Memahami Gerakan Keagamaan
Ade Fakih Kurniawan, Pemerhati masalah agama dan kemanusiaan
MEMBACA tulisan Saudara Syamsul Kurniawan yang berjudul 'Mengarifi Terorisme di Tanah Air' dalam harian ini (26/9) menarik untuk ditanggapi. Syamsul Kurniawan dalam tulisannya mengatakan bahwa salah untuk mengatakan fundamentalisme Islam, atau istilah lain serupa yang cenderung mengindikasikan Islam sebagai teroris, karena Islam tidak pernah mengajarkan aksi teror. Lebih lanjut ia mengatakan, kesalahan manusia dalam menginterpretasikan ajaran Tuhan inilah yang patut disoroti. Ada beberapa hal yang belum terekam dalam uraian Syamsul yang juga berkaitan dengan mengarifi gerakan-gerakan fundamentalisme agama.
Mengarifi bukan hanya berarti 'memahami' tetapi juga mencoba untuk 'memahamkan' orang lain dengan jalan dialog keterbukaan (open minded) dan sebagainya. Sehingga, uraian kita tentang gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam tidak terkesan sebagai apologi semata dan juga tidak terkesan sebagai pledoi Islam di meja hijau realitas sosial. Karena, bukankah Islam itu rahmatan lil alamiin? Bukankah agama hadir untuk memperjuangkan martabat manusia? Tetapi, mengapa yang banyak terjadi justru sebaliknya, martabat manusia dikorbankan demi institusi agama.
Semua orang paham bahwa Islam, begitu pula agama-agama lainnya, selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Namun, karena adanya gerakan-gerakan radikal (terorisme) yang mengatasnamakan Tuhan (agama), maka muncullah berbagai prejudice sosial mengenai agama itu sendiri. Bahkan menganggap agama yang lahir beberapa abad silam itu sudah bersifat anakronis karena mengalami deviasi dari nilai-nilai awal substansial yang seharusnya terus melekat pada karakteristik agama seperti nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dalam mengarifi berbagai gerakan sosial kita tidak hanya dituntut untuk bisa menjawab pertanyaan what tetapi juga why, yang kemudian, dengan hasil pemahaman itu, dilanjutkan dengan sosialisasi refleksif-interaktif dengan dasar keadilan dan kemanusiaan. Sehingga, terjalin sikap toleransi dan nilai kebaikan bersama di dalam pelataran realitas sosial. Bagi pemeluk Islam diyakini sebagai rahmatan lil alamin (QS. 21:107) dan juga way of live, sehingga dalam tataran psikologis ajaran Islam berpengaruh pada tindak-tanduk para pemeluknya. Bisa saja satu jemaah muslim memiliki perbedaan gerakan sosialnya dengan jemaah yang lainnya walaupun sumbernya sama, yaitu Alquran dan al-Hadis. Dus, di sinilah kiranya yang perlu kita perhatikan bersama dalam upaya mengarifi gerakan-gerakan sosial masyarakat Islam yaitu masalah penafsiran teks kitab suci (Alquran).
***
Agama Islam, sebagaimana agama Nasrani dan Yahudi, diyakini berasal dari Tuhan sehingga rumpun agama Ibrahim (Abrahamic religions) ini disebut juga sebagai agama wahyu (revealed religions). Secara geneologis, Islam lahir ketika Muhammad bin Abdullah menerima wahyu melalui perantara malaikat Jibril (abad ke-7 M) dan sejak itu pewahyuan terus berlangsung selama 23 tahun. Ketika wahyu itu tertuang dalam bahasa Arab dan selanjutnya diobjektifkan ke dalam sebuah tulisan (dikodifikasi) dalam sebuah mushaf, maka sesungguhnya wahyu Ilahi itu telah memasuki pelataran sejarah dengan konsekuensi terkena kaidah-kaidah sejarah yang bersifat kultural-empiris.
Dengan sifatnya yang kultural-empiris, Islam semakin kaya dan akomodatif terhadap penafsiran-penafsiran yang ada. Perbedaan penafsiran tidaklah lantas mengindikasikan bahwa Islam berstandar ganda. Perbedaan penafsiran itu ditimbulkan oleh beberapa hal seperti adanya sosiotemporal yang berbeda, pengalaman individu maupun masyarakat yang berbeda, dan berbagai kaidah historis lainnya. Penafsiran sendiri menurut Gadamer dalam bukunya Truth and Method (1994) adalah the fussion of horizons. Artinya, bahwa penafsiran merupakan proses perpaduan atau peleburan antara pengetahuan dan pengalaman kita sebelumnya dengan objek yang hendak kita tafsirkan. Sehingga, dengan kata lain, dalam proses penafsiran pengalaman dan pengetahuan kita sebelumnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja tetapi tetap ada hubungan relasional.
Secara sosiologis, hasil-hasil penafsiran itu selalu memberikan dampak refleksif kepada para mufasir dan para pemeluk agama serta akan selalu memotivasi tindak-tanduk individu maupun dalam gerakan masif. Dan, lebih parahnya lagi jika hasil-hasil penafsiran itu yang dijadikan sebuah ideologi gerakan. Bukannya nilai-nilai substansial yang ada di balik teks, karena walau bagaimanapun hasil-hasil penafsiran bersifat sementara, parsial, lokal, dan tentatif. Sedangkan yang kekal itu adalah nilai-nilai substansialnya seperti nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dari risalah itu.
Setidaknya ada tiga model pemetaan dalam penafsiran yang dijadikan sebagai pijakan bagi gerakan-gerakan keagamaan yang ada di pelataran realitas saat ini. Pertama, modernisme-sekuler yaitu sikap moderat dengan jalan penyerahan dan asimilasi total (taken for granted). Artinya, dalam pandangan golongan ini, selalu menerima gagasan-gagasan yang berasal dari dalam (Islam) maupun yang berasal dari Barat sekalipun demi mendukung ideologinya. Kedua, revivalisme-refleksif dengan cara bersikap akomodatif secara budaya dan konseptual preservasionis. Artinya, mereka selalu memilah dan berhati-hati dalam mengimpor produk pemikiran yang berasal dari luar (take nothing for granted). Ketiga, revivalisme-rejeksionis yang antimodern dan biasanya juga antiinstitusionalis karena dianggapnya yang benar-benar hukum adalah hukum Tuhan. Mereka sama sekali menolak bentuk-bentuk pemikiran yang berasal dari luar, terlebih Barat.
Demikianlah salah satu dari keunikan agama Islam, bahkan mungkin agama-agama lainnya. Sekalipun agama juga sering kali dicaci dan dikutuk karena aksi dan perilaku pemeluknya yang bisa berbuat ekstrem dan destruktif seperti aksi teror atas nama agama. Namun, sifatnya yang adaptif, dialogis, serta kapan dan di mana saja ia dapat hadir (omnipresent), sulit sekali kita menemukan sebuah komunitas sosial tanpa agama.*
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment