Tuesday, March 31, 2009

Meluruskan Akar Fundamentalisme Islam

Meluruskan Akar Fundamentalisme Islam
Upaya Mematahkan 'Mitos' Barat

SEJARAH milik yang menang. Begitu ungkapan yang kerap kita dengar. Kita tentu masih ingat, film G-30-S/PKI semasa Presiden Soeharto berkuasa adalah tontonan wajib setiap tanggal 30 September. Terlepas dari persoalan salah atau benar; faktual atau fiksi, yang terjadi dalam film tersebut.

Selama Pak Harto berkuasa selama 32 tahun, tidak pernah ada nada protes tentang hal itu, karena semua elemen dibungkam sedemikian rupa. Kalaupun ada kekecewaan, ketidaksetujuan, dan pemberontakan, itu hanya riak kecil dan di bawah permukaan. Semuanya bisa diredam oleh hegemoni kekuasaan. Ini satu contoh dan dalam skala satu negara.

Dalam konteks global, hadir sebuah ungkapan lain, "Siapa yang memegang informasi, ia yang berkuasa." Saat ini, dunia Barat adalah pemegang kendali informasi. Apa yang ditahbiskan Barat, seluruh dunia mengikutinya. Terlepas dari benar dan salah, fakta atau fiksi, berdasar kepentingan atau objektif, tidak menjadi persoalan.

Istilah fundamentaslime, misalnya, saat ini sudah tertanam dalam otak belakang masyarakat dunia, bahwa itu adalah gerakan radikal, anarkis, destruktif, dan teroris. Dan, itu katanya milik Islam!

Padahal, jika ditelusuri secara historis, fundamentalisme justru berasal dari tradisi agama lain. Dan, itu agama milik mayoritas bangsa Barat.

o0o

Bagi peminat pemikiran, nama Hasan Hanafi mungkin tidaklah asing lagi. Dialah yang melahirkan buku Kiri Islam. Berkat buku monumental ini, Hanafi langsung mendapat tempat di hati dan benak pemikir Islam Indonesia. Kiri Islam bukanlah sebuah karya berbentuk apologi ideologis atau simbol keagamaan seorang muslim bernama Hasan Hanafi.

Benar adanya, banyak kalangan yang menempatkan pemikir kelahiran Mesir ini sebagai seorang neorevivalis dalam gerakan Islam. Namun, ia berbeda dalam neorevivalis Islam lainnya. Hasan Hanafi menempatkan dirinya--tercermin dalam semua pemikirannya, karyanya-- yang tidak apologis-ideologis dengan Islam. Justru dia menyeruak dengan proyek at turas wa at-tajdid (tradisi dan pembaruan). Sebuah proyek wacana kebangkitan Islam di masa kini dan mendatang serta disusun selama kurun waktu sepuluh tahun.

Makanya, nama Hasan Hanafi terus berkibar dalam pentas dialektika pemikiran Islam di seantero jagat. Hanafi mendeskripsikan proyek 'Tradisi dan Pembaruan' dalam tiga bagian. Yakni, 'Sikap kita atas khazanah klasik kita' (ada delapan volume, semuanya ada 18 jilid), 'Sikap kita atas khazanah Barat' (tiga volume), dan 'Sikap kita atas realitas atau teoretika penafsiran' (Penjelasan teoretika ketiga) juga ada tiga volume.

Karena proyek 'mercusuar' dalam bidang pemikiran Islam inilah, kaum muslimin Indonesia agak tersentak dengan kemunculan buku Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam. Judul ini diambil dari karyanya Al Usuliyyah al-Islamiyyah dalam Ad-Din wa as Sawrah fi Misr 1952-1981 yang disulihbahasakan oleh Kamran As'ad Irsady dan Mufliha Wijayati.

Ketersentakan kita atas karya Hanafi ini disebabkan--seperti di atas--, diakui atau tidak, kata 'Fundamentalisme Islam' berkonotasi negatif, kalau tidak disebut serem. Tetapi, dalam buku ini Hanafi menjelaskan secara komprehensif, mendalam, dan sistematis mengapa dirinya mengaku sebagai bagian dari fundamentalisme Islam. Walaupun berangkat dari setting di Mesir dan bertitik tolak dari gerakan Ikhwanul Muslimin, tidak mengurangi kelugasan dan kecemerlangan pembahasan Hanafi tentang fundamentalisme.

Menurutnya, fundamentalisme Islam bukanlah ortodoksi, romantisisme sejarah masa lalu, ataupun sikap apriori terhadap modernitas. Telah banyak para reformis tercerahkan yang menyeru pada pribumisasi faktor-faktor kemajuan dan kebangkitan. Mendorong umat Islam untuk mengambil jalan ilmu dan teknologi, kebebasan, dan demokratisasi.

Demikian pula fundamentalisme Islam tidak berarti gerakan ekstremisme dan eksklusivisme, karena telah banyak pula para aktivis Islam yang berpikiran terbuka, rasional, menerima perbedaan, dan menulis tentang toleransi, serta bentuk-bentuk kerja sama dalam perbedaan.

Fundamentalisme Islam, kata Hanafi, bukanlah gerakan-gerakan bawah tanah ataupun kelompok-kelompok GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), melainkan sebuah gerakan yang memiliki visi dan misi pembentukan manusia seutuhnya agar mampu berperan menggalang persatuan umat, dan menjaga identitas, serta membela kaum lemah.

Bagi Hanafi, anarkisme sama sekali tidak memiliki tempat dalam gerakan ini, sebab motif gerakan adalah menebar dan membangkitkan kesadaran islami dalam setiap individu muslim dalam semua aktivitasnya, baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya.

Semua tindakannya harus sejalan untuk penguatan dan semangat berakidah. Sehingga setiap sikap, kreasi, dan cita-citanya merupakan motor tindakan sosial.

Selain itu, perlu ditegaskan, fundamentalisme Islam tidak berarti seruan mendirikan negara Islam, menegakkan syariat Islam, tetapi ia muncul sebagai gerakan pembebasan dari kaki tangan penjajah. Fundamentalisme Islam bukanlah anak tiri yang kontraproduktif dan tidak terlahir sebagai refleksi atas kehidupan modern seperti yang digembar-gemborkan oleh dunia Barat.

"Fundamentalisme Islam telah eksis sepanjang sejarah Islam dengan latar belakang historis, sosiologis, dan psikologis, dan pemikiran tersendiri," jelas Hanafi.

"Aku adalah bagian dari fundamentalisme Islam. Hanya saja, aku tidak masuk penjara atau mendapat siksaan fisik. Akan tetapi, aku melakukan aktivitas pemikiran dan politik secara natural, dan terang-terangan, di atas bumi dan bukan di bawah tanah," tegas Hanafi. (Dudi Sabil Iskandar/R-3).

No comments: