>Jumat, 25 Januari 2002
HAM, Agama, dan Sekularisme
Oleh Mun'im A Sirry
SALAH satu kendala bagi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (HAM) dalam masyarakat beragama yang sedang mengalami modernisasi adalah kerancuan dalam menyikapi hubungan antara agama dan sekularisme. Hingga kini, keduanya dipahami sebagai domain yang berbeda, bahkan berbenturan satu dengan yang lain.
Penghadapan yang dikotomis antara agama dan sekularisme telah menyebabkan persoalan HAM menjadi bulan-bulanan. Sebagai dua domain berbeda, HAM yang dipahami dari perspektif keagamaan ditengarai berbeda dengan HAM perspektif sekularisme. Pada ujungnya, yang dianggap sah adalah HAM dalam perspektif agama.
Lebih dari itu, di Dunia Ketiga, khususnya negara-negara Muslim seperti Indonesia, kerancuan itu memunculkan argumen relativisme kultural yang didasarkan pada apa yang dalam literatur HAM dikenal cultural based-resistance to rights. Yaitu, penolakan terhadap HAM yang didasarkan pada perbedaan kebudayaan. Ketegangan ini muncul dalam dikotomi antara Barat yang mewakili HAM universal dan negara-negara Muslim yang mempertahankan warna lokal.
Bagi banyak kalangan, filosofi di balik kampanye universalisasi HAM adalah paham sekularisme. Terminologi yang disebut terakhir ini merupakan kreasi genius Barat. Dalam pengertian yang berkembang di Eropa dan Amerika Utara, istilah "sekularisme" yang masuk wilayah-wilayah ini, dicurigai sebagai bagian paket kolonialisme. Khusus di kalangan masyarakat Islam, istilah itu umumnya dihubungkan dengan sikap militansi anti-agama Revolusi Perancis.
Keterbatasan
Sebenarnya, baik agama maupun sekularisme yang dipahami secara dikotomis tidak cukup untuk menyokong perlindungan dan penegakan HAM. Agama punya keterbatasan karena sifat utamanya yang eksklusif. Dalam arti, ia memperkenalkan batasan antara para penganut suatu agama dan penganut agama lain (insider dan outsider). Eksklusivitas moral agama dengan sendirinya bertentangan dengan teori nilai-nilai universal HAM yang inheren dalam diri manusia tanpa membedakan kelompok, ras, agama, jender, bahasa, atau asal muasal bangsa.
Pengalaman sejarah menunjukkan, eksklusifitas moral agama cenderung meruntuhkan kemungkinan koeksistensi dan kerja sama secara damai di kalangan komunitas agama yang berbeda. Dalam konteks inilah sekularisme berkembang menjadi sarana untuk menjamin komunitas politik pluralistik dalam keragaman komunitas-komunitas agama. Sebagai kebijakan publik untuk mengatur hubungan antara agama dan negara dalam konteks khusus, sekularisme mampu mengawal pluralisme komunitas politik.
Namun demikian, paham sekularisme sebagai basis HAM juga punya keterbatasan. Sekularisme bukan hanya gagal mendorong umat beragama menjunjung tinggi universalitas HAM, tetapi juga tidak mampu membicarakan berbagai keberatan yang mungkin mereka rasakan menyangkut standar tertentu dari sudut pandang agama mereka. Misalnya, diskriminasi terhadap perempuan sering mendapat pembenaran agama dalam banyak masyarakat. Karena itu, sumber pelanggaran HAM yang sistematis ini mustahil dapat dieliminasi tanpa membicarakan religious rationale. Hal itu harus dilakukan dengan tidak melanggar kebebasan beragama sebagai hak fundamental itu sendiri.
Kita tidak boleh lupa, sebagian terbesar penduduk dunia adalah umat beragama. Karena itu, kegagalan untuk melibatkan perspektif agama sebagai fondasi HAM bukan hanya berarti hilangnya dukungan politik komunitas-komunitas beragama, tetapi juga bisa menjebak mereka melakukan perlawanan terhadap sebagian hak-hak universal itu.
Dengan berbagai keterbatasan sekularisme itu tidak berarti agama bisa menjadi alternatif yang lebih baik. Kenyataan ini sebenarnya mengisyaratkan keharusan untuk membangun hubungan sinergi dan saling menguatkan antara HAM, agama, dan sekularisme. Dan, itu hanya bisa dilakukan bila kita memandang sekularisme sebagai sesuatu yang dinamis dan kontekstual menyangkut hubungan antara agama dan negara, bukan sekadar pemisahan yang kaku antarkeduanya.
Membangun sinergi
Sinergi dan saling ketergantungan HAM, agama, dan sekularisme mempunyai dua elemen.
Pertama, setiap sisi dalam hubungan segi tiga ini bergantung pada dua sisi lain untuk mencapai tujuan-tujuannya. HAM membutuhkan agama sebagai sumber moral yang diterima luas bagi fondasi komunitas politik, dan mobilisasi orang-orang beragama secara khusus.
Agama membutuhkan HAM bukan saja untuk memproteksi martabat manusia (human dignity) dan hak-hak umat beragama sendiri, tetapi memuluskan otentisitas keyakinan dan praktik keagamaan, termasuk dinamika perkembangan umumnya dan relevansi agama bagi para pemeluknya. HAM membutuhkan sekularisme untuk memproteksi integritas komunitas politik sebagai kendaraan yang niscaya bagi implementasi hak-hak itu dalam praktik.
Sekularisme membutuhkan HAM sebagai arahan normatif praktis dalam memproteksi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan negara. Sekularisme membutuhkan agama sebagai sumber petunjuk moral yang diterima luas komunitas politik. Agama membutuhkan sekularisme untuk menghubungkan antara berbagai komunitas agama yang berbeda dalam lingkup politik yang sama dengan cara mengatur hubungan dinamis antara agama dan negara.
Kedua, keharusan transformasi internal agama untuk kelangsungan tradisi dan otentisitas pengalaman keagamaan itu sendiri. Hal yang sama juga diperlukan sekularisme sebagai suatu prinsip kebijakan publik yang menjamin, kepentingan pokok masyarakat tidak terancam kelompok keagamaan yang otoritarian.
Dalam konteks agama, diperlukan upaya penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap opresif dan sewenang-wenang. Hal ini dapat dilakukan melalui kritik kontekstual terhadap asumsi dasar dan metodologi doktrin ortodoks dalam suatu tradisi keagamaan tertentu. Model yang disuguhkan di sini mungkin lebih relevan untuk beberapa agama, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Namun demikian, analisis serupa dapat diterapkan terhadap agama-agama lain.
Dalam konteks Islam, ada dua elemen utama bagi kemungkinan transformasi agama, yakni argumen perubahan teologis dan konteks politik di mana perubahan itu terjadi. Melalui penafsiran ulang yang lebih kontekstual dan menyentuh persoalan-persoalan kekinian, maka diharapkan akan melahirkan teologi baru yang lebih humanis. Sebagai contoh kasus, doktrin monoteisme yang diusung Yahudi, Kristen, dan Islam, punya andil menyuburkan eksklusifitas dan radikalisme keagamaan. Sebab, masing-masing agama mengklaim punya "tuhan" tunggal. Nah, saat ini diperlukan sintesis kreatif agar konsep monoteisme itu tidak bertentangan dengan keniscayaan pluralisme dalam kehidupan umat manusia.
Sisi politik berhubungan dengan watak perilaku kekuasaan dalam konteks khusus. Persoalannya, sejauh mana umat beragama mampu memperlihatkan perilaku yang mencerminkan cita-cita luhur agamanya. Sementara ini umat beragama berbangga untuk mengatakan, agamanya menghargai kebebasan manusia, agamanya memiliki doktrin yang luhur tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, kenyataannya, mereka berperilaku sebaliknya.
Poinnya di sini adalah, manusia senantiasa menjadi pusat bagi pemahaman dan praktik agama di kalangan masyarakat. Sederhananya, kaum Muslim yakin, Al Quran merupakan firman literal dan final Allah. Tetapi, Al Quran tidak memiliki arti dan relevansi bagi kehidupan sehari-hari individu dan masyarakat Muslim tanpa melalui pemahaman dan perilaku manusia. Sebab Al Quran diwahyukan dalam bahasa Arab yang merupakan suatu bahasa manusia (human language) dalam konteks historis.
Oleh karena itu, manusia adalah integral terhadap proses pewahyuan, interpretasi, dan praktik. Dengan demikian, ayat yang sama dapat dipahami berbeda-beda oleh orang-orang dalam konteks historis yang lain. Tidak ada ruang atau aspek pengalaman keagamaan suatu masyarakat atau komunitas yang tidak diisi oleh manusia.
* Mun'im A Sirry, peneliti pada Lembaga Studi Islam dan Demokrasi (LSID), alumnus pascasarjana International Islamic University, Pakistan.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment