Sunday, March 29, 2009

Hegemoni Amerika

Hegemoni Amerika
- Dari Ibnu Khaldun ke Huntington

Oleh Philips Jusario Vermonte
When there is a general change of conditions, it is as if the entire creation had changed and the whole world been altered, as if it were a new and repeated creation, a world brought into existence anew.

Ibnu Khaldun, The Muqaddimmah

American leaders should abandon the benign-hegemon illusion that a natural congruity exists between their interests and values and those of the rest of the world. It does not.

Samuel Huntington,
The Lonely Superpower

SERANGAN terorisme ke dua kota simbol kemakmuran Amerika Serikat pekan lalu menyisakan berbagai pertanyaan penting untuk dijawab dan dipikirkan ulang mengenai hegemoni. Setelah berakhirnya Perang Dingin yang dipicu oleh bubarnya Uni Soviet (US) tahun 1991, dunia menyaksikan pergeseran struktur politik global. Selama lebih dari 50 tahun, dunia terbelah dalam struktur bipolar, dengan AS dan US berada pada dua kutub yang berbeda secara diametral. Bubarnya US kemudian menyisakan sebuah kutub, yakni AS menjadi kekuatan dominan.

Sejak itu, para pemikir negara-negara Barat, berusaha keras mendefinisikan lingkup global yang baru tersebut dan bagaimana menempatkan AS sebagai sebuah hegemon dalam struktur baru tersebut. Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk mengkaji pemikiran dari dua ilmuwan yang hidup dalam dua zaman berbeda, yakni Ibnu Khaldun dan Samuel Huntington. Walaupun tentu saja memiliki perbedaan, di antara keduanya toh terdapat kesamaan penting bahwa keduanya hidup dalam zaman yang sedang menjalani perubahan mendasar struktur global di ruang tempat keduanya hidup.

Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim dengan karyanya yang legendaris, The Muqaddimah, yang hidup pada tahun 1300-an. Samuel Huntington adalah professor ilmu politik di Universitas Harvard yang salah satu bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, mungkin merupakan buku yang paling banyak menjadi referensi dalam wacana tentang politik global pada tahun 1990-an.

Pemikiran Ibnu Khaldun

Pemikiran Ibnu Khaldun sangat relevan dengan situasi politik global saat ini. Hal ini tercermin dalam sebuah tulisan Robert Cox berjudul Towards a Posthegemonic Conceptualization of World Order: Reflections on the Relevancy of Ibn Khaldun (1992). Melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengelaborasi bibit-bibit kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan. Di masa hidupnya, walaupun secara kultural Islam masih berada dalam zaman keemasan, namun basis material dari hegemoni Islam ketika itu telah melemah. Misalnya, wilayah-wilayah Islam di Afrika Utara menghadapi tantangan dari suku-suku nomaden tradisional di satu sisi, dan kekuatan Kristen di sebelah utara yang menguasai alur Mediterania di sisi lain.

Di masa itu, kekuatan Kristen dan Yahudi juga mulai tampil sebagai kekuatan perdagangan. Invasi Mongol dari Timur juga mengerosi struktur yang telah terbangun, kota-kota peradaban Islam termasuk sistem irigasi dihancurkan, dan pajak-pajak Mongol merusak administrasi Islam. Ketika itu, Ibnu Khaldun telah dikenal sebagai ilmuwan besar. Ia konon dimintai nasihatnya oleh Pedro the Cruel dari Sevila dan juga penakluk dari Mongol, Tamerlane. Namun, Ibnu Khaldun menolak permintaan tersebut.

Ibnu Khaldun menaruh perhatian besar pada konsep "negara" dalam pengertian yang luas, terutama berkaitan dengan kemunculan (emergence), kedewasaan (maturity), dan kemundurannya (decline). Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa ekspansi kekuasaan akan mendorong penguasa pada perilaku korup, kemewahan, suap dan berbagai dekadensi lain yang menjauhkan rezim penguasa dari rakyatnya dan akhirnya menjadi sebab dari kemundurannya sendiri. Pada dasarnya ia menyatakan bahwa proses-proses politik akan menghasilkan sebuah political order. Proses ini bisa saja gagal, namun bukan disebabkan oleh bentuk atau sistem politik yang digunakan, namun oleh ketidakmampuan (inadequacies) kultur yang dominan dalam struktur politik tersebut dalam menjawab persoalan persoalan yang ada. Kemunduran ini hanya bisa dicegah oleh enlightened individual yang bisa melihat dan menjawab persoalan secara jernih dan mengidentifikasi sebab-sebab kemunduran dari dalam (inside) lingkungannya sendiri.

Pemikiran Huntington

Benang merah yang sama bisa dijumpai dalam berbagai tulisan Samuel Huntington. Walaupun tulisan awalnya mengenai the clash of civilization di jurnal Foreign Affairs tahun 1993 dihujani kritik tajam, melalui bukunya The Clash of Civilization Huntington mengelaborasi lebih jauh persoalan dominasi dan hegemoni AS secara lebih adil. Dalam buku tersebut Huntington memperingatkan AS untuk bersikap open-minded terhadap the otherness, termasuk pada Islam, peradaban Timur pada umumnya dan berbagai peradaban lain. Pendeknya, ia bersikap bahwa AS harus menghindarkan sikap-sikap hegemonik.

Dalam tulisannya yang berjudul The Lonely Superpower di Foreign Affairs (1999), Huntington menyatakan bahwa walaupun Amerika sekarang menjadi satu-satunya superpower, hal itu tidak berarti bahwa dunia saat ini berstruktur unipolar, seperti yang dianggap oleh banyak pihak. Pengertian unipolar mensyaratkan kondisi di mana dunia hanya memiliki satu superpower, tidak adanya major power yang signifikan dan hanya terdapat banyak minor power. Dengan demikian, dalam sebuah struktur unipolar, sebuah superpower akan mampu secara efektif menyelesaikan berbagai isu internasional sendirian, dan tidak ada kombinasi kekuatan lain yang mampu mencegahnya.

Situasi saat ini jauh dari pengertian unipolar. Struktur unipolar hanya pernah terjadi pada kekaisaran Romawi abad kelima dan kekaisaran Cina pada abad kesembilan belas. AS tidak bisa, menurut Huntington, berilusi menjadi hegemon dalam sebuah sistem multipolar. Karena, ada berbagai negara dengan kekuatannya mampu mengedepankan kepentingannya sendiri vis-a-vis Amerika, walaupun tidak bisa menjangkau wilayah yang global sifatnya. Contohnya adalah kekuatan Jerman dan Perancis di Eropa, Rusia di Eurasia, Cina dan Jepang di Asia Timur, India di Asia Selatan, Iran di Asia Barat Daya, Brazil di Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Nigeria di benua Afrika.

Sementara itu, di level ketiga terdapat kekuatan lain yang potensial berkonflik, baik dengan kekuatan regional maupun dengan AS sebagai superpower. Di dalamnya termasuk Inggris dalam kaitannya dengan Jerman dan Perancis; Ukraina dalam hubungannya dengan Rusia; Jepang dalam hubungannya dengan Cina; Korea Selatan dalam kaitannya dengan Jepang; Pakistan dalam hubungannya dengan India; Arab Saudi dengan Iran; serta Argentina dalam hubungannya dengan Brazil.

Dengan kenyataan semacam ini, sebenarnya struktur politik global lebih bercorak uni-multipolar. Sehingga, secara alamiah adanya sebuah negara superpower akan menjadi ancaman bagi major power yang lainnya. Bukan tidak mungkin major power beraliansi menghadapi superpower. Misalnya, berbagai kerja sama keamanan Rusia dan Cina; dan Cina dengan India; atau "segitiga strategis" Rusia, Cina, dan India. Uni Eropa pun bisa dipandang sebagai upaya mencegah AS mendominasi struktur dunia yang multipolar. Karena itulah Huntington menyarankan agar AS berhati-hati mengelola kekuatan dan kekuasaannya.

Intisari dari pemikiran Ibnu Khaldun dan Huntington adalah bahwa perdamaian (dunia) akan lebih stabil apabila kekuatan-kekuatan dunia berpikir lebih jernih, inklusif dan saling bekerja sama. Dengan demikian, pemikiran ini lebih dekat kepada pengertian struktur multipolar. Berkaitan dengan sikap AS pascateror minggu lalu, adalah sangat bijaksana apabila AS tidak mempertunjukkan kedigdayaan militernya untuk membumihanguskan Afganistan, yang dicurigainya mendukung aksi terorisme di Washington dan New York.

Dunia akan lebih menghargai Amerika apabila langkah-langkah kooperatif bisa dipilih untuk memerangi terorisme dan tentunya diimbuhi harapan bahwa AS bersedia pula me-review kembali berbagai kebijakannya dan, dengan kekuatannya, terus mendukung tumbuh berkembangnya demokrasi di berbagai tempat di dunia. Karena, sesuai sebuah diktum saat ini, democracies don't go to war each other.

* Philips Jusario Vermonte, peneliti Centre for Strategic and International Studies-CSIS, Jakarta.

Globalisme Baru, Rekonstruksi, dan Dekonstruksi

Kritik Budaya di Masa Krisis
Globalisme Baru, Rekonstruksi, dan Dekonstruksi

REALITAS Indonesia hari ini adalah sebuah peta yang selama bertahun-tahun masyarakat tak pernah diajak membukanya. Ketika peta itu dipahami sebagai peta dari suatu kebudayaan, dengan seluruh fenomenanya yang mencemaskan hingga hari ini, maka pembacaan terhadapnya sungguh tidak akan begitu saja sanggup menjawab berbagai permasalahan. Di tengah itu semua, realitas Indonesia pun tak bisa disendirikan dari realitas yang lain yang akhirnya membuat semacam tumpukkan kebingungan dalam melakukan pembacaan terhadap diri sendiri. Peta itu adalah globalisme baru yang telah mengubah struktur lokal-nasional-global menjadi lokal-global. Di tengah tarik-menarik lokal-global serupa inilah, globalisme baru itu bisa dikatakan abortif ditating menjadi suatu ruang dialektika dalam membaca dan menanggapi berbagai realitas permasalahan yang muncul. Yang kemudian hadir, misalnya, justru adalah permasalahan berikutnya yang mengaburkan ruang pembacaan itu sendiri, yakni bahasa---kata dan istilah-istilah--- yang merepresentasikan kebingungan dalam memahami realitas yang terjadi. Seluruh peristilahan yang muncul akhirnya bisa diidentifikasi sebagai suatu fakta dari bagaimana masyarakat mengalami kebingungan dalam membaca peta permasalahan dan kebudayaan yang berlangsung di sekelilingnya. Di lain sisi, tarikkan dari seluruh kenyataan ini mengembang pada bagaimana budaya politik itu, dengan idealisasinya pada proses demokratisasi, memaktubkan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar sebuah manipulasi. Oleh karena itu, soalnya kini, dalam kehendak melakukan kritik budaya terhadap sebuah realitas Indonesia adalah melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang tak selesai. Salah satu rekonstruksi itu menyaran pada bagaimana nasionalisme itu dilepaskan dari citraan yang selama ini telah didekonstruksi oleh militer. Nasionalisme itu harus dikembalikan pada kesadaran tentang gagasan dan kesadaran demokrasi. Nasionalisme, ringkasnya, harus dilepaskan dari dekonstruksi militerisme. Karena itulah dalam konteks kritik budaya hari ini, sesungguhnya terdapat tugas berat antara merekonstruksi dan dekonstruksi dari berbagai permasalahan dan kenyataan yang tak selesai.

Sementara itu, budaya politik yang semata-mata melakukan pemujaan terhadap kekuasaan, seperti yang terus terjadi secara telanjang dalam budaya politik Indonesia telah menciptakan partai-partai politik manipulatif yang semata-mata mendudukkan masyarakat sebagai objek, bisa disebut sebagai suatu fakta dari wajah lain bagaimana dekonstruksi itu terjadi. Pendekatan parpol yang serba abstrak terhadap masyarakat telah menjadi sejumlah penjelasan bagaimana terdapat jurang yang besar antara kepentingan parpol dan persoalan-persoalan nyata masyarakat itu sendiri. Keadaan ini sekaligus menerangkan bagaimana masyarakat, sekali lagi, tak pernah diajak masuk ke wilayah pembacaan peta permasalahan dalam konstruksi dan konfigurasi kebudayaan. Parpol akhirnya bisa disebut hanya hidup dengan sejenis kecerdasan di bawah kecerdasan para perancang pop culture seperti McDonald, di mana masyarakat dihampiri lewat citraan-citraan yang konkret yang langsung mempengaruhi pemahamannya tentang ruang-ruang realitas.

Kritik kebudayaan semacam ini, ketika peta-peta kenyataan lebih didominasi oleh pola-pola kuasa, juga mengemuka dari budaya pembangunan yang terjadi. Budaya pembangunan semacam ini seakan-akan adalah represenstasi dari kekuasaan yang menegasikan proses perenungan dan pertumbuhan yang diajarkan oleh pepohonan. Pembangunan, sebagai personifikasi dari sosok kekuasaan, telah membuat seluruh kenyataan berlangsung seolah-olah dalam situasi yang serba darurat. Akhirnya, budaya pembangunan semacam ini juga tengah menjelaskan di mana sesungguhnya kemanusiaan itu diletakkan, ketika kekuasaan dan kekerasan hadir serta dirayakan sebagai sebuah institusi.

Demikian seluruhnya itu dikemukaan oleh Garin Nugroho, Harry Roesli, dan Tisna Sanjaya ketika ketiganya tampil sebagai panelis dalam diskusi Pekan Budaya Rumah Nusantara, (14/10) yang baru lalu di Rumah Nusantara Bandung. Ketiganya tampil lebih dulu seraya menunggu kedatangan budayawan dan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang juga hari itu hadir sebagai panelis. Diskusi yang dipandu oleh Aat Suratin yang berangkat dengan tema

Kritik Budaya di Masa Krisis ini. Di hadapan peserta diskusi yang memenuhi selasar Rumah Nusantara yang datang dari berbagai kalangan, diskusi ini hendak menawarkan suatu perbincangan kritis tentang pembacaan atas realitas Indonesia hari ini, dengan berkonsentrasi pada bagaimana sesungguhnya fenomena kebudayaan itu hendaknya ditafsirkan dengan kritis. Dari yang mulai menghampirinya dari wacana globalisme baru, seperti ditating oleh Garin Nugroho---yang lalu diperlebarnya hingga ke persoalan lokal-global dan keniscayaan melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang tengah berlangsung---atau Harry Roesly yang memfokuskan amatan kritisnya pada relasi antara budaya politik parpol dan masyarakat dengan meminjam perbandingan sinismenya pada strategi kebudayaan McDonald; hingga Tisna Sanjaya yang "berorasi" membacakan makalahnya perihal politik pembangunan yang semata-mata hidup dengan identifikasi budaya kekuasaan dan kekerasan. Diskusi yang berlangsung beberapa hari setelah ledakkan bom di Bali itu, mau tak mau menggiring perbincangan ke arah persoalan-persoalan budaya kekerasan, dan bagaimana membaca keseluruhannya itu.

**

INDONESIA di tengah realitas yang transisional seperti sekarang, haruslah dilainkan dari apa yang selalu dinyatakan oleh sejarah ketika sebuah negara mengalaminya, baik yang bernama reformasi atau revolusi. Pelainan ini mendasar pada kenyataan bahwa pada tabiatnya, setelah mengalami reformasi atau revolusi, dalam lima tahun suatu negara telah memiliki tanda atau gejala-gejala ke arah kebangkitan. Untuk itulah, misalnya, Garin Nugroho menyebut bagaimana Revolusi Prancis dalam lima tahun telah menunjukkan gejala ke arah perubahan yang lebih baik. Baik perubahan yang teridentifikasi dari sistem ilmu pengetahuan, dengan munculnya teori Malthus. Demikian pula dalam perkembangan keseniannya. Revolusi yang menjatuhkan sistem monarkhi di Prancis, memang telah menjadi penanda sejarah penting bagi kebangkitan kesadaran kebudayaan negara itu.

"Sekarang mari berkaca pada Indonesia pasca Mei 1998, apakah ada tanda-tanda untuk kita menjawab permasalahan kita dalam bidang perburuhan, kepemimpinan, dan permasalahan lainnya?" katanya. Ia lalu menenggarai betapa persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa ini sekarang adalah ketidakmampuan membaca globalisme baru yang tengah terjadi. Globalisme ini dalam batasan tertentu tidak lagi mempersoalkan nasional-global, namun menghadapkan dialektika antara kesadaran lokal dan global. Ketidakmampuan membaca tarik-menarik ini menyebabkan apa yang global memasuki wilayah lokal dan melahirkan kebingungan-kebingungan. Termasuk kebingungan dalam menggagas tafsir terhadap komunikasi, bahasa dan istilah-istilah. Dalam masa yang serba transisi kebingungan itu bisa disebut kian menjadi-jadi. "Istilah atau kata adalah perbuatan yang mengambil gerak badan dan mengandung senjata. Ia selalu membawa pada organisasi, cara berpikir dan cara menanggapinya. Ia membawa kita pada sejenis kebudayaan. Seluruh istilah pasca Mei 1998 adalah istilah-istilah yang bermasalah untuk dihidupkan di masyarakat," tuturnya, seraya mengambil contoh fakta pada istilah "Islam Liberal" dan "Islam Radikal". Kedua istilah ini, kata dia, sesungguhnya tak pernah dikenal, yang sekaligus juga telah menegasikan pluralitas seperti Muhammadiyah, NU atau Persis. Muncul kedua istilah seperti ini berkesan terbaginya bangsa ke dalam dikotomi seperti itu.

Dalam pandangannya kemudian ia melihat bahwa persoalan kritik kebudayaan Indonesia hari ini adalah bagaimana memahami ruang yang terletak di antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Dalam konteks nasionalisme, rekonstruksi dimaksud haruslah melepaskan pengertian nasionalisme itu dari apa yang telah didekonstruksi oleh militerisme, dengan mendudukkannya pada proses demokratisasi.

Dengan sinisme yang berkesan berolok-olok, musikus Harry Roesly berangkat dengan tawaran kritik budaya yang melihat perangai dan strategi parpol, dan posisi masyarakat di seberangnya. Apabila meminjam pandangan Garin, tentang manipulasi demokratisasi sebagai suatu dekonstruksi yang terus berlangsung, sinisme Harry Roesly menemukan korelasinya. Demikian pula dengan apa yang dipresentasikan oleh Tisna Sanjaya, ketika dekonstruksi itu terjadi lewat strategi budaya pembagunan yang serba massif dan hegemonik.

Apa yang dikemukakan oleh ketiga panelis segera mendapat tanggapan dari forum diskusi. Di antaranya mencoba dengan kritis mempertanyakan sisi lain dari argumentasi yang disampaikan panelis, seperti mengemuka dari Heru Hikayat yang mencoba melakukan antitesis terhadap apa yang diuraikan Harry Roesly, atau juga provokasi pesimisme Arahmaiani yang menolak pandangan Garin Nugroho tentang harapan akan lahirnya budaya kepemimpinan yang baru pada masa datang. Demikian pula Khalid yang mencoba menawarkan pemikiran lebih realistis dan holistik dalam melihat budaya kekerasan, tanpa terperangkap menjadi romatisme para seniman. Meski lalu lintas perbedaan pandangan relatif tidak mengemuka sebagai suatu benturan yang ketat, bukan berarti perbincangan tidak menyimpan perbedaan-perbedaan yang menarik sebagai sebuah diskusi. Lebih lagi dengan beban tema yang penting seperti itu. (Ahda Imran)***

Globalisasi Dan Peradaban Islam

Globalisasi Dan Peradaban Islam:

Merancang Masa Depan*)

There is no secret in the World. Ungkapan tadi mungkin ada benarnya untuk menggambarkan kehidupan kita sekarang. Dunia sudah tidak mengenal lagi sekat-sekat jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan timur, saat itu pula bisa disaksikan oleh penduduk dunia belahan barat. Orang bilang, dunia kini telah menjadi “desa buana”. Semua peristiwa—apalagi yang menyangkut kepentingan umum—sudah menjadi “menu harian” bagi setiap penduduk bumi. Tidak ada yang tersimpan, semua serba transparan dan terbuka.

Fenomena di atas adalah indikasi dari keberhasilan-keberhasilan manusia dalam bidang sains dan tehnologi, terutama bidang infomatika. Maka, disepakatilah bahwa informasi adalah kebutuhan dlarary setiap insan, sehingga era sekarang dikenal dengan era informasi. Sigmund freud mengatakan, mereka yang akan menguasai dunia dan akan menjadi pemimpin di masa mendatang adalah mereka yang mengusai informasi. Contoh kecil kemajuan ini adalah adanya telepon, TV, telegram, radio, hingga internet.

Ke-serbaterbuka-an inilah yang kemudian melahirkan tren peradaban baru yang kemudian kita kenal dengan istilah “Globalisasi” (‘Aulamah).

Menurut Dr. Jalal Amin, sebetulnya gejala dari globalisasi sudah lama muncul. Hanya istilah globalisasi saja yang baru muncul ke permukaan. Ia mengatakan: “Jika kita memahami globalisasi sebagai gerak cepat terkikisnya jarak antar masyarakat—baik di bidang ekonomi, transportasi, informasi, pemikiran atau budaya—maka itu bisa kita lihat di era kebangkitan peradaban manusia dahulu.”[1]

Adapun kalimat “globalisasi” diambil dari terjemahan bahsa Inggris “globalization”, yang muncul pertama kali di Amerika, dan mempunyai arti: menyebarluaskan dan memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan. Dari makna tersebut, bisa kita pahami lebih dalam lagi, bahwa globalisasi tidak hanya sekedar digunakan di bidang ekonomi atau gerakan kapitalisme saja, tapi juga merupakan “ajakan” untuk mengadopsi paradigma tertentu. Hal inilah yang kemudian banyak disorot oleh para pengamat, bahwa globalisasi tidak jauh beda dengan “Amerikanisasi”.[2]

Dengan tegas Dr. Yusuf Qardlawy mengatakan, globalisasi sama artinya dengan “westernisasi”, atau dengan kata lain “Amerikanisasi”. Globalisasi hanyalah termenologi baru yang menyimpan “semangat” kolonialisme. Ia adalah usaha memperkuat hegemoni Amerika (dan barat) terhadap dunia. Negara-negara yang dianggap “nakal” harus diberi pelajaran, sangsi, atau “teguran langsung”. Hal tersebut bisa kita lihat dari peristiwa Irak, Sudan, Iran, Libya dan Aljazair. Globalisasi, masih menurut Qardlawy, juga berarti usaha untuk menguasai roda perekonomian dunia lewat lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan Bank Dunia.[3]

Mendefinisikan globalisasi secara tepat bukanlah hal yang mudah, karena berkaitan dengan kompleksnya sisi-sisi yang berhubungan dengan globalisasi, dan beragamnya interpretasi tentang glabalisasi.[4] Namun, ada satu kesepakatan—setidaknya untuk sebagian besar dari kita—bahwa globalisasi dimaksudkan untuk merobohkan dinding pemisah ruang dan waktu, budaya, politik, ekonomi, dan berusaha dengan berbagai cara untuk menerapkan (kalau tidak memaksakan) nilai-nilai atau peradaban tertentu (baca:barat) pada masyarakat dunia.[5]

Menyadari “penyimpangan” dari makna hakiki globalisasi di atas, kita dituntut untuk bisa memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk, agar tidak terjebak dalam “jaring-jaring” hegemoni barat.

Sikap Muslim Terhadap Globalisasi

Kita menyadari bersama, globalisasi adalah tren baru sekaligus produk sejarah yang telah terjadi dan kita alami. Kita tidak punya kekuatan untk menolak atau lari dari kenyatan sejarah ini. Yang harus kita lakukan adalah bergerak dinamis bersama arus ini, dan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali dan jati diri, lalu terbawa arus.[6]

Bagi Dr. Hamdi Zaqzuq, globalisasi bisa kita sikapi--secara eksplisit--sebagai “anjuran” untuk mentradisikan budaya kritis pada masing-masing individu muslim, selalu introspeksi diri dan—dalam istilah dia—“memperbaiki rumah dari dalam”.[7] Hal ini selaras dengan pandangan Malik Ben Nabi dalam melihat problematika umat Islam; lebih berkonsentrasi ke dalam. Ia menyebutkan beberapa penyebab kekalahan kaum muslimin, sepertri keterbelakangan pemikiran sehingga tidak mampu memahami esensi peradaban sendiri, malas berfikir, kurang berpegang teguh pada agama sebagai sumber inspirasi peradaban.[8]

Ada tiga sikap umum di kalangan umat Islam mengahdapi globalisasi (dan penetrasi peradaban di dalamnya). Pertama, mengikutinya secara mutlak. Mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan berbau westernisasi adalah standar, ideal, dan perlu ditiru. Golongan inilah yang disinggung Rasul dalam sebuah haditsnya “Mereka mengikuti tingkah laku orang sebelum mereka (tanpa berpikir), setapak demi setapak, hingga walau orang-orang itu masuk ke lubang buaya, merek akan ikut (masuk) pula.”

Kedua, mereka yang menolak 100%. Golongan inilah yang disebut Qardlawy sebagai “penakut”. Mereka takut untuk berhadapan langsung dengan orang (baca:peradaban) lain. Menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi, karena takut terkena debu dan polusi peradaban, padahal mereka membutuhkan udara.[9]

Ketiga, golongan moderat (wasathiyah). Kelompok ini mencerminkan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri dan mengisolasi diri dari dunia luar tidak banyak gunanya. Mereka sadar, sikap eksklusif bertentangan dengan ajaran-ajaran universal Islam. Risalah Muhammad tidak menolak peradaban tertentu hanya karena ia adalah produk luar. Tapi, menyikapinya dengan kritis dan sikap netral, mengambil yang baik untuk kemudian dipraktekkan dalam realita sejarah. Rasul bersabda: “Hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang, ambillah di mana ia berada.”[10]

Islam adalah agama humanisme, yang diturunkan untuk kemaslahatan manusia secara umum. Al Qur’an mengatakan: “Dan tidak kami utus kamu, kecuali sebagai rahmat untuk sekalian manusia”. Dan Rasulullah bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia”. Spirit untuk selalu berbuat yang terbaik dan bermanfaat ini bisa kita lihat juga dalam ayat “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”[11]

Sisi Globalisasi Dan Tinjauan Islam terhadapnya

Secara global Islam memandang globalisasi sebagai sunnatullah yang tidak bisa kita tolak. Globalisasi adalah produk sejarah masa kini yang selalu bergerak dinamisdan menyentuh segala aspek kehidupan. Globalisasi adalah fenomena. Dan tidak akan berubah (lebih baik), jika umat Islam tidak punya niat (internal power) untu merubahnya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”[12]

Globalisasi mempunyai dua unsur penting dalam gerakannya; unsur inti (jauhariyah) dan unsur pendamping (mushahabah). Dalam tatanan reaalita unsur pendamping ini justeru terlihat lebih menonjol dan mengepung manusia dari berbagai arah. Sebagai contoh menjamurnya makanan dan minuman siap saji, warung-warung waralaba ( Mc Donals, KFC, Coca-Cola dan lain-lain ), tren mode pakaian ( jeans, kaos funki,...), film-film Holywood, pesta ala barat, dan sebagainya.[13]

Berbicara mengenai pandangan Islam terhadap globalisasi, kita tentu tidak bisa membahasnya disini secara detail dan menyeluruh, mengingat kompleksnya unsur-unsur di atas. kita hanya akan menitikberatkan pada tiga unsur inti yang menjadi mainstream gerakan globaisasi; ekonomi, politik dan budaya.

Ekonomi. Gerak globalisasi dalam bidang ini bisa kita rasakan secara jelas, seperti pasar bebas, kerjasama ekonomi antar negara dan "organisasi pasar" lainnya. jika umat islam menyikapi gejala ini secara positif, maka satu pelajaran yang dapat dipetik adalah; kesatuan dan persatuan umat (negara) Islam adalah sebuah keniscayaan. Negara-negara Islam harus bersatu untuk membangun kekuatan ekonomi baru, meningkatkan produktifitas, memperbaiki kualitas agar bisa bersaing dan mengarungi belantara globalisasi dengan dada membusung.

Persoalan selanjutnya adalah; bagaimana cara terbaik untuk menghadapi tren ini dan saling bekerja sama dengan baik dan safety ?. Tidak selayaknya kita membanggakan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara Islam. Yang diperlukan adalah kemauan, semangat baja dan spirit yang membara untuk mewujudkan kebangkitan ekonomi negara-negara Islam.

Politik. Ada tiga permasalahan yang akan kita bahas; demokrasi, HAM, dan "pluralisme politik" (ta'addudiyah siyasiyah).

Sejak empat belas abad yang lalu, Islam telah membahas tiga hal diatas, jauh sebelum globalisasi menyentuhnya. Ketika Islam berbicara tentang syuraa, sebetulnya ia sedang membangun pondasi dan landasan kokoh menuju kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpendapat yang menjadi inti ajaran demokrasi. Hanya saja, kaum muslimin saat itu menutup "gerak" syuraa dalam mencari bentuk idealnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman.

HAM sudah menjadi perbincangan hangat dalam wacana pemikiran Islam sejak dulu. Ini tercermin dalam ajaran Islam yang menghormati hak semua unsur manusia tanpa membedakan ras, suku dan agama.[14] Meletakkan keadilan sebagai tujuan akhir dalam kasus-kasus kemanusiaan. Allah berfirman: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."[15]

Pluralisme politik. Islam memberikan ruang ijtihad bagi kita dalam masalah keagamaan, juga dalam hal keduniawian. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda: "kamu lebih tahu tentang urusan-urusan duniamu."

Ijtihad berarti adanya keragaman pendapat dan ide. Islam memberikan iming-iming "dua pahala" bagi mereka yang benar berijtihad, dan "satu pahala" bagi mereka yang salah dalam berijtihad. Hal itu di maksudkan sebagai tasyji' agar kita selalu berijtihad, berinovasi dan improvisasi.

Berangkat dari kenyataan ini, berbeda politik bukanlah hal terlarang dalam Islam. Ia adalah sarana untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dan optimal dalam mewujudkan kemaslahatan bersama. namun perlu di garisbawahi bahwa hal tersebut harus berada dalam koridor-koridor keislaman.[16]

Budaya. Jika tujuan akhir globalisasi adalah menciptakan satu budaya sentral yang dianut oleh seluruh penduduk bumi, maka yang diperlukan adalah kesadaran yang tinggi pada masing-masing individu muslim, dan sikap antisipatif terhadap bahaya multi dimensial (melalui penitrasi budaya) yang mengancam; sosial, medis, pidana, lingkungan dan sebagainya. Hal tesebut akan berujung pula pada "pemaksaan" budaya, dimana budaya mayoritas akan menjajah budaya menoritas.[17]

Islam adalah agama inklusif. Menjaga identitas peradaban Islam bukan berarti menutup diri untuk berinteraksi dengan peradaban lain. Peradaban Islam adalah peradaban yang dinamis dan aktif, yang tidak menginginkan adanya status quo. Kita dituntut untuk memilih jalan terbaik dan sesuai dengan identitas keislaman kita.

Masa Depan Islam: Optimistis atau pesimistis?

Merancang masa depan umat (peradaban) Islam adalah tugas setiap individu muslim. Berpikir untuk selalu memperbaiki diri, mengaktualisasikan diri dengan perubahan zaman. Allah berfirman: “Dan hendaknya setiap individu memikirkan apa yang akan ia berikan untuk hari esok”.[18] Namun perlu diingat, bahwa hal tersebutbukanlah persoalan gampang. Kita harus belajar dari sejarah, karena kehidupan manusia pada hakikatnya adalah sejarah yang diulang-ulang.

Ada dua cara pandang global tentang masa depan islam. Pertama, sikap pesimistis. Hal ini dilandasi oleh realita yang ada dalam tubuh umat Islam sekarang. Kita ketahui bersama, saat ini umat Islam berada dalam posisi paling bawah dan marginal.[19] Permasalahan umat Islam masih kocar-kacir; dekadensi moral, kesenjangan sosial, keterbelakangan, kebebasan publik, dan HAM yang memprihatinkan. Masalah-masalah ini setidaknya memerlukan waktu lama untuk memperbaikinya. Padahal orang non-Islam (barat) sudah melangkah sejuta tapak ke depan.

Kedua, sikap optimis. Islam selalu menekankan arti penting dari optimisme. Orang yang pesimis dalam ajaran Islam dikategorikan dalam kelompok orang-orang kafir.[20] Optimisme ini lahir dari pengamatan sejarah, bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar bergantian di antara umat manusia. Allah berfirman: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,”.[21] Tidak ada alasan bagi kita untuk “malu” menatap masa depan. Mereka yang sedang memegang peradaban dunia sekarang tidak jauh beda dengan kita dari sudut pandang sama-sama manusia. Mereka makan, kita makan, mereka minum, kita juga minum.

Pertanyaan berikutnya: Apa yang harus dilakukan umat Islam? Banyak langkah yang seyogyanya ditempuh untuk meraih kembali kejayan masa lalu. Antara lain: (1) Mengembalikan kesadaran umat Islam yang selama ini “tertidur”. Ajaran universal Islam harus disampaikan. Umat Islam adalah kaum yang Ukhrijat li al-Naas, untuk kebaikan, kemaslahatan dan pencerahan manusia.[22] (2) Bersikap inklusif terhadap budaya luar. Sikap mengisolasi diri berarti bertentangan dengan dasar agama. Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[23] (3) Berpegang teguh pada ajaran agama sebagai sumber inspirasi peradaban, serta merealisasikannya dalam hidup keseharian.

Jika beberapa poin di atas terwujud, insyaallah masa depan peradaban Islam akan mengulang masa keemasannya, walaupun kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Waallahu a’lam.

Katameyaa, 09 Agustus 2001



*) Disampaikan pada kajian eksklusif “BHINDARA” Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA) di Madinat el Katameya, 11 Agustus 2001.

[1] Lihat pengantar Dr. Jalal Amin dalam bukunya “Al-‘Aulamah wa al-Tanmiyah al-‘Arabiyah min Napoleon ila Jaulah Uruguway”, Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah.

[2] Mohamad Abid al-Jabiry, “Qadlayaa al-Fikri al-Mu’ashir”, markaz dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, hal:136-137.

[3] Dr. Yusuf Qardlawy, “Ummatuna Baina Qarnain”, Dar el-Syuruq 2000, Cairo, cet.I hal:232.

[4] Dr. Ahmad Fuad Basya, “Al-Islam wa al-‘Aulamah: Mafaahim wa Qadlaya”, Dar el-Jumhuriyah 2000, hal:134.

[5] Dr. Hamdi Zaqzuq, “Al-Islam fi al-‘Ashr al-‘Aulamah”, Maktabah el-Syuruq 2001, cet.I hal:12

[6] Qardlawy, op.cit. hal:238.

[7] Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:13.

[8] Makih Ben Nabi, “Syuruth al-Nahdlah”, Dar el-Fikr, Beirut, cet.IV hal:71.

[9] Qardlawy. Op.cit. hal:237. Bandingkan dengan Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:11.

[10] Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:17.

[11] QS. Al-Taubah:105.

[12] QS. Al-Ra’du:11.

[13] Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:13.

[14] Lihat QS. Al-Isra’:70.

[15] QS. Al-Mumtahanah:08.

[16] Hamdi Zaqzua, op.cit. hal:15-16.

[17] Menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization, benturan peradaban akan terjadi di masa mendatang, untuk kemudian mengukuhkan siapa yang berhak “hidup” dan menguasai peradaban dunia. Ada tujuh (delapan?) peradaban yang ia munculkan; barat, konfusius, Jepang, Islam, India, Ortodok klasik, Amerika Latin, dan Afrika. Lihat Qardlawy Ummatuna Baina Qarnain hal:252.

Teori Huntington ini banyak mendapat kritik dan serangan dari pemikir-pemikir barat. Di antaranya James Kuart, yang mengatakan bahwa benturan peradaban yang sebenarnya akan terjadi di dalam tubuh peradaban barat. “Sesungguhnya benturan peradaban yang sebenarnya tidak akan terjadi antara barat dan non-barat. Tapi akan terjadi antar entitas dalam peradaban barat itu sendiri.....Ini tercermin dalam dua kekuatan besar yang menguasai politik Amerika; kaum liberal dan kaum tradisional kristen. Keduanya tidak lagi percaya pada “keampuhan” peradaban barat.” Zaki Al- Milad, Mihnah al-Mutsaqqaf al-Dieny ma’a al-‘Ashr, Dar el-Jadied cet.I 2000, hal:85-86.

[18] Qs. Al-Hasyr:18.

[19] Cak Nur mengatakan, umat Islam sekarang berada pada urutan kedua dari bawah, setelah (sebagian) negara-negara Afrika.

[20] Lihat QS. Yusuf:87, al-‘Ankabut:23, al-Zumar:54.

[21] QS. Ali Imran:140.

[22] Qardlawy, op.cit. hal:240.

[23] QS. Al-Hujurat:13.


Dua Globalisasi

Dua Globalisasi

Oleh: B Herry-Priyono


KETIKA berkeliling Eropa Barat untuk mempromosikan karyanya, The End of History and the Last Man (1992), Francis Fukuyama kecewa. Bukan karena bukunya tak laris, juga bukan karena orang tidak membacanya. Alasannya, banyak intelektual Eropa Barat menjamunya dengan sedikit tertawa.

Mereka tertawa bukan karena tidak sopan, tetapi karena melihat gagasan "akhir sejarah" sebagai diagnosa menggelikan. Seperti kita tahu, salah satu gagasan pokok Fukuyama dalam buku itu adalah demokrasi-liberal kapitalis merupakan bentuk definitif masa depan manusia dan dunia.

Sebagai pemikir, mungkin ia tidak menghendaki karyanya dibajak para demagog. Celakanya, para demagog selalu haus gagasan pembenaran. Dan Fukuyama mengerti soal seperti itu. Kita tidak tahu apakah ia merayakan atau meratapi, saat gagasannya tentang "demokrasi-liberal kapitalis sebagai akhir sejarah" lalu dipakai luas sebagai pembenaran bagi corak globalisasi yang sedang berlangsung dewasa ini.

Globalisasi Davos

Ketika diterapkan pada soal globalisasi, gagasan "akhir sejarah" itu biasanya berubah menjadi argumen berikut. Corak globalisasi yang sedang berlangsung saat ini adalah keniscayaan sejarah. Ia tak terelakkan (inevitable), dan masa depan dunia adalah urusan merawat serta memaksimalkan potensi kekuatan yang terlibat di dalamnya. Seperti apa corak globalisasi yang berlangsung dewasa ini?

Tentu saja ia lebih dari sekadar lonjakan volume lalu lintas ekspor dan impor. Ia menyangkut perubahan mendalam pada cara mengalami hidup. Sebagaimana komunikasi Semarang-Kupang kini bisa dilakukan dalam sekejap, begitu pula komunikasi antara Paris-Manila tidak lagi membutuhkan waktu berbulan. Dan itu terjadi pada migrasi, transportasi, media, perdagangan, dan sebagainya. Maka dunia tidak lagi sunyi karena jarak waktu ruang, tetapi riuh rendah dengan lalu lintas pertukaran barang, gagasan, perasaan, sampai perkara-perkara maya (virtual). Sebagai arena tindakan, dunia kian menjadi satu unit. Sebagai rentang wawasan, dunia kian menjadi satu arena.

Dari sekian banyak faktor yang terlibat corak globalisasi, mungkin tak ada yang lebih menentukan dari revolusi teknologi dan uang. Tentang uang, tahun 1971, 90 persen transaksi finansial terkait ekonomi riil berbentuk perdagangan dan investasi jangka panjang, dan hanya 10 persen menyangkut spekulasi. Di tahun 1990, pola itu sudah terbalik. Tahun 1995, sekitar 95 persen dari 1,2 trilyun dollar AS transaksi finansial per hari berupa spekulasi, 80 persen di antaranya transaksi spekulatif bolak-balik dalam 1-7 hari.

Di situlah kita bertemu dengan inti corak globalisasi yang sedang terjadi saat ini. Globalisasi tidak hanya menyangkut finansial dan ekonomi, tetapi juga kultural, psikologis, sosial, hukum, dan sebagainya. Tetapi, dengan menyebut begitu banyak faktor dan pelaku yang terlibat, kita cenderung menghaluskan gejala dengan nama yang kehilangan makna. Let s be honest, corak globalisasi dewasa ini disangga perkawinan antara uang dan teknologi yang digerakkan terutama para pemilik modal finansial. Fakta bahwa kinerja mereka melibatkan hidup kita semua sama sekali tak berarti kita penentu jalannya globalisasi. Begitu pula, fakta bahwa kinerja mereka tak dimaksudkan untuk menciptakan watak globalisasi seperti yang ada dewasa ini, tidak berarti mereka bukan pelaku globalisasi.

Inilah model globalisasi yang terutama dibangun di sekitar kekuasaan uang. Memang, kekuasaan tidak jatuh dari langit. Sekali lagi, untuk tidak menutup-nutupi, muasal kekuasaan adalah rentetan proyek untuk melepaskan uang dari kekangan waktu, ruang, peraturan, regulasi, dan tujuan lain selain akumulasi. Ringkasnya, kebebasan gerak modal finansial bagi akumulasi laba. Tetapi, tekanan tidak terletak pada nilai "kebebasan" (freedom) sebagaimana dibicarakan para filsuf. Maksudnya, "kebebasan" bernilai bukan karena ia kebebasan, tetapi karena menyangkut mobilitas uang. Lalu untuk apa mobilitas uang? Terutama untuk akumulasi laba. Fakta bahwa modal finansial berguna untuk membuat jembatan atau membeli berlian bukanlah soal utama.

Sebagaimana tidak ada yang aneh dengan uang dan modal, juga tak ada yang aneh pada kinerja pencarian laba. Pada tataran filosofis, mungkin semua orang setuju. Tetapi, bawalah perkara itu ke dataran gejala sehari-hari, akan ditemui riuh rendah perdebatan. Sebabnya sederhana. Kebebasan gerak modal finansial tidak berlangsung di ruang kosong.

Ia berlangsung dalam setting kian keramatnya hak milik dan hak guna pribadi (the sanctity of private property). Seperti diketahui, kian keramatnya hak milik pribadi atas modal finansial, berbanding lurus dengan kian pudarnya "misi" sosial modal finansial bagi kesejahteraan bersama (common welfare). Itulah mengapa bisa dikatakan, yang terjadi saat ini merupakan corak globalisasi yang berdiri di atas agenda untuk melepas kinerja kekuasaan dan mobilitas modal finansial dari proses survival mayoritas warga dunia yang tidak memiliki uang.

Itu pula kritik yang dilancarkan terhadap model globalisasi World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 23-28 Januari 2003. Seperti sebelumnya, di sana berkumpul para menteri ekonomi, bankir, financiers, akademisi, pengusaha, dan mereka yang lebih mewakili model globalisasi seperti di atas.

Di belah Samudra Atlantik, pada waktu yang sama, versi globalisasi alternatif sedang dibangun di Porto Alegre, Brasil.

Globalisasi Porto Alegre

Versi globalisasi alternatif itu disebut World Social Forum (WSF). Istilah "sosial" (the social) dipakai bukan dalam pengertian latah yang beredar di dunia bisnis, yaitu sebagai lawan "ekonomi" (the economic). Ia dipakai untuk menunjuk agenda globalisasi inklusif yang seharusnya terjadi, termasuk globalisasi ekonomi. Di forum itu berkumpul jaringan gerakan akademisi, intelektual, lingkungan hidup, buruh, petani, pengusaha, dan sebagainya yang melihat kejanggalan corak globalisasi dewasa ini.

WSF sulit dipahami di luar corak globalisasi yang sedang terjadi saat ini. Seperti ditunjuk Paul Davidson, ekonom AS, soal utama yang terlibat dalam corak globalisasi ini bisa diringkas: pasar modal finansial kini menjadi likuid (liquid). Tetapi menjadi likuid tidak berarti lebih efektif. Statistik di atas bisa bersaksi tentang ketidaksamaan keduanya.

Sebelumnya, John Maynard Keynes, ekonom raksasa itu, mengingatkan: pasar modal (finansial) ada sebagai sumber investasi para entrepreneurs, bukan obyek judi. Karena itu, mengapa masalahnya amat serius saat bisnis menjadi gelembung buih di permukaan badai spekulasi. Dan saat perkembangan modal di suatu negara sekadar merupakan produk sampingan perjudian kasino, raison d etre modal finansial itu lenyap.

Namun, persis itulah yang terjadi dalam corak globalisasi dewasa ini. Stiglitz (2002), pemenang Nobel Ekonomi 2001 lugas menunjuk: "Jika para spekulan hanya saling mengeruk, itu riskan dan tak menarik. Yang membuat spekulasi dilakukan dengan penuh nafsu dan dibantu IMF adalah, karena uang yang diincar itu milik pemerintah. Ketika tahun 1998 IMF dan Pemerintah Brasil menghabiskan 50 milyar dollar AS untuk mengungkit nilai tukar, ke mana uang itu lenyap? Bukan ke angkasa, tetapi ke kantung orang-orang tertentu, kebanyakan para spekulator".

Apa yang makin kencang berlangsung tentu saja penguasaan modal finansial sebagai target utama gerak globalisasi. Jelas, hal itu terjadi dalam kombinasi dengan penguasaan industrial dan teknologi. Semakin kencang proses berlangsung, semakin terbentuk globalisasi yang bertumpu pada oligarki modal. Istilah "pasar modal" (capital market) terlalu sopan untuk menyebut realitas yang sebenarnya brutal. Seperti yang selalu terjadi dalam urusan kekuasaan, lalu terbentuk pola berikut: para tuan besar finansial memetik hasil terbanyak globalisasi, kaum miskin memunguti remah-remahnya, dan mereka yang ada di antaranya bingung dengan ambivalensi.

Itulah kritik utama WSF atas riuh rendah globalisasi yang kini berlangsung. Corak globalisasi kini bukan sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia bukan gejala alam, ia melibatkan para pelaku nyata, juga bukan "akhir sejarah". Karena kritik itu, media massa dengan serampangan menyebut WSF sebagai gerakan antiglobalisasi. Itu rancu. Dengan itu media justru mengesahkan ketidakmungkinan perubahan. WSF bukan gerakan antiglobalisasi, tetapi gerakan yang mau mengarahkan globalisasi sebagai proses mondial penggunaan dan perkembangan sumber daya dunia bagi kesejahteraan bersama, bukan hanya bagi para tuan besar finansial.

Mungkin lebih tepat dikatakan, WSF adalah model globalisasi "demokrasi-sosial" yang sedang coba melancarkan koreksi terhadap model globalisasi "neoliberal".

Salah satu pesan dari neoliberalisme ekonomi adalah, tak ada alternatif untuk bentuk globalisasi yang terjadi dewasa ini, dan gerak dunia telah menemukan "konklusi sejarah". Para pembawa pesan ini biasanya menuntut para pengkritik untuk mengajukan alternatif. Namun mereka lupa, tata globalisasi yang terjadi saat ini bukan hasil genius mereka, tetapi hanya sekadar penjelmaan insting-monopolistik kekuasaan mereka.

Benar, model globalisasi demokrasi-sosial masih berupa pencarian. Ia harus mencari cara bagaimana mobilitas uang tidak menjadi orgi spekulasi. Ia juga harus menemukan cara menerapkan mekanisme demokrasi pada kekuasaan bisnis. Karena tidak sederhana, itu semua terdengar seperti utopia. Tetapi, sejarah sudah mengajar, setiap kemajuan peradaban seperti pengatasan perbudakan dan kolonialisme formal satu atau setengah abad silam, mesti menaklukkan perasaan "ketidakmungkinan", hanya karena belum pernah terjadi sebelumnya. Gagasan "akhir sejarah" adalah obat bius menidurkan.

Mungkin itulah mengapa di pertengahan tahun 1999, saat berkeliling Eropa Barat untuk mempromosikan bukunya The Great Disruption (1999), Fukuyama dengan lugas mengakui kelemahan gagasan "akhir sejarah". Selama kita tetap melakukan penemuan dan refleksi baru di segala bidang, sejarah tidak akan berakhir.

Untuk kita, watak globalisasi yang sedang berlangsung saat ini juga bukan suatu konklusi.

B Herry-Priyono, peneliti, tinggal di Jakarta

Disiplin Pasar Neoliberal

Disiplin Pasar Neoliberal

Oleh: Budiman Sudjatmiko


DALAM tulisannya, Akar-akar Hancurnya Civil Society (Kompas, 19/11/2002), Indra J Piliang merisaukan kehancuran masyarakat madani di Indonesia. Dia menyebutkan, proses kehancurannya justru makin tampak setelah terjadinya transisi demokrasi.

Dalam proses pemberdayaan rakyat, pegiat LSM bingung karena kehilangan common enemy, yaitu negara. Sementara partai-partai politik kini justru tidak cukup memberi warna bagi proses itu.

Indra risau, saat partai-partai politik kini bertumbuh bagai jamur di musim hujan, gerakan-gerakan sosial justru kebingungan bagaimana menjadi pohon yang berakar di tengah jamur-jamur itu. Sementara tugas pemberdayaan rakyat belum lagi berbunga, apalagi berbuah.

Menurut saya, kehancuran ikatan solidaritas horizontal merupakan salah satu akar kehancuran civil society. Saya tengarai ada sejumlah faktor ekonomi-politik yang menyebabkan hancurnya solidaritas horizontal itu, yaitu berdominasinya gelombang neoliberalisme yang melanda negeri-negeri berkembang sejak 1980-an, berdampak pada pembangunan ekonomi dan perpolitikan di negeri-negeri itu.

Menurut Kenneth M Roberts dari University of New Mexico, kesenjangan sosial sebagai dampak ekspansi neoliberalisme di Amerika Latin ternyata tidak selalu memunculkan solidaritas horizontal di kalangan rakyat, terutama solidaritas berbasis kelas. Fenomena ini menarik karena wilayah itu dikenal sebagai wilayah di mana solidaritas horizontal berbasis lintas-kelas (misalnya populisme Peronis) ataupun berbasis kelas (sosialisme Marxis) memiliki sejarah panjang.

Ketika neoliberalisasi kian melebarkan kesenjangan sosial, ternyata ikatan kelas kian memudar. Persoalannya, apakah itu perkara khas di Amerika Latin atau fenomena umum di negeri-negeri dunia ketiga lainnya?

Kiranya berguna mengupasnya jika kita memfokuskan pada pertanyaan: apakah ada kecenderungan serupa atau, bahkan, lebih kuat di Indonesia? Sebagaimana diketahui, politik berbasis kelas di Indonesia tidak berdominasi ketimbang, misalnya, politik aliran.

Selanjutnya, K Roberts mengatakan, artikulasi politik di Amerika Latin pada periode awal transisi tidak mendasarkan dirinya kepada solidaritas horizontal, tetapi penguatan ikatan vertikal di mana ikatan dengan kaum senasibnya malah memudar. Artinya, setelah direpresi cukup lama semasa era otoriterisme, dan setelah mengalami tindakan "pendisiplinan" oleh regulasi pasar model neoliberalisme oleh rezim-rezim itu, rupanya preferensi-preferensi politik masyarakat bawah mengalami proses "individualisasi" sekaligus dis-artikulasi kelas.

Namun, "disiplin pasar ala neoliberal" juga tidak menjadikan pilihan-pilihan politik mereka "rasional", seperti asumsi sejumlah kalangan, liberalisasi ekonomi akan menyebabkan rasionalisasi dalam preferensi-preferensi politik dan budaya masyarakat.

Ada asumsi, dalam proses itu, masyarakat akan mulai meninggalkan ikatan-ikatan lain, kecuali ikatan pada harapan menyejahterakan hidup mereka dalam segala aspeknya, menurut hukum besi penawaran dan permintaan yang "rasional". Bagaimana kita mencermati perkara ini?

Kita perlu mencatat, era transisi di banyak negara berkembang merupakan reaksi atas berkuasanya era otoriterisme. Kecenderungan politik penguasa otoriter di masa lalu adalah penyingkiran sektor-sektor rakyat dari kancah politik dan peredaman aspirasi-aspirasi ekonomi mereka yang (umumnya) berbasis atau, setidaknya, berjargon kepentingan kelas.

Namun, pada saat bersamaan, kekuasaan otoriter justru melakukan kooptasi politik terhadap kelas menengah. Kelas menengah ini lalu dijadikan junior partners dalam sistem politik otoriter dan ekonomi pasar (baik yang ortodoks maupun agak longgar). Ketika akhirnya demokratisasi terjadi, yang menjadi penyangganya justru lapisan menengah yang semasa rezim lama menjadi junior partners.

Dalam banyak kasus, sebagian lapisan oligarkis "demokratis" pendukung rezim lama disertakan di dalamnya. Sehingga yang didapati semasa era transisi adalah struktur kekuasaan yang beralih dari core group lama rezim otoriter ke core group baru rezim sipil/demokratis. Tak kurang dari itu, berlanjutnya kebijakan ekonomi neoliberal dan adanya sejumlah besar massa rakyat yang sekian lama terdepolitisasi.

Dampak penajaman kebijakan deindustrialisasi yang memfokuskan diri pada liberalisasi perdagangan (rezim otoriter atau rezim sipil demokratis), massa rakyat kian tersegmentasi dalam unit-unit produksi kecil-kecilan. Kian banyak dari mereka menjadi buruh sub- kontrak, pekerja lepas, petani yang kehilangan akses atas tanah, para pengecer kecil, dan berkurangnya konsentrasi-konsentrasi buruh dalam jumlah besar di pabrik-pabrik besar plus jutaan massa pengangguran. Kian berkurang ikatan perekat berskala besar dalam proses produksi.

JIKA di Amerika Latin neoliberalisme ditumbuhkan sejak awal oleh rezim militer untuk "mendisiplinkan" masyarakatnya agar patuh kepada regulasi pasar dan tidak berideologi lain kecuali ideologi ekonomi neoliberal dan tidak berpolitik kecuali tunduk pada otoriterisme militer, maka neoliberalisme di Indonesia amat terasa justru semasa menjelang keruntuhan rezim otoriter Orde Baru. Terutama setelah paket Structural Adjustment Programme disepakati Presiden Soeharto (saat itu) karena krisis ekonomi 1997.

Meski demikian, saat terjadi perpindahan dari pola "depolitisasi tanpa disiplin pasar" pada awal Orde Baru ke pola "depolitisasi dengan disiplin pasar" tahun 1987 (melalui paket deregulasi), lalu beranjak ke pola "politisasi dengan disiplin pasar" sejak 1999 (pemilu bebas pertama setelah 1955), ada yang tidak berubah di dalamnya, yaitu pola hubungan elite-massa yang bersifat patrimonial.

Sejumlah kalangan mengatakan, modernisasi membuat masyarakat kian urban, terspesialisasi, melek huruf, terdidik, dan semacamnya. Dalam kaitan ini, neoliberalisme ekonomi merupakan fase terbaru. Namun, justru di sinilah perkaranya. Ketika modernisasi hanya mendorong tiap individu menaati "disiplin pasar" (memenuhi mekanisme penawaran dan permintaan aspek kehidupan) tetapi tidak membuat mereka melek (literate) dalam politik, dampaknya adalah paradoks: terjadi proses derasionalisasi politik di tengah proses rasionalisasi ekonomi neoliberal.

Hal itu ditampakkan dalam pilihan-pilihan politik yang relatif terlepas dari posisi sosial/ kelasnya, dan sebaliknya condong pada ikatan politik vertikal dengan patron-patron lama. Patron-patron inilah yang dulu merupakan junior partners kekuasaan otoriter lama dan kini menempati posisi eselon satu (core group) kekuasaan baru.

"PERBAIKAN nasib" menjadi pelaku utama yang independen dari kekuasaan baru, menjadikan posisi sang patron lebih kuat. Dengan transformasi itu, kini mereka berkuasa, baik secara nasional maupun lokal. Namun, pada saat sang patron terlepas dari dependensinya atas kekuasaan otoriter lama, mereka kini justru tergantung (dependent) pada regulasi disiplin pasar.

Hal itu berdampak pada perilaku politiknya sehingga menjadi lebih "terbuka" dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya (yang tak mungkin mereka lakukan saat "magang" pada rezim lama), menjadi lebih "demokratis" (mereka harus dipilih, tak lagi diangkat), dan lebih memiliki kelonggaran ruang untuk mendorong karier politiknya dalam mekanisme pasar politik secara bebas.

Namun, perkembangan itu hanya terjadi di kalangan elite kekuasaan baru. Sementara pola hubungan antara patron dan kliennya, massa pemilih di lapisan bawah, tidak mengalami perubahan. Perbedaannya adalah sang patron memiliki dua posisi rangkap, sebagai insan politik yang "berdaulat" (tak lagi menempel pada kekuasaan otoriter) dan sebagai insan ekonomi paripurna. Sang patron merupakan entrepeneur yang juga siap mempraktikkan disiplin pasar kepada kliennya.

Maka mulailah mereka mendirikan badan-badan usaha yang terintegrasi secara nasional dan, jika mungkin, secara internasional. Lalu, jika dilihat dari kacamata relasi kelas secara umum, mereka "memecah-mecah" lapisan bawah masyarakat (klien mereka) menjadi pekerja-pekerja subkontrak, pekerja lepas tanpa perlindungan hukum, dan pengikut politik saat pemilu di tingkat nasional maupun pemilihan kepala-kepala daerah.

Mereka telah mengubah massa menjadi partikel-partikel atom (atomized particles) yang mengambang hilir-mudik mengisi ruang-ruang publik kita yang kecil, dalam kompartemen-kompartemen yang terasing satu sama lain. Untuk Indra dan para pegiat demokrasi, dimulai dari ruang-ruang kecil yang tersekat inilah, demokrasi dan semuanya mesti kita bangun kembali.

Budiman Sudjatmiko, Mahasiswa Program Master di Department of Political Studies, SOAS (School of Oriental and African Studies) University of London.

Globalisasi Determinasi Ekonomi dan Budaya Pasar

Globalisasi Determinasi Ekonomi dan Budaya Pasar
Oleh FAIZ MANSHUR

ISTILAH globalisasi telah menjadi perbincangan banyak orang. Terlepas dari suka atau tidak, paham tak paham, banyak orang memakai istilah ini di saat-saat kuliah, ngobrol ataupun hanya sekadar ikut-ikutan latah. Oleh karena itu, kita tak usah heran jika globalisasai yang pada mulanya hanya diperbincangkan pada konteks ekonomi-politik, kini meluas menjadi tren yang menyeruak ke sendi-sendi kebudayaan; mulai dari dunia fashion, masa depan kesenian rakyat, keagamaan, seks, perkembangan teknologi informasi hingga pemberdayaan ekonomi rakyat.

Namun, apa sesusngguhnya di balik gejala globalisasi yang demikian itu? Menurut Fendry Ponomban (2001), apa yang disebut-sebut dan dimaksud dalam globalisasi bersumber pada realitas liberalisasi ekonomi sebagai gagasan awalnya. Argumentasi yang dipakai adalah bahwa derap langkah perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara bangsa. Implikasi perkembangan teknologi dan informasi ini meluas pada bidang-bidang lain di luar masalah perdagangan ekonomi yakni bidang sosial budaya lainnya. Dengan demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih sehingga mendorong dinamika sosial lainnya.

Hal ini menurut saya penting untuk diekplorasi lebih lanjut. Sebab kecenderungan latah berbicara globalisasi selama ini, baik itu sebagai realita atau sekadar "pembayangan" -- baik itu yang menolak ataupun yang setuju -- lebih cenderung menempatkan globaliasai sebagai persoalan budaya semata. Oleh karena itu, ada baiknya jika sejenak kita melihat fenomena itu dalam bingkai yang mungkin kurang disukai, yakni dari sudut ekonomi-politik. Dengan demikian, menjadi tepat kiranya jika kemudian kita membicarakan kapitalisme -- yang notabene sebagai cikal-bakal lahirnya globalisasi -- sebagai objek yang pokok. Ada dua hal yang membuatnya demikian.

Pertama, kapitalisme itu sendiri berdiri bukan saja sebagai konsepsi idealitas manusia, melainkan sebagai realitas yang konkret yang hadir, dihadapi, dan dialami oleh manusia modern. Kedua, ada asumsi bahwa kehadiran kapitalisme sebagai corak produksi ekonomi yang berada dalam posisi basis (struktur), kurang-lebih diyakini sebagai faktor determinatif bagi perubahan sosial ketimbang suprastruktur semisal agama, politik, negara, ideologi, atau budaya atau jika tidak demikian, setidaknya hubungan timbal balik (dialektis) antarkeduanya hampir tidak pernah lepas keterikatannya terhadap persoalan perekonomian.

Pasar sebagai hakim

Sejauh ini kita mengenal wacana postmodernisme sebagai kritik terhadap wacana modernisme yang berasumsi bahwa transformasi sosial yang hadir bukan lagi berbasiskan perekonomian, melainkan meliputi "kerumitan" realitas yang melampaui batasan determinasi apa pun. Namun, sekalipun kritik ini memunyai keabsahan pada level akademik, persoalan keterkaitan itu sendiri tidak pernah lepas dari perdebatan di dalamnya. Jika benar bahwa kegiatan ekonomi manusia memunyai korelasi (atau bahkan determinatif), sebelum membahas hubungannya dengan bidang lain adalah penting mengenal dasar-dasar dan motif kegiatan perekonomian itu sendiri.

Dalam memahami fundamental gerak kapitalisme ini, B. Hery-Priyono secaralugas -- walaupun sekadar mengulang-ulang ulasan para ekonom -- berhasil melukiskan bentuk dasar liberalisasi yang notabene menjadi prinsip ekonomi kapitalisme. Dimulai dari liberalisme klasik, teori ekonomi-politik klasik menggagas produksi barang/jasa bergantung pada kaitan instristik antara tiga faktor: tanah (land), modal (money/capital), dan tenaga kerja (labour); teknologi adalah evolusi tenaga kerja. Di sini kemudian mundur apa yang kita kenal dengan teori trias economica dan konteks ini kita tarik dalam bingkai filosofis, kemudian manusia masuk dalam kategori makhluk homo economicus (manusia ekonomi). Dalam hubungan paling penting ini cara bertransaksi ekonomi (jual beli) bukan salah satu dari berbagai hubungan manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari tindakan dan relasi manusia, baik itu dalam hal hubungan keluarga, tata negara atau bahkan hubungan internasional. Dengan kerangka dasar (ontologi) ini menurutnya pada akhirnya pemahaman akan relasi sosial manusia harus memakai indikator ekonomi sistem pasar. "Jadi, ontologi economicus punya implikasi pada epistemologi (cara pandang) economicus pula."

Paham seperti ini agaknya memenuhi keabsahan teoritik. Alasan yang mendasarinya sederhana yakni ketergantungan hidup manusia terhadap kebutuhan makanan. Dengan demikian, apa pun fenomena kegiatan manusia yang kita saksikan memang tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor kepentingan mendasar tersebut. Ini pula yang kemudian menegaskan bahwa kegiatan kehidupan pasar ekonomi sangat menentukan aktivitas sosial manusia. Oleh sebab inilah para ekonom dan juga Hery Priyono percaya pada simpulan, "Apakah itu masyarakat sedang mengalami kemacetan atau perkembangan dan sekaligus penentuan strategis bagi perubahan, haruslah diletakkan atas dasar konsep ekonomi dan tak boleh keluar dari solusi sistem pasar bebas itu sendiri."

Dengan kekuatan asumsi ini tidak heran jika kemudian muncul etika ekonomi yang berdiri di luar hukum etika lain. Karena begitu fenomenalnya kegiatan ekonomi dengan asumsi-asumsi yang demikian ini, pencetus ide etika ekonomi sebagai mana dirumuskan bapak liberalisme ekonomi Adam Smith (1723-1790) menjadi titik tolak bagi praktik kapitalisme di kemudian hari. Dalam bukunya "The Wealth of Nations" Adam Smith sang teoritikus terkemuka ini mencetuskan sebuah ide sistem sosial-ekonomi dengan slogan "tangan tak kelihatan". Teori ini menjadi dasar bagi kapitalisme yang memercayai pasar bebas. Artinya memercayai bahwa individu yang bertindak bebas dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi akan berefek baik bagi peningkatan kesejahteraan publik dibanding dengan pasar yang dikendalikan/dimonopoli oleh negara. Saking kuatnya pengaruh teori ini, kemudian yang terjadi adalah penyingkiran penilaian etika lain semisal agama, sosial, negara, dengan etika economicus neo-liberal. Etika seperti ini, memanifestasikan diri sebagai satu-satunya hakim dalam menilai setiap kebijakan.

Sedikit saya tambahkan, bahwa dasar filosofis liberalisme ini sebagai jalan pasar kapitalisme. Hal ini bisa kita lihat dari pengandaian Smith yang menekankan kebebasan aktivitas manusia dalam perekonomian dengan motif dasar yang sama. Semua pelaku bisnis atau pemilik modal yang mencoba mengejar kepentingan pribadinya pada dasarnya memunyai prinsip mencari keuntungan sebesar-besarnya. Pekerja berusaha mencari gaji yang tinggi, sedangkan konsumen berusaha membeli barang secara murah. Kebebasan yang dimaksud adalah tidak adanya monopoli, oligopoli, hak istimewa bagi seseorang. Semua orang harus dijamin hak kebebasannya. Untuk mengatasi sikap negatif/serakah ini dia hanya menggantungkan pada prinsip etis bahwa keadilan, dengan alokasi/distribusi (yang kaya terhadap yang miskin) hanya mendasarkan pada tangan "gaib".

Marginalisasi negara

Atas dasar alasan-alasan fundamental ekonomi di atas, kemudian bolehlah kita melebar pada wacana aktual dengan dampak-dampak globalisasi (kapitalisme baru) kini sedang menjalar dalam setiap lokasi dan dalam detak jantung kehidupan umat manusia. Satu hal yang penting untuk ditelaah kemudian adalah menjelaskan fenomena keberadaan dan perubahan dalam konteks negara bangsa. Pasalnya, kekuatan modal dalam pasar sebagai basis utama penggerak laju perdagangan yang didukung keberadaan globalisasi dalam memengaruhi kebudayaan bukanlah berjalan sendiri tanpa terkait dengan instrumen negara. Ini bisa kita saksikan bagaimana sebuah negara-bangsa, katakanlah negara Indonesia mengalami perubahan demokratisasi politik dan liberalisasi perdagangan sangat terkait dengan program-program kapitalisme (baca: IMF dan Bank Dunia).

Dalam konteks ini kemudian, hubungan ekonomi yang kuat dan melebar ke penjuru dunia inilah yang saya maksud di atas sebagai basis sosial di tingkat nasional. Arif Dirlik misalnya, pernah memunyai pandangan yang cukup bagus dalam melihat hal ini. Dalam bukunya "Formations of Globality an Raddical Politics" melihat tiga macam ciri-ciri untuk menjawab pengaruh gobalisasi tersebut. Pertama, desentralisasi kapitalisme, yang ditandai dengan kemunculan pusat-pusat baru kapitalisme, sebagai produk langsung dari globalisasi kapital. Dalam hal ini yang menjadi inti pusat dari globalisasi kapital itu adalah perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations), yang mengambil alih basis dinamika aktivitas perekonomian dari pasar nasional. Kedua, transnasionalisasi produksi yang menyebabkan munculnya kesatuan global dan sekaligus fragmentasi proses produksi yang menyebar dari level supranasional, level nasional, hingga level lokal. Ketiga, corak produksi kapitalisme menjadi corak-corak produksi prakapitalisme dan sebagai konsekuensinya terjadi homogenisasi budaya modernitas kapitalisme. Jika ini kita tarik dalam konteks Indonesia misalnya, teori Dirlik ini mirip menggambarkan perilaku para elite politik kita yang sedang berpesta pora merayakan kapitalisme global. Arus putaran kapitalisme seperti ini di Indonesia bisa dicontohkan dengan adanya kebijakan neoliberalisasi seperti privatisasi badan-badan usaha milik negara, restrukturisasi, bahkan demiliterisasi.

Namun, apakah sedemikian lemahnya sebuah instrumen negara sehingga terpinggirkan tak berdaya di hadapan dominasi kapitalisme global? Bukankah kemapanan (sisa-sisa) birokratisasi lama (otoriter) atau struktur lama di Indonesia masih terlihat? Saya rasa pertanyaan ini tidak bisa kita abaikan. Melihat perihal seperti ini menarik untuk disimak uraian B. Sugeng Hadiwinata (1994) yang melihat bahwa globalisasi (baca kapitalisme) diperkuat oleh pembentukan negara bangsa dalam pengertian bahwa dalam perkembangan selanjutnya kapitalisme membutuhkan semacam mekanisme administratif tersentralisasi yang hanya bisa dipenuhi oleh negara. Sebaliknya, pembentukan negara-negara juga diperkuat oleh adanya komersialisasi dan penyebaran kapitalisme. Oleh karena itu, sebagai simpulannya bahwa masuknya kapitalisme ke dalam sebuah negara bangsa tertentu tidak radikal, tetapi lebih bersifat timbal balik.

Tetap dalam konteks timbal balik ini, pada dasarnya kapitalisme tidaklah mengalami kesulitan utama untuk terus mendesakkan kepentingan-kepentingan ekonominya. Sebab jika kita menyaksikan negara (baca; pemerintahan) yang di isi oleh politisi-politisi kita sekarang, bukanlah berdiri secara diameter dan bertentangan dengan kepentingan kapitalisme, melainkan justru para elite politik ini menjadi peserta aktif kebijakan modal. Melihat fenommena seperti ini Budiman Sudjatmiko (2002) mengambil simpulan, bahwa kinerja birokratisasi dan hukum dianggap sebagai gambaran dari keberadaan nationstate menjadi lemah. Satu hal menurutnya itu disebabkan jabatan-jabatan publik yang dipikul oleh politisi bukan dijadikan praktik yang membawa amanat rayat, melainkan menjadi ajang negosiasi bisnis para politisi. Di sini negara kemudian mengalami disfungsionalisasi sebagai penjamin pelayanan publik dan semakin condong sebagai penjamin usaha bisnis. (Media Indonesia, 20/12/02). Apa yang dimaksud Budiman ini bisa kita buktikan dalam berbagai kasus pemotongan subsidi, bahan bakar minyak, kesehatan, pendidikan, dsb., serta terbengkalainya agenda-agenda yang menyentuh hajat orang banyak, semakin menunjukkan bahwa perubahan yang diarahkan oleh kapitalisme global berakibat pada munculnya watak asosiasi negara di satu pihak dan watak komersial di pihak lain.

Budaya pasar

Melihat fenomena determinasi ekonomi-liberal di atas, satu yang teramat penting diperhatikan adalah bahwa hampir tak ada benteng pertahanan lagi bagi keaslian tata-budaya lama. Transformasi teknologi informasi yang didukung oleh geliat komodifikasi dalam setiap bidang telah mengantarkan pasar menjadi dunia baru yang menegaskan dunia "tradisional" yang selama ini kita diami.

Jika negara pun hanya menjadi instrumen pasar, apa yang kita saksikan pada ruang kebudayaan? Tak pelak lagi; globalisasi ini pasti mengakibatkan pemudaran batasan-batasan ruang yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural. Identitas kultural sebuah bangsa, suku, etnis, agama, serta kebudayaan lain semakin berubah digantikan dengan identitas campuran yang plural. Anthony Giddens (1997) misalnya, menyaksikan berbagai implikasi buruk yang diakibatkan seperti risiko kehidupan, penetrasi budaya yang menghasilkan ancaman terhadap kultural dan nilai-nilai lokal, juga persepsi atas kedaulatan sebuah bangsa. Desakan-desakan globalisasi misalnya tampak terlihat sekali di Indonesia dengan larisnya komoditas Mc Donald, CNN, Jurassic Park, Laser disc, model pakaian terbaru, bahkan AIDS.

Masih dalam kerangka permahaman timbal balik antara global dan lokal ini, dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia kita menemukan bentuk pengaruh globalisasi seperti itu dengan jalan penyesuaian produk global dengan karakter (pasar) lokal. Dalam ranah cultural studies misalnya, "penyesuaian" globalisasi oleh M. Sholahuddin (2002) diartikan sebagai kemunculan interpretasi produk-produk global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian juga membuka kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya dari satu tempat lain. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh semisal model restoran siap saji Amerika masuk dalam golongan junk-food yang dikonsumsi oleh kelas pekerja atau pelajar, di Indonesia hadir sebagai tempat yang elit dan eksklusif.

Dengan pengikisan budaya lokal oleh desakan global ini kemudian nilai kebudayaan yang sering diasumsi sebagai tatanilai sosial asli (tradisional) sering dianggap ancaman serius. Mungkin dengan perspektif lain, persoalan "pergantian" sebuah kebudayaan bukanlah hal yang serius kita perhatikan, sebab bagi sebuah kebudyaan asli Indonesia misalnya, bukanlah hal yang final dan kita sakralkan. Tapi jika kita kembali dalam pengertian globalisasi sebagai bagian integral arus (kepentingan) ekonomi-politik pemodal, maka persoalan seperti ini akan menjadi suatu hal yang serius, sebab sebuah kebudayaan tidak lagi dibangun melalui tata nilai sosial-kemanusiaan, melainkan justru dibangun dari proses komersialisasi dengan cara-cara meng-komodifikasikan segala hal.

Hal seperti ini tentu mengundang sejumlah keprihatinan. Sebab mau tak mau komersialisasi tersebut bukanlah proses "pembejalaran" budaya yang di dalamnya berisikan tata nilai dan norma kemanusiaan melainkan sekadar tata nilai menikmati produk perdagangan. Memang, gelombang globalisasi yang kini telah hadir dalam keseharian kita, bukanlah suatu yang harus kita takuti. Terlebih pada konteks kebudayaan global yang di dalamnya tentu saja memunyai nilai-nilai positif dibanding kebudayaan lokal, namun kurang sesuai dengan nilai kemanusiaan seperti (budaya) laki-laki "menindas" perempuan ataupun kultus rakyat atas penguasa. Namun, jika kemudian globalisasi datang dengan cara dan perlakuan terhadap sebuah masyarakat sebagai sarang komersialisasi pemodal asing (untuk sekadar menumpuk kapital) dan tak pernah memikirkan efek-efek negatifnya tentu bukanlah barang baru yang bisa kita terima.

**

Minimal ada tiga hal yang penting untuk dicatat di sini. Pertama, bahwa perubahan sosial sekalipun itu berskala global tidaklah berdiri tanpa sebab ekonomis kapitalisme. Prosesi budaya gobalisasi misalnya, bukanlah barang ekspor kebudayaan asing sebagai sebuah kecenderungan budaya an sich, melainkan lebih pada tujuan komersialisasi dengan cara-cara baru dan lebih menjanjikan dibanding dengan model dagang ala kolonialisme sebagai pendahulunya. Kedua, dalam konteks penetrasi modal ini, sebuah negara misalnya, bukanlah instrumen yang paling mungkin diharapkan sebagai pengendali globalisasi. Justru yang kita lihat selama ini, Indonesia lebih mencerminkan sebagai agen asing, dengan kepentingan modal lebih diutamakan daripada tuntutan-tuntutan rakyatnya. Ketiga, sebuah gobalisasi dalam sebuah tren kebudayaan tentu bukanlah barang menakutkan atau bahkan ditolak. Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa proses komersialisasi oleh kapitalisme itulah yang harus dikendalikan agar kebudayaan yang sedang berjalan bukanlah sekadar bentuk dari proses dagang, melainkan juga sebagai proses humanistik dengan tata nilai masyarakat tidaklah terus-menerus bergantung pada kepentingan pasar.