian sering mengimbau warga negara menghadiri tempat ibadah agama masing-masing, sesi-sesi dalam parlemen dibuka dengan doa, pembacaan Bibel, dan tiap mata uang bertuliskan motto In God we trust.

Inggris, meski dikenal sebagai masyarakat sekuler (secular society) di mana agama menjadi urusan pribadi dan tidak memiliki relevansi politik dalam ranah publik, tidak mengenal pemisahan total gereja dan negara, dan para pendeta (bishops), yang dipilih raja (the Crown) atas rekomendasi perdana menteri, juga hadir dalam House of Lords. Ada gereja negara, National Church of England, dan ratu adalah kepalanya.

Apabila Indonesia adalah negara sekuler, negara tidak memberi bantuan apa pun kepada lembaga agama. Departemen Agama harus bubar, dualisme peradilan (negeri dan agama) harus dihilangkan karena negara sekuler meniscayakan tata hukum sipil yang seragam (uniform civil code). Belum lagi berbagai kebijakan seperti perayaan hari-hari besar agama, regulasi tanah-tanah wakaf, pengurusan haji, lembaga-lembaga pendidikan agama seperti IAIN dan madrasah, pembangunan sarana agama seperti Islamic centre oleh pemerintah, undang-undang zakat, labelisasi halal bagi makanan dan minuman, dan sebagainya.

Negara Pancasila

Negara Pancasila sebagai hybrid budaya adalah jalan tengah (middle path) antara negara agama dan negara sekuler. Negara Pancasila lebih cocok dengan tradisi agama dan politik di Indonesia.

Rumusan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas pada Negara Indonesia, bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, dan bukan negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Dengan Pancasila, Indonesia tidak kurang agamis-nya dibanding "negara-negara agama" seperti Pakistan, Arab Saudi, atau Iran. Republik Indonesia tidak kurang agamis dibanding negara mana pun, sebab "it has put the monotheistic belief in the one and only God at the head of Pancasila and adopted this principle as the spiritual, moral, and ethical foundations of its state" (M Natsir, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs, Cornell University, 1954).

Dalam Negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup berkembang dan didukung negara. Negara Pancasila menyatukan beragam kelompok yang bertentangan. Sebagai kompromi politik, negara mendukung perkembangan agama meski tidak menyatakan satu agama sebagai agama negara.

Dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkait dengan tradisi keagamaan tertentu. Posisi Pancasila semacam ini mirip dengan civil religion dalam negara-negara multi-agama, meski konsep civil religion belum diakui resmi (Carl & David, Questioning the Secular State, 1996). Pancasila juga mirip, meski tidak sama, dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) di masa Nabi Muhammad SAW, dalam pengertian memiliki butir-butir kesepakatan dari beragam unsur agama dan suku untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran bersama.

Dalam Negara Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena Negara Pancasila adalah negara nonsektarian, bukan nonreligius.

Prinsip yang perlu dikembangkan adalah no preference - peduli tetapi tidak diskriminatif, bukan wall of separation - bukan tidak peduli sama sekali.

Dengan demikian, Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam pengertian pemisahan total negara dan agama. Dengan Negara Pancasila, ciri-ciri positif negara sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan demokratis, pluralisme, multikulturalisme, anti-komunalisme, anti-sektarianisme, dan anti-diskriminasi, dapat diterapkan. Ciri-ciri positif negara religius seperti pembangunan moral agama juga didukung negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam kerangka menjaga kemaslahatan seluruh warga negara.

MUHAMAD ALI, Dosen IAIN Jakarta, alumnus MSc Studi Islam dan Politik, Edinburgh University, Inggris

No comments: